***
Suara piring beradu dengan sendok jelas menandakan kalau Radit dan yang lainnya, kecuali Putri, tengah melakukan rutinitas sarapan pagi. Menu kali ini adalah nasi goreng dan telur dadar. Seperti biasa, sesuai pesanan Dina.
"Yang, mas ada liat spanduk pendaftaran terpampang di depan gerbang sekolahan. Kamu mau Diana masuk sekolah mana?" tanya Radit membuka suara. Sudah 2 hari ia melihat spanduk bertuliskan 'Menerima siswa/siswi baru,' berarti anaknya sudah bisa mendaftar dan selalu saja lupa saat akan mendiskusikan dengan sang istri karena ada saja halangannya.
"Em ... Mas maunya di mana? Mau aku, sih, di sekolah yang paling bagus, tapi belum tau yang mana. Belum sempat cari tahu. Maaf ya, Mas. Sibuk sama butik."
Radit mengangguk pelan. Mengerti. Ia menoleh, melihat Diana yang makan dengan lahap. Ada rasa bersalah di dalam hatinya. Kesibukannya dan sang istri sepertinya bisa menelantarkan anakn
*** Dina beradu tos dengan asisten dan tiga karyawannya karena sebelum jam 12, proses mengiriman sudah selesai. Lelahnya dibayar dengan manis. "Oke, demi merayakan kejayaan ini, kalian bebas memesan menu makan siang untuk hari ini," ucap Dina sembari duduk di kursi kebesarannya. "Bu Dina mau traktir, kah?" tanya sang Asisten. "Iya. Kalian pesan saja. Ini bonus buat kerja keras kalian. Kedepannya harus tetap seperti ini supaya Butik kita jaya dan ada bonus-bonus lainnya dari saya." "Siap, Bu. Terima kasih atas kebaikannya. Kami permisi dulu." Sang Asisten mewakili pekerja lain mengucapkan terima kasih, setelahnya bersama-sama keluar ruangan kerja Dina. Meninggalkan sang Bos yang duduk bersandar di punggung kursi, mencoba rileks dari rasa lelah. Dret! Ponsel Dina bergetar di atas meja. Mata yang hampir terpejam itu kembali terbuka. Meraih ponsel dan s
***"Yang, kok ngga siap-siap?" tanya Radit saat melihat istrinya masih rebahan sambil menatap ke arahnya yang sibuk mengancing kemeja di depan cermin."Libur dulu, Mas. Mau manjakan diri dulu ke salon. Mukaku rasanya udah tebal banget. Mau Facial dulu. Creambath rambut sama meni-pedi kuku." Dina beranjak duduk."Oh. Nanti sebelum ke salon, bisa tengok ibu dulu, kan? Bawain sarapan, ajak ngobrol dulu. Pas ibu mau tidur, baru kamu ke salon."Raut wajah Dina berubah. Murung. Namun, sebisa mungkin tersenyum dan mengangguk. "Bisa, Mas.""Makasih." Radit memberikan senyuman manis. Senyuman yang paling Dina sukai dan tidak mau sampai kehilangan. "Riri sama Reno hari ini pasti kuliah. Tolong bantu jaga ibu sebentar, ya. Mas ada meeting lagi masalahnya. Ya udah, kamu cuci muka, kita sarapan. Udah pesan?" tanya pria yang sudah rapi dengan setelan kantornya itu."Belum. Aku cuci muk
*** Putri menghentikan langkah di tangga pertama rumah sakit. Seketika dia teringat belum tahu nama nenek Diana yang mau dia besuk. "Diana tahu nama nenek?" tanyanya menunduk, melihat Diana. Gadis itu mendongak, membalas tatapan Putri. Kemudian menggeleng. Putri menghela napas. Ia mengambil ponsel dalam tas selempang dan menghubungi nomer Dina. Namun, tidak diangkat. Telepon kedua, ketiga, pun diabaikan. Gadis itu beralih menelepon Dira, tetapi responnya sama saja. Putri menghela napas. Tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya sia-sia datang tetapi tidak menemukan orang yang dicari. Tidak mungkin juga bertanya, di mana kamar Neneknya Diana atau mamanya mas Radit pada suster, karena sudah pasti mereka tidak tahu. Tadi, setelah ia sampai rumah, Kakaknya, Dina langsung menyuruh nya dan Diana ke rumah sakit. Menemui neneknya Diana. Kakaknya itu berkata sembari berbisik kalau masalah ini jang
*** Putri tersenyum karena bisa lagi berangkat kerja. Hari ini dia berharap bisa kerja dengan baik mengganti hari kemarin. Tama kembali mengantarnya dan berpesan untuk kerja yang baik dan jangan tebar pesona. Gadis itu menghela napas. Kemudian berjalan menuju ruko yang masih tertutup. Langkah ke lima, Putri berhenti. Ponsel dalam tas selempangnya bergetar. Mengira Bos konter yang menelepon, mengabari untuk mengambil kunci atau apalah, ternyata salah perkiraan. Dina yang menelepon. "Hallo, Kak." Dengan terpaksa, Putri mengangkat telepon. "Kembali ke rumah sakit kemarin. Nenek Diana mau pulang. Antar sampai rumah. Pokoknya jangan sampai lecet. Nanti tunggu suruhan aku selanjutnya." Mata Putri membulat. "Kak, aku harus kerja. Kemarin aku sudah bolos bahkan berbohong, sekarang--" "Berbohong lagi, lah. Gampang. Pokoknya sekarang ke rumah sakit." "Kak--"
***Ranti tersenyum tipis. Saat Putri pulang, Dina muncul sendirian. Wajah menantunya itu tidak seramah adik tirinya. Bukan menanyakan keadaannya, ibu Diana itu malah duduk di sofa kamar dan sibuk dengan ponselnya. Sama halnya seperti kemarin.Tiba-tiba Ranti terasa pipis. Dengan gerakan pelan, dia bangun dari posisi rebahan, berdiri dan berjalan ke kamar mandi yang ada di kamar. Namun, lemah tubuh membuatnya terhuyung dan jatuh terduduk setelah 5 langkah.Bruk!Dina menoleh sebentar. Kemudian kembali menatap ponselnya. Ranti, wanita tua itu berusaha untuk berdiri dan kembali melangkah ke kamar mandi.Di dalam kamar mandi, wanita tua itu menangis. Dina hanya sayang sama Radit, tidak dengan dia dan dua anaknya yang lain. Hatinya selalu tersakiti dan kecewa dengan sikap menantunya itu. Namun, tidak berani mengeluh pada anak tertuanya. Tidak mau di cap ibu yang bawel, banyak menuntut, banyak
***"Assalamualaikum." Radit mengucap salam sembari masuk ke dalam rumah bersama Dina. Menghampiri Dira yang duduk santai bermain ponsel di sofa ruang tamu."Waalaikumsalam, Mas, Kak." Dira memberikan senyuman lebar."Mana Diana?" tanya Radit."Di kamarnya sama Putri.""Mas ke kamar Diana dulu ya, Yang." Radit meminta izin pada Dina. Wanita itu mengangguk pelan. Setelah suaminya pergi, dia bertanya pada Dira."Diana beneran di atas sama Putri, Dir?""Iya. Kenapa wajah elo tegang banget, Kak?" tanya Dira yang penasaran."Tegang? Tidak. Ini ekspresi lega. Syukurlah kalau Diana ketemu." Dina menjatuhkan diri di sisi Dira. Menghela napas lega berulang-ulang."Diana ketemu? Maksudnya gimana, Kak?" Dira menatap Dina. Gadis itu bahkan duduk bersila di sofa, menghadap Kakaknya supaya nyaman dalam mendengar cerita.
***"Assalamualaikum," ucap Putri sembari membuka pintu ruangan inap Vip yang dihuni Diana."Waalaikumsalam. Loh, Putri," ucap Radit yang kaget. Bukan istrinya yang datang, tetapi malah adik iparnya."Iya, Mas. Maaf aku yang datang. Mbak Dina mendadak sakit kepala, tadi hampir jatuh dari tangga pas mau ambil baju Diana. Jadinya aku yang antar."Radit mengangguk paham. "Kakak kamu kayaknya kecapean. Kerjaannya numpuk."Putri mengangguk. Matanya beralih pada Diana. Gadis kecil yang biasanya aktif itu, kini terbaring lemah dengan matanya terpejam. Kasian."Diana sakit apa, Mas?" tanyanya."Belum tau, besok baru di periksa dokter. Badannya masih panas tinggi dan lemas, makanya mas milih opname."Putri mengangguk. "Semoga Diana cepat sembuh.""Put, emang seharian kalian main apa?" Pertanyaan Radit membuat Putri menatapnya. Alis
***Ceklek!Pintu rumah terbuka. Putri yang memang menunggu langsung berdiri dari sofa dan berjalan ingin masuk. Sayangnya, Dina menghadang. Wanita itu menatapnya dengan senyuman miring."Gimana tidurnya? Nyenyak?" tanya Dina. Semalam.dia mendengar, hanya sengaja tidak membuka pintu, mengunci pun sengaja."Lumayan, Kak. Cuma banyak nyamuk. Permisi, Kak. Putri harus bersiap untuk kerja." Izin gadis itu lembut."Kerja?""Iya, Kak. Hari ini aku harus kerja karena sudah dua hari bolos.""Kerja di mana?" tanya Dina."Di konter, Kak." Putri menjelaskan dengan sangat jelas. Berharap Dina segera memberinya jalan. Dia akan bersiap dengan cepat supaya tidak terlambat."Kamu bukannya kerja di rumah ini?""Iya, Kak. Aku selalu melakukan pekerjaan rumah tangga. Kerja di konter itu sebagai pengalaman."
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b