Pukul tujuh malam, Marco mengendarai lagi mobilnya menuju rumah Sabrina. Orang tua Sabrina mengundangnya makan malam, untuk merayakan hari ulang tahun Sabrina yang ke-20 tahun. Tidak ada pesta, hanya syukuran kecil-kecilan, mengundang kerabat dekat untuk makan malam. Usai makan malam, ada tamu yang pulang, ada yang masih tinggal di rumah Sabrina karena mau menginap. Mereka sedang nonton drakor di ruang tengah. Sementara Marco duduk di ruang tamu, ngobrol dengan tuan rumah."Kamu nggak ngundang teman-teman kuliahmu?" tanya Marco."Acara dengan geng aku sudah tadi siang, makan-makan di kafe." jawab Sabrina, "Kalau makan malam ini khusus keluarga."Marco berpikir, tampaknya keluarga Sabrina sudah menganggap dirinya bagian dari keluarga. Kemudian ayahnya Sabrina datang ke ruang tamu, dia duduk dan bertanya pada anak gadisnya, apakah masih mau dibuatkan pesta ulang tahun. "Ini juga sudah cukup, Ayah." Sabrina tersenyum bahagia sembari melirik ke arah Marco.Lantas ayahnya Sabrina berbas
Maryam kembali ke Bandung dengan bus. Rasanya rugi banget, disuruh tinggal selama beberapa hari di rumah orang tuanya, sampai minta izin tidak masuk kerja di TK dan di bimbel, demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menunggu kedatangan keluarga yang katanya mau melamar. Tahunya zonk, malah dapat penghinaan pula. Hanya karena keluarga Maryam sudah terbiasa menahan diri untuk tidak membalas hinaan orang, maka urusan tidak berkepanjangan.Keluarga yang katanya mau melamar itu pergi dari rumah orang tua Maryam dengan gerutuan dan sindiran yang bernada menghina. Justru karena tidak ditanggapi, mereka malu sendiri. Keesokan harinya, si ibu menelepon ke ponsel milik bapaknya Maryam, katanya mau ngobrol dengan emaknya Maryam. Ibu itu minta maaf sudah bicara kurang enak saat datang berkunjung. Emaknya Maryam tentu memaafkan. Ibu itu sepertinya menyadari bahwa dia masih akan sering ketemu emaknya Maryam, di acara pengajian, arisan, karena domisili dalam satu RW. Makanya dia minta maaf. Semud
Saat akan pamitan pulang pada Ningrum, Maryam merasa pandangannya berkunang-kunang, dan tubuhnya lemas. Dia melihat di luar angin bertiup kencang, membawa gerimis yang semakin rapat. Ningrum menyarankan supaya Maryam menginap saja di rumahnya. “Ayo masuk lagi ke rumah, tidak usah pulang!" “Iya Bu, maaf saya jadi merepotkan Bu Ning.” Maryam kembali ke dalam rumah. “Kamu juga sakit kayaknya, mending batalkan saja puasanya.” “Sayang Bu, satu jam lagi mau maghrib.” “Tapi kamu nggak usah pulang, nanti pingsan di angkot! Kalau hujan reda, kita cari makanan. Di depan gang ini ada banyak gerobak penjual makanan.” Untung hujan hanya sebentar. Ningrum dan Maryam keluar rumah. Maryam mengikuti Ningrum berjalan ke mulut gang, menuju tepi jalan raya. Di halaman parkir sebuah toko beras yang sudah tutup, ada beberapa warung tenda yang biasa berjualan di sore hari. Ningrum membeli soto ayam. Maryam merasa tidak berselera makan apapun, tapi dia harus mengisi perutnya setelah puasa sunat pada ha
Maryam sedang berada di kelas, memperhatikan murid-muridnya yang sedang belajar mewarnai gambar. Tubuhnya terasa semakin tidak enak, keringat dingin menetes di wajahnya. Maryam menyeka keringat dengan tisu, lantas berusaha untuk tetap bertahan di kelas itu walau langkahnya terasa mulai oleng karena kepalanya pusing berdenyut-denyut.“Gambarmu kenapa hanya diwarnai biru saja? Crayon kamu kan, beraneka warna?” tanya Maryam saat melihat buku gambar salah seorang muridnya.“Aku tuka walna bilu, Bu Ayam.” Itu jawaban muridnya, katanya “Aku suka warna biru, Bu Maryam.” Tapi karena masih cadel, dia tidak bisa menyebut nama “Maryam” melainkan “Ayam”.Bukan hanya murid itu yang menyebut Maryam dengan panggilan “Bu Ayam”, masih ada beberapa anak lagi yang sebegitu cadelnya, sehingga belum bisa mengucap nama gurunya dengan benar. Maryam hanya bisa ikhlas saja dipanggil dengan nama “Bu Ayam”.Pelajaran mewarnai gambar sudah selesai, dengan beberapa hasil yang terkadang di luar pemikiran guru. Ada
Widya menatap Maryam yang sedang duduk di atas dipan, bersandar pada dinding ruang P3K itu. Wajah Maryam tampak begitu pucat.“Kamu muntah-muntah… bukan karena lagi.…”Maryam sudah tahu kemana arah pembicaraan Widya. “Saya sakit maag.”“Kamu berprasangka buruk sama Maryam, ya?” tuduh Bu Ningrum.“Saya nggak ngomong macam-macam lho, cuma bertanya kenapa Maryam muntah-muntah, itu saja.” sanggah Widya.“Kalaupun misalnya Maryam lagi hamil, memangnya kenapa?” Suara Bu Ningrum ketus, matanya bahkan melotot ke arah Widya. “Anak itu rejeki. Nggak semua wanita bisa hamil dan melahirkan anak.”“Saya nggak hamil! Saya cuma sakit maag!” Maryam jadi kesal.Widya tertawa ditahan, “Berarti Bu Ning juga mulanya suudzon, mengira Maryam sudah berisi.”“Kenapa sih, sampai mengira saya seperti itu?” tanya Maryam.“Soalnya…” Widya terkikik pelan, lantas menyambung kalimat. “Di antara semua wanita jomlo yang ada di sini, cuma kamu yang sebelumnya kelihatan punya cowok. Kamu sering makan bareng cowokmu, di
Widya menggelengkan kepala, tampak kesal. “Karena saya lagi cinta banget sama Zakki, maka pada saat pemeriksaan pembukuan oleh staff keuangan dari bengkel pusat, saya nggak pernah menyebut nama Zakki. Waktu ketahuan ada manipulasi faktur, saya malah mengakui semua itu adalah inisiatif saya sendiri. Ya ampun, betapa bego diriku ini! Tentu saja saya dipecat! Ibaratnya waktu itu saya dengan suka rela bersedia menanggung kecurangan orang lain, karena saking bucinnya! Lalu Zakki datang ke rumah saya. Tadinya saya kira, dia sudah bicara yang sebenarnya di hadapan Direktur Black Falcon, dan saya dipanggil untuk masuk kerja lagi ….”Widya lanjut bertutur, “Tapi ternyata… Zakki datang untuk memberi amplop isi surat referensi. Saya kerja di Black Falcon cuma delapan bulan, tapi Zakki membuatkan saya surat referensi dengan mencantumkan masa kerja satu tahun, katanya supaya saya lebih mudah mencari kerja lain. Cuma itu yang dia lakukan untuk saya, padahal saya sudah mengorbankan pekerjaan, dan te
Fatimah masuk lagi ke ruangan P3K.“Saya sudah menawarkan diri untuk menemani Maryam di tempat kosnya. Tapi Maryam tidak mau.” lapor Ningrum pada Fatimah.“Kenapa?” Fatimah menatap Maryam.Maryam menjawab, “Saya tidak sakit parah, hanya sakit maag. Sebentar lagi juga sembuh. Biasanya begitu.”Fatimah menyentuh kening Maryam, lantas bicara, “Kamu itu bukan hanya sakit maag, tapi juga demam. Sebaiknya kamu tidak sendirian. Mending sekarang kamu telepon saja saudara yang bisa diminta bantuan untuk menemani kamu di tempat kos, malam ini. Kalau nggak ada, kamu bisa menginap di rumah saya, atau ditemani sama Ibu Ning, karena barusan Ibu Ning sudah menawarkan diri untuk menemani kamu.”“Terima kasih Bu. Biarlah saya minta adik saya yang menemani saya.” ujar Maryam.“Oh, ada adikmu di Bandung? Tinggal di mana?”“Dia kuliah di UPI, tinggal di dekat kampusnya.” “Ya sudah kalau begitu. Kamu boleh pakai telepon kantor untuk menghubungi adikmu.” Fatimah teringat bahwa Maryam belum lagi punya pon
Maryam duduk di teras TK, untuk menghirup udara segar karena dadanya terasa sesak. Dia berharap sakit kepalanya bisa berkurang, tapi sepertinya kepalanya masih terasa berat dan berdenyut-denyut, pandangannya agak kabur. Fatimah menghampiri Maryam, memberikan bubur sumsum yang dikemas dengan gelas plastik. Lantas Fatimah mengajak pulang bareng karena jam kerja sudah usai. Maryam dan Ningrum berjalan menuju mobil Fatimah yang parkir di tepi jalan, di depan bangunan TK itu. Fatimah menyetir sendiri mobilnya. Mobil itu berjalan pelan keluar dari komplek perumahan, memasuki jalan raya yang cukup padat. Setelah melaju sekitar 100 meter, mobil berhenti di depan sebuah gang. Maryam turun sambil mengucapkan terima kasih. “Banyak istirahat, ya Maryam. Jangan lupa obatnya diminum, biar lekas sembuh.” kata Ningrum. “Iya Bu, terima kasih.” Maryam melangkah perlahan masuk gang. Tiba di kamarnya, Maryam ingat belum makan obat. Rasa mualnya sudah berangsur hilang, jadi sebaiknya obat itu dimakan
Marco memandang berkeliling area halaman belakang dari penginapan itu. Dia melihat ada pintu di tembok belakang.“Di belakang situ, ada apa, Mang?”“Brandgang, tembusnya ke jalan kecil di sebelah sana.”“Begini Mang … kalau aku pakai mobil itu, mungkin aku bakal dibuntuti terus, kayaknya di mobilku ada alat pelacak. Jadi aku mau bepergian naik ojek online. Minta tolong bawa mobilku ke showroom punya Mang Endi. Soalnya kalau mobilku ada di sini, orang-orang suruhan mama bisa mengira aku ada di sini. Aku khawatir mereka bikin gaduh dan nanti merugikan tamu di penginapan ini.” “Kenapa mama kamu sampai memasang alat pelacak di mobilmu?”“Mulanya karena mama nggak mau aku pergi naik gunung. Akhirnya mobil itu jarang aku pakai.”Sunedi memberi petunjuk ke mana Marco harus berjalan dan berbelok arah, hingga nanti akan menemukan jalan besar. Marco bisa menunggu ojek di depan sebuah bangunan publik yang mudah dicari oleh driver ojek.Akhirnya Marco sudah duduk di belakang driver ojek o
Marco tiba di Kota Cirebon saat tengah malam. Dia menuju sebuah penginapan kecil milik kerabatnya, bernama Sunedi. Sebenarnya Sunedi bukan kerabat berdasarkan hubungan darah. Dulunya Sunedi adalah sopir di rumah Pak Waluya, kakeknya Marco. Sudah sejak remaja Sunedi bekerja di rumah Pak Waluya.Pak Waluya selagi muda adalah PNS Dinas Pertanian Jawa Barat. Pak Waluya pernah bertugas di wilayah Pantura. Di pantura itulah dia bertemu Sunedi, anak yatim tamat SD yang sering datang ke dekat kantor Dinas Pertanian untuk ngarit, menyabit rumput. Sunedi bekerja sebagai pemelihara kambing milik tetangganya. Kerap kali anak itu ngarit di dekat kantor Pak Waluya pada sore hari, dan tampak lapar, karena belum makan sejak pagi. Sunedi sering diajak makan di kantor itu. Pak Waluya kemudian pindah tugas ke Bandung, Sunedi dibawanya dengan persetujuan keluarga anak itu. Sunedi disekolahkan di Bandung hingga tamat STM bidang otomotif.Pak Waluya memilh pensiun di usia 52 tahun. Beliau pensiun bukan kar
Niar bergegas ke luar dari kamar kos, berjalan menyusuri gang sempit menuju halaman minimarket di tepi jalan. Itulah lokasi yang paling sering menjadi titik penjemputan anak-anak kos sekitar situ, yang mau naik kendaraan online. Niar juga naik ojek online, sembari menggendong bungkusan boneka. Dia akan mengembalikan boneka itu pada Cynthia. Niar tidak tahu di mana rumah Cynthia, tapi tempo hari Cynthia memboncengnya menuju sebuah kompkeks perumahan kelas menengah. Niar meminta driver ojek ke kompleks itu, dan mencari sebuah blok yang diingat NIar. Untungnya setiap satu blok hanya untuk 30 – 40 rumah, jadi tidak terlalu banyak rumah yang mesti diamati.Akhirnya Niar tiba di rumah dua lantai yang di bagian bawahnya jadi toko sembako. Rumah tempat Cynthia pernah menyerahkan boneka Labubu padanya. Dan pada sore itu, Niar mengembalikan bungkusan yang berisi boneka Labubu.“Ini bukan rumah Cynthia. Ini rumah kerabatnya. Saya mah, hanya pekerja di toko ini.” ucap wanita yang menjaga toko.“
Maryam mengira begitu dia tiba di Cirebon, besoknya atau lusa pernikahan sang kakak akan dilangsungkan, sehingga dia bakal disuruh ikut bantu memasak hidangan. Ternyata belum ada waktu yang pasti, belum ada kesibukan memasak dalam jumlah besar untuk tamu pernikahan. Tentu saja Maryam merasa heran. “Kalau orang mau nikah, bukankah harus menetapkan tanggalnya yang pasti, untuk kedatangan penghulu dari KUA?”“Kabarnya Irma akan nikah siri, nggak daftar ke KUA.” jawab emaknya.“Nikah siri? Kenapa?”“Emak nggak tahu. Mungkin calon suaminya masih sibuk, belum bisa ngasi tanggal yang pasti. Tapi katanya bulan ini mereka akan menikah.”Maryam ingin bertanya, apakah Irma mau menikah siri karena calon suaminya masih berstatus suami orang? Namun pertanyaan itu urung disuarakan oleh Maryam, khawatir menyinggung perasaan emaknya. Bukankah emaknya juga menikah dengan suami orang?Duapuluhlima tahun lalu ketika emaknya menikah dengan bapaknya, sudah ada dua istri yang dimiliki oleh bapaknya, beriku
Marianne Wiratama bertemu dengan Rustini, ibunya Sabrina, di acara gathering para pengusaha fashion Bandung. Marianne baru tahu kalau Marco memutus hubungan dengan Sabrina.“Itu lho Sis, Marco berencana kerja di luar Jawa. Sabrina nggak setuju, karena aneh aja, sudah ada perusahaan milik keluarga, kenapa Marco malah pengin kerja di perusahaan punya orang lain di luar Jawa pula. Nah, karena Sabrina nggak setuju, lantas Marco bilang kalau Sabrina sudah beda prinsip dengan dirinya, jadi mending putus aja. Begitu ceritanya Sis.”Marianne semakin jengkel mendengar aduan Rustini. Kalau benar Marco berencana kerja di luar Jawa, itu berarti Marco mengambil langkah sendiri tanpa pernah bicara dengan orang tua. Marianne merasa sudah diremehkan oleh anaknya.“Aku harus mulai bersikap keras pada Marco.” pikir Marianne. “Kalau dibiarkan seperti itu, Marco malah semakin semaunya sendiri, nggak mikirin perasaan orang tua.”***Sementara itu Marco masih berada di rumah Zakki.“Masalahnya sekarang ada
Marco masih menunggu panggilan kerja. Mamanya menyuruh dia menengok rumah milik Zakki, yang sudah dua minggu ditinggalkan. Zakki mengajak istrinya berlibur ke Korea, untuk healing setelah kesedihan karena kehilangan anak mereka. Dengan motor, Marco menuju rumah Zakki, untuk mengecek apakah rumah itu aman.Rumah Zakki berada satu kompleks dengan TKIT Bunga Bangsa. Marco kaget saat melewati TK itu, yang dilihat olehnya adalah bangunan kosong, pintu pagar digembok, dan halaman yang diseraki dedaunan kering serta rumput yang sudah tumbuh cukup tinggi. Tidak nampak penjaga atau satpam di depan bangunan TK itu. Marco mampir di rumah makan yang berada dekat TK.Marco membeli nasi, pepes ayam, botok teri, sambal plus lalap, bakwan jagung dan perkedel kentang, juga es campur, semua dibungkus. Saat membayar, Marco bertanya pada pegawai rumah makan itu.“Sekolah TK yang di depan itu, lagi libur ya?”“Oh, TK itu mah, sudah bubar, nggak ada lagi murid yang daftar ke situ.”“Bubar? Guru-gurunya ke
Cynthia memperkirakan, jika Maryam kena kasus hukum di Cirebon, maka Maryam tidak akan kembali ke Bandung dalam waktu dekat. Lantas siapa yang akan datang menolong Maryam? Cynthia yakin jika Hanif yang kelak akan datang untuk membantu advokasi bagi Maryam. Kebersamaan Maryam dan Hanif selama proses hukum, akan membuat mereka dekat. Kalaupun misalnya Maryam kena pidana, dan harus dihukum, Cynthia mengira Maryam hanya akan kena hukuman percobaan selama satu tahun, atau paling lama satu tahun enam bulan. Maryam tidak akan dipenjara, tapi akan masuk panti rehabilitasi korban narkoba. Selama menjalani rehabilitasi, Maryam akan semakin dekat dengan Hanif, dan akhirnya Marco akan terlupakan. Maryam akan memilih Hanif. Begitulah rencana Cynthia. “Maaf kalau nanti kamu bakal sedikit susah, Maryam. Aku bikin rekayasa kasus hukum buat kamu, supaya kamu bisa lebih dekat lagi dengan Hanif. Aku sudah dapat banyak info tentang dirimu, dari teman-teman dekatmu. Hanya Hanif yang bisa bikin Mar
Niar mengenal Cynthia ketika suatu hari Cynthia datang ke rumah kos tempat Niar tinggal. Cynthia melihat Niar keluar dari salah satu kamar, bersama dengan teman sekamarnya. Lantas Cynthia mengikuti Niar yang pergi bekerja di sebuah supermarket. Kemudian Cynthia mengajak Niar bicara, yang intinya meminta kerjasama Niar untuk membuat Maryam meninggalkan rumah kos itu. Kalau Maryam tidak mau hengkang, maka Niar diminta mencari tahu kapan Maryam akan pulang kampung, karena Cynthia ingin menitipkan sesuatu supaya dibawa oleh Maryam ke kampungnya.Ketika itu Niar ingin tahu, apa alasan Cynthia ingin membuat Maryam pergi dari rumah kos itu, bahkan sebenarnya Cynthia ingin Maryam pergi dari Bandung. Cynthia bilang bahwa Maryam adalah pelakor bagi hubungan antara Sabrina dan Marco. Cynthia bilang bahwa Sabrina adalah kerabatnya, yang sudah bertunangan dengan Marco, dan pernikahan mereka sudah dipersiapkan. Akan tetapi Marco malah lebih sering ngurusin Maryam, lebih peduli pada Maryam, ketimb
“Cepat habisin makannya Teteh, kayaknya banyak pembeli.”Omongan Nanang menyadarkan Maryam dari lamunan tentang hari di mana dia bersikap tidak peduli saat Marco meneleponnya dan bicara soal wisuda. Rasanya sesak sekali di dada, saat harus bersikap masa bodoh terhadap hari wisuda Marco. Hari di mana Marco seharusnya merasa bahagia karena akhirnya dia berhasil menyelesaikan studi.Maryam menghabiskan kupat tahu di piringnya, lantas meninggalkan bangku yang sejak tadi didudukinya. Nanang sudah membayar, lantas mengajak kakaknya berjalan kaki ke sebuah taman kecil di tepi sebuah jalan raya. Maryam dan adiknya duduk di bangku taman. Maryam sudah bercerita pada adiknya, soal TKIT Bunga Bangsa yang tidak lagi beroperasi. Soal pemberhentiannya dari pekerjaan di bimbel.“Sekarang ini Teteh jadi pengangguran, Nang.”“Oh, kalau begitu kebetulan Teh ….”“Kebetulan apa?”“Bapak nyuruh kita pulang ke Cirebon, Teh Irma mau nikah.”Irma adalah saudara sebapak, ibunya Irma adalah istri pertama bapakn