Anggara mencari tempat duduk di luar resto. Dia sangat tahu akan Akira yang sangat menyukai pemandangan alam. Sehingga dia memilih tempat duduk yang langsung berhadapan dengan pemandangan perbukitan itu. Mereka duduk berhadapan dengan tangan yang masih menggenggam. “Suka tempatnya? Hum?” Tanya Anggara, matanya menatap mesra ke arah gadis berparas ayu itu. “Hum, aku suka Ang. Terima kasih ya.” Jawab Akira terdengar tulus. Dia menatap balik ke arah kekasihnya. Seorang pelayan resto menghampiri meja mereka. Memberikan buku berisi menu yang tersedia di restoran tersebut. Keduanya sama-sama menatap ke arah menu. Akira membelalakkan mata melihat harga di menu tersebut. Harganya setara dengan uang sakunya selama seminggu. Rata-rata harganya lumayan mahal, sehingga membuat Akira bingung untuk menetapkan pesanannya. Anggara memesan Beef Gordon Bleu serta Cold Brew. Lalu mengalihkan pandangannya pada Akira. “Sayang mau makan apa?” Tanyanya pada kekasihnya. Akira tergagap, melihat
Sore itu Raditya mulai mempersiapkan diri untuk penerbangan ke Singapura, mereka mendapat jam penerbangan malam.Keadaan Argi sudah semakin membaik, sakit di kepalanya sudah mulai menghilang. Dia sudah mampu bersuara namun sepertinya kondisi laringnya mengalami pembengkakan. Sehingga suaranya terkadang menghilang.Argi sudah bisa duduk, meskipun tangan dan kaki kirinya masih dibalut gips. Dengan bantuan kursi roda, ia sudah bisa keluar dari kamar rawat inap. Hanya untuk menghirup udara bebas di taman yang berada di Rumah sakit Medika Utama.Semangat Argi mulai tumbuh seiring bertambahnya hari. Luka di hatinya kini mulai membaik, karena kehadiran kedua orang tuanya yang selalu setia menemani.Luka dan memar di wajah juga semakin memudar. Argi telah pulih kembali meskipun kondisinya belum sembuh total. Karena memerlukan berbulan-bulan untuk kembali normal.Teman sekolah bergantian mengunjunginya, banyak di antaranya adalah para gadis yang menjadi siswi di sekolahnya. Mereka sangat mengi
“Ang, kamu harus lekas ke rumah sakit. Ayo!” Akira bangkit dari duduknya, dia begitu terkejut akan berita itu. Mama Ruth tentu membutuhkan kehadiran Anggara.“Tapi kamu belum makan, sayang? Kita makan dulu ya. Habis itu baru ke Rumah Sakit, aku percaya mama papa pasti menunggu. Akira kembali duduk, saat Anggara memaksanya untuk kembali duduk.Hingga tak lama pelayan resto membawa pesanan mereka.Dengan cepat mereka fokus menghabiskan makanan, dan menyisakan dua dessert yang sudah terlanjur dipesan untuk dibungkus. Karena tidak mungkin untuk menghabiskan semua makanan.Anggara menyesap minumannya, sedangkan Akira sudah lebih dulu menghabiskan minumannya. Dia sama seperti Anggara yang merasa cemas.Jika hal itu terjadi pada ayahnya maka Akira akan secepatnya untuk mengunjungi ayahnya.Meski kekhawatiran menyelimuti hatinya, Anggara sempat memperhatikan ekspresi dari Akira. Dia sangat tahu Akira adalah gadis yang sangat peduli.“Ayo kita balik sekarang, sayang.” Ucap Anggara, meskipun mi
Anggara menggeser tubuhnya dan melangkah mundur selangkah, agar sejajar dengan Akira. Ruth mengamati gadis itu, lalu kembali memandang putranya untuk menagih jawaban.“Mama, kenalin ini Akira. Temanku.” Jelas singkat Anggara.Akira memandang ke arah wanita di hadapannya, lalu mengulas senyum manisnya sembari mengulurkan tangan untuk mencium tangan mama Ruth.“Saya Akira, salam kenal, Tante.” Ucap Akira memperkenalkan diri.Ruth masih terdiam namun dia tetap membalas sikap ramah Akira. Bibirnya mengulas senyum singkat. Otaknya masih berpikir, merasa seperti pernah bertemu dengan gadis itu. Namun entah dimana.“Hm, mama seperti pernah lihat kamu, dimana ya? Mama lupa, Nak.” Ujar Ruth. Anggara menangkap maksud dari mamanya.“Iya ma, mama pernah bertemu di Rumah Sakit waktu kita jenguk Argi.” Ucap Anggara membantu mama Ruth mengingat.“Ya, mama ingat sekarang Nak.” Ruth menjentikkan jarinya. “Apa kabar, Nak?” lanjutnya.“Baik Tante. Saya turut prihatin ya Tan. Mudah-mudahan om lekas memba
Kini mereka berada di perjalanan pulang. Perasaan Anggara semakin yakin terhadap Akira. Melihat sikap mama Ruth yang begitu ramah, dan begitupun sikap Akira yang sangat santun. Ini adalah awal yang baik dari hubungan yang mereka jalani.Ketika berada di lampu merah, Anggara meraih tangan kecil Akira, lalu menciumnya.“Thank you, baby.” Ucapnya mengalihkan pandangan Akira untuk menatapnya.“Hm? Untuk apa Ang?” Akira tidak mengerti, sedari tadi ia merasa tidak melakukan apapun.“Terima kasih sudah mau mengenal keluargaku.” Ulang Anggara, hatinya diliputi rasa bahagia meskipun papanya masih belum sadar dan belum bisa mengenalkan Akira.“Oh, sama-sama.” Senyum Akira mengembang.“Nanti kalau papa sudah sadar, aku akan bawa kamu lagi untuk bertemu.”Akira mengangguk, lalu kembali menatap ke jalanan di hadapannya. Dia sangat senang melihat sikap ramah mama Ruth, namun apakah nantinya sikap papa Anggara sama? Mendengar cerita tentang papa Anggara membuatnya ragu.“Sayang, kapan-kapan aku juga
Namun sampai beberapa detik berlalu, tidak terjadi apapun. Sehingga membuat Akira kembali membuka matanya.“Apa, beb? Nungguin?” Ucap Anggara sembari tersenyum lebar. Anggara merasa gemas akan tingkah laku gadis itu. Dia sengaja menggodanya. Wajah Akira kembali memerah, dia merasa malu karena sudah berharap sesuatu akan terjadi. Akira merutuki dirinya sendiri.“Ish, Aang!” Terlihat bibir Akira mengerucut, dia tengah pura-pura marah. Namun yang ada Anggara malah semakin tertawa lebar. Gadis itu menggeser posisi duduknya dan mengalihkan posisinya menjauh. Berlagak seperti orang yang tengah ngambek.“Maaf sayang, jangan marah aku hanya bercanda.” Ucap Anggara.Namun Akira terlihat masih marah, tangannya bersedekap di depan dada dan tidak mau melihat ke arah Anggara ataupun menjawab ucapannya.“Sayang, marah?” Anggara bergerak menarik Akira, namun Akira seakan menahan diri. Anggara pantang menyerah, dia menyesal telah membuat kekasihnya merasa kesal.Kembali Anggara menarik lengan Akira,
Dany tengah memandang ke layar ponsel, menanti balasan dari pesan yang ia kirim ke sahabatnya.Dany merasa sangat putus asa, dia butuh teman untuk menyampaikan keluh kesahnya. Kekasih yang sangat ia harapkan begitu mematahkan hatinya. Bahkan Bayu tak berusaha untuk menghubunginya. Meskipun dia beralasan ponselnya telah hilang, tapi bukankah ada alternatif lain untuk bisa menghubunginya. Dany sudah mengecek ke semua sosial media milik Bayu. Dan sepertinya pemuda itu sudah seminggu ini tidak aktif di sosial medianya.Tangannya bergerak mengusap permukaan perut yang terlihat masih rata karena usianya baru menginjak satu bulan.Kadang Dany masih tidak percaya dengan kehamilannya. Tubuhnya masih sama seperti sebelumnya, belum ada perubahan fisik terlihat.‘Apa benar ada bayi di perutku? Apa yang harus aku lakukan jika Bayu tidak mau bertanggung jawab? Apa harus aku menggugurkan janin ini? Lalu kemana aku harus pergi?’ ujar Dany pilu dalam hatinya. Begitu banyak pertanyaan yang membebani p
Isi pesan dari nomor yang tak tersimpan dalam kontak ponselnya.Melihat dari gaya bahasa dan pengetikan, dia seperti tidak asing. Panggilan ‘Aang’ tentu hanya panggilan dari orang terdekatnya.Anggara mencoba mengabaikan pesan yang sudah terlanjur dibaca. Kembali ia melanjutkan permainannya.Namun tak lama nomor itu kembali menghubunginya.[Brengs3k lu! Sombong lu ya sekarang. Ingat sampai detik ini lu adalah suami gue, ayah dari anak gue.]Gaya bahasa yang kasar langsung membuat Anggara mengingat. Seseorang dari masa lalunya kembali menghubungi. Padahal Anggara sudah mengganti nomor lamanya. Itupun atas ide dari Baskoro.Selama ini wanita itu hanya bisa menghubungi Baskoro jika dia memerlukan uang.Anggara tak berniat untuk membalasnya. Segera ia mematikan ponselnya.Hatinya berdebar hebat, bayangan masa lalu kembali berputar di otaknya.Anggara mencoba mengenyahkan itu dari pikirannya. Pikiran Anggara kini terganggu dengan kehadiran kembali wanita dari masa lalunya.Perasaan takut m