Pagi itu Maryam masih berada di rumah Wati, mengobrol.“Maryam, kamu benar-benar nggak mau lagi kembali sama Marco?”“Kalau aku kembali sama dia, berarti aku merebut suami dari wanita lain! Aku nggak mau disebut pelakor. Aku dari keluarga miskin, minimal aku masih punya harkat dan martabat sebagai wanita, walau nggak punya harta. Kalau sampai aku jadi pelakor, kayaknya aku ini sudah nggak punya apa-apa lagi. Pelakor itu kayaknya sudah dianggap sebagai kasta paling rendah dari seorang wanita.”“Jadi kamu masih tetap merasa yakin, kalau Marco adalah pria yang menikahi Lyla secara siri?”“Kalau bukan dia, siapa lagi?”“Alasan pria menikahi seorang wanita secara siri, umumnya kan, karena si pria itu sudah beristri, dan tidak mau istri tuanya tahu soal pernikahannya. Tapi Marco masih bujangan, kenapa juga dia harus menikah siri? Apa alasannya?”“Mungkin karena mamanya tidak merestui hubungan Marco dengan Lyla, makanya mereka menikah siri.”“Masuk akal juga, toh dulu aku juga nggak direstui
Susie berdiri di dekat sebuah food corner, di BIP (Bandung Indah Plaza). Mal besar itu belum terlalu ramai oleh pengunjung. Aroma masakan menggoda hidungnya. Beberapa orang duduk di dalam restoran fast food itu, menikmati burger, friend chicken, kentang goreng, es krim, dan soft drink. Susie masih menunggu. Hingga akhirnya dia tertegun melihat seorang wanita yang berjalan menghampirinya. Wanita itu …. “Hallo, kita ketemu lagi.” Wanita itu juga melihat Susie, lalu mendekati hingga hanya berjarak satu meter. “Maaf telat, banyak kerjaan di kantor.”Susie menatap lekat pada wanita itu. “Saya Lyla, yang kamu lulurin waktu hari Rabu, minggu lalu, dan yang kamu telepon kemarin. Oh ya, kamu nggak terlalu mengenali saya dalam pakaian kerja kan? Karena di ruang lulur itu kamu lebih sering memandangi punggung saya. Hmmm, panggil saja saya Mbak Lyla.”“Ya, ya, mungkin begitu. Memang Mbak Lyla yang waktu itu saya lulurin, saya masih ingat wajah Mbak.” Susie masih terkesima.“Ada perlu apa sih, k
Sore itu Maryam datang ke rumah sahabatnya yang bernama Nining. “Skripsimu sudah selesai, Ning?” tanya Maryam. Walau Maryam dan Nining satu angkatan di FKIP, namun Maryam sudah lulus duluan. Sementara Nining agak mandeg karena ternyata masih ada satu mata kuliah yang belum lulus. “Skripsi sudah kelar, sudah acc, tapi aku belum bisa daftar sidang sarjana kalau masih ada mata kuliah yang belum lulus. Tapi mudah-mudahan semester ini semua urusan kuliahku sudah selesai.” Nining menatap Maryam, dia merasa sepertinya Maryam punya urusan penting. “Gimana, kerja di butik enak ya? Bener ya, itu butik punya mamanya Marco?” “Ning, aku sedang betul-betul bingung. Beberapa hari lagi aku akan berhenti kerja dari butik itu, aku nggak sanggup kerja di perusahaan milik keluarga Marco….” “Hah? Kenapa? Apakah mamanya Marco itu orang yang julid?” Maryam malah terdiam, dia ingat belum cerita pada sahabatnya itu tentang rencana pernikahannya dengan Marco. “Maryam, ada apa?” “Sebenarnya Marco sudah
Inspektur Polisi Dua (Ipda.) Binsar Siagian merasa harus membuktikan sesuatu, tapi dia butuh foto seseorang, maka dia menelepon seorang gadis yang pernah menjadi saksi kasus pembunuhan. “Sekarang pukul delapan malam, biasanya orang belum tidur kalau jam segini.” Binsar menghubungi nomor seseorang. “Hallo, selamat malam. Mbak Maryam, ini saya, Binsar, yang dinas di Jalan Merdeka. Masih ingat sama saya?” “Oooh … Pak Polisi. Maaf Pak, ada apa ya? Saya suka keder kalau tiba-tiba ditelepon polisi.”Binsar tersenyum lebar mendengar kata keder, itu bahasa orang Pantura, maknanya antara bingung dan takut.“Maaf mengganggu, Mbak Maryam lagi sibuk? Lagi ada di mana?”“Saya di tempat kos. Nggak sibuk, lagi istirahat aja.”“Begini Mbak Maryam, saya butuh foto Marco, tapi yang terbaru, bukan yang gondrong. Mungkin Mbak Maryam punya? Kalau ada, bisa dikirim ke WA saya?” “Ehmmm … buat apa foto itu, Pak?”“Ada yang harus saya konfirmasikan pada beberapa orang. Bisa bantu saya, Mbak? Saya yakin Mb
Binsar tentu sudah kenal dengan Syamsul, yaitu suami dari kerabatnya. Syamsul sedang VC dengan istrinya yang bernama Tita, kemudian menyapa Binsar sembari tertawa. “Kamu boleh ngobrol dengan polisi itu, mungkin dia ada urusan keluarga. Mungkin dia mau melamar pacarnya, keluarganya dari Medan mau datang ke Bandung. Kalau kamu diminta tolong untuk ikut rombongan melamar, ya nggak apa-apa Beb, selama yang mau dilamarnya itu perempuan betulan. Ha ha ha.” Ucapan Syamsul yang penuh kelakar, mengakhiri VC dengan Tita. Binsar merasa kedinginan dalam cuaca Lembang yang lebih dingin daripada di pusat Kota Bandung. Tita membuatkan teh manis panas buat Binsar, yang meminumnya dengan nikmat. Lantas Binsar memperlihatkan foto yang dibawanya. “Ganteng banget! Siapa dia? Pacar adikmu si Raulina?” Tita menatap wajah dalam foto. “Raulina belum ada pacar. Tapi aku sih, setuju saja kalau Raulina dapat pacar kayak orang di foto itu.” sahut Binsar asal-asalan. “Ada apa dengan ini cowok?” “Begini Kak,
Pria muda itu memang Marco, dia mengenakan kemeja kotak-kotak biru tua dan blue jeans. Sementara gadis muda yang berdiri di sebelahnya mengenakan jilbab warna hitam, kemeja warna pink pucat dan celana blue jeans. Tubuhnya cukup jangkung dan langsing, wajahnya manis dan tampak ceria. Melihat adegan saling suap buah stroberi itu, Maryam kontan memalingkan wajah, tidak mau melihatnya. Dengan tanpa bicara Maryam berjalan ke tempat lain.“Mulut lo kayak ember bocor!” bisik Rosna pada Ayu. “Sebetulnya dari tadi juga aku sudah melihat, makanya aku buru-buru ngajak pindah, supaya Mbak Maryam nggak melihatnya! Tapi dasar lo nggak punya tenggang rasa!”“Sorry, barusan aku keceplosan…. “ Ayu menyesal. “Tapi Ros, mending juga Mbak Maryam melihat kenyataan, biarpun pahit, daripada menghindarinya, dan pura-pura nggak terjadi apa-apa….”Rosna menerima chat dari Maryam.[Rosna, Ayu, maaf ya, aku mau pergi duluan dari Sabuga. Jilbab pesanan ibu kos mau aku beli di tempat lain saja. Silakan kalian lanj
Hari Senin pukul 16:30 sore, Binsar kembali ke tempat kos Tita, karena Tita menghubungi ponselnya. Katanya sudah ada kabar berkaitan dengan foto itu.Di teras kamar, Tita mengajak Binsar duduk. Ada juga Syamsul yang sudah pulang kerja. Binsar diperkenalkan kepada Beben, seorang satpam di Hotel Paradise on The Hill.“Saya melihat cowok itu datang ke hotel, sekitar jam delapan malam.” ujar Beben.“Bersama seorang wanita muda dan cantik?” tanya Binsar.“Tidak, cowok itu datang sendirian.”“Maksud saya, cowok itu menyetir mobilnya sendiri, panther hitam. Dan wanita itu juga menyetir mobilnya sendiri, sedan putih. Jadi mereka datang ke hotel dengan mobil masing-masing, seolah tidak saling kenal. Apakah begitu?” tanya Binsar lagi.“Tidak! Cowok itu datang sendirian ke hotel, dengan jalan kaki!”“Apa?!” Binsar tercengang.“Ben, yang bener aja lo?!” tegur Syamsul. “Kalau di hotel tempat kerjaku, hotel bintang satu, terkadang ada juga tamu yang nyeker, lantas check in di kamar yang paling mura
Keesokan pagi, Binsar menelepon Maryam, meminta Maryam datang ke kantor polisi. Maryam sulit menolak karena Binsar sudah mengirim ojek online untuk menjemputnya. Maryam hanya tinggal naik ojek, dan menuju kantor polisi, tidak perlu bayar ongkos. Akhirnya Maryam setuju untuk datang, dan memberi keterangan yang berkaitan dengan kasus pidana pembunuhan.“Ada apa sebetulnya? Kenapa Pak Polisi mau bicara secara langsung dengan saya?”“Apakah Mbak mengenali nomor ini?” Binsar memberikan secarik kertas ke hadapan Maryam. Dalam kertas itu tertulis sederet nomor dan huruf.“Ini kan, nomor mobilnya Marco.” jawab Maryam seperti tanpa berpikir lagi.“Mbak yakin?” Binsar rada tercengang. Kok, Maryam bisa sampai hapal di luar kepala? Padahal sepertinya Marco jarang sekali membawa mobilnya ke kampus, kendaraan sehari-harinya adalah motor.“Itu memang nomor mobilnya Marco, panther hitam. Saya ingat karena … waktu saya diwisuda, Marco menjemput saya dengan mobil itu.”Binsar manggut-manggut.“Ada apa
Setelah terdiam sejenak untuk mengumpulkan keberanian, akhirnya Maryam berkata lirih sambil tertunduk. “Bang Marco, aku mencintaimu, aku ingin menikah denganmu.”“Apa? Aku nggak dengar?”“Bang, aku mencintaimu, aku ingin menikah denganmu.” ucap Maryam dengan suara lebih keras.Marco malah tertawa-tawa, lalu dia berdiri, dan berkata, “Tidak!” Lantas dia balik badan, dan berjalan menjauh.Maryam terhenyak, lalu tanpa sadar mengejar. “Bang, mau ke mana?”Marco berbalik, menatap Maryam dengan sorot matanya yang tajam. “Maryam, ngapain kamu mengejar-ngejar aku? Kamu sudah nggak punya harga diri ya?”“Apa maksudmu menyuruh aku bicara seperti barusan?”“Just kidding!” Marco tersenyum. “Kamu pikir aku masih mau menikah dengamu? Jangan mimpi! Ngaca dulu sana!”Maryam terpana, masih belum paham, dia berdiri sambil menatap punggung Marco yang semakin menjauh dan akhirnya hilang di tikungan gang. Maryam baru sadar, saat ada pedagang mi bakso yang memintanya supaya minggir. Setelah gerobak bakso i
Tiba di dekat lapangan Gasibu, Marco memarkir motornya dalam deretan panjang motor berbagai jenis yang diparkir di depan Gedung Sate itu. Lapangan Gasibu menjadi tempat bersantai dan berolah raga di saat weekend. Di seberang lapangan itu, ada lahan yang dipakai untuk para pedagang kecil menggelar jualannya saat akhir pekan. Kebanyakan orang datang ke Gasibu untuk berburu kuliner, yaitu beraneka ragam sarapan pagi dan jajanan. Namun, area non kuliner pun diserbu pengunjung yang mencari busana, jaket, sepatu, tas, dan mainan anak, dengan harga cukup murah.Marco mengajak Maryam masuk ke area pedagang makanan. Situasi sangat ramai, Marco mulai merasa capek bolak-balik harus menengok ke belakang untuk memastikan Maryam masih mengikutinya. Kadang-kadang Maryam hilang dari pandangannya, terhalang orang-orang. Akhirnya Marco meraih tangan Maryam dan menggandengnya dengan erat. Maryam rada kaget, tapi tidak berupaya untuk melepaskan pegangan tangan Marco.Para pedagang makanan umumnya berjua
Maryam baru saja keluar dari masjid kampus, usai pengajian di hari Minggu berikutnya, saat melihat Marco sudah berdiri di halaman masjid sambil menatapnya. Mereka memang janjian lagi bertemu di kampus.“Kenapa sih, barusan kamu nggak masuk masjid saja? Sekali-sekali dong, ikut pengajian.” ujar Maryam.“Aku baru datang, sudah telat kalau mau ikut pengajian.” jawab Marco.“Ah, alasan.” gerutu Maryam sambil membenahi isi tasnya. “Memangnya di homebase mau ada acara apa lagi?”“Nggak ada acara apa-apa. Mayoritas anggota lagi ke Gunung Gede, mau ikut acara bersih gunung, di sana sudah banyak sampah.”“Kok, kamu nggak ikut?”“Jenuh.”“Jenuh naik gunung?” Maryam tersenyum, “Pendaki gunung seperti kamu, bisa jenuh naik gunung?”“Aku jenuh segala macam. Terutama sekali… aku jenuh hidup sendirian.”Selama bertahun-tahun, Marco memang lebih sering ditinggal oleh kedua orang tuanya. Papanya adalah pengusaha dan politikus, sering bepergian ke banyak tempat. Mamanya tentu saja sering mendampingi su
Sementara itu Maryam dan Marco berjalan bersama menuju homebase.“Marco, aku sebenarnya nggak terlalu doyan kambing guling.” ujar Maryam. “Dulu juga aku pernah makan kambing guling buatanmu, di homebase juga. Daging bagian luarnya gosong, sedangkan bagian dalamnya masih mentah, sisa-sisa darahnya masih mengucur lagi. Iiih, eneg banget. Aku nggak mau ah.”“Kalau nggak mau kambing guling, nanti aku bikinin sate.”Kambing itu dipanggang di halaman samping homebase. Di situ juga ada tungku, di atasnya ditaruh panci tempat merebus bahan-bahan untuk sambal. Setelah isi panci itu dianggap matang, lantas ditumbuk pakai ulekan, di dalam panci itu. Katanya bikin sambal seperti itu lebih praktis daripada pakai cobek. Sementara nasi dimasak pakai rice cooker. Nasi yang sudah matang dipindah ke baskom, karena rice cooker dipakai buat masak nasi lagi. "Sepertinya bakal banyak orang datang ke homebase, karena nasi yang dimasak cukup banyak." pikir Maryam.Para anggota pencinta alam menyapa Maryam.
Maryam tersenyum jahil saat menemukan wajah rekan yang pernah serumah dengannya. “Apa kabar Nuri? Kangen lho, sama pipi gembil kamu.” Maryam mencolek pipi Nuri, mantan rekan satu kos. Mereka bertemu di halaman masjid kampus hari Minggu pagi. Pengajian sudah usai, dan mereka ngobrol di teras masjid. “Kamu nggak pulang, Nur?”“Sudah Mbak, minggu kemarin. Kalau setiap weekend aku pulang ke rumah orang tua, anak-anak kos menyangka aku punya pacar yang bertetangga dengan orang tuaku.” Nuri nyengir.“Masih jadi wartawan kriminal, Nur?”“Masih. Sebentar lagi juga mau pergi cari berita.” Nuri adalah mahasiswi Fakultas Hukum yang lagi nyambi kerja jadi wartawan kriminal. Dia menulis berita kriminal di seputar Bandung untuk sebuah media online.“Ini hari Minggu, Nur. Masak kamu nggak libur? Wartawan ada liburnya juga, kan?”“Kejahatan itu tidak mengenal hari libur, Mbak. Di setiap saat, di setiap tempat, kejahatan mengintai. Bahkan di tempat yang menurut kita adalah paling aman di dunia, kada
Marco sudah selesai makan. Setelah membayar di kasir, Marco bilang ingin tahu tempat kos Maryam yang sekarang. Mereka berjalan kaki ke luar dari kompleks perumahan itu, lantas menyeberang jalan, dan masuk ke sebuah gang sempit. Sebuah wilayah pemukiman padat, dengan rumah-rumah petak yang saling bertemu atap. Berjalan sekitar 100 meter, tibalah mereka di depan sebuah rumah kos, tempat tinggal Maryam saat ini. Marco tampak tertegun melihat rumah kos yang tampak pengap dan kumuh, masih lebih bagus tempat kos Maryam saat kuliah.“Marco, sebentar lagi aku mau ke tempat bimbel, aku mengajar di bimbel untuk anak SD.” ujar Maryam.“Oya? Jadi kamu mengajar pagi dan sore? Sibuk sekali ya?”“Jadwalku mengajar di bimbel hanya dua kali seminggu.”“Ya sudah, aku mau ambil mobil di bengkel, mungkin sudah kelar.”Marco pergi dengan berjalan kaki menyusuri gang sempit. Beberapa orang penghuni kos telah melihat kedatangan Marco.“Hey Kak, itu cowoknya ya? Kok, nggak diajak masuk dulu, malah langsung p
Beberapa hari kemudian, saat Maryam berjalan ke luar dari kantornya untuk pulang, dia kembali melihat Marco. Mantannya itu sedang berdiri di pos satpam TK.“Sudah dijemput, Bu.” ujar Roni sambil senyum-senyum usil.“Lesu banget sih? Puasa ya?” tanya Marco.“Nggak, cuma hari ini panas sekali.”“Kalau begitu, kita minum es dulu di situ.” Marco menuding Rumah Makan Sari Rasa di seberang TK itu. “Makanan di situ enak nggak?”“Nggak tahu, aku nggak pernah makan di situ.” Maryam tidak melihat ada motor atau mobil yang diparkir dekat situ. “Kamu jalan kaki?”“Barusan aku mau ke rumahnya Valentina. Belum juga sampai, mobilku bermasalah, gembos ban. Kebetulan ada bengkel di pinggir jalan, sudah dekat ke kompleks perumahan ini. Kubawa saja mobil ke bengkel itu. Tapi antri. Aku lapar belum makan siang. Orang-orang bengkel bilang ada rumah makan di dekat TK. Aku pikir, siapa tahu kamu belum makan siang juga, jadi aku mampir ke sini.”“Aku sudah makan siang, waktu jam istirahat tadi.” jawab Maryam
“Untuk memperingati milad ke 10 TKIT Bunga Bangsa, kita akan mengadakan gathering, yaitu acara kumpul-kumpul antara para pengelola TKIT Bunga Bangsa, dengan murid dan orang tua.” ujar Fatimah, kepala sekolah TK, dalam rapat bersama guru dan pegawai lain.“Dalam acara gathering nanti, para orang tua dan guru bisa saling bertukar pikiran untuk kemajuan pendidikan di TKIT ini. Acaranya kita jadwalkan pada hari Sabtu pagi, supaya lebih banyak orang tua yang bisa hadir. Tapi saya ingin gathering ini tidak seperti rapat atau seminar. Saya ingin acaranya seperti pesta kebun, tapi ada diskusi.”“Berarti acaranya bukan di dalam kelas?”“Jadi gathering ini bukan di dalam ruangan, melainkan outdoor, mungkin di halaman depan dan samping sekolah ini. Pasti meriah. Kita juga bisa menjadwalkan agar anak-anak menari dan menyanyi di hadapan orang tua mereka. Di dinding-dinding luar kelas, kita pajang karya anak-anak, apakah itu gambar, origami, kerajinan dari tanah liat, atau apapun itu hasil karya mu
Marco hanya tersenyum simpul saat Maryam melirik sesaat ke arahnya.“Kami pulang dulu.” ucap Maryam pada Marco, daripada tidak pamitan sama sekali.Sementara itu, di dalam bus, tiga orang siswa bertengkar rebutan duduk di belakang sopir. Dua orang sudah berhasil duduk, dan tidak mau bergeser memberi tempat pada temannya, padahal jok itu cukup untuk duduk tiga orang anak kecil. Anak yang kalah rebutan bangku itu lantas tantrum, dia malah turun dari bus dengan cara mendorong orang-orang yang sedang naik. Maryam baru memijak tangga bus dengan satu kaki, tubuhnya tersenggol hingga hilang keseimbangan. Maryam terdorong ke luar bus, nyaris terjatuh, kalau tidak sigap ditangkap oleh sepasang lengan kekar.Setelah berhasil menyeimbangkan lagi posisi berdirinya, Maryam menoleh ke arah pria yang memeluk bahunya agar tidak terjatuh. Marco melepas pegangannya pada tubuh Maryam.“Maaf, tapi kamu hampir jatuh tadi ….”“Iya ….” Maryam tidak tahu harus menjawab apa, dia merasa malu, lantas dia seger