Elena berjalan keluar dari ruangan pertemuan dengan Alexa. Kate dan Carl segera mendekatinya. Melihat wajah muram Elena, Kate menggandeng lengan sahabatnya itu. “Elena, apa kau baik – baik saja?” “Aku ingin mencari angin segar. Di taman depan.” Elena berusaha mengulas senyum. Kate yang paham melepaskan tangannya dari lengan Elena. Membiarkan wanita berambut pirang itu keluar dari gedung. Tepat saat itu, Drake juga keluar. Matanya memicing saat melihat Kate membiarkan Elena keluar gedung. “Ke mana Elena?” “Mencari udara segar di taman depan. Sepertinya dia perlu waktu sendiri.” “Bahaya jika dia sendiri.” Pria tinggi besar itu tak memedulikan perkataan Kate, ia menyusul langkah Elena di depannya. Begitu melihat mantan istrinya itu duduk di sebuah bangku panjang. Drake memutuskan untuk mengambil jarak. Berdiri di balik pohon tak jauh dari Elena. Elena menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menyugar rambut panjangnya ke belakang. Tatapannya lurus ke depan. “Ya Tuhan
Kate dengan sigap segera memasak untuk makan malam mereka. Carl mempersiapkan peralatan makan di meja makan. Kate meminta Carl membawa makanannya ke meja. Wanita itu lebih banyak diam usai berbelanja tadi. “Apa kau marah karena pertanyaanku tadi?” “Tidak.” “Kenapa cemberut begitu?” “Karena kau terus bertanya kapan aku menjawab permintaanmu.” “Aku sudah menunggu lebih dari seminggu. Tak apa kalau kau minta waktu lagi. Asal pastikan kau menjawabnya.” Kate menatap Carl lama. Ia tak habis pikir, kenapa Carl selalu berusaha mendekatinya akhir – akhir ini. Ia menunggu Carl menyelesaikan makan malam. “Kate, kenapa kau tinggal di sini? Tempat ini biasa untuk ukuran sekretaris sepertimu. Sepertinya Nona Elena juga baik padamu.” “Tidak diragukan lagi, Elena menggajiku dengan baik. Sangat baik malah.” “Lalu, kenapa tidak cari apartemen yang bagus?” “Karena aku nyaman tinggal di sini. Malas pindah.” “Benarkah hanya itu?” “Aku ... sebenarnya agar aku tetap mengingat masa ketika aku be
Elena membeku di tempatnya, menatap Drake yang membuka pintu kamar lalu masuk. Ia segera masuk kamar dan bersiap. Saat baru masuk kamar mandi, Elena tertegun. Teringat saat hotel tempat ia menginap di Newcastle dulu ada penyelinap dan memberinya teror. Ia buru – buru mandi lalu keluar dengan hati penuh kewaspadaan. Setengah jam berlalu, Elena sudah siap dengan pakaian santainya, segera mengambil ponsel, lalu keluar kamar. Menemui Grace lagi untuk acara girl’s partynya. Masih beberapa teman Grace yang hadir. “Grace, aku ingin bicara sebentar.” “Ada apa, Elena?” “Apa hotel ini milik Drake? Kenapa dia bisa datang ke sini sekarang?” “Ya, Drake sudah bilang padamu, kan? Dia juga datang ke sini lebih awal untuk memantau persiapannya.” “Jadi, benar apa yang ia katakan.” “Elena, apa dia tak mengatakan padamu kalau ke sini sebelum acara?” “Tidak, dia tidak mengatakan apa pun. Bahkan juga baru tadi dia mengatakan ini hotel miliknya.” “Selalu penuh kejutan. Tak apa, nikmati saja pesta
Elena berjalan perlahan memasuki kamar Drake. Matanya beredar ke seluruh ruangan. Pada dasarnya, semua hampir sama seperti kamarnya. Hanya saja, di sini terlihat kesan maskulin yang dominan. Dengan warna hitam dan putih. “Duduklah.” Drake mempersilakan Elena duduk sofa panjang. Wanita itu duduk dengan tangan gemetaran, tak luput dari pengamatan Drkae. Elena menarik napas panjang beberapa kali. “Ada apa, Elena?” Tatapan Drake melembut saat melihat ekspresi kaku Elena. Hilang sudah semua kemarahan dan tatapan tajamnya beberapa menit lalu. Ia menggenggam tangan Elena yang masih gemetar hebat. “Aku tidak bisa masuk ke kamar sendirian. Bagaimana kalau ada penyusup ke kamarku lagi?” “Sstt, tidak ada, itu tidak akan terjadi di hotelku.” Drake membawa Elena ke pelukannya. Wanita itu masih mengepalkan tangan. Drake bahkan masih bisa merasakan tubuh Elena yang gemetar ketakutan. “Tak perlu takut, Elena. Tidak ada penyusup di sini.” Elena kembali menarik napas panjang beberapa kali, se
Napas Elena masih memburu, ia mencoba mengatur napasnya. Drake memeluknya erat. Menenggelamkan kepala Elena ke dadanya. “Tarik napas panjang, Elena.” Sesaat kemudian, napasnya mulai teratur. Elena mulai rileks dan mengusap lembut dada Drake dengan jarinya. Keduanya terdiam, menikmati momen masing-masing. “Hari itu, seperti yang Grace dan Max tahu, aku merasa buruk karena akan menghadapi perceraian kita.” “Kenapa? Menyesali telah menikah denganku?” “Bukan, menyesal karena kita akan bercerai.” “Itu sudah sesuai perjanjian kita.” “Aku tahu, tapi, itu menyesakkan.” “Jadi, sekarang, kau menganggapku apa?” “Udaraku. Jadi, jangan pergi.” Elena diam saja. Ia masih tak mengerti kenapa Drake seperti bukan pria yang selama ini dikenalnya. Apa dengan tidur dengannya membuat semua perubahan ini? Kadang, sangat sulit menjangkau perasaan pria yang dipeluknya ini. “Menikahlah denganku, Elena.” Elena langsung bangkit dari posisinya. Menahan selimut dengan tangan kanannya. Ia menatap Dra
Carl membawakan tas jinjing Kate hingga sampai di hotel. Keduanya langsung menuju kamar Drake, sesuai petunjuk Elena. Sampai di depan kamar, Carl mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Drake membukanya. “Ini kartu aksesnya. Bagaimana dengan mobilmu?” “Sudah diderek dan dibawa ke bengkel, Tuan Drake.” “Maaf, kamar kita penuh, jadi, kalian pakai kamar Elena saja tak masalah, kan?” “Ya, Tuan, tak masalah. Lebih dekat dengan kamar Tuan dan Nona lebih baik aku bisa mengawasi.” “Benar. Kalian istirahatlah, pesan makanan semau kalian, aku akan mengurusnya.” “Terima kasih, Tuan Drake.” “Kate.” Drake menyapa Kate yang berdiri di belakang Carl. “Drake.” Kate membalas sapaan dengan senyuman. Tak ada suara Elena sama sekali. “Apa Elena sudah tidur?” “Ya, dia lelah. Besok kalian harus bersiap sejak pagi.” “Ya.” Drake menutup pintunya, Carl dan Kate segera masuk ke kamar Elena. Kate langsung merebahkan diri di sofa panjang, sementara Carl mengecek ke seluruh sudut. Setelah yakin aman, ia
Mata Drake terpana, menikmati wajah tidur Elena yang samar-samar terkena sinar matahari. Menyusup dari celah jendela, sinar matahari membuat wajah Elena tampak berkilap sesekali. Wanita itu tampak mulai terganggu dengan cahaya itu. “Elena, bangunlah.” “Hmmm.” “Katamu mau bersiap lebih awal. Nanti kau kesiangan.” “Iya, sebentar lagi,” jawab Elena selirih gumaman. Punggung tangan Drake mengusap pipi Elena. Wanita itu mulai sedikit membuka matanya. “Sudah jam 6. Katamu ingin bangun setengah enam.” “Apa?” Elena langsung terduduk dari posisinya. Matanya bergerak ke arah jam dinding. Seketika, ia menembuskan napas dengan kesal. “Aku kesiangan setengah jam.” Elena segera turun dari ranjang. Meninggalkan Drake yang tertawa seraya bersantai. “Jangan buru – buru begitu, nanti kau jatuh.” Tak mengindahkan peringatan Drake, Elena langsung masuk ke kamar mandi. Setengah jam berlalu, ia keluar kamar mandi. Drake sedang sibuk dengan tabletnya. “Drake, cepat mandi dan bersiap.” “Tunggu
Elena kembali menyendok ice creamnya. Berharap dengan begitu hawa panas yang dirasakannya akan mereda. Saat kembali menatap Drake menikmati ice creamnya, Elena menahan napas. Ketika Drake menelan ice creamnya, ia bisa melihat ketika ice cream itu turun ke tenggorokan melalui leher Drake. Ia melihat lidah Drake yang seolah menari di atas sendok ice cream itu, menjilati hingga bersih dari ice cream. “Ada apa, Elena?” Drake menatapnya dengan kening berkerut. Ia segera memalingkan wajah ke arah lain sambil memakan ice creamnya yang tak membantunya sama sekali. Hingga ia tak sanggup menghabiskan ice creamnya lagi. Elena segera berjalan ke arah lain. Ia tahu Drake mengikutinya. Saat melintasi Grace, wanita itu memanggilnya. “Elena, sini.” Elena dan Drake menghampiri Grace, Max, tamu lainnya dan ... Luke. “Apa kau sudah bertemu dengan Luke?” Luke menyapa Elena dengan sopan, mencium punggung tangannya. Drake berdiri di samping Elena, di sisi dekat dinding. “Sudah, kami sudah salin