"Sa-saya tidak tinggal sendiri, pak. Kebetulan saya tinggal di rumah saudara saya."
"Masa sih? Minggu lalu saya lihat postingan kamu dan orang kantor makan di apartemen kamu kan?" tanya bos itu semakin mendekat."Beneran, pak" Neira mengelak. Selang setelah penolakan itu, ponsel milik sang bos berdering. Entah, ada panggilan dari siapa. Jelasnya, ia memperbolehkan Neira pergi dari ruangan itu. Tentu saja, Neira merasa lega dan langsung membalikkann badan. Ia bergegas pergi dari ruangan kedap suara dengan lampu remang-remangnya. Di luar, ternyata masih ada Ervin yang masih menunggu. Ketika Neira keluar, Ervin hanya sibuk memainkan ponsel. Lalu, disapa dengan tepukan pundak oleh Neira. Hampir saja ponselnya jatuh, beruntung bisa diambil kembali oleh Ervin sendiri."Aduh, bikin kaget aja! Lagi asyik main game juga" ujar Ervin sambil memeluk ponselnya."Iya, iya maaf. Lagian dipanggil gak nengok terus.""Hmm.. ngapain lama baget di dalam?""Panjang ceritanya, Vin. Geli deh.." jawab Neira sambil berjalan menuju meja kerjanya. Kini, mereka kembali ke rutinitas seperti biasanya. Menatap layar komputer dengan tarian jari-jari yang lincah. Namun, dengan riuh memori yang berkecamuk. Termasuk, memori Neira yang tak kuat dengan kondisi kantor saat ini. Mulutnya tak kuat ingin julid bersama rekan kerja, termasuk Ervin dan geng. Naka yang dari tadi sesekali menoleh ke arah Neira pun keheranan. Ia melihat Neira dari tadi hanya ngetik tulisan tak jelas. Karena heran, Naka mendekat dan menepuk pundak Neira. Sontak ia juga kaget dan langsung mengucapkan maaf tanpa kejelasan. Selain itu, mukanya memerah dengan ikat rambut yang jatuh. Rambutnya kini kembali terurai."Ma-maaf bos!""Hei, ini gue Naka. Buka matanya, ra.""Ngagetin aja, orang lagi sibuk juga!""Sibuk apaan? Dari tadi nulis gak jelas dan gak selesai terus. Hahaha""Apaan, sok tahu banget.""Itu lagi bikin laporan apa? Laporan bahasa kalbu ya? Sini, cerita aja.""Hmm.. gak dulu." Tadinya, Naka mendekat dan ingin memancing Neira bicara. Sayang, bos mereka datang dan meminta izin kepada yang lain untuk pulang lebih awal. Sebelum meninggalkan area ruangan, ia menaruh kartu nama di meja Neira. Ervin yang melihatnya hanya bisa menatap Neira dan kembali menoleh ke layar komputer. Ia kira tadinya bakalan menaruh kartu nama itu di mejanya. Ternyata, di meja Neira.Neira yang tak sadar dengan kartu itu hanya bisa tertunduk mengiyakan izin bos. Lalu, percakapan pun dimulai. Tepat saat bos itu pergi meninggalkan mereka."Ervin.. vin..""Hmm..""Bisa noleh sebentar gak?""Gak ah, lagi sibuk. Mau kelarin dulu laporan.""Kenapa? Sama gue aja kalau mau ngobrol.", saut Naka yang ada di sampingnya. Apa boleh buat, curahan hatinya itu ia lontarkan kepada sahabatnya itu. Segala ketakutan menghantui dirinya. Ingin rasanya pindah dari kantor ini. Neira tak ingin jadi korban selanjutnya, ditinggalkan oleh bos setelah merasakan segala surgawi dunia. Cinta itu tidak bisa dibeli katanya, kecuali dengan catatan setia pada satu wanita. Mungkin, seperti itulah ucapan Neira. Namun, ditengah perbincangan Neira dan Naka, Ervin mulai bergabung. Ia berusaha menjadi penengah diantara keduanya. Tapi, seperti apa ya?"Ouh, itu. Tenang aja, ra. Gak usah diladenin. Kamu fokus sama kerjaan aja. Kalau sudah di luar batas, baru gue maju""Gak bisa kaya gitu, vin. Ini serius. Bukan dia doang yang pernah diginiin. Beberapa pegawai perempuan di sini resign karena apa? Emang gak cukup bukti?""Ekhem.. broh, boleh gabung?" datanglah Nugros sambil membawa segelas kopi hitam di tangan."Gue juga dong." begitupun dengan Tio."Mulai, dah mulaai.." Naka mengajak mereka berdua untuk berdiskusi tentang hal yang dialami Neira. Akhirnya, mereka duduk dan berkumpul membentuk lingkaran. Beruntung, tugas sudah mereka selesaikan. Meskipun dengan sisa sedikit laporan yang masih berputar di kepala mereka. Sementara itu juga, saat malam yang dingin dan gelap gulita, Aurora kembali membuka matanya. Ia tak bisa tidur bukan karena stress. Tapi, karena suasana bahagia berkat diajak main oleh suami bersama anak semata wayangnya. Ia menatap Antony yang terlelap tidur dengan ekspresi lucu karena mukanya ditindih oleh kaki Nakula. Aurora hanya membiarkan pemandangan itu. Lalu, mengecup kening dengan jutaan doa dihatinya."Terima kasih untuk segala kasih dan cintamu, mas. Caramu mencintaiku memang beda dan setianya tak bisa terukur. Semoga kita selamanya seperti ini sampai tua dan sesurga." gumam Aurora. Kemudian, ia matikan lampu tidur dan ikut terlelap bersama mereka. Kini, perlahan Aurora terlelap dengan hati yang lapang dan penuh kasih. Namun, manusia memang kerap berubah. Keesokan harinya, ada saja kejutan tak terduga. Rumah megah dengan segala hal yang ada di dalamnya, berbanding terbalik dengan hujatan caci yang diterima oleh Aurora. Siapa lagi kalau bukan dari sang ibu mertua, Bu Firah."Kemarin habis jalan-jalan kemana, ra?""Oh, biasa bu nonton sama makan ramen." jawab Aurora sambil menyapu lantai."Hmm.. padahal ibu lagi senggang, kenapa Tony gak ngajak ibu?""Gak tahu saya juga, bu. Mas Antony juga ngajaknya dadakan.""Oalah.." Bu Firah langsung pergi ke luar dapur dan pergi entah kemana. Tak berhenti sampai di sana, percakapan itu terdengar oleh Antony. Ia baru saja masuk ke dapur dan mungkin bertemu dengan sang ibu terlebih dahulu. Tanpa basa-basi, ia langsung duduk dan mengambil beberapa camilan untuk sarapan. Tak sendiiri, ia ditemani Nakula dan menyuapinya dengan sangat lahap. Pada suapan pertamanya, Antony membalikkan badan dan bicara dengan Aurora sambil duduk."Kamu ngapain bilang kalau kemarin kita jalan-jalan?""Soalnya, ibu yang nanya. Masa aku diem aja mas?""Ya, harusnya diem aja gak usah dijawab. Aku jadi gak enak sama ibu.""Hmm.. wajarlah mas, kalau ibu nanya kaya gitu ya jawab. Namanya juga manusia, obrolan biasa.""Oborlan biasa gimana? Kamu pamer foto di sosmed tanpa ibu? Ibu pasti cemburulah..""Terus, aku harus gimana?""Ya, diem aja.""Ah, ribet banget gitu doang dipermasalin.", ujar Aurora dengan kesal dan menggendong Nakula untuk pergi ke luar. Tinggal Antony seorang diri di dapur. Aurora dan anaknya pergi ke luar untuk mengajaknya main di taman komplek. Saat mereka berdua jalan ke sana, ternyata sudah ada Bu Firah yang duduk seorang diri di bangku taman. Tak enak dengan situasi itu, Aurora dan Nakula datang menghampiri. Niat besarnya, ingin mengajak sang ibu mertua ngobrol agar tak kesepian. Entah, ada apa dengan Bu Firah saat itu."Bu, ini Nakula dari tadi nyariin.""Oh, iya." ia langsung merangkul Nakula untuk duduk di bahunya."Bu, sebelumnya aku minta maaf kalau ibu cemburu. Kemarin aku, mas Antony, sama Nakula gak sempet ngajak ibu.""Iya, ibu tahu gapapa.""Bu.. kalau aku mau minta saran boleh? Pengen banget melihat Mas Antony kerja biar ada kegiatan. Setiap hari ada saja masalah kecil yang kami ributkan.""Hmm.. udahlah, Auorora. Dia itu sudah punya segalanya, ngapain kerja? Buang-buang waktu, uang udah ada.""Tapi, bu. Kerja itu bukan hanya untuk mengejar materi. Bisa jiga dipakai untuk mencari relasi.""Relasi? Apa itu? Emang kamu mau suamimu selingkuh?""Habisnya a-aku bosen bertengkar terus sama Mas Antony.""Ya ampun, Aurora.. bertengkar itu wajar, jangan sok-soan nyuruh suami kerja. Kamu sudah bersyukur dinikahi pria kaya seperti Antony""Yaudah, saya aja yang kerja gimana? Bu"Bersambung.."Aduh, kamu gak sekali bilang kaya gitu. Ibu bosen dengernnya" ujar Bu Firah sambil menatap tajam Aurora. "Ya, gimana. Bukannya tugas laki-laki itu mencari nafkah untuk keluarganya? Bu""Kamu sekarang mulai berani sama saya, ya. Begini, cantik. Hal itu hanya berlaku untuk pria serba kekurangan dan tidak tinggal bersama orang tuanya.""Rumus dari mana itu, bu? Kita sudah modern""Ya, tahu sendiri. Masa iya ibu tinggal sendiri?" Ditengah percakapan sengit itu, ponsel Bu Firah berbunyi. Ia menatap ponsel itu dan panggilan itu datang dari Antony. Sambil menyerahkan Nakula kepada Aurora, ia membalikkan badan dengan tatapan sinis. Lalu, bicara empat mata dengan anaknya, Antony. Aurora yang saat itu duduk menemani Nakula main hanya bisa diam tanpa sepatah kata. Sambil menahan riuh kepala yang mulai bosan dengan segala rutinitas tanpa perubahan. Terdengar jelas, Antony rupanya menanyakan keberadadan Aurora kepada sang ibu mertua. Aneh, kenapa tidak menelpon langsung kepada Aur
"Gini, katanya perusahaan ini akan pindah tangan ke bos yang baru. Entah siapa orang itu." ujar Neira dengan mata terbuka lebar, seolah ini adalah gosip yang berisi data sekaligus fakta."Wah, bagus dong?! Kamu selamat dari jerat incaran istri kedua.""Eh, bukan gitu dong. Nasib gue gimana? Bulan depan mau ada acara ke kantor yang ada di New York. Masa iya sama bos baru? Takutnya nanti bakalan ada peraturan baru atau bahkan diganti oleh orang baru juga" tanya Ervin yang keheranan. "Tenang, Vin. Gak bakalan ngefek, kok." saut Nugros. Mereka berempat masih saja duduk bercengkrama kesana-kemari. Tanpa mempedulikan beberapa pekerjaan yang mungkin belum selesai. Ditengah riang canda campur gosip itu, tatapan Naka hanya terfokus pada senyum manis Neira. Hatinya berkecamuk ingin nyatakan cinta, sayangnya ini bukan waktu yang tepat. Sebaliknya, Neira hanya fokus bicara sambil sesekali nyender di pundak Ervin. Dan sisanya, adalah Tio dan Nugros yang tertawa lepas. Mereka mungkin tahu, ad
"Aurora, sini dulu duduk bareng kita. Ibu mau bicara penting" ujar Bu Firah."Oh, iya bu sebentar." Aurora menyimpan beberapa kantong kresek berisi makanan di meja ruang tamu. Sementara itu, Nakula dibawa pergi oleh Antony. Tanpa minta izin atau bicara sepatah kata, Antony mengambil keresek itu untuk di bawa ke dapur. Terlihat dari balik pintu menuju dapur, Antony rupanya membuka kresek itu dan mengambil salah satu jamuan makan malam untuk Nakula. Lalu, ia menyuapinya makan dengan lahap. Sambil sesekali berbincang kesana-kemari tentang apa yang ditemui Nakula bersama ibunya tadi di jalan. Terlihat hangat, tapi tak sehangat obrolan Bu Firah dengan menantunya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, beliau sudah menjamu menantunya dengan wejangan menyakitkan bagi Aurora. Mungkin, hal tersebut bagi orang tua pada umumnya sudah biasa karena terlalu sayang pada anak laki-lakinya."Kamu tadi sudah dengar obrolan ibu dan Anotny kan?""Iya, bu sekilas aku sudah menangkap.""Bagus, tapi a
"Hmm.. okedeh, pak!"Tanpa berpikir panjang, Neira langsung menandatangani selebaran yang diberikan oleh Pak Adam. Padahal, dari tadi ia hanya diam dan bengong. Tapi, setelah mendengar kata pernikahan dengan Ervin, semangatnya justru bergejolak. Sayang, perasaannya itu mungkin bertepuk sebelah tangan. Ervin beberapa kali mengajukan sanggahan untuk menggunakan cara lain. Atau bahkan, memintanya untuk memberi waktu untuk berfikir panjang. Apalagi, tentang pernikahan kontrak yang diikat tanpa cinta. Saat Neira selesai menandatangani surat itu, Ervin menahanan tangannya. Lalu, disuruh untuk menjaga berkas itu dan jangan dulu diberikan kepada Pak Adam. Lalu, Neira hanya bisa diam dan tertunduk lesu."Bisa gak kasih saya dulu waktu, pak?" tanya Ervin dengan tatapan sayu penuh harap."Gak bisa, vin. Ini satu-satunya jalan terbaik. Emang kamu punya cara apa supaya perusahaan tetap dalam genggaman saya?""Hmm.. sebentar, pak!""Udah mepet, buat berpikir ulang. Pasti kita bakalan kalah.
"Hmm.." Aurora hanya bisa diam dan menunduk."Kamu tahu kan? Perusahaan itu sebenarnya milik keluarga dan pernah ibu beli. Tapi, dibiarkan begitu saja karena kesalah pahaman. Wajar dong ibu rebut kembali dan aku naik jabatan langsung dengan gampang?""Iya, mas""Kamu juga pasti senang bukan punya suami kerja bukan pengangguran lagi?""Iya, mas.""Nanti kamu akan kuajak jalan-jalan keliling luar negeri. Bila perlu, kamu kuliah lagi gimana?""Iya, mas.""Kamu mau aku suapin pisang gorengnya gak?""Iya, mas." Apapun pertanyaan yang diadjukan oleh Antony, selalu dibalas dengan kata iya mas. Hal tersebut membuat dirinya kesal dan mungkin merasa bersalah. Beruntung, Aurora tidak menolak suapan Antony. Ia hanya merasa tak enak dengan ejekan sang suami yang mengatakan bahwa dirinya hanya lulusan SMK. Ya, Aurora belum pernah sempat kuliah atau bahkan bekerja. Melainkan, ia langsung menikah dengan Antony. Bayangan kata-kata itu baginya menusuk hati. Apalagi, segala ucapan atau pendap
"Lagi apa tuh? Berduaan aja?" tanya Nugros yang baru saja datang ke kantor. Lalu, duduk dan mengecek beberapa berkas-berkas yang mungkin akan ia kerjakan. Bukan hanya Nugros, Tio dan Naka pun datang mengikuti Nugros. Sejak teman-teman berserta rekan kerja lainnya datang, Ervin dan Neira lebih memilih diam tanpa kata. Seolah-olah tak peduli dengan mereka. Kemudian, melanjutkan rutinitas kerja lebih awal. Naka yang dari tadi menatap Neira dari jauh hanya bisa mengelus dada. Rasa cemburunya masih tersisa. Sayang, rasa cemburu itu hanyalah semu yang sia-sia untuk ia ungkapkan."Nei, kalau lo bahagia dengan Ervin gue ikut bahagia. Tapi, jika suatu saat dibuat kecewa, gue siap pasang badan buat lo. Tolong, dengar isi hati gue Nei." gumamnya. Dari pagi hingga teriknya panas sinari bangunan tempat mereka kerja, nampaknya terlihat biasa saja. Tak ada gurauan, gosip, atau pun berita yang ada. Namun, pemandangan biasa itu tak biasa bagi Ervin dan Neira. Mereka berdua jarang berbicara
"Iya, ada apa nelpon mulu sih?!" tanya Antony dengan nada tinggi dan kesal. Setelah beberapa kali dipanggil, ini adalah panggilan ke-5 Aurora baru ia bisa angkat. Antony mengungkap kekesalannya melalui sambungan telepon itu. Ia kebetulan sedang beres-beres dan persiapan untuk pulang. Suasa hatinya justru beruba h saat Aurora beberapa kali menghubunginya. Hingga akhirnya pancingan yang tadinya ada di tanah, ia ambil kembali dan diarahkan ke sungai. Padahal, hari mulai gelap. Tersisa hanya cahaya jingga yang sinari langit."Coba inti aja, ada apa?""Aku pengen bicara penting. Tolong, mas pulang lebih cepat bisa?""Heh, Aurora. Padahal, gak usah ditelpon juga aku dari tadi udah siap-siap mau pulang. Gara-gara kamu telpon, justru aku jadi malas buat pulang.""Yah, kok gitu?""Tunggu 30 menit lagi, aku pasti pulang. Udah, ya!" Antony langsung menutup panggilan. Benar saja, selama 30 menit itu Antony hanya melamun di pinggir sungai seorang diri. Teman-temannya yang lain sudah pergi
"Ya, gak lah. Apaan sih? ka" jawab Neira dengan memasang wajah risih dan menyikut tangan Naka,. Ucapan Neira itu terdengar oleh Pak Adam dari jauh. Ia sesekali menoleh ke belakang, menatap ke arah Naka dan Neira dengan tatapan sinis. Lalu, mereka berdua membalasnya dengan senyum dan tertunduk. Setelah itu, pak Adam dan istri keempatnya pergi hingga tak terlihat batang hidung sama sekali. Kini, Naka kembali ke tempat duduknya. Neira pun duduk kembali dan menatap layar komputer. Suasana kantor pun kembali riuh dengan keluh kesah para pegawai. Beberapa diantara mereka ada yang inginkan resign. Sisanya, bertahan demi kelancaran ekonomi. Tentunya, geng kantor yang terdiri dari Ervin, Neira, Naka, Tio, dan Nugros pasti bertahan di sini."Gue gak bakalan resign, vin. Tenang aja, gak usah kangen." ujar Nugros."Hahaha, iya iya percaya. Tapi, kok gue merasa gak enak ya jadi tumbal perusahaan.""Tumbal apa tumbal? Harusnya senang, dapat jodoh dan nikah gratis, lho." saut Tio. Tanpa b
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh