"Kenapa ya, Cicak itu diam terus di dinding bukan di lantai?" tanya Ervin.
"Ya, kalau diam dihatiku aku takut.""Kenapa takut?""Coba, pikir aja sendiri. Takut ketuker sama buaya.""Ea.. ea.. ea.." Aurora terus saja berkata seperti itu. Kebetulan, tak ada guru yang datang ke kelas. Padahal, sudah waktunya ulangan mata pelajaran Fisika. Situasi kelas benar-benar riuh. Beberapa diantarnya, ada yang sibuk ngemil, bikin video gerakan harlem shake, adu gosip artis K-Pop terbaru, dan ada juga yang masih sibuk PDKT dengan teman baiknya, seperti yang dilakukan Ervin pada Aurora. Namun, tak lama setelah itu tawa Ervin pudar. Ia disadarkan oleh selimut basahnya dan terbangun dari mimpi. Lagi-lagi, perasaan Ervin masih sama seperti dulu. Ingin rasanya mengungkapkan perasaan dan menuturkan janji 4 tahun yang lalu itu untuk melamar Aurora. Padahal, hari masih pagi. Memori ervin bergemuruh mengingat sosok Aurora yang cantik dengan rambut ikal, kulit putih bersih, dan senyum yang meneduhkan. Ia hampir menunggu 30 menit untuk bengong sebelum ke kamar mandi. Baru setelah 30 menit berlalu, ia bangun dari kasur dan bergegas untuk mandi. Lalu, mempersiapakan segalanya seorang diri di apartement sebelum pergi ke kantor. Coba kalau ia sudah menikah, pasti ada yang sudah duduk manis di meja makan. Tapi, Aurora bukan ya?"Hari ini sarapan pisang ajalah," gumamnya sambil menatap buah pisang yang tersedia di meja makan minimalis. Sambil duduk, ia menikmati pisang dan sesekali minum air putih hangat. Rasanya lega dan pikiran pun mulai enteng. Selain itu, ia juga menyalakan televisi agar situasi hangatnya semakin terasa. Sementara itu, Aurora yang tiba-tiba terus mengusik memori Ervin rupanya sedang sibuk membantu mertuanya masak di dapur. Terlihat dari sudut pintu kulkas, ia sedang memotong bawang merah hingga meneteskan air mata. Ibu mertuanya yang melihat ia meneteskan air mata, langsung datang menghampiri."Kalau mau iris bawang merah, jangan lelet kaya gitu. Bisa dipercepat gak?""Hmm.. maaf, bu. Aku gak kuat kalau iris bawang merah.""Ah, udah kaya orang berada aja gak bisa iris bawang merah. Sini, biar ibu aja!" Ibu mertuanya langsung mengambil pisau dan mengiris bawang merah yang masih tersisa. Karena tak enak, Aurora ganti tugas memotong daging ayam. Lalu, membersihkannya dengan air untuk selanjutnya diungkeb menggunakan bumbu kuning. Ditengah kesibukan itu, suaminya yang bernama Antony datang sambil menggendong seorang anak laki-laki. Ya, anak laki-laki itu adalah buah hati Aurora dan Antony. Ia dengan lucunya turun dari pangkuan Antony dan berlari ke pelukan kaki Aurora. Anak berusia 3 tahun itu merengek minta ibunya untuk pergi keluar."Mamaaah, keluar yuk! Aku pengen main baleeeng mamah aja!" daster yang ia kenakan hampir saja robek karena ulah anaknya."Aduh, cucuku sayang. Kalau sama nenek gimana?" saut ibu mertua yang menyela tangisannya. Meski tanpa jawaban dari sikecil, ibu mertua yang bernama Firah ini langsung menggendongnya. Entah, akan dibawa main kemana anak laki-laki itu. Biasanya, ia pasti diajak pergi jajan ke warung. Kini, tersisa hanya Aurora dan Antony di dapur. Meski sang suami ada di dapur, ia hanya duduk manis sambil menikmati kopi hitam dan rokok. Aurora sendiri yang mempersiapkan jamuan sarapan untuk keluarga. Saat Aurora mengangkat ayam goreng yang sudah matang dari wajan, ia bertanya tentang salah satu hal yang tak asing lagi. Yaitu, meminta kejelasan kapan pindah rumah dan kembali bekerja seperti dulu. Namun, seperti apa jawabannya?"Ah, kenapa sih nanya itu mulu? Sudah di sini aja bareng ibu. Keuangan juga sudah terjamin. Ngapain kerja, bengong aja udah capek!""Eh, mas gak salah ngomong kaya gitu? Bisnis yang dimiliki ibu itu bersifat sementara. Kalau suatu saat bangkrut gimana? Emang mas bisa bantu apa?""Udahlah, bosen!!" Harus berapa kali Aurora tegaskan, ia hanya minta suaminya itu bekerja. Entah, pekerjaan seperti apa pun itu yang penting halal dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Karena keributan yang terlalu sering, pesona cantik Aurora pun perlahan pudar. Tubuh semampainya berubah jadi lebar ke samping karena stress. Tak sampai di sana, Antony pergi meninggalkan Aurora seorang diri. Biasanya, ia pergi memancing ikan di sungai yang tak jauh dari rumah. Aurora hanya bisa menghela nafas dan sesekali mengusap dadanya. Dan hari begitu cepat terlewati. Ervin yang tengah sibuk di kantor mendapatkan kejutan. Matanya berbinar saat mengecek email yang diterima, ia ternyata naik jabatan menjadi social media manager."Wih, pasti naik jabatan nih. Selamat, ya!" ucap rekan kerjanya yang duduk di samping."Iya, alhamdulilaah broh. Lo juga kan?" Karena kantor pusatnya ada di Amerika, sub kantor yang di Jakarta hanya mengumumkan beberapa kandidat yang dapat promo jabatan melalui email. Selanjutnya, akan diadakan secara terbuka sambil mengadakan evaluasi kinerja minggu depan. Pengumuman penting ini benar-benar membuat Ervin terkejut. Setelah itu, keesokan harinya Ervin menyempatkan diri pergi ziarah ke makan kedua orang tuanya. Ia ingin mencurahkan pencapaiannya sambil mengirimkan doa terbaik untuk mereka. Karena hari libur, ternyata yang datang untuk berziarah ke makan cukup banyak. Sambil memperhatikan setiap nisan yang berjajar, akhirnya ia menemukan batu bertuliskan nama mereka. Terlihat, sudah mulai banyak rumput liar yang tumbuh. Ia sesekali membersihkannya dengan tangan. Lalu, mengirimkan doa-doa suci untuk mereka."Maah.. paah.. alhamdulillah, aku naik jabatan. Pasti mamah sama papah bangga bukan? Anak laki-laki yang dulunya patah semangat karena gagal tes masuk perguruan tinggi negeri, ternyata bisa merasakan angin kebebasan seperti ini." Setelah segala bualan cita, mimpi dan angan tersampaikan, Ervin memutuskan untuk pergi ke salah satu kafe di daerah Jakarta Selatan. Ia sudah menaruh janji bersama teman-temannya untuk menikmati akhir pekan di sana sambil berbincang tugas kantor yang mungkin belum terlaksana. Ia kira, dirinya terlalu cepat pergi kesana. Tapi ternyata, teman-temannya itu sudah menunggu Ervin cukup lama. Sambil mengendarai mobil klasik favoritnya, ia berkirim pesan kepada mereka untuk sabar menunggu. Selain itu, ia juga meminta mereka untuk memesankan kopi dan camilan favorit seperti biasanya. Sambil menaruh canda, teman-temannya itu menggoda Ervin untuk secapatnya ke sini. Mereka takut terkena fitnah racun kopi yang ditaruh oleh sahabat seperti yang sudah tersiar di media sosial. Tapi, basa-basi itu tak mempan bagi Ervin. Ia masih bisa menaruh tawanya di saku celana. Humor itu kurang lucu katanya."Ah, lagu lama. Udah, tolong pesenin! Nanti gue bayar, kok." Tanpa terasa, akhirnya ia sampai di kafe yang tertuju. Ervin pun ikut duduk bersama mereka sambil melanjutkan candaan kopi beracun. Katanya, kopi ini mengandung racun pertanyaan mematikan. Ia akan terus menagih hutang tanpa ampun. Wah, ternyata itu adalah kode bahwa teman-temannya tahu Ervin dapat promo dan naik gaji. Otomatis, beberapa diantara mereka ada yang menagih hutang dan traktir makanan. Lalu, tiba-tiba satu daiantara mereka melontarkan beberapa pertanyaan yang tak biasa. Di saat umurnya yang dibilang masih muda, rekan kerja yang duduk di sampingnya itu menggoda Ervin dengan pertanyaan layakanya bapak-bapak. Ya, mungkin karena Ervin adalah salah satu karyawan yang paling muda diantara mereka."Wah, gaji naik, jabatan naik, calonmu mana? Vin""Ada, dong!" Ia dengan penuh percaya diri melontarkan jawaban ada. Memorinya kembali mengingat Aurora. Lalu, saat teman-temannya sibuk di depan layar leptop, Ervin kembali menginstal aplikasi f******k. Ia masih sangat ingat dengan janji 4 tahun yang lalu, melamar Aurora pada saat ia sudah di puncak karir. Sengaja hidup tanpa sosial media, berharap ia lebih fokus kerja dibanding memikirkan hal lain. Namun, harapan itu sirna ketika ia membaca pesan balasan dari Aurora. Ada selebaran undangan pernikahan dari Aurora dan Antony yang ternyata terkirim 3 tahun yang lalu."Aduh, badanku jadi lemes gini. Kenapa kamu bisa ingkar janji, ra?"Bersambung.."Happy wedding, Aurora. Semoga menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah," Ervin membalas pesan Aurora dengan tangan gemetar sambil sesekali menghela nafas panjang. Ia masih tak menyangka, perempuan lugu yang dikenal cerdas, cantik, dan berwibawa itu bisa ingkar janji. Ternyata, tak ada seorang pun yang bisa kuat menahan komitmen kecuali ibunya. Mata Ervin terlihat sayup dan termenung sendiri tanpa ekspresi. Sebenarnya, Ervin sempat berpikir untuk mendua di perantauan. Tapi niatnya ia urungkan karena hanya membuang waktu dan uang. Sebagai gantinya, ia bisa duduk di kursi bersama jajaran mereka yang lulusan sarjana. Ah, memorinya terus saja berlalu-lalang kesana kemari. Teman-temannya yang heran dengan ekspresi Ervin terus diam tanpa ocehan, langsung menepuk pundaknya saat itu juga. Beberapa tepukan masih ia hiraukan. Namun, ketika Tio yang merupakan salah satu teman baiknya, membisikkan kata sayang di telinga kanannya dengan nada usil dan menggelikan, ia baru bisa sada
"Kata siapa? Gak gitu juga maksudnya, mas. Ini hanya telpon biasa""Biasa apanya? Biasa berduaan? Biar bisa baikan? Hah!""Sini, biar aku jelasin mas.""Jelasin, apa? Kamu pikir aku gak cemburu?!" Semakin lama, nada bicara Antony semakin tinggi. Dengan suaranya itu, Nakula pun terbangun dari tidurnya. Gema tangis balita itu bercampur dengan pertengkaran kedua pasangan suami istri ini. Bu Firah yang mendengar tangis dan pertengkaran, langsung naik pitam menghampiri mereka. Tadinya, ia ingin melerai mereka atau sekadar menggendong balita yang tak tahu apa-apa. Entah, ada bisikan apa di telinga beliau. Tamparan keras dari tangan kanannya terdampar di wajah Aurora. Ia tak bisa menolak dan diam sejenak. Lalu, menatap sang mertua dengan penuh rasa takut. Di luar dugaan, pertengkaran kecil ini melibatkan sang ibu mertua yang tak tahu benang merahnya. "Jangan sekali-kali membentak suamimu, Aurora. Ia adalah anakku satu-satunya!""Siapa juga yang membentak? Anak ibu sendiri yang
"Aduh, aku gak bisa tidur. Kepalaku pusing, pikiran kemana-mana. Hmm.. tolong aku, ibu." gumam Aurora sambil rebahan dan memegang ponsel. Badannya terus saja berpindah ke arah kiri dan ke nanan. Lalu, sesekali ia peluk sikecil berharap dapat kehangatan. Sayang, kehangatan itu hanya sesaat. Dadanya justru dibuat sesak. Mungkin, karena efek menaiknya berat badan Aurora. Ia jadi mudah sesak saat berpelukan dengan posisi tidur. Namun, ada ide cemerlang yang tiba-tiba muncul di benaknya. Ia memutuskan tuntuk tidur di bawah lantai beralaskan selimut. Di sana, ia mulai dapat ketenangan. Akhirnya, sekarang ia bisa tertidur dengan pulas. "Udah ah, tidur di sini aja. Lebih leluasa untuk bernafas." gumam Aurora yang tidur dengan arah menyamping ke kanan. Malam berlalu begitu cepat. Jam dinding yang terpampang di kamar sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Jika terhitung, Aurora baru tidur 2 jam sejak pukul 3 dini hari terlelap. Antony yang keheheranan melihat Aurora tiba-tiba t
"Kenapa gue gak dibeliin?" tanya Naka."Sorry, gue gak tahu lo suka pesan apa.""Hmm..""Thank you ya, Ra. Biar gue aja yang pesan dan bayar. Lo suka soto mi dan lemont tea kan?""Yap" Tanpa diarahkan, Neira dan Naka duduk di kursi terlebih dahulu. Sedangkan Ervin, memesankan makanan untuk Naka. Lalu, ia duduk kembali ikuti meja mereka berdua. Di sini, posisi duduk Naka dan Neira berdampingan. Sedangkan Ervin, bersebrangan dengan Naka. Mereka kembali mengobral obrolan tentang rencana pergi ke Amerika bulan depan. Kedengarannya bagi Neira dan Naka mustahil untu pergi kesana. Mereka menuturkan bahwa tabungannya gak bakalan cukup dengn waktu yang terlalu singkat. Akhirnya, mereka berdua hanya bisa ucapkan selamat untuk Ervin."Iya, bener juga ra. Kayanya tabungan gue juga gak bakalan cukup buat pergi kesana.""Hmm.. ikut-ikutan. Kemarin yang ngebet siapa, sih?""Ya, kali aja bisa bobol tabungan nikah.""Nikah sama siapa, broh? Gak bilang-bilang.""Ada, deh.. rahasia." Tak
"Sa-saya tidak tinggal sendiri, pak. Kebetulan saya tinggal di rumah saudara saya.""Masa sih? Minggu lalu saya lihat postingan kamu dan orang kantor makan di apartemen kamu kan?" tanya bos itu semakin mendekat."Beneran, pak" Neira mengelak. Selang setelah penolakan itu, ponsel milik sang bos berdering. Entah, ada panggilan dari siapa. Jelasnya, ia memperbolehkan Neira pergi dari ruangan itu. Tentu saja, Neira merasa lega dan langsung membalikkann badan. Ia bergegas pergi dari ruangan kedap suara dengan lampu remang-remangnya. Di luar, ternyata masih ada Ervin yang masih menunggu. Ketika Neira keluar, Ervin hanya sibuk memainkan ponsel. Lalu, disapa dengan tepukan pundak oleh Neira. Hampir saja ponselnya jatuh, beruntung bisa diambil kembali oleh Ervin sendiri."Aduh, bikin kaget aja! Lagi asyik main game juga" ujar Ervin sambil memeluk ponselnya. "Iya, iya maaf. Lagian dipanggil gak nengok terus.""Hmm.. ngapain lama baget di dalam?""Panjang ceritanya, Vin. Geli deh.." j
"Aduh, kamu gak sekali bilang kaya gitu. Ibu bosen dengernnya" ujar Bu Firah sambil menatap tajam Aurora. "Ya, gimana. Bukannya tugas laki-laki itu mencari nafkah untuk keluarganya? Bu""Kamu sekarang mulai berani sama saya, ya. Begini, cantik. Hal itu hanya berlaku untuk pria serba kekurangan dan tidak tinggal bersama orang tuanya.""Rumus dari mana itu, bu? Kita sudah modern""Ya, tahu sendiri. Masa iya ibu tinggal sendiri?" Ditengah percakapan sengit itu, ponsel Bu Firah berbunyi. Ia menatap ponsel itu dan panggilan itu datang dari Antony. Sambil menyerahkan Nakula kepada Aurora, ia membalikkan badan dengan tatapan sinis. Lalu, bicara empat mata dengan anaknya, Antony. Aurora yang saat itu duduk menemani Nakula main hanya bisa diam tanpa sepatah kata. Sambil menahan riuh kepala yang mulai bosan dengan segala rutinitas tanpa perubahan. Terdengar jelas, Antony rupanya menanyakan keberadadan Aurora kepada sang ibu mertua. Aneh, kenapa tidak menelpon langsung kepada Aur
"Gini, katanya perusahaan ini akan pindah tangan ke bos yang baru. Entah siapa orang itu." ujar Neira dengan mata terbuka lebar, seolah ini adalah gosip yang berisi data sekaligus fakta."Wah, bagus dong?! Kamu selamat dari jerat incaran istri kedua.""Eh, bukan gitu dong. Nasib gue gimana? Bulan depan mau ada acara ke kantor yang ada di New York. Masa iya sama bos baru? Takutnya nanti bakalan ada peraturan baru atau bahkan diganti oleh orang baru juga" tanya Ervin yang keheranan. "Tenang, Vin. Gak bakalan ngefek, kok." saut Nugros. Mereka berempat masih saja duduk bercengkrama kesana-kemari. Tanpa mempedulikan beberapa pekerjaan yang mungkin belum selesai. Ditengah riang canda campur gosip itu, tatapan Naka hanya terfokus pada senyum manis Neira. Hatinya berkecamuk ingin nyatakan cinta, sayangnya ini bukan waktu yang tepat. Sebaliknya, Neira hanya fokus bicara sambil sesekali nyender di pundak Ervin. Dan sisanya, adalah Tio dan Nugros yang tertawa lepas. Mereka mungkin tahu, ad
"Aurora, sini dulu duduk bareng kita. Ibu mau bicara penting" ujar Bu Firah."Oh, iya bu sebentar." Aurora menyimpan beberapa kantong kresek berisi makanan di meja ruang tamu. Sementara itu, Nakula dibawa pergi oleh Antony. Tanpa minta izin atau bicara sepatah kata, Antony mengambil keresek itu untuk di bawa ke dapur. Terlihat dari balik pintu menuju dapur, Antony rupanya membuka kresek itu dan mengambil salah satu jamuan makan malam untuk Nakula. Lalu, ia menyuapinya makan dengan lahap. Sambil sesekali berbincang kesana-kemari tentang apa yang ditemui Nakula bersama ibunya tadi di jalan. Terlihat hangat, tapi tak sehangat obrolan Bu Firah dengan menantunya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, beliau sudah menjamu menantunya dengan wejangan menyakitkan bagi Aurora. Mungkin, hal tersebut bagi orang tua pada umumnya sudah biasa karena terlalu sayang pada anak laki-lakinya."Kamu tadi sudah dengar obrolan ibu dan Anotny kan?""Iya, bu sekilas aku sudah menangkap.""Bagus, tapi a
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh