"Ya, gak lah. Apaan sih? ka" jawab Neira dengan memasang wajah risih dan menyikut tangan Naka,. Ucapan Neira itu terdengar oleh Pak Adam dari jauh. Ia sesekali menoleh ke belakang, menatap ke arah Naka dan Neira dengan tatapan sinis. Lalu, mereka berdua membalasnya dengan senyum dan tertunduk. Setelah itu, pak Adam dan istri keempatnya pergi hingga tak terlihat batang hidung sama sekali. Kini, Naka kembali ke tempat duduknya. Neira pun duduk kembali dan menatap layar komputer. Suasana kantor pun kembali riuh dengan keluh kesah para pegawai. Beberapa diantara mereka ada yang inginkan resign. Sisanya, bertahan demi kelancaran ekonomi. Tentunya, geng kantor yang terdiri dari Ervin, Neira, Naka, Tio, dan Nugros pasti bertahan di sini."Gue gak bakalan resign, vin. Tenang aja, gak usah kangen." ujar Nugros."Hahaha, iya iya percaya. Tapi, kok gue merasa gak enak ya jadi tumbal perusahaan.""Tumbal apa tumbal? Harusnya senang, dapat jodoh dan nikah gratis, lho." saut Tio. Tanpa b
"Ada apa? Vin. Kok telpon malam-malam gini?" tanya Aurora sambil bangun dari tempat duduknya. Ia mondar-mandir diantara 2 kursi ruang tamu."Hmm.. aku mau ngomong sesuatu sama kamu, ra.""Apa?""Doain aku ya, 7 hari lagi aku akan menikah. Kuharap, kamu bisa datang.""Serius, vin? Aku ikut senang dengernya. Semoga lancar sampai hari H""Tapi.." Selama obrolan yang cukup panjang ini, Ervin juga mendapatkan pesan dari Pak Adam. Ia mengirimkan undangan digital yang baru saja ia dapatkan dari klien kepercayaannya. Entah, kenapa bisa secepat itu? Padahal, baru saja ia selesai melakukan sesi foto bersama Neira. Ervin pun terheran-heran. Ia sama sekali tak membalas pesan itu sebelum obrolan dengan Aurora selesai. Kembali pada obrolan antara Aurora dan Ervin, di sinilah Ervin mengungkapkan kekesalannya. Ia masih setia untuk mengungkapkan bahwa perasaannya itu tak berubah, sama seperti dulu."Karena hal itu kamu berkata tapi? Vin.""Iya.""Sudahlah, vin. Masa depan kamu masih panjang
"Udah terima aja, ra. Ibu udah terlanjur boking" ujar Bu Firah dengan nada suara datar. Aurora hanya bisa terdiam dan menelan ludah. Ia tak bisa lagi mengelak dan menerima keputusan ini dengan lapang. Sementara itu, Antony sibuk membersihkan piring seolah tak peduli. Aurora tak enak dengan perlakuan suami di depan mertua, ia ikut membersihkan meja makan. Sisanya, Nakula dibawa main ke ruang depan bersama Bu Firah. Sudahlah, tak ada yang harus diperdebatkan. Saat masa senggangnya sebelum pemberangkatan, Aurora menyempatkan diri ke kamar sebentar. Lalu, membuka ponsel dan memencet tombil hijau. Di sana, ia ingin mengabarkan pada ibunya bahwa dirinya akan pindah ke Jakarta.Tuut..Tuut.. Nomor yang anda tuju, sedang dialihkan. Silahkan tunggu beberapa saat lagi. "Padaha kan telpon biasa, kenapa nomor ibu gak aktif" tanya hati kecil Aurora. "Hmm.. apa mungkin hpnya lagi di charge, ya?" lanjutnya sambil menatap cermin. Tak berhenti sampai di sana, ia mencoba hubungi ayahn
"Kamu lagi dimana, vin? Angkat, dong!" gumam Neira sambil komat-kamit menatap layar ponsel. Beberapa panggilan, tak juga ia angkat. Jawabannya masih sama, nomor yang anda tuju tidak dapat menerima panggilan. Sementara itu, ibunya terus saja bertanya-tanya karena ingin ngobrol dengan calon menantu. Dengan tatapan penuh harap, ibunya itu sesekali terseyum kecil. Menatap anak sulugnya itu akan menjadi istri orang. Besar harapan beliau untuk anaknya hidup bahagia di pernikahannya."Sorry, ra. Gue kebetulan langsung nemplok depan leptop. Sat ini gue gak bisa ngobrol, energi gue juga habis baru telponan sama keluarga." datanglah pesan dari Ervin."Oh, gitu ya? Yaudah, vin.""Kalau besok kayanya bisa, ra. Sekarang lo istirahat dulu aja." Sementara itu, ibunya masih saja duduk di kursi sambil menunggu kepastian. Lalu, Neira datang menghampirnya untuk duduk bersama. Mendengar penjelasan Neira, beliau bisa menerima. Tak langsung pergi meninggalkan ruangan, ponsel Neira berdering. Sa
"Ada apa, mas?" tanya Aurora saat pintu lift tertutup. Suaminya itu hanya diam dan menghela nafas pendeknya. Tanpa jawaban, ia hanya gelengkan kepala. Mungkin, itu hanya sebuah pandangan kabur karena dia sudah lelah dan inginkan tidur. Sementara itu juga, Ervin sedang duduk di salah satu kedai warun pecel lele dengan tenda biru dan lampu pijar. Disana, ia memesan bihun goreng lengkap dengan teh tawar hangat. Meskipun mulutnya sibuk menguyah makanan, tapi memorinya pergi ke arah jalan pernikahan. Ia belum sempat membicarkan kepada Neira, akan tinggal dimana setelah menikah?"Aduh, nanti kalau udah nikah tinggal dimana ya? Apa pisah aja, ya? Jangan serumah." gumamnya sambil menyeruput teh. "Hmm.. tapi, Neira mau gak ya? Ah, jelas wajib gue paksa. Lagian gue juga ogah-ogahan nikah sama dia. Hambar rasanya kaya teh ini." ia lanjut bergumam. "Gini ya, kalau misalkan gue tinggal di apartemennya atau bahkan rumah orang tuanya, pasti bakalan banyak yang menggoda. Hal kaya git
"Wah, cantik banget dan bahenol lagi. 11 12 sama Aurora, sih!" gumam Antony sambil menahan senyumnya."Iya, saya sendiri. Temui saya di kantor pukul 10 siang" balas Antony di pesan itu. Mereka pun kembali berbincang. Dengan seteguk teh manis dingin, orang itu menutup percakapan untuk izin pulang lebih awal. Dan tersisa tinggal Bu Firah dan Antony. Tak lama setelah kepergian pria tadi, datanglah Aurora. Ia sangat kepo dan penasaran dengan apa yang dibahas tadi. Tanpa basa-basi, ia duduk dan mencicipi sedikit camilan. "Tadi bahas apa, mas?""Biasa, kerjaan." saut Antony."Udah, ya. Ibu tidur duluan, ngantuk." sela Bu Firah. Bukan hanya Bu Firah, Antony juga sepertinya terlihat bosan untuk menjawab pertanyaan Aurora. Ia hanya menjawab beberapa pertanyaan seadanya. Sambil merebahkan badan di sofa, ia meminta istrinya itu untuk tampil lebih cantik karena esok mulai kerja. Lalu, pria yang disebut suami Aurora itu ngulet dengan ponsel di tangan. Aurora mencoba mendekati sang
"Ervin dimana ya? Katanya mau beli kopi doang kok lama bisa sampai 1 jam?" tanya bude sambil berjalan mondar-mandir. Bukan hanya beliau, beberapa sanak keluarga yang lain pun mulai risau. Mereka bingung apakah pernikahan ini jadi atau tidak? Segala cara mereka lakukan, termasuk menyusul ervin ke kantin bawah. Ketika disusul oleh salah satu pamannya, ia tak melihat batang hidung Ervin sama sekali. Sesekali bertanya pada salah seorang penjaga warkop dan ia menjawabnya dengan gelengan kepala."Serius gak ke sini sama sekali? Orangnya tinggi mungkin 178-an, mengenakan jas hitam, kemeja putih, celana hitam panjang, dan sneaker hitam. Mana mau akad nikah lagi, mbak" Paman Ervin kembali naik ke atas menyusul keluarga yang lain. Di sana, budenya mulai ambil langkah untuk menghubungi Ervin. Tanpa diduga, terasa getaran ponsel di sofa yang ia duduki. Ponsel itu tak lain milik Ervin. Terlihat beberapa panggilan tak terjawab dari calon mempelai wanita, Neira. Di sana, beliau langsung
"Hmm.. boleh, pak" jawab Ibu Neira dengan wajah ketus. Ia duduk sambil menoleh ke arah beberapa orang yang juga duduk mengelilingi area meja akad. Kini, akad pun siap dilaksanakan. Tapi, sebelum akad itu berlangsung, Ervi diarahkan ke tim MUA untuk menggantikan baju yang dipakainya. Sementara itu, Neira hanya duduk di kursi tempat akad sambil sesekali menghela nafas. Berharap ini adalah akad yang nyata. Bukan sekadar nikah dengan perjanjian di atas materai. "Jadikan pernikahan ini nyata. Ya Allah" gumamnya sambil tertunduk. Tak lama, datanglah Ervin dengan pakaian baru yang memiliki warna senada dengan Neira. Yaitu, nuansa putih dengan aksen bunga di jas hitamnya. Ditengah teriknya hawa siang bolong, keringat Ervin turut basahi dahi. Mulutnya yang tadi kaku, harus dibimbing ucapkan akad nikah. "Sa-ya terima nikah dan kawinnya, Nei-ra Mustika binti Fatoni dengan maskawin tersebut di-bayar tunai""Bagaimana para saksi, sah?""Sebentar pak, itu kayanya belum sah. Akad
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh