Bel sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran telah usai. Akira mengemas buku dan peralatan sekolahnya. Begitupun sama halnya yang dilakukan oleh Dany.Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, Akira melangkah beriringan dengan Dany menuju parkiran sekolah.Di tengah perjalanan, seorang pemuda berkacamata mendekat ke arah mereka."Hay, Magdalena. Apa Kabar?" Ucap David dengan senyum yang tersungging di bibirnya yang tipis."Hay, Kak David. Baik kak." Jawab Akira seraya menghentikan langkahnya. Dany ikut menoleh ke arah pemuda itu."Besok, jangan lupa datang ya ke ibadah pemuda.""Baik kak, besok aku datang. Aku pulang dulu kak, mari.." pamit Akira pada pemuda itu, lalu kembali melangkahkan kakinya sambil menarik tangan sahabatnya."Hati-hati. Sampai jumpa." David melambaikan tangan pada Akira. Meskipun gadis itu terlihat cuek, namun David masih berusaha mendekatinya. Melihat punggung Akira yang lama-lama menjauh, dengan senyuman yang masih mengembang di bibirnya.Tak lama David pun
Akira dan Dany kini telah berada di rumah. Saat ini mereka tengah menikmati nasi bungkus, yang dibeli di pinggir jalan, sepulang sekolah tadi.Dany menikmati makan siangnya sembari matanya fokus menatap ke layar ponsel. "Na, ntar lu mau ikut? Bayu ngajakin gue, katanya ada acara party." Ucap Dany tanpa mengalihkan pandangannya."Kemana? Gue kayaknya gak ikut deh, Dan. Gue capek, mau tidur aja." Akira memang tipe yang tidak terlalu suka keramaian, apalagi acara kumpul party."Serius? Gue pulang malam lho, Na. Apa gue minta Argi buat nemenin lu di sini?" Kini pandangan Dany menatap ke arah Akira."Duh, gak usah Dan. Kalau Argi kesini nanti jadi masalah, gue gak enak sama tetangga di samping rumah." "Hmm, iya juga sih. Tapi beneran lu berani sendiri di rumah?" Tanya Dany lagi memastikan, sebenarnya dia tidak enak hati meninggalkan Akira sendirian, cuma ajakan Bayu juga susah untuk dia tolak."Lu santai aja, gue berani." Ucap Akira meyakinkan sahabatnya.Dany pun mengangguk paham, setel
Hari itu cafe dalam kondisi tidak terlalu banyak pengunjung. Leo masih setia mendampingi Anggara duduk di balik meja kasir.Anggara meraih ponselnya dan mulai menghubungi mama Ruth yang dia tinggal sendiri di kontrakannya. Gak menunggu lama teleponnya terhubung dengan wanita itu."Halo, mama sedang apa? Udah makan?""Ya, Nak. Mama udah makan. Jam berapa pulang, sayang?" "Dua jam lagi aku pulang. Mama mau aku bawain sesuatu?" "Gak Nak, hati-hati di jalan. Mama tunggu di sini ya."Setelah memastikan keadaan mamanya baik, Anggara pun mengakhiri panggilan itu. Kembali bekerja melayani para pengunjung cafe yang ada.Hingga tak terasa jam pun berlalu dengan cepat, kini dia berkemas-kemas untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu Leo kini tengah duduk menemani Maya yang masih setia menunggu Anggara. Meskipun pemuda itu sudah menolak permintaannya, namun Maya masih bersikeras untuk berada di sana menunggunya."Udah May, daripada elu capek nungguin Aang, mending lu pulang sama gue, gue
Tak lama, Anggara sampai di kontrakannya. Terlihat mobil ayahnya masih terparkir di depan kontrakan.Dia turun dari motor dan berjalan menuju kamar sambil menenteng kantong plastik berisi nasi goreng yang tadi dia pesan.'Tok, tok, tok' "Mama, ni aku." Tak ada jawaban dari dalam kamar.Kembali dia mengetuk pintu itu, hingga akhirnya pintu itu terbuka. Terlihat wajah mama Ruth yang seperti baru bangun tidur, dia tengah ketiduran ketika menunggu anaknya pulang."Nak, udah pulang?" Wajah kantuk dari Ruth terlihat jelas namun dia begitu senang melihat kedatangan anaknya."Hmm." Anggara meraih tangan mama Ruth dan menciumnya.Ruth melebarkan pintu kamar agak anaknya bisa masuk ke dalam. Lalu dia menyalakan lampu kamar. Membuat Anggara terkejut dengan penampakan kamarnya saat ini. Kasur miliknya kini berubah dengan kasur berukuran besar yang sama persis dengan kasur miliknya, yang berada di rumah. Lemari kecilnya kini sudah berubah dengan lemari besar dengan pintu geser. Rak sepatunya yan
Di dalam perjalanan, sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin diajukan oleh gadis itu kepada pemuda di sebelahnya. Namun tidak ada satu katapun yang terucap di mulut Akira."Kenapa? Hmm? Apa yang kamu pikirkan, katakanlah.." Anggara menatap sekilas ke arah samping, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke depan."Mobil ini.." ucap Akira terhenti.Seakan mengerti kemana arah pikiran Akira, pemuda itu menjawab pertanyaannya." Ini mobil mama, dia sudah tidur dari tadi. Sorry tadi aku lupa ngasih kabar." Akira mengangguk mengerti, dan kembali terdiam. Dalam hati, sebenarnya dia begitu penasaran dengan kehidupan pemuda ini. Mobil ini terlihat sangat mewah, dan bukan mobil sembarangan orang bisa memilikinya. Anggara pasti dari keluarga yang berada. Namun mengapa pemuda itu memilih hidup mandiri di kontrakan. Apa mungkin dia mempunyai masalah dengan keluarganya, mungkin memang benar apa yang diucapkan oleh Bayu beberapa hari lalu.Pikiran Akira begitu penuh praduga pada Anggara. Raut wajah A
"Na, masih bangun? Sorry ponsel gue kehabisan daya." Ucap Dany terdengar dari seberang sana."Lu kemana aja, Dan? Udah dimana sekarang?" Tanya Akira."Gue masih di rumah temennya Bayu, Na." "Udah jam berapa ini? Mau jam berapa pulang?""Gak tau dah, Na. Besok pagi mungkin gue balik, pokoknya sebelum kita ke sekolah gue pastiin udah balik, Na. Lu ga apa gue tinggal semalaman?" "Terserah dah, Dan. Yang penting lu jangan aneh-aneh. Lu baik-baik aja kan?" Sebenarnya Akira begitu khawatir pada sahabatnya itu. Karena kalau terjadi sesuatu pada Dany, maka dialah orang yang pertama merasa bersalah.Akira menutup telefon itu dan menaruh ponselnya kembali."Dany gak pulang deh kayaknya." Ucapnya pada Anggara."Hmm, kamu udah ngantuk? Mau pulang sekarang?" Tanya Anggara memandang ke gadis yang sangat di cintainya itu "Belum, Ang. Kamu mau pulang?" Akira kembali bertanya pada pemuda itu "Belum, bilang aja nanti kalau kamu mau pulang aku antar." Ucapnya meraih kembali tangan gadis itu dan menc
Sementara itu sesampainya Anggara di kontrakan, dia mengendap-endap masuk ke kamar. Agar tak membangunkan mama Ruth yang masih tertidur lelap.Mengambil bantal dari samping mamanya, kemudian menaruhnya di bawah, di atas karpet bulu di bawah kasur. Matanya kini terasa amat berat, tak lama diapun tertidur.Matahari mulai merambat muncul dari ufuk timur, cahayanya yang hangat menembus melalui celah-celah korden.Jam dinding sudah menunjuk pukul tujuh pagi hari. Ruth terbangun dari tidurnya. Malam ini dia begitu menikmati tidurnya. Meskipun jauh dengan suaminya namun kini dia berada di dekat anaknya.Melirik ke samping tempat tidur, dan ternyata kosong, tak ada puteranya di sana, diapun berniat bangun dari tempat tidur dan melangkah mencari anaknya. Namun ketika dia bangkit, terlihat Anggara tertidur di bawah kasur, membuat Ruth sedikit terkejut. Dan mencoba membangunkan Anggara dari tidurnya."Nak, bangun." Ucapnya sembari menepuk pelan punggung Anggara yang tengah tidur dengan posisi te
Sementara itu ketika istirahat sekolah, Akira masih berusaha menelpon Dany, pikirannya diliputi rasa cemas yang mendalam terhadap sahabatnya itu. Dia merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk terhadap sahabatnya. Karena dialah orang yang pertama kali harus tanggung jawab.Beberapa kali melakukan panggilan, akhirnya sahabatnya mengangkat telepon itu."Halo, Dan. Lu dimana?" Ucap Akira yang begitu merasa khawatir dengan keadaan temannya.Di seberang sana hanya terdengar tangisan dari sahabatnya. Membuat Akira semakin khawatir."Dan, kenapa lu? Lu dimana sekarang?" Ucap Akira sarat akan kekhawatiran terhadap sahabatnya.Namun gadis di seberang sana hanya menangis sesenggukan, tanpa kata-kata terucap, tak menjawab pertanyaan Akira.Akira kini berada di dalam toilet sekolah, sengaja dia kesana agar perkataannya tak di dengar oleh siswa-siswi yang lain."Dan, jawab gue, lu dimana sekarang? Dimana Bayu? Gue mo ngomong sama Bayu.." ucap Akira lagi, dia semakin cemas karena Dany masih tak m
Baskoro tak berniat melanjutkan perkaranya di meja hijau. Tentunya atas saran dari Anggara dan Akira. Meski Ester begitu jahat, namun Akira sangat mengasihi anak perempuan dari wanita itu. Alea masih terlalu kecil untuk bisa menanggung hasil dari perbuatan ibunya. Entah apa jadinya Alea, jika Baskoro masih mencoba menuntut Ester dan Yosi. Tentunya itu hal yang mudah bagi Baskoro yang ingin memberi hukuman terhadap orang yang telah menjebak putranya. Bukti sudah lengkap, dan siap untuk menjerat Ester dalam jeruji besi untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya. Namun Akira selalu menyatakan jika dirinya merasa kasihan pada Alea yang nantinya ditinggal oleh kedua orang tuanya jika nantinya harus dipenjara. Sungguh Akira tidak bisa membayangkan nasib anak itu. Akira sendiri sudah mengalami kehilangan kedua orang tuanya di usianya yang ke 17 tahun. Dan dia mampu melewatinya, berkat kehadiran Anggara yang selalu menjaga dan menemani. Namun bisakah anak sekecil Alea hidup tanpa kedua
Kini Akira bersimpuh di depan pusara ayah dan ibu. Anggara terus memeluk bahu kekasihnya.Baskoro dan Ruth menghampiri keberadaan mereka.“Nak Akira, mama ikut berduka cita. Jika kamu ingin bercerita, mama siap menjadi tempat ceritamu. Kamu anak yang baik, pasti ayah dan ibumu sangat bangga.” Ruth mengusap lembut bahu Akira.“Terima kasih Tante. Maaf jika selama ini saya merepotkan keluarga Tante dan Anggara.” Ucapnya tulus. Ya, selama ini memang Anggara yang mengeluarkan biaya rumah sakit dan biaya pemakaman untuk kedua orang tuanya. Bahkan Anggara sudah menempatkan orang tuanya di pemakaman elit.“Tidak masalah, nak. Bahkan jika kamu membutuhkan sesuatu tolong sampaikan pada mama atau Anggara. Kami siap untuk membantu. Tolong jangan segan untuk bercerita pada kami. Ya sudah, mama pulang dulu, nanti mampirlah ke rumah, sayang.” Ujar Ruth menghibur.Akira mengangguk samar, dia mencium tangan Ruth namun wanita itu membalas memeluknya.Akira begitu merindukan sosok ibunya, hingga dia l
Ternyata ucapannya memang didengar oleh Lidiya, secara perlahan mata Lidiya terbuka dengan jemari yang mulai bergerak. Menandakan jika wanita itu sudah sadar dari tidur panjangnya.Akira begitu senang hingga memeluk tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.“Ibu terima kasih sudah mendengar Lena.” Ucap Akira bahagia.Lidiya masih merasa lemah, sangat lemah hingga ingin mengucapkan sesuatu pun dia tak berdaya.Anggara menangkap gerakan lemah itu, hingga akhirnya dia membantu Lidiya untuk melepas masker oksigennya.“Ibu mau bicara sesuatu?” Tanya Anggara, dijawab dengan anggukan lemah Lidiya.“Lena, dimana ayah nak?” Suara Lidiya terdengar lirih dan sangat kecil. Dia bisa melihat wajah sedih putrinya. Namun dia ingin memastikan keadaan suaminya.“Ayah sudah di surga, Bu.” Akira menjawab dengan suara gemetar menahan tangis. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih, namun dia tidak bisa untuk berbohong.Lidiya begitu terkejut hingga nafasnya kembali tersengal. Anggara panik dan segera memasa
Anggara menuntun langkah Akira untuk bisa melihat ibunya dalam jarak lebih dekat.“Ibu, bangun Bu. Ini Lena sudah datang Bu.” Ucap Akira berbisik, dia tidak ingin mengganggu istirahat ibunya. Diraihnya tangan lemah yang terkulai itu dalam genggamannya.“Ibu pasti bisa melewati ini semua. Lena akan terus di sini jaga ibu. Tolong bangun Bu.” Ucap Akira lirih dengan air mata terus menetes tanpa henti.Anggara berdiri di belakang Akira, mengusap lembut bahu Akira. Seakan ingin berbagi kekuatan.*****Lidiya masih terbaring koma, kini dia sudah dipindahkan di salah satu rumah sakit di Jakarta. Tentunya atas saran Anggara, dan Anggara yang menanggung semua biaya perawatan, termasuk biaya pemakaman Bustomo.Pagi ini sangat cerah, namun hati Akira diliputi kabut mendung mengawal kepergian ayahnya menuju tempat peristirahatan terakhir.Dany dan Bayu sudah berada di tempat pemakaman. Yeni dan Handoko juga turut hadir. Begitu pun Ruth dan Baskoro, Anggara sudah menceritakan pada mamanya. Dan ent
“Keluarga atas nama pasien Bustomo?” Ucap suster itu sembari mengedarkan pandangan. “Saya sus, saya keluarga Bustomo.” Tio melangkah semakin mendekati suster itu. “Maaf saya harus menyampaikan kabar ini.” Suster terlihat menarik nafas panjang. Tentunya membuat Tio berfirasat buruk akan kabar yang akan disampaikan. “Ada apa sus? Bagaimana keadaan kakak saya dan istrinya?” Ucap Tio terbata, dia berusaha menguatkan hati untuk menerima apapun kabar yang akan disampaikan oleh suster. “Pasien atas nama Bustomo tidak bisa diselamatkan.” Seperti mendengar petir di siang bolong, kabar itu membuat Tio syok. Matanya berkaca-kaca, hingga tubuhnya gemetar menahan kesedihan yang mendalam. “Apa benar sus? Apa saya tidak salah dengar?” Ucap Tio mencoba tidak mempercayai pendengarannya. “Mohon maaf, apa yang saya sampaikan tadi benar adanya. Pasien atas nama Bustomo tidak bisa terselamatkan. Bapak yang sabar.” Ulang suster itu dengan raut sedih. Tak hanya sekali ia menghadapi suasana pilu seper
Mata Anggara melotot sempurna. Dia sangat terkejut mendengar berita itu. Sungguh dia pun ingin segera ke rumah sakit tempat ibu dan ayah Akira dirawat.“Baiklah kita siap-siap sekarang.” Anggara segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke salah satu rumah sakit di Bogor. Sambil menunggu Akira menyelesaikan acara mandinya, Anggara menelpon pak Yanto untuk segera mengirim mobilnya ke rumah Akira. Dia mengirimkan titik lokasi alamat rumah Akira pada supirnya.Anggara hanya mencuci mukanya, lalu mengganti bajunya dengan kaos hitam polos dan celana jeans panjang.Kini dia tengah menunggu di halaman rumah, hingga tak lama Yanto datang dengan mobilnya. Anggara segera menghampiri.“Pak, nanti bapak pulang dengan taksi.” Anggara memberi beberapa lembar uang pada Yanto. Lalu kembali memasuki rumah untuk mencari keberadaan kekasihnya. Tanpa mengetuk pintu kamar, Anggara segera membuka pintu yang tak terkunci.“Sudah? Ayo kita berangkat sekarang.” Ajak Anggara, sebenarnya dia tidak tega m
“Ya, Yosi tentu kamu ingat. Dia yang sudah menjemput kita di bandara saat kita mengantar Dany menemui Bayu.” Jelas Anggara mencoba mengingatkan Akira.“Saat aku mengunjungi rumah wanita itu, Yosi berada di sana. Dan aku selalu mengikuti gerak-geriknya. Sepertinya Yosi dan wanita itu mempunyai hubungan. Namun ini hanya dugaanku saja.” Jelas Anggara.Kini Akira bingung untuk merespon seperti apa. Dalam hati dia merasa senang akan kabar baik itu. Namun dia juga merasa kasihan terhadap anak perempuan yang memanggil Anggara dengan sebutan papa. Kemungkinan anak itu hanya tahu jika Anggara adalah ayahnya.Bagaimana jika kenyataannya bukan?“Sayang? Kok diam? Kamu percaya kan sama aku? Besok aku akan menemui papa, dan nantinya hasil tes DNA itu akan aku jadikan bukti untuk pengajuan pembatalan nikah. Aku juga sudah mempunyai bukti rekaman ketika Yosi berada bersama wanita itu.” Diraihnya tangan Akira, menggenggam jemari gadis itu, dimana masih terpasang cincin berlian pemberiannya. Anggara m
Anggara melangkah menuju dapur, memindahkan bubur ayam di sebuah mangkok. Lalu membawanya masuk ke kamar. Mendapati Akira tengah berbaring namun matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar.“Sayang kita makan dulu, habis itu minum obat.” Ucapnya sembari menyendok bubur berisi kuah dan potongan daging ayam itu. Dan mengarahkannya ke mulut Akira. Meski awalnya menolak, namun Anggara terus memaksanya. Akira tidak bisa meminum obatnya dalam keadaan perut kosong.Akira menerima makanan itu hingga beberapa suap. Suapan berikutnya, Akira menolak. Anggara tak memaksanya lagi, kini dia meraih obat yang terbungkus dalam plastik. Mengeluarkannya satu tablet lalu mengambil gelas berisi air putih. Membantu Akira untuk meminum obatnya.Anggara segera menyelimuti tubuh kekasihnya. Sesekali meletakkan telapak tangannya di dahi Akira untuk memastikan suhu tubuhnya.Menggenggam tangan Akira yang terkulai di sisi tubuhnya. Menatap wajah pucat Akira dengan rasa cemas.Dia tidak akan mengatakan apa
Anggara terpaksa meraih Alea dari pangkuan Ester. Meskipun dia tahu Alea bukanlah anaknya, namun dia merasa kasihan melihat wajah kecil itu menangis terisak.Sekilas Anggara melihat ke belakang, ke arah dimana Akira duduk. Mendapati tempat duduk itu sudah kosong. Mencari keberadaan Akira di sekeliling ruangan itu, namun tak juga mendapati sosok Akira di sana.Anggara memutuskan untuk memulangkan Ester dan anaknya agar tak mengganggu suasana orang-orang yang sedang berkunjung ke restoran. Dia tahu kini mereka menjadi pusat perhatian.Anggara segera melangkah menuju kasir, membayar makanan yang sudah terlanjur dipesan namun belum dimakan.Lalu segera melangkah keluar dari restoran, diikuti oleh Ester yang tersenyum puas. Dia berpikir rencananya telah berhasil menaklukan hati Anggara. Kini dia bisa mendapatkan Anggara kembali, menikmati kekayaan sang papa mertua. Ester pun melenggang tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di sana.Anggara memesan sebuah taksi, lalu menyuruh Ester untuk d