Setelah berjam-jam pendakian, mereka akhirnya tiba di puncak Prau, lima belas menit sebelum sunset.
Ada beberapa pendaki juga, tapi mereka kebanyakan telah bersiap turun.Salma dan kawan-kawannya mulai mengambil gambar dengan antusias, setelah itu mulai mengambil swafoto dengan pasangan yang membuat Andika dan Salma hanya bisa saling pandang dengan pahit."Kalau tahu begini, lebih baik kamu bawa Si Adyan Maheswara itu, Sal." kata Andika pula sembari menegak minumannya."Kalau aku bersama Adyan, maka kamu akan semakin ngenes." balas Salma pula sembari tertawa kecil. "Lagipula, kamu itu tampan, tetapi tidak jua membuat wanita kepincut padamu." lanjutnya pula."Dulu aku belum punya wanita yang kusukai," ujar Andika pula. Salma memasang ekspresi mual."Sekarang sudah ada doong.""Lalu kenapa tidak kamu gaet?" tanya Salma lagi. Keduanya fokus bercakap cakap sembari menikmati detik detik sunset, yang lainnya sibuk berfoto ria."Istri orang soalnya..." Andika tertawa pendek, matanya menatap ke arah Effendy saat mengatakannya."Ekstrim." tanggap Salma pula."Setelah ini kita akan turun ke Sunrise Camp dulu untuk bermalam, besok baru turun." ucap Andika pada Salma yang mulai melamun menatap sunset.Salma hanya mengangguk singkat, tatapan matanya secara tidak sengaja tertumpu pada Milena yang tertawa menunjukkan hasil swafotonya dengan Fred pada laki-laki itu. Fredy tampak tersenyum tipis."Senyumannya manis, tapi mahal." Salma mengeluh tanpa sadar, namun hanya dia yang mendengar gumamannya sendiri.Setelah puas berfoto foto ria, enam sekawan itu kemudian meninggalkan puncak menuju Sunrise Camp. Salah satu areal camping yang berjarak sekitar satu jam dari puncak. Mereka mulai menyalakan senter karna hari yang telah menggelap.Satu jam lewat belasan menit, mereka sampai di area perkemahan itu. Kalau bukan karna hari yang sudah meremang, keadaan di sana sungguh sangat indah.Salma mengedarkan pandang. Ada beberapa tenda di sana, kebanyakan menggunakan lampu tenda. Tidak ada api unggun. Katanya itu salah satu larangan di Prau.Mereka mulai sibuk mendirikan tenda. Tenda yang didirikan itu terdiri dari dua tenda yang masing-masing bisa menampung tiga orang. Tenda pertama ditempati oleh Effendy, Fred, dan Andika, tenda kedua di tempati oleh tiga cewek yang ada.Mereka duduk sebentar di luar sembari memakan makanan instan dari kemasannya langsung. Salma menjadi yang paling pertama pamit tidur karna dia memang sudah merasa mengantuk. Sedang ke lima kawan yang lain masih duduk duduk dengan santai dalam balutan jaket mereka.***Salma tak tahu berapa lama ia tertidur, ia terbangun akhirnya karna panggilan alam untuk buang air kecil. Dia memang paling tidak tahan dengan udara dingin. Ketika Salma bangun, ia melihat Milenna dan Ashley sudah masuk ke tenda dan meringkuk dalam kantong tidur masing masing.Salma meraih senternya, merapatkan jaket dan keluar dari tenda.Di luar, hanya tersisa Andika dan Fred. Effendy sudah masuk ke dalam tendanya. Melihat Salma keluar, Andika langsung bersuara. Suaranya terdengar serak karna udara dingin."Mau kemana?""Pee." balas Salma."Perlu di temani?" Tanya Andika lagi. Sedang Fred hanya menatap Salma dengan pandangan biasa.Salma menggeleng. Andika akhirnya tidak berbicara lagi. Salma Andara meninggalkan tenda. Siluetnya perlahan mulai lenyap di balik pepohonan bersama sinar senternya.***Usai menuntaskan hajatnya, Salma bergegas untuk kembali ke tenda. Udaranya dingin sekali, dia merasa akan membeku jika terlalu lama di luar. Wanita itu berjalan dengan tergesa-gesa mengusir dingin, namun sayangnya itu membuat ia tidak demikian memperhatikan jalan, kakinya tersandung, dan senter di tangannya terlepas, terantuk batu dengan keras sehingga pecah. Wanita itu merasa perih di telapak tangan dan lututnya. Salma merangkak meraih senternya, hanya ketika dia meraih senter itu, benda tersebut berkelip dua kali dan akhirnya mati.Kegelapan langsung mencekam."Ah, sh*t." maki Salma. Dia berusaha menghidupkan senternya, namun benda itu tidak juga menyala. Salma mengangkat mata berusaha menyesuaikan pandangan dengan kegelapan. Dengan tertatih, Salma berusaha melangkah ke depan sembari meraba -raba. Namun setelah berjalan beberapa lama, ia menyadari kalau dia tak kunjung sampai di areal perkemahan.Wanita itu duduk di bawah sebatang mohon. Hembusan udara dingin membuatnya menggigil.Dia ingin berteriak, tapi tenggorokannya serak. Giginya bahkan bergemelutuk saking dinginnya."Siapapun..." Salma memeluk dirinya sendiri dengan erat, "Tolong..." pintanya pelan di telan gaung angin gunung.***Andika telah berpamitan untuk tidur sejak tadi, dan Fred masih setia duduk diluar dengan alat praktis penghangat udara buatan di dekatnya. Dia tanpa sadar terus menoleh ke arah siluet hutan di mana tadi Salma menghilang."Sudah setengah jam. Mengapa dia belum kembali juga?" Fred melirik arlojinya yang nyaris tenggelam oleh lengan jaket.Lelaki itu merasa khawatir. Dia meraih senter dan mengayunkan langkahnya ke arah dimana tadi Salma pergi.Memasuki hutan, Fredy mengedarkan pandang dan semakin merasa tidak enak melihat tidak ada siluet senter di kejauhan sekalipun. Hutan itu terlalu hening."Salma!" dia menyerah dan memanggil. Tidak ada sahutan. Fred melangkah lebih jauh, berteriak memanggil Salma Andara.Setelah nyaris tiga puluh menit berteriak sambil berputar -putar, cahaya senternya mengenai sosok wanita pucat yang bersandar ke pohon dengan diam.Hari Fredy Antonio mencelos. Dia mendekat dengan cepat, Itu Salma Andara."Sal... Salma..." Dengan lembut di tepuknya pipi Salma. Tak ada respon. Pipi gadis itu dingin sekali."Salma...." Fred tidak menyerah, terus berusaha menyadarkan gadis itu. Kelopak mata Salma pelan terbuka, tapi lemah."Hey ... you okay? Kau dengar aku?" tanya Fred menguji kesadaran Salma.Setelah mengenali presensi di hadapannya, bibir Salma yang sudah memutih pucat bicara, "Di..dingin sekali..." keluhnya nyaris tak terdengar."Kita kembali ke tenda," kata Fred, merangkul wanita itu, membantunya berdiri."Senterku rusak..." kata Salma pula. Dia hanya bisa berbisik saking menggigilnya.Fred tidak menyahut, Dia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Salma. Membuat rasa dingin yang menerpa sedikit berkurang.Langkah kaki Salma menjadi terseret karna dia nyaris mengalami hipotermia.Setelah berjalan beberapa saat, Fred mengangkat senternya dan menyadari sesuatu. Dia kehilangan arah. Malam yang gelap membuatnya tidak dapat mengenali jalan yang tadi dilaluinya. Tadi dia benar-benar di amuk rasa cemas sehingga Fred tidak benar benar memperhatikan jalan yang di laluinya."Hilang arah?" Salma berbicara dalam rangkulannya. Wanita itu masih bisa menilai ke adaan."Holy crap." maki Fred. Dia menghela napas gusar dan akhirnya duduk di bawah pohon yang cukup bersih bersama Salma tanpa melepaskan gadis itu."Jangan jalan terus, takutnya semakin salah arah." gumam Salma pula. Wanita itu telah memeluknya, Fred dapat merasakan tubuhnya yang gemetar dan punggung tangannya yang dingin."Kita harus menunggu sampai pagi," kata Fred akhirnya. Daripada menanggung resiko yang lebih buruk, itu adalah pilihan terbaik. Lagipula, Fred tahu bahwa hutan ini sebenarnya tidak seberapa luasnya. Salma tak menjawab.Fred menurunkan kancing jaketnya, Membuat pelukan di antara mereka sedikit mengendur."Kenapa?" tanya Salma serak."Tanpa mengucapkan apapun, Fred menarik tubuh Salma dalam jaket tebalnya yang lebar itu. Kini tubuh Salma sudah berada dalam jaket yang sama dengan Fred. Tidak ada yang bicara. Nyatanya cara itu ternyata bisa mengurangi rasa dingin cukup drastis.Hembusan napas Salma yang hangat menerpa pangkal leher Fred membuat laki-laki itu merasa lebih baik."Cobalah tidur, beberapa jam lagi pagi akan datang," hibur Fredy lembut. Itu memang sudah masuk subuh."Sepertinya aku tidak akan suka jika pagi datang..." Salma menggumam pelan. "Aku suka saat aku bisa memelukmu sedekat ini. Itu begitu ...menenangkan." dia terus menggumam.Fred tak menjawab, ketika dia menunduk, di lihatnya Salma yang menempel di dadanya sepertinya sudah setengah tertidur."Ini pasti mimpi...." gumam Salma terakhir sebelum dia akhirnya benar benar tak bersuara lagi.Fredy semakin merapatkan tubuh Salma padanya dan menyandarkan kepalanya ke batang pohon, mencoba memejamkan mata.***Salma Andara terbangun di atas ranjang Fredy Antonio! Dia tidak salah lihat. Di antara rasa peningnya karna pengaruh alkohol semalam, dia masih dapat mengenali laki-laki yang berbaring telungkup dalam balutan selimut tanpa busana di sampingnya itu adalah Fred. Sahabatnya, sekaligus lelaki yang dia cintai. Kilasan kejadian semalam bermunculan dalam benaknya, dia tidak begitu ingat bagaimana bisa dia berakhir di tangan Fred. Yang Salma ingat, dia terkahir berada di klub bersama dua sahabat lelakinya yang lain, sahabat mereka, Effendy dan Andika.Lalu, dia tidak ingat apapun selain malam panas yang dilewatinya tanpa akal sehat, ketika dia dan lelaki di sampingnya tidak lagi mengenal jarak."O, Sh*t." keluhnya dengan paras memerah. Salma adalah perempuan terhormat, dia tidak pernah bermimpi akan berakhir seperti ini meskipun dia telah mencintai Fredy sejak lama. Dia menatap Fred, laki-laki itu masih terbaring tenang. Bulu matanya yang lentik dan panjang di teduhi sepasang alis tebal yang
"Akhirnya dia datang juga," Ibu Salma, Sundari Andara tersenyum ketika Salma memasuki ruang makan kediaman Andara.Di sana sudah ada keluarga Maheswara, Priyan Maheswara, Kim Hyuna Isterinya, dan Adyan Maheswara yang ternyata lebih ramah dari yang Salma bayangkan. Mereka menatap kedatangan Salma dengan senyum lebar.Salma membalas senyum itu sebagai formalitas, lalu menyalami keluarga itu dengan ramah sebelum akhirnya duduk di kursi makan kosong yang berhadapan langsung dengan Adyan Maheswara. Sekali pandang, Salma langsung bisa menilai kalau dia bukan laki-laki yang buruk. Wajahnya tampan, khas campuran Korea Indonesia, dengan senyum manis yang Salma kira adalah daya tarik tersendiri laki-laki itu."Kamu sangat cantik, Nona Andara," puji Kim Hyuna. Salma memang perempuan yang cantik dan pandai memadupadankan busana. Dia selalu terlihat anggun dan bersinar kemanapun dia melangkah."Terimakasih, Nyonya." balas Salma dengan senyum lembut. "Baiklah, karna semua sudah lengkap, ada baikn
Dalam persahabatan mereka, kelima sahabat itu memiliki sebuah basecamp khusus yang telah mereka tetapkan semenjak masa perkuliahan mereka. Basecamp itu terletak di lantai tiga mall milik keluarga Antonio. Meskipun demikian, cukup jarang mereka kumpul disana karna kepadatan pekerjaan.Malam itu, Salma mendapati pesan dari sahabat-sahabatnya yang meminta ia datang ke basecamp.Sebenarnya, Salma tidak merasa tertarik untuk datang karna lagi-lagi dia enggan bertemu dengan Fred. Namun, demi solidaritas, wanita cantik itu memutuskan untuk datang.Salma menjadi yang terakhir tiba, karna dirinya memang sengaja ingin terlambat. Ketika dia sampai, dilihatnya para sahabatnya sudah ada di sana dengan pakaian santai, sama seperti yang dia kenakan. Rasanya sudah lama Salma tidak menyaksikan kawan-kawannya berkumpul dalam balutan pakaian nonformal, mengingat setiap pertemuan mereka dilakukan pada waktu break pekerjaan."Hai," sapanya sembari tersenyum, langsung membuka kulkas untuk mengambil segelas
Seminggu kemudian, rencana pendakian ke Dieng itu nyatanya benar -benar terealisasi. Mereka berkumpul dulu di basecamp sebelum kemudian pergi ke Wonosobo.Salma menjadi orang ke empat yang datang dengan kaos putih dan celana gunungnya. Di sana sudah ada Effendy, Ashley dan Andika.Salma menghempaskan tubuhnya ke sofa."Barang-barangmu?" tanya Andika."Mobil, tidak mungkin aku membawanya kesini." tukas Salma sembari memutar mata. Ia terlihat cantik dalam pakaian santainya, meski aura elegan yang di bawanya tidak sedikit jua luntur.Dia menoleh malas pada Ashley yang duduknya tak pernah jauh dari Chislon."Jangan menyusahkan, kamu selalu menjadi yang paling merepotkan ketika mendaki." gerutu Salma blak-blakan pada Ashley. Perempuan berkulit putih pucat itu mendengus mendengar teguran Salma."Fredy lama," Andika bersuara. Effendy melihat sembari tersenyum kecil, "Begitulah kalau bawa pacar.""Iya, sama seperti kamu dan princessmu itu." balas Andika yang tidak di indahkan Effendy.Sementa
Setelah berjam-jam pendakian, mereka akhirnya tiba di puncak Prau, lima belas menit sebelum sunset. Ada beberapa pendaki juga, tapi mereka kebanyakan telah bersiap turun.Salma dan kawan-kawannya mulai mengambil gambar dengan antusias, setelah itu mulai mengambil swafoto dengan pasangan yang membuat Andika dan Salma hanya bisa saling pandang dengan pahit."Kalau tahu begini, lebih baik kamu bawa Si Adyan Maheswara itu, Sal." kata Andika pula sembari menegak minumannya."Kalau aku bersama Adyan, maka kamu akan semakin ngenes." balas Salma pula sembari tertawa kecil. "Lagipula, kamu itu tampan, tetapi tidak jua membuat wanita kepincut padamu." lanjutnya pula."Dulu aku belum punya wanita yang kusukai," ujar Andika pula. Salma memasang ekspresi mual."Sekarang sudah ada doong.""Lalu kenapa tidak kamu gaet?" tanya Salma lagi. Keduanya fokus bercakap cakap sembari menikmati detik detik sunset, yang lainnya sibuk berfoto ria."Istri orang soalnya..." Andika tertawa pendek, matanya menatap
Seminggu kemudian, rencana pendakian ke Dieng itu nyatanya benar -benar terealisasi. Mereka berkumpul dulu di basecamp sebelum kemudian pergi ke Wonosobo.Salma menjadi orang ke empat yang datang dengan kaos putih dan celana gunungnya. Di sana sudah ada Effendy, Ashley dan Andika.Salma menghempaskan tubuhnya ke sofa."Barang-barangmu?" tanya Andika."Mobil, tidak mungkin aku membawanya kesini." tukas Salma sembari memutar mata. Ia terlihat cantik dalam pakaian santainya, meski aura elegan yang di bawanya tidak sedikit jua luntur.Dia menoleh malas pada Ashley yang duduknya tak pernah jauh dari Chislon."Jangan menyusahkan, kamu selalu menjadi yang paling merepotkan ketika mendaki." gerutu Salma blak-blakan pada Ashley. Perempuan berkulit putih pucat itu mendengus mendengar teguran Salma."Fredy lama," Andika bersuara. Effendy melihat sembari tersenyum kecil, "Begitulah kalau bawa pacar.""Iya, sama seperti kamu dan princessmu itu." balas Andika yang tidak di indahkan Effendy.Sementa
Dalam persahabatan mereka, kelima sahabat itu memiliki sebuah basecamp khusus yang telah mereka tetapkan semenjak masa perkuliahan mereka. Basecamp itu terletak di lantai tiga mall milik keluarga Antonio. Meskipun demikian, cukup jarang mereka kumpul disana karna kepadatan pekerjaan.Malam itu, Salma mendapati pesan dari sahabat-sahabatnya yang meminta ia datang ke basecamp.Sebenarnya, Salma tidak merasa tertarik untuk datang karna lagi-lagi dia enggan bertemu dengan Fred. Namun, demi solidaritas, wanita cantik itu memutuskan untuk datang.Salma menjadi yang terakhir tiba, karna dirinya memang sengaja ingin terlambat. Ketika dia sampai, dilihatnya para sahabatnya sudah ada di sana dengan pakaian santai, sama seperti yang dia kenakan. Rasanya sudah lama Salma tidak menyaksikan kawan-kawannya berkumpul dalam balutan pakaian nonformal, mengingat setiap pertemuan mereka dilakukan pada waktu break pekerjaan."Hai," sapanya sembari tersenyum, langsung membuka kulkas untuk mengambil segelas
"Akhirnya dia datang juga," Ibu Salma, Sundari Andara tersenyum ketika Salma memasuki ruang makan kediaman Andara.Di sana sudah ada keluarga Maheswara, Priyan Maheswara, Kim Hyuna Isterinya, dan Adyan Maheswara yang ternyata lebih ramah dari yang Salma bayangkan. Mereka menatap kedatangan Salma dengan senyum lebar.Salma membalas senyum itu sebagai formalitas, lalu menyalami keluarga itu dengan ramah sebelum akhirnya duduk di kursi makan kosong yang berhadapan langsung dengan Adyan Maheswara. Sekali pandang, Salma langsung bisa menilai kalau dia bukan laki-laki yang buruk. Wajahnya tampan, khas campuran Korea Indonesia, dengan senyum manis yang Salma kira adalah daya tarik tersendiri laki-laki itu."Kamu sangat cantik, Nona Andara," puji Kim Hyuna. Salma memang perempuan yang cantik dan pandai memadupadankan busana. Dia selalu terlihat anggun dan bersinar kemanapun dia melangkah."Terimakasih, Nyonya." balas Salma dengan senyum lembut. "Baiklah, karna semua sudah lengkap, ada baikn
Salma Andara terbangun di atas ranjang Fredy Antonio! Dia tidak salah lihat. Di antara rasa peningnya karna pengaruh alkohol semalam, dia masih dapat mengenali laki-laki yang berbaring telungkup dalam balutan selimut tanpa busana di sampingnya itu adalah Fred. Sahabatnya, sekaligus lelaki yang dia cintai. Kilasan kejadian semalam bermunculan dalam benaknya, dia tidak begitu ingat bagaimana bisa dia berakhir di tangan Fred. Yang Salma ingat, dia terkahir berada di klub bersama dua sahabat lelakinya yang lain, sahabat mereka, Effendy dan Andika.Lalu, dia tidak ingat apapun selain malam panas yang dilewatinya tanpa akal sehat, ketika dia dan lelaki di sampingnya tidak lagi mengenal jarak."O, Sh*t." keluhnya dengan paras memerah. Salma adalah perempuan terhormat, dia tidak pernah bermimpi akan berakhir seperti ini meskipun dia telah mencintai Fredy sejak lama. Dia menatap Fred, laki-laki itu masih terbaring tenang. Bulu matanya yang lentik dan panjang di teduhi sepasang alis tebal yang