Elena meringkuk di ranjang seraya melihat foto yang dikirim Kate padanya. Dari postur dan mata pria yang ada di foto itu, ia semakin yakin. Pria itu adalah Drake. Setengah jam sudah berlalu sejak mantan suaminya itu masuk ke kamar mandi. Elena sendiri sudah lelah meneriaki Drake untuk segera keluar. Tak lama setelah Elena mengamati foto itu lebih cermat, suara air dari dalam kamar mandi berhenti. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang dibuka. Drake muncul bertelanjang dada. Pria itu mengambil pakaiannya di lemari lalu dengan santai memakai pakaian santai. Elena mengalihkan pandangannya ketika Drake berganti pakaian hingga selesai. “Kau sudah janji memberitahuku, Drake.” Elena menatap tajam mantan suaminya itu dari ranjang. Ketika Drake berbalik, ekspresi Drake lebih melunak daripada tadi. Pria itu duduk di tepi ranjang, menatap Elena. Ia segera menunjukkan bukti foto di ponselnya pada Drake. “Kau pergi ke rumah sakit, sikapmu juga tak seperti biasanya. Beritahu aku, supaya ak
Elena menutup mulutnya dengan tangan. Matanya menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 14.12. Hanya dua jam sejak ia sampai di rumah. Elena segera menutup panggilannya dan berlari keluar dari kamar. Ia mengetuk pintu Drake cukup keras. Tak ada respon, Elena lebih keras mengetuknya berkali – kali. “Drake, buka pintunya! Ayolah!” Drake membuka pintu itu tiba – tiba, hingga membuat Elena terhuyung ke arahnya karena tangannya akan mengetuk pintu lagi. “Ada apa?” Drake membantu Elena berdiri tegak. Wanita itu tampak masih berantakan dengan rambutnya yang sedikit acak – acakan. “Ini gawat, Drake. Semuanya sudah bocor. Mereka tahu kalau kita ....” Tatapan Elena teralihkan ke arah tablet yang tergeletak di meja tak jauh dari pintu. Terlihat berita tentang mereka berdua. Drake pasti baru saja membacanya. “Kalau kita tinggal bersama?” Drake dengan santai merapikan rambut Elena dengan tangannya. Wanita itu menepis tangan Drake setelah beberapa saat terpaku menatap tablet dari ke
Elena menatap ke arah sumber suara. Tertegun sejenak saat menyadari Drake sudah berdiri menghadapnya dan Alexa. Ekspresi pria itu tak terbaca olehnya. Alexa segera berjalan mendekati Drake. Senyumnya merekah semanis mungkin. “Hai, Sayang. Apa kabar?” Alexa menggandeng lengan Drake dan bergelayut manja. Tak menyadari jika pria yang ia panggil sayang itu mengacuhkannya. Drake hanya menatap Elena yang sibuk membersihkan debu di lengan dressnya. “Kenapa kau ada di sini?” Nyaris bersamaan, Elena dan Drake mengucap pertanyaan yang sama. Keduanya lalu terdiam, hingga suara Alexa menginterupsi. “Drake, kau pasti merindukanku.” “Oh, sungguh reuni para mantan yang menarik. Mantan istri dan mantan kekasihmu, Drake.” Elena mengulas senyum, nada sindirannya tak luput dari perhatian Drake. “Kenapa kau datang ke sini, Alexa? Tak ada alasan bagi kita untuk saling bertemu lagi.” “Jangan bilang kau sudah dipengaruhi oleh Elena.” “Aku tak punya waktu untuk mempengaruhi Drake. Dia bukan ana
Pagi itu, seperti yang Elena duga. Ia bangun sedikit lebih siang. Buru – buru Elena berlari ke kamar mandi seraya merutuki dirinya sendiri. Secepat mungkin, Elena bersiap berangkat. Sepertinya tak ada waktu untuk sarapan. Begitu menuruni tangga, ia teringat akan apa yang terjadi tadi malam. Elena menggeleng – gelengkan kepalanya berkali – kali. “Ada untungnya juga aku bangun kesiangan. Tak perlu berpapasan atau sarapan bersamanya.” Wanita berambut pirang sebahu itu mengulas senyum hingga sampai di lantai bawah. Ia hanya ingin minum segelas kopi sebelum berangkat. Masih ada waktu 5 menit lagi. Senyumnya sirna tatkala berbelok ke ruang makan. Ia melihat Drake sedang menikmati sarapannya dengan tenang. Padahal, ia yakin betul jika pria itu sudah berangkat. Elena langsung berbalik, berjalan menuju pintu utama. “Pagi, Elena.” Suara Drake yang mendadak sudah berjalan di sampingnya membuat jantungnya hampir jatuh. “Pagi.” Elena sengaja mempercepat langkah agar tak diikuti Drake.
Ia berjalan penuh antusiasme bersama Kate. Elena lalu memberi isyarat pada stafnya untuk membuka pintu. Dengan senyuman lebar, ia memasuki ballroom. Pandangannya beredar menyapu para tamu. Ia berkeliling bersama Kate, menyambut satu persatu tamu undangan. “Terima kasih telah menghadiri undangan kami.” “Justru kami yang berterima kasih, karena Anda mengundang kami dalam peluncuran produk baru.” Kate mundur ke belakang panggung. Setelah berbincang sejenak dengan staf beberapa saat, ia segera naik ke panggung. “Selamat malam hadirin sekalian. Pertama, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan Anda menghadiri acara grand launching produk parfum baru kami. Kedua, sesaat lagi akan ada sambutan dari CEO kebanggaan kami, Elena Cartwright. Kami harap Anda sekalian memberi perhatian karena nama produk baru kami akan kita ungkap saat itu. Acara selanjutnya adalah demo dan silakan Anda semua mencoba tester dari kami. Varian dari produk utama hari ini. Saya selaku pemandu acara hari ini mengh
“Aku hanya mampir. Boleh, kan?” Alexa menjawab dengan nada santai. Wanita itu memakai gaun mahal, yang Elena tahu dari desainer terkenal, Alexander McQueen. “Kau tidak bisa mampir sembarangan di event ini. Dari siapa kau mendapat undangan masuk?” Elena menghadap ke arah Alexa. Wanita itu hanya menatap Drake dan mengabaikan Elena sepenuhnya. “Kenapa kau kemari?” tanya Drake seraya menyesap champagnenya. “Tentu saja untuk menemuimu.” Elena melirik ke arah Kate yang juga terkejut. Hanya dengan isyarat mata, Kate segera pergi. “Untuk apa menemuiku lagi? Tak ada gunanya, Alexa.” Drake meletakkan gelas champagnenya. Lalu, menatap ke arah Elena yang diam di tempatnya. “Aku tahu kau pasti masih mencintaiku, Drake. Kau hanya dibutakan sesaat dan tertarik pada Elena. Tapi, akulah yang selalu ada di hatimu.” “Kau tahu dari mana? Apa kau semacam paranormal?” Dengan nada geli Elena turut berkomentar. Drake menahan tawanya. Usaha Alexa benar – benar memaksa. “Kau salah, Alexa. Elena, a
Elena pasrah mengetahui dirinya jatuh dari ketinggian 2 meter lebih. Semua terjadi begitu cepat. Novel yang baru saja berhasil ia raih justru terlepas dari tangannya. Bruukk. Elena mendarat juga akhirnya. “Usaha yang buruk, Elena. Tangganya sudah rapuh.” “Drake!” pekik Elena kaget. Pantas saja ia tak merasa sakit saat mendarat. Bukannya di lantai, ia justru mendarat di tangan Drake. Pria itu tak segera menurunkan Elena. Ia terus berjalan ke arah kursi di dekat pintu masuk, lalu menurunkan Elena di sana. “Sejak kapan kau ada di sini?” “Sejak tadi. Saat terbangun, aku melihatmu saat berkeliling.” “Jadi, kau tidur di sini sejak tadi?” “Ya, aku sedang membaca koran lalu tertidur di situ.” Drake menunjuk ke arah karpet. Pria itu tertidur di atas karpet begitu saja. Elena mengamati wajah Drake yang tak tampak lelah, mungkin karena sempat tertidur sebentar. Wajahnya terlihat lebih segar. “Bukuku.” Elena baru ingat jika novelnya tertinggal di tempatnya terjatuh tadi. Ia bangkit da
“Jaga mulutmu, Alfred.” Elena memberi peringatan seraya melihat sekitar. Hampir semua menatap mereka. Kate sudah selangkah lebih dekat di depan Alfred. “Pria yang bermulut seperti wanita,” olok Kate pada Alfred. Pria itu menatap tajam ke arah Kate. “Jangan ikut campur, Kate.” “Kenapa tidak? Aku tahu fakta yang terjadi. Lebih baik kau diam saja.” Mendadak Alfred menarik lengan Kate dengan kasar. Membuat Elena melangkah maju dan mencengkeram lengan Alfred balik. Tapi, Kate tampak santai saja. “Biarkan, Elena. Inilah Alfred yang sesungguhnya.” Kate tersenyum seraya menyampaikan kalimat dengan nada sindiran. Sikap kasar Alfred tak membuatnya terkejut. “Lepaskan tangan Kate!” hardik Elena dengan suara lirih. “Wanita kurang ajar ini ....” “Lepaskan atau kau masih mau semua orang menatapmu sekarang?” Kate berkata dengan lebih keras. Ia tahu betul, sejauh mana Alfred bertindak. Jika ingin, pria itu pasti akan membunuhnya di tempat tertutup. Setelah menatap tamu – tamu lain yang
Drake menatap layar datar di seberang meja kerjanya. Sore itu sidang putusan yang akan membacakan vonis untuk Alfred dan Paman Smith, serta Alexa akan dibacakan. Momen yang paling ditunggu oleh Drake dan Elena. Will duduk di sofa tamu, tak jauh dari meja Drake, juga turun memperhatikan jalannya sidang di layar kaca. Menit demi menit hingga jam berlalu. Alexa dan Paman Smith telah menyelesaikan sidang lebih dulu dibandingkan Alfred. Karena Alexa yang membuka semua pintu di kasus ini, layaknya whistle blower, ia divonis 5 tahun penjara atas tuduhan intimidasi, ancaman dan membantu Alfred dalam menjual nark*ba. Sedangkan Paman Smith dijatuhi hukuman seumur hidup atas percobaan pembunuhan. Sampai pada saat sebelum putusan dibacakan. Hakim memberikan kesempatan pada Alfred untuk bersuara. Dalam pembelaannya, Alfred menyangkal semua bukti dan tuduhan yang selama ini diajukan pihak lawan. Usai menyampaikan suaranya, hakim membacakan vonis. Dalam sidang putusan hari in
Usai melaksanakan tugas dari Drake hari itu, Carl bergegas memasuki mobilnya. Dalam perjalanan, ia menelepon Kate. “Halo, kau ke mana saja?” “Kate, aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa Steven dan Dean masih di sana?” “Tentu saja. Kami sedang bermain kartu.” “Apa kalian minum?” “Sedikit wine. Dean, jangan coba-coba curang ya.” Suara Kate terlihat memarahi Dean, rekan setim Carl yang bertugas menjaga keluarga Drake Graysen. Hari ini mereka bertugas menjaga Kate karena Carl sibuk di luar seharian. “Sial! Jangan minum dengan mereka.” “Carl, kau mengumpat padaku?” “Tidak, Kate. Aku mengumpat pada Steven dan Dean. Aku akan segera sampai.” Carl buru-buru menutup panggilannya, ia menambah kecepatan mobilnya. *** “Kami hanya bosan dan bermain kartu terlihat seru.” Kate memberi penjelasan seraya menuangkan jus apel ke sebuah gelas. Pria di depannya itu diam tak bergeming. Hanya menatapnya dengan tajam. “Ini, minumlah.” Carl dan Kate duduk di ruang makan. Pria itu meneguk seg
“Aku tak mengerti mengapa kau menanggapi pendekatan Alfred padahal kau tahu jelas motif di baliknya.”“Karena dia yakin bisa memanfaatkanku untuk menjatuhkan Elena, aku ingin melakukan hal yang sama dan membalikkan situasinya. Aku yakin bila dekat dengan Alfred, aku bisa membantu Elena dengan caraku.”“Apa Nyonya Elena saat itu tahu rencanamu?”“Elena tahu, tentu saja ia tak setuju. Katanya seolah menjadikanku umpan atau martir.”“Perkataannya benar.”“Carl, waktu itu aku hanya ingin membantu.”“Kau pasti bersikeras menjalankan rencanamu, kan? Meski Nyonya Elena tak setuju?”“Ya. Jadi, aku mencoba bersabar di dekat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana dan aku bisa tahu lebih awal rencana Alfred terhadap Elena. Sampai pria kasar itu .... Ya, akhirnya aku memilih pergi dan tak melanjutkan rencana konyol itu.”“Kenapa berhenti?”“Apa?”“Kate, kau mendadak memutuskan menghentikan rencanamu. Kalimatmu berhenti usai mengatakan ‘sampai pria kasar itu .... Apa yang dilakukannya
“Katakan padaku detailnya, Will. Apa yang terjadi?”“Nona Alexa mengaku mendapatkan intimidasi di lingkungan penjara.”“Dari siapa? Sipir?”“Tidak hanya dari sipir, sesama narapidana juga.” Drake mengerutkan keningnya, ia tak menduga kehidupan Alexa yang ingin mengutarakan kebenaran di depan pengadilan, harus dibayar sepahit itu. Kehidupan di penjara bukanlah hal yang mudah, bagai hukum rimba. Jika tidak dibantu, Alexa, yang merupakan satu-satunya kunci mengungkap keburukan Alfred dan ayahnya, bisa celaka. Tentu ini buruk untuknya dan Elena. “Tempatkan orang-orang kita untuk membantu Alexa bertahan. Bagaimana pun caranya, kita harus menjaganya tetap hidup, karena Alexa adalah saksi kunci.”“Ya, kami akan menempatkan orang-orang kita di antara sipir, narapidana dan ada seorang dokter yang cukup bisa dipercaya.”“Dokter? Siapa?”“Kakaknya Carl. Sudah empat tahun ini bekerja di penjara tempat Alexa ditahan.”“Oh, ya? Apa Carl yakin kalau kakaknya bisa dipercaya untuk tuga
Kate langsung menekan tombol panggil pada kontak dengan nama Carl. Tangannya gemetaran saat mengangkat ponsel ke telinganya.“Halo, Kate, aku sedang di depan rumahmu.”“Jadi, itu kau? Yang berdiri di depan pintuku sekarang?”“Iya, buka pintunya.”Kate langsung bernapas lega sebelum membuka pintunya. Begitu melihat wajah Carl di depannya, tubuhnya langsung lemas seketika. Ia bersandar di ambang pintu.“Hey, ada apa?”Carl menahan tubuh Kate dengan memegangi pundak wanita di depannya itu.“Aku melihat ada mobil mencurigakan di bawah. Dari tadi orangnya mondar mandir di depan gedung.”“Tak apa, aku di sini.”Keduanya segera memasuki flat Kate, lalu duduk di ruang tamu. Carl mengamati ekspresi Kate yang perlahan melembut, seraya melihat ke depan gedung melalui jendela. “Aku ingin keluar, membeli bahan makanan, lalu mengecek ke jendela. Mobil itu tak pergi sama sekali sejak tadi.”“Orang itu juga mondar mandir saat aku datang.”“Tadi kukira orang itu yang ada di depan pintu.
Terlahir menjadi seorang pewaris dari keluarga kaya menjadi impian hampir setiap orang. Tapi, itu tak lagi berlaku bagi Drake yang menginjak usia 7 tahun dan menyadari situasinya berbeda dengan harapan. Ia pernah melihat sorot mata penuh cinta dari kedua orang tuanya, hingga menyadari, perasaan itu lenyap sempurna dari sorot mata sang ibu. Usia di mama seharusnya Drake bisa membaca layaknya seperti anak-anak lain, membuat tekanan dari sang ayah semakin keras. Drake merasa ia berusaha sebaik mungkin untuk bisa membaca. Tapi, apa daya, matanya seolah melihat huruf-huruf itu lepas dari posisinya dan menari-nari tak beraturan. “Sampai kapan kau menjadi anak bodoh? Membaca saja kau tidak bisa bagaimana mau mewarisi perusahaan?” Dari situlah, Drake kecil mendapat beberapa cambukan sebagai hukuman. Malamnya, ia langsung demam. Mama Lily menangis pilu saat menemaninya semalaman. “Maaf, Ma. Maafkan putramu yang bodoh ini.” “Tidak, Drake. Ini bukan salahmu. Mama akan cari cara untuk mem
“Kita bicarakan hal lain saja.” “Drake, ada apa? Aku tahu ada yang salah, tapi, kau tak mau cerita padaku.” “Tidak. Itu tidak penting lagi, Elena.” “Penting bagiku.” “Penting bagiku untuk menjaga keadaanmu dan bayi kita tetap stabil.” “Tapi, aku tidak bisa pura-pura tak tahu sedangkan aku jelas merasa kau menyembunyikan sesuatu.” “Sudah kubilang itu tak penting. Semua sudah berlalu.” Elena membuang pandangannya ke samping. Sepertinya ini juga sia-sia saja. Seperti tadi saat bertanya ke Mama Lily. Wanita berambut pirang itu berdiri, lalu keluar dari kamar. Drake menghela napas kasar, mengikuti Elena. “Elena, kau mau ke mana? Ini sudah malam.” “Kau tidur saja.” “Aku tidak mungkin tidur kalau kau belum tidur.” Elena tak menanggapi, ia hanya berjalan terus menuju perpustakaan. Ia ingin menenangkan diri sejenak. Satu ruangan dengan Drake terasa membuatnya kecewa. “Elena, ayo kembali ke kamar.” “Aku masih mau di sini. Pergilah.” Elena baru saja melangkah masuk ke perpustakaan
Tatapan sendu Drake terlihat jelas. Istrinya itu kini tampak rapuh di matanya. Sesekali menghela napas panjang, mengingat setiap momen Elena membantunya mandi, berganti pakaian dan makan. Terkadang ia juga membantu mengetikkan pekerjaan kantornya saat bahunya mulai sakit. Ia ingin merutuki diri sendiri karena tak peka pada keadaan istrinya sendiri. Beberapa kali ia mengetahui Elena muntah di pagi hari. Ia kira hanya karena sakit maaf yang kadang kambuh.“Drake, aku tertidur ya?”Lamunan Drake seketika buyar saat melihat mata Elena terbuka. Istrinya berusaha bangun.“Tidur saja dulu, kau perlu istirahat.”Elena kembali berbaring. Ia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tiba-tiba ia ingat, tangannya langsung mencengkeram jari-jari Drake.“Bayinya bagaimana?”“Baik-baik saja. Tak ada masalah. Jangan khawatir.”“Syukurlah.”Elena memejamkan matanya sesaat. Ia menarik napas panjang dengan rasa lega. Drake beranjak dari duduknya, ia mencium kening istrinya cukup lama.
Wanita berambut pirang itu duduk dengan tatapan kosong. Seolah seperti patung, Elena tak bergerak sedikit pun. Hingga dua orang, pria dan wanita datang menghampiri. “Elena.” Kate langsung memeluk tubuh ramping yang kini rapuh itu. Elena membalas pelukan Kate seraya menangis tersedu. Di tangannya masih tersisa darah dari Drake. “Kate, maaf, bajumu kotor terkena darah di tanganku.” “Tak masalah. Jangan khawatir. Bagaimana kondisi Drake?” “Will bilang bahunya terkena tembakan. Drake menghalau peluru yang sepertinya sengaja dialihkan padaku.” “Pelakunya bagaimana?” tanya Carl dengan nada cemas. “Sudah diamankan oleh pihak berwajib. Will sedang bertemu dengan mereka.” Carl memutuskan tetap berjaga di situ. Ia telah meminta beberapa pengawal Drkae yang lain untuk mendekat ke ruang perawatan ini, menjaga dan mengantisipasi jika saja masih ada orang suruhan Alfred yang berniat mencelakai. “Kita bersihkan dulu tanganmu. Ayo, Elena.” Kate membantu Elena berdiri lalu berjalan menuju t