“Apa pantas gue jemput kebahagiaan di saat suasana keluarga gue sedang berduka?” Pertanyaan itu dilontarkan Farzan setelah hening beberapa saat.
“Nggak ada salahnya, Zan. Lo berhak bahagia. Masa cinta lo harus kandas untuk kedua kalinya? Nggak nyesek apa?” Bramasta memanas-manasi pria itu.
Farzan tepekur sebentar, memikirkan langkah apa yang harus ditempuh. Tiba-tiba Bram menepuk pundaknya keras.
“Udah sana. Kelamaan mikir lo. Entar beneran diembat orang, baru tahu rasa,” sambungnya menakut-nakuti.
Kepala Farzan langsung menggeleng cepat. “Gue nggak akan biarkan itu terjadi, Bram.”
Pria bertubuh tegap itu langsung berdiri, kemudian menggamit tangan Bramasta. “Temenin gue.”
Dia beranjak ke dekat meja kerja mengambil jaket kulit berwarna cokelat yang biasa dikenakan ketika mengendarai motor.
Bramasta tertawa melihat kepanikan yang tergambar jelas di paras sahabatnya. Dia berdir
Beberapa hari kemudianSeluruh keluarga Harun sedang berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Suasana begitu hening, tidak banyak percakapan yang tercipta. Keluarga ini masih diselimuti duka yang mendalam.“Mami makan dulu,” kata Alyssa menyodorkan satu sendok bubur ayam kepada ibunya.Arini menggeleng lesu. “Mami nggak lapar.”Anggota keluarga lainnya menatap prihatin kepada wanita itu. Farzan berdiri kemudian berjalan ke dekat Arini.“Kakak makan ya. Kalau Mas Brandon tahu Kakak nggak mau makan, pasti bakalan sedih,” bujuknya mengambil alih sendok yang ada di tangan Alyssa.“Brandon?”Farzan mengangguk cepat. “Kita nggak tahu kapan Mas Brandon pulang ke rumah, jadi Kakak makan dulu. Biar Kakak kelihatan cantik kalau Mas Brandon pulang.”Senyum merekah di paras cantik Arini, sehingga memperlihatkan lesung pipi di kedua belah pipi. “Brandon pulang
Setelah mendapatkan telepon dari salah satu tim yang dibentuk kepolisian, seluruh keluarga Harun tanpa terkecuali segera berangkat ke Sukabumi. Mereka berangkat menggunakan dua mobil, karena tidak cukup menampung semuanya.Farzan mengemudi sendirian. Ada Arini dan Elfarehza yang ikut bersama dengannya. Sementara yang lain berada di mobil yang satu lagi, dikemudikan oleh supir.Sepanjang perjalanan, Arini terus melafalkan doa agar informasi yang diberikan oleh polisi benar. Dia berharap semoga orang tersebut benar-benar Brandon. Meski menurut petugas tersebut, tubuhnya lebih kurus dan tidak terawat dari yang ada di foto.“Mami nggak boleh lupa, El,” gumam Arini yang duduk di jok belakang, “Mami harus ingat.”Arini mengerahkan seluruh kemampuan, agar tidak melupakan apa yang telah terjadi. Dia tidak membiarkan penyakit Alzheimer mengambil kendali atas dirinya. Sejak tadi, Arini mengetikkan kalimat yang sama di ponselnya.&lsqu
“Seberapa mirip sih, Bram?” selidik Farzan.“Kalau lepas kerudung mirip banget, Zan,” sahut Bramasta yakin.Farzan menyandarkan punggung di dinding. Dia memikirkan segala kemungkinan wanita itu Nadzifa. Kepalanya menggeleng cepat.“Kayaknya nggak mungkin deh,” kata Farzan ragu.“Kenapa nggak mungkin, Dek?” Arini ikutan nimrung.“Zizi pernah bilang belum siap pake kerudung. Katanya harus dari hati dulu.”Elfarehza berdecak beberapa kali seraya geleng-geleng kepala. “Yang namanya hidayah itu kita nggak tahu, Bang. Bisa jadi ada yang bikin Kak Nadzifa mau tutup aurat, ‘kan?”Bramasta manggut-manggut setuju dengan perkataan El.“Allah maha membolak-balikkan hati manusia, Dek. Kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Apalagi kamu udah sebulan lebih nggak ketemu sama Nadzifa, ‘kan? Siapa tahu sekarang dia beneran pakai hijab. Jangan bilang
Kening Farzan mengernyit ketika mendengar perkataan Brandon barusan. Dia melihat netra hitam sayu itu bergantian. Sang Kakak berada dalam kondisi sadar sekarang, tidak sedang mengigau. Apa yang dikatakannya, diucapkan secara sadar.“Maksudnya gimana, Mas? Kok bisa Zizi yang selamatkan Mas?”Brandon menarik napas berat, kemudian menggelengkan kepala. “Justru itu yang mau Mas tanyakan sama dia. Kenapa Nadzifa bisa ada di sana? Mana dia?” sahutnya berbohong.“Mas yakin kalau wanita itu Nadzifa? Kata polisi yang lapor itu berkerudung, Mas.” Farzan masih belum percaya wanita tersebut adalah Nadzifa.Pria yang sedang berbaring di ranjang pasien itu berdecak pelan. “Walau pakai kerudung tetap aja Mas bisa kenali dia, Zan. Emangnya ada yang berubah wajah setelah mengenakan kerudung?” ujar Brandon meyakinkan adiknya.Mata Farzan menyipit melihat Brandon. Dia masih belum yakin bahwa gadis yang menolong kakaknya
“Iya, Mas. Sebentar lagi saya naik ke atas,” pungkas Nadzifa sebelum mematikan sambungan telepon.Keduanya saling berbagi pandang dalam hening. Suasana mendadak canggung ketika tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka berdua. Hanya sorot mata yang mengutarakan betapa dalam rindu yang mereka rasakan.Andai saja ini bukan lobi rumah sakit, Farzan sudah memeluk Nadzifa dengan erat. Mencurahkan semua kerinduan yang terasa satu bulan belakangan. Dia berjanji tidak akan melepaskan gadis itu lagi.Netra hitam Nadzifa tampak berkaca-kaca, sebelum bulir bening menetes di pipi tirusnya. Setelah memasukkan ponsel ke dalam sling bag, ia menyeka air itu dengan telapak tangan.“Kamu ke mana aja, Zi?” desis Farzan tercekat.Akhirnya ia bisa berjumpa lagi dengan gadis yang mampu membuat perhatian seorang Farzan Harun teralihkan. Sosok yang menghiasi pikirannya tiga bulan terakhir.Nadzifa menundukkan kepala,
Suasana terasa hening di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar ini. Hanya sebuah ranjang single dan lemari kayu berukuran kecil yang ada di sana. Juga dua kursi rotan yang berada di sebelah kiri pintu masuk. Setelah memohon dengan sungguh-sungguh, akhirnya Farzan diizinkan untuk mengantarkan Nadzifa pulang ke ruko tempat butiknya berada. Di ruko ini juga, gadis itu menghabiskan masa remaja sebelum bisa membeli apartemen dengan jerih payah sendiri. “Tadi katanya mau ngomong,” ketus Nadzifa memecah keheningan. “Aku minta maaf, Zi,” ucap Farzan setelah menarik napas panjang. “Udah aku maafin,” balas Nadzifa tersenyum singkat, “cuma mau minta maaf aja? Kenapa nggak bilang di rumah sakit?” Farzan menggelengkan kepala seraya menggeser kursi rotan tersebut, agar bisa menghadap Nadzifa. “Aku nggak mau minta maaf aja, Zi. Tapi ….” Kedua alis Nadzifa terangkat menanti Farzan meneruskan perkataannya. “Tapi mau jujur tentang per
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib