Beranda / Romansa / Mencari Suami Bayaran / 2. Meminta Bantuan Karin

Share

2. Meminta Bantuan Karin

Penulis: Diganti Mawaddah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dadanya berdegup kencang, tangannya pun berkeringat. Belum pernah dia membohongi ayahnya untuk hal sepelik ini. Risti masuk ke ruangannya dengan malas, duduk bersandar di kursi, memikirkan ucapan ayahnya barusan dan bagaimana nanti hari Sabtu? Risti memutar otak, menggigit kukunya, tanda saat ini dia sedang resah. Dia harus minta tolong siapa untuk menjadi pacar sementaranya? Membayar orang pun tidak apa. Asal ia diselamatkan dari perjodohan dengan Munos. Mantannya terdahulu.

“Karin, bisa ke ruangan gue?" panggil Risti dari sambungan telepon.

Karin adalah sekretaris Risti, sekaligus teman baik Risti sejak masih SMA. Semua urusan kantor dan pribadi Risti, diketahui dengan baik oleh Karin. Begitu pun sebaliknya.

Suara pintu ruangan Risti diketuk.

“Masuk!”

"Yes, Bos?” jawab Karin, sambil tersenyum manis mendekati kursi Risti. “Ada apa muka lo asem banget, persis bapake tadi?” tanya Karin heran dengan wajah temannya yang ditekuk.

“Gue bingung, nih. Pagi-pagi dipanggil ke ruangannya, kirain mau kangen-kangenan. Eh, malah mau jodohin gue dengan Munos.”

“What? Are you serious? Karin terbelalak mendengar ucapan Risti. “CLBK, dong, namanya. Cinta lama belum ke pelaminan.” Ledek Karin disertai tawa renyahnya. Wah... Beruntung banget sih lu, Mak. Udah, bungkus aja, bungkus!!! tawa Karin dalam hati.

“Ogaaah... kapok pokoknya. Please, Karin, bantuin gue, dong. Minta tolong siapa kek bantuin gue.

Mmmm... Maksud lo, cuma buat sementara, pura-pura gitu?" kening Karin nampak berkerut, coba mencerna ucapan Risti barusan.

“Iyalah, masa untuk selamanya. Ya, kecuali cocok sama selera gue, sih. Ya, bolehlah lanjut hingga kakek dan nenek, sahut Risti sambil terkekeh. Sambil membetulkan letak bros yang tersemat pada blazernya.

“Kalau Rio, gimana?"

"Gak, ah, males. Cowok tampan tapi matre, males gue berurusan dengan dia lagi.”

"Oke. Sebentar. Mmm... Siapa, ya? Haaa.... gimna kalau minta tolong Haris?” ucap Karin antusias. Haris adalah lelaki mapan yang pernah sebentar dekat dengan Risti.

“No way, gue kenal orang tuanya, nanti urusan jadi tambah ribet, sahut Risti sambil menggelengkan kepalanya keras. Aduh sakit kepala gue, gerutu Risti sambil memijat kepalanya.

Di usia Risti yang sudah 29 tahun, segalanya telah ia miliki, rumah, mobil, pendidikan, dan karir yang cemerlang. Sering bepergian keluar negeri, mempunyai banyak teman, dan disayang oleh ayahnya karena Risti anak tunggal. Wajahnya yang cantik, tubuh yang tinggi, dan kulitnya yang sawo matang membuat banyak yang tergila-gila padanya, tetapi tak ada yang berani mendekati karena status sosialnya.

“Pokoknya lu harus bantuin gue, Rin. Besok sudah harus dapat orangnya.”

"Lha, di mana nyari sukarelawan pacar pura-pura sekilat itu ibu, Bos? Karin kebingungan.

“Gak tahu deh, pokoknya cari yang biasa-biasa aja, ga terlalu hits, gak usah cakep-cakep amat, gawat kalau  gue sampe naksir beneran, kekeh Risti.

"Serius, lo? Mau nyari yang model begitu?”

“Iya, sengaja, biar ga tambah ribet, cari yang adem ayem dan gak banyak bicara.”

“Hadeehh... Lu yang mau dikawinin, kenapa gue yang ikutan pusing?” gerutu Karin lalu keluar dari ruangan Risti.

****

“Lala... Lulu...” panggil seseorang lelaki muda kepada adik kembarnya.

"Ya, Mas...” mereka menjawab bersamaan saat tengah asik main di teras depan rumahnya.

“Mas bambang berangkat dulu, ya. Telur ceplok dan sayur supnya sudah mas letakkan di meja, jangan lupa seragam sekolah hari ini ada di atas kasur, jangan nakal, kalau butuh sesuatu bilang sama bude Yati, ya.” Bambang mengingatkan adik kembarnya.

"Siap, Bos! jawab mereka serentak.

Bambang, nama lelaki muda ini begitu singkat. Persis seperti adik kembarnya yang bernama, Lala dan Lulu. Tanpa ada embel-embel nama belakang. Bambang berusia 23 tahun lulusan STM, sejak orang tuanya meninggal, Bambang mengurus kedua adik kembarnya yang berusia 8 tahun yang sedang duduk di kelas dua sekolah dasar, Bambang bekerja di salah satu percetakan di Jakarta Timur.  Bambang terkenal pemalu, sehingga ia tak banyak bicara dengan teman-teman wanita di tempat kerjanya, namun ia adalah salah satu orang kepercayaan pemilik percetakan karena begitu lihai dalam hal mendesain.

Lala dan Lulu bersiap berangkat ke sekolah setelah mandi dan makan siang, sepekan ini sekolah mereka masuk siang. Sekolah mereka pun tak jauh dari rumah kurang lebih 600 meter saja, tetapi mereka harus menyeberang jalan raya untuk dapat sampai di sekolah mereka. Lala dan Lulu anak yang mandiri, sehingga Bambang tak terlalu khawatir dengan keadaan mereka.

"Ayo, La! Mumpung lampu merah!” ajak Lulu kepada Lala, sambil menarik tangan kembarannya. Kini mereka sudah saling berpegangan tangan. Siap-siap menyeberang. Baru dua langkah, tiba-tiba.

Ttiiiiiiinn.......bruk

“Aaaaaaaarrhh!” pekik Lala sebelum akhirnya terhempas di aspal jalan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nikmah Ezaweny
aku punya filleng kalau bukan risti yg nabrak maka sekretaris nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mencari Suami Bayaran   3. Ke Rumah Sakit

    Lulu terdiam, kaget. Kemudian berteriak minta tolong sambil menangis kencang. "Tolooong... Lala... Lala... Tolong!" pengendara motor tersebut turun dari motornya dan membopong Lala kepinggir jalan. Lulu menyusul langkah orang tersebut sambil menangis ketakutan.Orang-orang sudah berkumpul di depan mengamati luka di kepala Lala yang cukup serius. Lalu ada yang memberikan minum kepada Lulu juga Lala, tetapi sepertinya Lala pingsan.Karena kejadian tidak jauh dari rumah mereka, Bude Yati, tetangga mereka ikut melihat kegaduhan di depan jalan raya. Betapa terkejutnya Bude Yati karena korban tabrakan itu adalah Lala dan Lulu. Yatim piatu tetangganya. Bude Yati berteriak, “Tolong Pak, Bu ini tetangga saya, anak yatim piatu, cepat bawa ke rumah sakit, pinta Bude Yati dengan memelas dan gemetar.Si pengendara motor menyetop taksi dan pergi meninggalkan motornya yang telah dipinggirkannya di bawah pohon dekat lampu merah. Dia melepas helmnya dan mencabut kunci motor. ****"Halo, Rin! Apa? L

  • Mencari Suami Bayaran   4. Pria Sederhana

    Bambang masih tidak percaya melihat nominal yang harus dia bayarkan untuk pengobatan adiknya. “Mas tidak perlu khawatir, biar saya yang bayar semua biaya perawatan adiknya, Mas,” seakan tahu apa yang dipikirkan Bambang.“Terima kasih, Mbak,” ucap Bambang tulus, sambil memperbaiki letak kacamatanya.“Nama saya Risti Susatyo,” sambil mengulurkan tangan hendak berjabat tangan. Dengan ragu Bambang mengulurkan tangannya, itu pun hanya menyentuh ujung tangan Risti. Risti heran kenapa sepertinya lelaki muda di depannya ini tidak tertarik padanya, padahal tidak pernah ada lelaki yang memperlakukannya secuek ini.“Saya Bambang,” Bambang memperkenalkan diri.“Oh, iya, salam kenal, saya atasan sekaligus teman Karin, maafkan atas kecerobohan Karin.” “Tidak apa-apa, Mbak, semua sudah terjadi, semoga adik saya segera sadar dan sehat kembali.” Masih tanpa menatap Risti.Risti memperhatikan Bambang yang wajahnya biasa saja dan penampilan juga biasa saja dengan kacamata berbingkai hitam yang biasa ju

  • Mencari Suami Bayaran   5. Bambang

    Bambang menatap tak suka ke arah Risti.“Udah, gak perlu marah, Bang, anggap aja latihan dari sekarang,” ucap Risti tanpa merasa bersalah.“Saya lelah, Mbak, baiknya Mbak Risti dan Mbak Karin pulang saja, saya mau masuk lagi ke dalam,” Bambang berkata dengan malas.Risti memperhatikan wajah Bambang yang terlihat lelah. “Oke, kami permisi,” sahut Risti berbalik badan begitu juga Karin. Langkahnya terhenti. “Bambang...” panggil Risti lagi sesaat Bambang memegang gagang pintu kamar perawatan Lala. Bambang menoleh ke arah Risti.“Sebaiknya belajar memanggilku “sayang” dari sekarang,” ucap Risti masih dengan wajah datar, lalu berbalik kembali dan berjalan keluar rumah sakit, Karin yang menyaksikan hampir saja tertawa dengan keras, namun dia menahannya.“Hah?” Bambang masih melongo dan bingung dengan yang barusan dikatakan Risti. Bambang tersenyum kecil, “Dasar orang kaya aneh,” gumamnya dalam hati. Lalu masuk ke dalam ruang perawatan kembali.“Hahahaha... Parah lu, ah, ngerjain orang,” ump

  • Mencari Suami Bayaran   6. Kesepakatan

    Ayah... Apaan, sih?” Risti kaget dengan ucapan Ayahnya.Bambang masih mencoba meredakan deru darahnya dan sesekali mengelap keringatnya. Bambang tak berani berkata apa pun. “Menikah”.“Kami kan belum lama kenal, yah, baru 3 bulan,” Risti beralasan.“Iya, tapi kamu sudah tidak ada waktu untuk bermain-main seperti ini, Sayang. Gimana, Nak Bambang?”“Ah... Saya... Saya... Belum ada rencana, Om,” Bambang menjawab spontan sambil menunduk tidak berani menatap wajah Ayah Risti.“Oh, begitu, jadi maksud kamu anak saya cuma buat mainan saja?” tanya Ayah dengan nada marah. “Kamu belum tahu siapa Hermawan Susatyo? Jangan macam-macam dengan anak saya, mengerti!” Ayah berkata dengan kesal.“Bukan, Om, bukan seperti itu maksud saya.”“Ayah, ayolah biarkan kami bicarakan ini nanti, “ bujuk Risti pada Ayahnya.“Sekarang Ayah tanya, apakah kamu mencintai dia?” tanya Ayah kepada Risti dengan tatapan serius. Risti menunduk. “Iya, aku mencintainya,” jawab Risti dengan nada lirih. Risti merasa bersalah s

  • Mencari Suami Bayaran   7. Didesak

    Karin dan Risti berjalan keluar rumah sakit setelah berpamitan dengan Bambang dan Lala. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Kamar perawatan Lala yang berada di kelas VVIP membuat tamu yang datang berkunjung sedikit leluasa untuk datang dan pulang kapan pun. “Biar gue yang nyetir sini, lu kayaknya lelah banget,” Karin mengambil alih kemudi sambil masih memperhatikan wajah Risti yang lesu.“Cerita, dong, gimana tadi?” tanya Karin antusias.“Gue disuruh nikah secepatnya” Risti to the point.“Hah? Maksud lu nikah sama Bambang?” tanya Karin kaget.“Iyalah, masa sama kuda,” ucap Risti bete.“Kok bisa?” Karin masih belum mengerti.“Kayaknya gue tadi terlalu lebay sama Bambang pas di depan bokap gue, pegang tangan dia, nempelin dia terus, huft... Jadi aja bokap gue salah paham.” Risti menaikkan sebelah alisnya sambil mulutnya dicibirkan.“Apa? Hahaha,” Karin tertawa cekikikan di dalam mobil. “Ya ampun Risti, lu udah berapa lama sih ga disentuh lelaki sampe jadi agresif gitu? Wajar bokap l

  • Mencari Suami Bayaran   8. Fani

    Tok! tok!Edward masuk lalu tersenyum tipis sambil menggendong dua buah boneka beruang coklat besar, yang satu berpita pink dan satunya lagi pita kuning. Lala sumringah langsung berlari mendekati Edward. “Om, apa itu buat Lala?” tanya Lala antusias.“Betul sekali, kamu suka?” Edward tersenyum tulus.Lala mengangguk cepat. Edward memberikan boneka beruang besar itu, karena ukurannya hampir sama dengan ukuran badan Lala, sehingga Lala kesulitan membawa nya, Bambang membantu Lala memegang yang satunya lagi. Lala berbalik menatap Edward. “Terima kasih, Om,” ucap Lala.“Itu boneka pemberian Teteh Risti dan Kak Karin, ucapkan terima kasih nanti kepada mereka, ya,” ucap Edward sambil melirik ke arah Bambang. Bambang menaikkan alisnya. Tak heran kalau itu pasti pemberian Risti.“Maaf, Mas Bambang sekarang sudah bisa pulang ke rumah, biaya administrasi rumah sakit sudah saya bereskan, kalau sudah rapi biar saya antar,” ucap Edward tegas.“Eh, iya, saya sudah selesai, gapapa biar saya pulang

  • Mencari Suami Bayaran   9. Siasat Risti

    Risti dan Karin berjalan ke luar rumah Bambang menuju gang depan yang diikuti oleh Edward.“Gila lu, nekat banget tadi,” ujar Karin tidak habis pikir dengan tindakan Risti.“Gua gak suka aja ada cewek itu di sana, urusan gua dan Bambang belum selesai,” ucap Risti ketus.“Lo gak berencana bikin ulah lagi, kan, Ris?” tanya Karin sedikit khawatir dengan Risti. Karin sangat hapal dengan perangai Risti yang suka mengatur dan memaksakan kehendak.“Liat aja nanti, pokoknya Bambang gak bisa seenaknya mundur setelah dia ketemu bokap gue,” ucap Risti sambil tersenyum sinis, sambil menyalakan mesin mobil dan melaju menuju tempat pertemuan dengan Pak Darma.“Ris, tapikan kemaren lu yang bilang sendiri cuma sekali minta tolong dia,” Karin mencoba memberi pengertian kepada Risti. “Iya, kalau cuma sehari itu selesai, sih, gua gapapa. Lha, ini bokap gua nyuruh nikah. Gua gak mau bokap gua ampe kena serangan jantung kalau tahu gua bohingin dia, bisa-bisa gua disuruh kawin besok sama Munos. Oh, tidak.

  • Mencari Suami Bayaran   10. Merasa Bersalah

    Risti melempar pakaian Bambang ke lantai dengan tatapan garang. Bambang memunguti pakaiannya dengan cepat lalu berlari menuju pintu keluar. “Maafin saya, Mbak, maafin.” Bambang menatap memelas kepada Risti, dia sendiri tidak memahami bagaimana bisa dia tidur bersama wanita itu.“Pergi!” bentak Risti lagi. Bambang memakai pakaian sembarangan sambil mencari tas kecil yang dia bawa semalam, ternyata berada di sofa. Saat mendekati pintu. Aarrggh... Bambang tidak tahu cara membuka pintu itu. Dengan wajah pucat penuh peluh, Bambang mendekati kamar Risti yang dibatasi tirai. “Mbak, maaf, mmh... saya, itu... tak bisa buka pintunya,” dengan nada polosnya.Risti dengan wajah memerah kesal bangun dari kasur menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berjalan melewati Bambang yang masih terpaku dengan bahu mulus Risti. Dia susah menelan salivanya, sambil memegang dadanya yang berdegub kencang. Belum sampai pintu, Risti berbalik badan, sadar bahwa Bambang memperhatikannya. “Kau... apa belum puas den

Bab terbaru

  • Mencari Suami Bayaran   108. Akikah

    Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat

  • Mencari Suami Bayaran   107. Si Mbok

    Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke

  • Mencari Suami Bayaran   106. Nikmatnya Mengurus Bayi

    "Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me

  • Mencari Suami Bayaran   105. Masa Nifas

    Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha

  • Mencari Suami Bayaran   104. Si Kembar

    Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula

  • Mencari Suami Bayaran   103. Malam Itu

    Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di

  • Mencari Suami Bayaran   102. Karyawan Bag. 2

    Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema

  • Mencari Suami Bayaran   101. Karyawan

    Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su

  • Mencari Suami Bayaran   100. Awal Mula (Bagian 2)

    Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber

DMCA.com Protection Status