"Gini, katanya perusahaan ini akan pindah tangan ke bos yang baru. Entah siapa orang itu." ujar Neira dengan mata terbuka lebar, seolah ini adalah gosip yang berisi data sekaligus fakta."Wah, bagus dong?! Kamu selamat dari jerat incaran istri kedua.""Eh, bukan gitu dong. Nasib gue gimana? Bulan depan mau ada acara ke kantor yang ada di New York. Masa iya sama bos baru? Takutnya nanti bakalan ada peraturan baru atau bahkan diganti oleh orang baru juga" tanya Ervin yang keheranan. "Tenang, Vin. Gak bakalan ngefek, kok." saut Nugros. Mereka berempat masih saja duduk bercengkrama kesana-kemari. Tanpa mempedulikan beberapa pekerjaan yang mungkin belum selesai. Ditengah riang canda campur gosip itu, tatapan Naka hanya terfokus pada senyum manis Neira. Hatinya berkecamuk ingin nyatakan cinta, sayangnya ini bukan waktu yang tepat. Sebaliknya, Neira hanya fokus bicara sambil sesekali nyender di pundak Ervin. Dan sisanya, adalah Tio dan Nugros yang tertawa lepas. Mereka mungkin tahu, ad
"Aurora, sini dulu duduk bareng kita. Ibu mau bicara penting" ujar Bu Firah."Oh, iya bu sebentar." Aurora menyimpan beberapa kantong kresek berisi makanan di meja ruang tamu. Sementara itu, Nakula dibawa pergi oleh Antony. Tanpa minta izin atau bicara sepatah kata, Antony mengambil keresek itu untuk di bawa ke dapur. Terlihat dari balik pintu menuju dapur, Antony rupanya membuka kresek itu dan mengambil salah satu jamuan makan malam untuk Nakula. Lalu, ia menyuapinya makan dengan lahap. Sambil sesekali berbincang kesana-kemari tentang apa yang ditemui Nakula bersama ibunya tadi di jalan. Terlihat hangat, tapi tak sehangat obrolan Bu Firah dengan menantunya. Tanpa basa-basi terlebih dahulu, beliau sudah menjamu menantunya dengan wejangan menyakitkan bagi Aurora. Mungkin, hal tersebut bagi orang tua pada umumnya sudah biasa karena terlalu sayang pada anak laki-lakinya."Kamu tadi sudah dengar obrolan ibu dan Anotny kan?""Iya, bu sekilas aku sudah menangkap.""Bagus, tapi a
"Hmm.. okedeh, pak!"Tanpa berpikir panjang, Neira langsung menandatangani selebaran yang diberikan oleh Pak Adam. Padahal, dari tadi ia hanya diam dan bengong. Tapi, setelah mendengar kata pernikahan dengan Ervin, semangatnya justru bergejolak. Sayang, perasaannya itu mungkin bertepuk sebelah tangan. Ervin beberapa kali mengajukan sanggahan untuk menggunakan cara lain. Atau bahkan, memintanya untuk memberi waktu untuk berfikir panjang. Apalagi, tentang pernikahan kontrak yang diikat tanpa cinta. Saat Neira selesai menandatangani surat itu, Ervin menahanan tangannya. Lalu, disuruh untuk menjaga berkas itu dan jangan dulu diberikan kepada Pak Adam. Lalu, Neira hanya bisa diam dan tertunduk lesu."Bisa gak kasih saya dulu waktu, pak?" tanya Ervin dengan tatapan sayu penuh harap."Gak bisa, vin. Ini satu-satunya jalan terbaik. Emang kamu punya cara apa supaya perusahaan tetap dalam genggaman saya?""Hmm.. sebentar, pak!""Udah mepet, buat berpikir ulang. Pasti kita bakalan kalah.
"Hmm.." Aurora hanya bisa diam dan menunduk."Kamu tahu kan? Perusahaan itu sebenarnya milik keluarga dan pernah ibu beli. Tapi, dibiarkan begitu saja karena kesalah pahaman. Wajar dong ibu rebut kembali dan aku naik jabatan langsung dengan gampang?""Iya, mas""Kamu juga pasti senang bukan punya suami kerja bukan pengangguran lagi?""Iya, mas.""Nanti kamu akan kuajak jalan-jalan keliling luar negeri. Bila perlu, kamu kuliah lagi gimana?""Iya, mas.""Kamu mau aku suapin pisang gorengnya gak?""Iya, mas." Apapun pertanyaan yang diadjukan oleh Antony, selalu dibalas dengan kata iya mas. Hal tersebut membuat dirinya kesal dan mungkin merasa bersalah. Beruntung, Aurora tidak menolak suapan Antony. Ia hanya merasa tak enak dengan ejekan sang suami yang mengatakan bahwa dirinya hanya lulusan SMK. Ya, Aurora belum pernah sempat kuliah atau bahkan bekerja. Melainkan, ia langsung menikah dengan Antony. Bayangan kata-kata itu baginya menusuk hati. Apalagi, segala ucapan atau pendap
"Lagi apa tuh? Berduaan aja?" tanya Nugros yang baru saja datang ke kantor. Lalu, duduk dan mengecek beberapa berkas-berkas yang mungkin akan ia kerjakan. Bukan hanya Nugros, Tio dan Naka pun datang mengikuti Nugros. Sejak teman-teman berserta rekan kerja lainnya datang, Ervin dan Neira lebih memilih diam tanpa kata. Seolah-olah tak peduli dengan mereka. Kemudian, melanjutkan rutinitas kerja lebih awal. Naka yang dari tadi menatap Neira dari jauh hanya bisa mengelus dada. Rasa cemburunya masih tersisa. Sayang, rasa cemburu itu hanyalah semu yang sia-sia untuk ia ungkapkan."Nei, kalau lo bahagia dengan Ervin gue ikut bahagia. Tapi, jika suatu saat dibuat kecewa, gue siap pasang badan buat lo. Tolong, dengar isi hati gue Nei." gumamnya. Dari pagi hingga teriknya panas sinari bangunan tempat mereka kerja, nampaknya terlihat biasa saja. Tak ada gurauan, gosip, atau pun berita yang ada. Namun, pemandangan biasa itu tak biasa bagi Ervin dan Neira. Mereka berdua jarang berbicara
"Iya, ada apa nelpon mulu sih?!" tanya Antony dengan nada tinggi dan kesal. Setelah beberapa kali dipanggil, ini adalah panggilan ke-5 Aurora baru ia bisa angkat. Antony mengungkap kekesalannya melalui sambungan telepon itu. Ia kebetulan sedang beres-beres dan persiapan untuk pulang. Suasa hatinya justru beruba h saat Aurora beberapa kali menghubunginya. Hingga akhirnya pancingan yang tadinya ada di tanah, ia ambil kembali dan diarahkan ke sungai. Padahal, hari mulai gelap. Tersisa hanya cahaya jingga yang sinari langit."Coba inti aja, ada apa?""Aku pengen bicara penting. Tolong, mas pulang lebih cepat bisa?""Heh, Aurora. Padahal, gak usah ditelpon juga aku dari tadi udah siap-siap mau pulang. Gara-gara kamu telpon, justru aku jadi malas buat pulang.""Yah, kok gitu?""Tunggu 30 menit lagi, aku pasti pulang. Udah, ya!" Antony langsung menutup panggilan. Benar saja, selama 30 menit itu Antony hanya melamun di pinggir sungai seorang diri. Teman-temannya yang lain sudah pergi
"Ya, gak lah. Apaan sih? ka" jawab Neira dengan memasang wajah risih dan menyikut tangan Naka,. Ucapan Neira itu terdengar oleh Pak Adam dari jauh. Ia sesekali menoleh ke belakang, menatap ke arah Naka dan Neira dengan tatapan sinis. Lalu, mereka berdua membalasnya dengan senyum dan tertunduk. Setelah itu, pak Adam dan istri keempatnya pergi hingga tak terlihat batang hidung sama sekali. Kini, Naka kembali ke tempat duduknya. Neira pun duduk kembali dan menatap layar komputer. Suasana kantor pun kembali riuh dengan keluh kesah para pegawai. Beberapa diantara mereka ada yang inginkan resign. Sisanya, bertahan demi kelancaran ekonomi. Tentunya, geng kantor yang terdiri dari Ervin, Neira, Naka, Tio, dan Nugros pasti bertahan di sini."Gue gak bakalan resign, vin. Tenang aja, gak usah kangen." ujar Nugros."Hahaha, iya iya percaya. Tapi, kok gue merasa gak enak ya jadi tumbal perusahaan.""Tumbal apa tumbal? Harusnya senang, dapat jodoh dan nikah gratis, lho." saut Tio. Tanpa b
"Ada apa? Vin. Kok telpon malam-malam gini?" tanya Aurora sambil bangun dari tempat duduknya. Ia mondar-mandir diantara 2 kursi ruang tamu."Hmm.. aku mau ngomong sesuatu sama kamu, ra.""Apa?""Doain aku ya, 7 hari lagi aku akan menikah. Kuharap, kamu bisa datang.""Serius, vin? Aku ikut senang dengernya. Semoga lancar sampai hari H""Tapi.." Selama obrolan yang cukup panjang ini, Ervin juga mendapatkan pesan dari Pak Adam. Ia mengirimkan undangan digital yang baru saja ia dapatkan dari klien kepercayaannya. Entah, kenapa bisa secepat itu? Padahal, baru saja ia selesai melakukan sesi foto bersama Neira. Ervin pun terheran-heran. Ia sama sekali tak membalas pesan itu sebelum obrolan dengan Aurora selesai. Kembali pada obrolan antara Aurora dan Ervin, di sinilah Ervin mengungkapkan kekesalannya. Ia masih setia untuk mengungkapkan bahwa perasaannya itu tak berubah, sama seperti dulu."Karena hal itu kamu berkata tapi? Vin.""Iya.""Sudahlah, vin. Masa depan kamu masih panjang
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif"Ervin mencoba menghubungi Aurora saat itu juga. Sayangnya, hanya terdengar notifkasi bahwa nomor Aurora tidak aktif. Kesal campur khawatir, ia berusaha mengirimkan pesan kepada Aurora. Meskipun hanya terbaca ceklis satu, setidaknya ia bisa memberi kabar kepadanya bahwa ia ada di rumah yang sama. Saat itu, Ervin kembali mengubah posisi duduknya. Lalu, tiba-tiba perutnya berbunyi. Hal semacam itu memberi sinyal ia sedang lapar. "Aduh, perut kerconcangan gini. Mana nyamuk berisik. Tangaku udah gatel, nih!" ujarnya dengan nada pelan tapi kesal sendiri. Kemudian, tangannya menyentuh saku baju. Ia mendapati 1 bungkus kecil kue untuk ibu hamil. Tak lain, camilan itu adalah sisa dari camilan milik Neira. Sedikit melegakan, Ervin kini bisa mengisi perutnya. Sambil tertawa kecil, ia mengingat wajah lucu Neira saat itu juga. "Yah, aku tahu kamu memang baik Nei. Makasih, ya. Aku gak ingat kamu nyimpen cemilan ini di saku baju. Entah harus
"Ibu duluan aja." Reva meminta Bu Firah untuk masuk ke kamar lebih dulu. Sambil menatap area luar, ia juga ikut masuk ke kamar. Lalu, ia lanjutkan dengan duduk di salah satu kursi. Wanita itu juga menata area kamar Bu Firah yang cukup bersih. Namun, aroma minyak kayu putih cukup menyekat kuat baginya. Pada saat itu juga, Reva meminta izin untuk buka jendela sebentar saja. Dirinya ingin menghirup udara segar terlebih dulu sebelum tidur. "Jangan ditutup, rev. Ibu ga kuat sama angin Jakarta!" "Oh, hehe iya maaf bu. Kalau saya tidurnya di bawah boleh?" "Nanti kamu kedinginan lho, cantik. Yaudah, kamu boleh buka jendela kalau saya sudah tidur. Kamu disini dulu temenin saya." Keduany merebahkan badan dan berlawanan arah tanpa tatap. Memori Reve bergejolak sedangkan Bu Firah terlelap tidur lebih cepat. Beberapa pertanyaan pun muncul di benak akal bulusnya. Sambil menatap foto pernikahan Antony yang masih dipajang, ia pun mengeluarkan sumpah serapah untuk keluarga kecil in
"Tapi, apa? Udah yah, aku berangkat dulu sayang. Jaga diri baik-baik dan jaga dede di perut sehat juga." ucap Ervin yang langsung mengecup kedua pipi Neira. Lalu, ia tancap gas berlari menuju mobil. Tak tertinggal, ponsel dalam sakunya pun ia bawa sebagai pentunjuk jalan. Ia berlari cukup kencang sampai Neira kewalahan menahan perutnya. Dari sana, Neira bergegas duduk di kursi teras dan mengelus perutnya sendiri. Sambil menatap Ervin dari jauh, terlihat ia sudah mulai masuk mobil. Sembari duduk, Neira juga berteriak memberikan seruan untuk sang suami. "Jangan lupa lapor polisi, ya!""Aduh, dasar Mas Ervin ada-ada aja. Sekarang aku panggil dia mas, deh. Barangkali bisa luluh. Sabar ya, kakak. Itu ayahmu lagi bantu orang. Semoga cinta tetap buat kita, ya!" Neira bergumam dan mengelus-ngelus perut yang mulai terlihat sedikit buncit. Sementara itu, Ervin yang sudah duduk manis di dalam mobil kembali membuka kaca. Ia menatap ke arag spion untuk memastikan istrinya masih ada di
"Biasa, Nei.." "Iya, iya.. aku gak bakalan angkat, kok!" ujar Ervin sambil mengubah nada ponsel ke hening. Lalu, ia membuka pintu untuk mempersilahkan istriny duduk dan menutupnya. Ia memutar arah untuk membuka pintu sendiri. Sekarang, mereka hanya fokus memandang area jalanan. Tapi meski begitu, Ervin curi-curi waktu mengecek ponsel meski istrinya cemberut. Tapi, kali ini ada yang berbeda. Saat ia mengecek ponsel, ada panggilan masuk dari salah satu orang penting di kantor. Siapa lagi kalau bukan Pak Adam. Orang yang juga ia anggap sebagai orang tua angkat sekaligus berjasa atas perjodohan dirinya dan Neira. "Ini ada telpon dari Pak Adam." "Oh, i-iya. Aduh, jangan-jangan dari tadi beliau nelpon. Angkat saja, Vin!" Neira gigit jari seolah merasa bersalah. Ia takut bosnya itu sudah lama menghubungi Ervin. Tapi, sebenarnya tidak sama sekali. Beliua baru menghubungi Ervin tepat saat suaminya itu mengecek ponsel. Sisanya adalah Aurora yang mengirimkan banyak pesan dan
"Aurora?!" "Aurora?!" "Buka pintunya!" Beliau terus saja mengetuk pintu sampai Aurora membukanya. Dan saat pintu itu terbuka, sempat ada jeda beberapa detik dimana mereka berdua saling tatap. Aurora menahan tangisnya dan berusaha menguatkan diri. ia pikir dirinya bakal diusir saat itu juga oleh Bu Firah. Sayangnya, pikiran itu hanyalah bayangan semu semata. "Ibu mau ngomong sesuatu di ruang tamu bisa? Kebetulan ibu gak enak juga diam sendirian dari kemarin." "Hmm.. i-iya, bu. Sebentar. Ibu duluan duduk nanti aku nyusul. Kebetulan lagi beres-beres berkas." "Berkas buat apa?" "Aku lagi ikut pelatihan, bu." Dengan wajah ketus seolah tak percaya dengan yang Aurora nyatakan, beliau masuk ke kamar sebentar dan menatap sekeliling kamar. Lalu, membalilkkan bada untuk bergegas duduk kembali di sofa ruang tamu. Aurora sebenarnya risih. Hanya saja ia masih menghormati sosok Bu Firah sebagai orang tua sekaligus mertua. Dan sambil menatap matanya di cermin, Aurora meyakinkan
"Tenang, Nei. Biar aku jelasin.""Jelasin apa? Bukannya prioritasin istri malah teman. Bisa gak si gak usah layanin dia""Aku juga gak layanin, Nei. Aku hanya bantu dia lewat teman. Lagian kita gak ada hubunan spesial. Teman biasa!""Teman biasa? Perselingkuhan juga berawal dari biasa saja.""Lagian aku gak nyembunyiin itu dari kamu kan?! Semuanya terbuka." Percakapan itu terdengar cukup keras. Ervin yang awal mulanya bernada lembut mengikuti nada Neira yang emosi. Seolah-olah dipaksa untuk selingkuh tanpa bukti. Entah, apa yang merasuki Neira. Mungkin karena hormon hamil, ia tak bisa kendalikan emosi dan hanya ingin dimengerti. Di sisi lain, Ervin juga belum paham apa yang harus dilakukan oleh seorang calon ayah."Terus kamu maunya apa? Hah?!" tanya Ervin mendekat. Ekhem..Terdengar seseorang menyelinap di balik pintu kamar. Ternyata dari tadi ada adik Neira yang diam dan menyimak. Ia pura-pura bertanya pada kakaknya. Bukan sekadar basa-basi, ia bernniat untuk melerai k
"Eh, mbak Aurora ya?""Iya. Kamu ngapain di sini?""Sudah, masuk dulu mbak. Kita ngobrol di dalam" Wanita itu dengan penuh percaya diri mengajak Aurora masuk. Lalu, mempersilahkan dirinya duduk di sofa yang sebetulnya sudah biasa bagi Aurora. Sebelum dirinya memutuskan untuk duduk, mata Aurora tertuju pada perut pacar Antony. Ia menatap secara tajam untuk memastikan apa dia memang benar-benar hamil? Atau hanya sekadar rekaan."Kenapa kok belum duduk? Ada yang aneh ya?""Oh, gak. Aku cuman penasaran sama buntelan perutmu."Wanita itu langsung mengelus perutnya sendiri. Kini mereka duduk berdua dengan arah bersebrangan. Bukan sekadar duduk, Aurora dan wanita pilihan Antony itu ngobrol empat mata. Kedengarannya cukup serius. Apalagi saat membahas Aurorora yang baru saja bebas dari tuntutan pencemaran nama baik. Wanita itu bertepuk tangan sambil memasang wajah senyum sinis. "Hebat juga, ya?!""Harus, dong!""Tapi ya, meskipun kamu bebas saya pastikan Mas Antony juga akan be
"Minta bantuan apa, lagi?""Kamu ma-mau jadi saksi aku lagi? Masa aku dituduh pencemaran nama baik?" Ervin berfikir panjang lagi. Permasalahan mantan pacarnya itu masih belum usai. Pada saat itu juga, Ervin melontarkan kalimat yang cukup menyudutkan riuh rumah tangga. Ia memberikan pilihan lain, yaitu menjadikan mertua sebagai saksi. Tapi, tentu saja hal itu ia tolak. Ibu Mertuanya itu justru berpihak pada Antony."Sebentar, Vin. Kita via chat aja gak enak.""Lah, beliau pasti ada di pihak Antony. Kamu mau aku celaka?" lanjutnya. "Bukan begitu juga, tapi kalau orang yang tahu semuanya pasti orang terdekat. Bukan aku, kan?""Yaudah, maaf sudah merepotkan. Kupikir kamu bersedia membantu. Salam buat Neira, ya!""Iya, gapapa. Tapi, percayalah kamu bakalan menang. Mengingat bukti pencemaran nama baik itu nihil. Sedangkan suamimu sudah jelas-jelas melakukan tindakan kejahatan." Aurora tertunduk dan menatap isi ruangan yang sudah dipantau polisi. Ia sesekali menoleh ke belakang
"Siapa ini?"Aurora membalas pesan itu secara langsung. Namun, tak ada tanda pesan itu terbaca. Yang ada hanya ceklis satu dengan foto profil kosong. Masih dalam kondisi memperhatikan seminar online, Aurora membuka tab baru untuk membuka salah satu web penyelidikan nomor telepon. Di sana, nomor itu terlihat baru. Tak ada tanda tautan nama mencurigakan. Bisa dibilang, tagar nama pemilik nomor itu tak ada. Namun, ada salah satu yang bisa ia tangkap. Yaitu, nomor misterius itu tinggal di sekitaran kota Jakarta. "Emang ada ya orang Kota kerjaannya iseng gini? Neror orang dengan berganti nomor." ketus Aurora. Dalam benaknya, kalau memang penipuan pasti takkan memberi kata sapaan cantik. Selain itu, sipengirim pesan juga seperti tahu apa yang sedang ia lakukan dan ia hadapi. Berusaha tenang, Aurora kembali fokus pada kelas online. Ia langsung disuruh untuk praktik kecil. Aurora diminta mencari partner yan cocok untuk ia ajak berbisnis. Dengan bermodalkan keberanian, ia mengh