Tok! tok!
Edward masuk lalu tersenyum tipis sambil menggendong dua buah boneka beruang coklat besar, yang satu berpita pink dan satunya lagi pita kuning. Lala sumringah langsung berlari mendekati Edward. “Om, apa itu buat Lala?” tanya Lala antusias.“Betul sekali, kamu suka?” Edward tersenyum tulus.Lala mengangguk cepat. Edward memberikan boneka beruang besar itu, karena ukurannya hampir sama dengan ukuran badan Lala, sehingga Lala kesulitan membawa nya, Bambang membantu Lala memegang yang satunya lagi. Lala berbalik menatap Edward. “Terima kasih, Om,” ucap Lala.“Itu boneka pemberian Teteh Risti dan Kak Karin, ucapkan terima kasih nanti kepada mereka, ya,” ucap Edward sambil melirik ke arah Bambang. Bambang menaikkan alisnya. Tak heran kalau itu pasti pemberian Risti.“Maaf, Mas Bambang sekarang sudah bisa pulang ke rumah, biaya administrasi rumah sakit sudah saya bereskan, kalau sudah rapi biar saya antar,” ucap Edward tegas.“Eh, iya, saya sudah selesai, gapapa biar saya pulang dengan taksi online saja,” ucap Bambang lagi, dia tak ingin merepotkan dan berurusan dengan Risti maupun Karin.“Maaf, Mas Bambang ini perintah Bu Risti, mohon bantu saya, saya hanya menjalankan tugas,” dengan nada tegas.Bambang bergidik, seram juga lelaki tinggi tegap di depannya ini. “Oke, baiklah,” jawabnya gugup. Mereka berjalan menuju lobi rumah sakit. “Mas Bambang dan Lala tunggu di sini saja biar saya ambil mobil dulu.”Tak lama mobil Toyota Camry milik Risti sampai di lobi, Edward dengan sigap memasukkan barang-barang di bagasi belakang, lalu mempersilahkan Bambang dan Lala masuk ke dalam mobil. Perjalanan yang ditempuh menuju rumah kontrakan Bambang lumayan jauh, kurang lebih satu jam perjalanan.Tepat jam 11 siang mereka sampai, mobil yang ditumpangi Bambang hanya bisa parkir di depan jalan raya tepatnya di depan sebuah ruko kosong, untuk mencapai rumah Bambang harus masuk ke dalam gang di samping ruko kosong tersebut kurang lebih 500 meter lagi. Lulu dan Bude Yati serta Fani sudah menunggu.“Lulu, Bude...” Lala memanggil Lulu yang sudah tiba di depan rumah mereka.“Lala... Bonekanya besar banget!” pekik Lulu senang, menatap fokus pada boneka yang dipegang.“Itu ada satu lagi buat kamu,” Lala menunjuk boneka besar yang sedang dipegang Bambang.Lulu berlari menghampiri Bambang dan mengambil bonekanya. “Eh, kok Mas gak di-salim, langsung ambil boneka aja, nih?” ucap Bambang kepada Lulu. Lulu dengan senyum ceria lalu salim kepada Bambang dan Edward. “Makasih, Om,” ucap Lulu“Sama-sama.” balas Edward.“Assalamualaikum, Bude.” Bambang menyapa Bude dan tersenyum sangat manis kepada Fani.“Waalaikumussalam,” sahut Fani dan Bude Yati berbarengan.Fani memperhatikan Edward, dia bertanya-tanya siapa lelaki tinggi tegap yang telah mengantar Bambang dan Lala pulang.“Ayo, masuk dulu, Mas.” Bambang menuntun Edward untuk masuk.“Tak apa, Mas, saya di sini saja, menunggu Bu Risti dan Bu Karin,” kata Edward sambil mengarah duduk di kursi bale di teras rumah Bambang. Bambang seketika bergidik mendengar nama Risti, ia merasa sedikit takut dengan wanita kaya itu.“Ck, kenapa mereka harus ke sini, sih?” gumam Bambang. Sedangkan Lala dan Lulu sudah asik bermain dengan boneka baru mereka. Bude sudah kembali ke rumahnya, tinggal Fani dan Bambang yang tengah berbincang masalah kantor. Mereka duduk di kursi ruang tamu dekat dengan Lala dan Lulu yang sedang bermain boneka.“Tahu gak, boneka ini dari siapa, Lu?” tanya Lala.“Dari Om tadi, temennya Mas Bambang, ya?” jawab Lulu.“Bukan.”“Ini dari Teteh Risti, pacarnya Mas Bambang,” ucap Lala tersenyum manis sambil melihat Bambang.Fani langsung menoleh kepada Lala dan Lulu dan merasa lemas saat mendengar nama Risti disebut sebagai pacar Bambang.“Lala... Dia bukan pacar Mas!” bantah Bambang sambil melirik Fani khawatir Fani tersinggung. Lala tertawa kecil kepada Bambang dan Fani.“Teteh Risti cantik, lho, Lu. Kayak artis, rambutnya panjang kulitnya putih udah gitu wangi banget,” puji Lala yang masih takjub membayangkan Risti yang sangat cantik.“Oh, iya? Asik, kita mau punya teteh artis, dong?” timpal Lulu kemudian mereka tertawa berdua.Sedangkan Bambang menatap wajah kecewa Fani, memang mereka tidak ada hubungan yang jelas, hanya sebatas teman yang saling memperhatikan dan saling membantu. Namun entah kenapa ia merasa kesal dengan ucapan Lala dan Lulu, sepertinya mereka lebih senang Bambang dekat dengan Risti dibanding dirinya.Bude datang membawa masuk semangkok besar sayur sup, ayam goreng, serta lalapan. Edward melihat Bude yang kepayahan dengan sigap membantu membawa makanan masuk ke rumah Bambang. “Ini, Bude udah masakin. Ayo, makanlah.” ucap bude mempersilakan Bambang, Si Kembar, Fani, dan Edward untuk makan.“Wah, Bude jadi repot gini,” ucap Fani sambil membantu Bude menata makanan di meja makan. “Maaf, ya, Bude jadi merepotkan,” ucap Bambang lagi. “Terima kasih, Bude.” ucap Bambang lagi.“Ish, apaan sih, yang repot. Gak repot, kok, udah makan dulu.” Bude mempersilakan. “Ayo, Mas Edward, kita makan.” ajak Bambang kepada Edward.“Oh, namanya Edward.” gumam Fani, diam-diam dia memperhatikan Edward.“Gapapa, Mas, saya masih kenyang, nanti saja makannya. Silakan makan duluan.” ucap Edward lalu berbalik duduk di kursi bale sambil mengeluarkan HP-nya. Saat mulai makan tiba-tiba terdengar suara sepatu mendekat ke arah rumah Bambang, Lala menoleh.“Teteh Risti...” panggil Lala dengan mata berbinar.Langsung Bambang, Fani, dan Lulu ikut menoleh ke arah pintu depan. Terlihat Edward menunduk memberi salam kepada Risti dan Karin.“Halo, adik-adiknya Teteh,” sapa Risti sok akrab dengan Lala dan Lulu. Risti melirik sekilas raut wajah Fani dan Bambang terlihat tak suka dengan kedatangannya dan Karin.“Halo juga Kak Karin,” sapa Lala serta turun dari kursi makan lalu salim kepada Risti dan Karin. Lulu pun mengikuti Lala. Lulu memandang takjub dua wanita cantik di depannya.“Wah, lagi makan siang, ya,” ucap Karin memecah suasana. “Boleh kami ikutan?” tanya Karin.“Tapi makannya cuma sederhana gini, Mba Karin. Nanti tidak sesuai selera Mba Karin,” ucap Bambang merasa sungkan.“Sayang, asal ada kamu di samping aku, pasti aku makannya jadi berselera. Seperti semalam,” goda Risti menyahut ucapan Bambang.Huuukk...huukk...Fani yang sedang minum tersedak mendengar ucapan manja Risti. Bambang bengong gelagapan menepuk nepuk punggung Fani. “Kamu gapapa, Fan?” tanya Bambang khawatir.“Gapapa, Bang. Ayo, makan lagi, sini Mbak ikut makan sama kita,” ajak Fani.Risti memandang dengan tidak suka kepada Fani, ia tahu wanita ini pasti sedang dekat dengan Bambang. “Bukan saingan berat buatku, tapi dia tetap harus disingkarkan demi rencanaku,” gumam Risti sambil memberi kode kepada Karin, Karin menatap tidak mengerti. Mereka berenam duduk di meja makan, mulai makan bersama.“Sayaang... Kamu makannya sedikit banget, tambah lagi, dong, nasinya,” komentar Risti kepada Bambang sambil menambahkan sedikit nasi ke piring Bambang. “Ntar kamu gak kuat, lho, gendong aku kalau makannya sedikit.” lanjutnya lagi menggoda Bambang.Bambang bergidik mendengar omongan Risti. Peluhnya bercucuran. Tak mampu berkata apa-apa karena ada Fani dan adik-adiknya bersama mereka. Lala dan Lulu cuma senyum-senyum centil, Fani makan dengan muka ditekuk, sedangkan Karin hampir menangis menahan tawa. “Pantes saja bokapnya nyuruh kawin buru-buru, anaknya ganjen gitu,” ucap Karin dalam hati.Ting... ting... ting...Suara HP Risti berbunyi.“Ya, halo, Pak Darma.” “Oh, iya. Ya ampun, saya hampir lupa. Oke, oke, Pak, saya segera ke sana. Maaf ya, Pak, jika nanti saya sedikit terlambat.” ucap Risti dengan seseoramg di seberang sana. Risti bangkit dari kursi makanannya yang belum dihabiskan, sedangkan Lala dan Lulu sudah terlebih dahulu menghabiskan makanan dan lanjut bermain. “Sorry, Sayang, aku ada meeting jam dua ini. Nanti aku kesini lagi, ya.” ucap Risti pura-pura berwajah bersalah menatap ke arah Bambang.“Ah, iya, pergilah.” jawab Bambang cepat, “Dan jangan kembali lagi,” bisiknya dalam hati.“Karin, ayo, Pak Darma udah nunggu, gue lupa. Bye, Lulu, bye Lala, nanti Teteh main lagi, ya,” ucap Risti melambaikan tangan kepada Lala dan Lulu. Si Kembar tersenyum dengan sangat manis kepada Risti dan Karin.Bambang baru akan menarik napas lega saat Risti dan Karin berjalan keluar rumah. Risti berbalik mendekati Bambang, “Ada apa?” tanya Bambang melihat ke arah Risti. Daaaann... CupWanita itu mengecup tipis bibir Bambang. Fani dan Karin kaget, apalagi Bambang, dia terpaku seperti patung tak menyangka dengan ciuman yang diberikan Risti. “Kita lanjutkan nanti malam, ya,” bisiknya mesra pada Bambang, lalu menoleh ke arah Fani dengan senyum penuh kemenangan.Risti dan Karin berjalan ke luar rumah Bambang menuju gang depan yang diikuti oleh Edward.“Gila lu, nekat banget tadi,” ujar Karin tidak habis pikir dengan tindakan Risti.“Gua gak suka aja ada cewek itu di sana, urusan gua dan Bambang belum selesai,” ucap Risti ketus.“Lo gak berencana bikin ulah lagi, kan, Ris?” tanya Karin sedikit khawatir dengan Risti. Karin sangat hapal dengan perangai Risti yang suka mengatur dan memaksakan kehendak.“Liat aja nanti, pokoknya Bambang gak bisa seenaknya mundur setelah dia ketemu bokap gue,” ucap Risti sambil tersenyum sinis, sambil menyalakan mesin mobil dan melaju menuju tempat pertemuan dengan Pak Darma.“Ris, tapikan kemaren lu yang bilang sendiri cuma sekali minta tolong dia,” Karin mencoba memberi pengertian kepada Risti. “Iya, kalau cuma sehari itu selesai, sih, gua gapapa. Lha, ini bokap gua nyuruh nikah. Gua gak mau bokap gua ampe kena serangan jantung kalau tahu gua bohingin dia, bisa-bisa gua disuruh kawin besok sama Munos. Oh, tidak.
Risti melempar pakaian Bambang ke lantai dengan tatapan garang. Bambang memunguti pakaiannya dengan cepat lalu berlari menuju pintu keluar. “Maafin saya, Mbak, maafin.” Bambang menatap memelas kepada Risti, dia sendiri tidak memahami bagaimana bisa dia tidur bersama wanita itu.“Pergi!” bentak Risti lagi. Bambang memakai pakaian sembarangan sambil mencari tas kecil yang dia bawa semalam, ternyata berada di sofa. Saat mendekati pintu. Aarrggh... Bambang tidak tahu cara membuka pintu itu. Dengan wajah pucat penuh peluh, Bambang mendekati kamar Risti yang dibatasi tirai. “Mbak, maaf, mmh... saya, itu... tak bisa buka pintunya,” dengan nada polosnya.Risti dengan wajah memerah kesal bangun dari kasur menutupi tubuhnya dengan selimut tebal. Berjalan melewati Bambang yang masih terpaku dengan bahu mulus Risti. Dia susah menelan salivanya, sambil memegang dadanya yang berdegub kencang. Belum sampai pintu, Risti berbalik badan, sadar bahwa Bambang memperhatikannya. “Kau... apa belum puas den
"Assalamualaikum, Ayah,” Risti mengucapkan salam sambil mencari keberadaan ayahnya. Bambang berjalan lemas mengekorinya di belakang dengan wajah kaku ditekuk. Ia tidak punya pilihan lain.“Waalaikumsalam, calon pengantin Ayah.” Pria dewasa itu memeluk Risti dengan hangat sambil memperhatikan Bambang yang terpaku di belakang Risti. Sadar diperhatikan, Bambang lalu dengan cepat mengajak calon mertuanya itu bersalaman sambil tersenyum. “Ayo, duduk,” Ayah mempersilakan. “Bi... buatkan minum untuk anak dan calon menantu saya,” titah Pak Hermawan kepada pembantu rumah tangganya. Lagi-lagi Bambang mengusap peluh yang bercucuran. “Bagaimana kabarnya, Nak Bambang?” “Eh, iya, Om. Alhamdulillah, sehat,” jawabnya kikuk sambil menyunggingkan senyum tipis yang dipaksakan. “Om, bagaimana kabarnya?” Bambang berbasa basi.“Wah, saya sehat sekali, apalagi dengar kabar kalian sudah menentukan tanggal,” jawab Pak Hermawan sumringah. “Ayo, diminum, Nak.”“Terima kasih, Om.”“Eh, eh, jangan panggil Om
Pagi, 5 April 2019Harusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Bambang, namun yang terjadi sepanjang malam tadi, dia tak dapat memejamkan mata. Di rumahnya, Bude Yati merasa sangat senang bersama beberapa tetangga, sudah bersiap mengecek semua seserahan yang akan dibawa, tak kalah semangat, Pak RT menyewa lima angkot untuk mengangkut pengantin dan para tetangga.Lala dan Lulu tidak kalah bahagia, Mas kesayangan mereka akan segera menikah dengan wanita yang sangat cantik. Semua tampak bahagia kecuali Bambang. Dia mematut diri di depan cermin melihat tampilannya mengenakan kemeja putih dan setelan jas keren yang telah disiapkan Risti.Risti sudah bersiap di rumahnya, ditemani para om dan tante, serta para sepupunya. Ada beberapa orang tetangga juga yang hadir di sana. Ia memandang dirinya di depan cermin. “Perfect,” gumamnya memuji kecantikannya.“Karin, akhirnya kejombloan gue lulus juga,” kekeh Risti sambil tersenyum bahagia menggoda Karin yang saat itu menemaninya dalam kamar pen
Tepat pukul 18.30, pasangan pengantin baru, yaitu Bambang dan Risti masuk ke ruangan resepsi yang sudah di dekorasi sedemikian bagus dan cantik. Bunga-bunga hidup menghiasi setiap sisi ruangan ditambah lampu hias dan kue tart pernikahan yang sangat cantik. Benar-benar sempurna, seperti pesta pernikahan impian wanita itu.Para tamu mulai memadati ruangan, antre bersalaman dengan kedua mempelai. Banyak yang memuji kedua pengantin. Pengantin wanita sangat cantik dan memesona dengan pakaian pengantin warna biru laut serta kilauan mutiara menghiasi baju tersebut, sedangkan pengantin lelaki terlihat gagah dan menggoda. Ya, Bambang terlihat berbeda saat acara resepsi, tuxedo biru dongker dan sepatu yang pas ia kenakan serta senyumannya selalu terurai saat bersalaman dengan para tamu, sesekali Risti memandangi wajah suaminya kini. “Handsome,” bisiknya memuji.“Wah, selamat ya. Mas,” ucap lelaki tampan; tamu undangan itu bersalaman dan mengucapkan selamat kepada Bambang sambil tersenyum. “I
TringSendok di tangan Bambang terlepas kaget. Peluhnya bercucuran. Risti menutup mulut menahan tawa. Ayah menoleh, “Maaf, Yah, sendoknya licin,” kata Bambang sekenanya. Ayah Risti ikut tertawa karena menyadari kegugupan menantu barunya itu.***Mereka sudah tiba di ruang tunggu bandara, Edward sudah mengurus semuanya. “Ah, akhirnya liburan juga,” gumam Risti gembira tapi tidak dengan Bambang, dia tidak bersemangat. Seandainya ini honeymoon dia dengan Fani, tentu dia sangat bersemangat.“Hei... ngelamun apaan sih, Bang?” tanya Risti yang sedari tadi memperhatikan Bambang tanpa komentar. “Eh... mmm... gapapa kok, cuma kepikiran kembar,” jawab Bambang berbohong.“Tapi kalau dilihat dari wajah kamu sepertinya sedang memikirkan Fani,” balas Risti sambil menatap lekat wajah Bambang. Seketika itu juga, Bambang menunduk karena malu ketahuan telah berbohong. “Kamu sangat mencintainya, ya?” tanya Risti kembali dengan wajah sendu. Bambang mengangguk.“Huf... kejam banget suami ngaku cinta
Keduanya menikmati makan malam bersama, suasana sudah sedikit cair, sesekali mereka tertawa kecil, apalagi Risti memang hobi banget menggoda Bambang yang dinilainya terlalu polos. Risti memberikan teka-teki kepada suaminya dan tak ada satupun yang bisa dijawab dengan tepat oleh Bambang."Bang, kenapa pohon kelapa di depan rumah harus di tebang?" tanya Risti sambil tersenyum iseng."Kenapa ya?gak tau deh," jawab Bambang polos sambil menggelengkan kepalanya."Karena kalau diangkat berat. Ha ha ha ...." Risti tertawa renyah dan Bambang terlihat menyungginggkan senyum."Ada lagi nih," lanjut Risti kepada Bambang"Tau ga persamaan AC sama kamu?""Ga tau," jawab Bambang lagi, malas berpikir."Sama-sama bikin aku sejuk. Eeaa ...." Risti tertawa keras, hingga pengunjung yang lain memperhatikan mereka.Bambang mengusap peluhnya yang mulai bercucuran karena sedikit grogi."Ah, ga seru nih! Masa kamu ga bisa jawab satupun teka teki aku." Bibir Risti maju dua senti."Iya, sorry aku ga banyak tahu
Risti senyum-senyum sendiri merasa sangat bahagia saat Bambang menggendongnya, sedangkan Bambang berusaha sekuat tenaga menahan sesuatu yang mendesak dari bawah sana. Harum rambut dan tubuh Risti membuat Bambang goyah.Akhirnya mereka sampai di depan pintu kamar. Bambang dengan cepat menurunkan Risti."Terimakasih suamiku sayang, cup." Risti mengecup cepat pipi Bambang lalu membuka kunci pintu kamar.Bambang tersenyum kecut, "ya Tuhan, rasanya seperti aku berselingkuh dengan istri sendiri," gumamnya dalam hati.Risti lalu masuk ke kamar diikuti oleh Bambang, Risti segera bersih-bersih dan mengganti pakaiannya dengan baju tidur seksi, sedikit mirip lingeri tapi lebih sopan karena modelnya menutup pundak.Risti sudah merebahkan dirinya di atas kasur cantiknya."Aahh ... nyamannya," gumam Risti sambil menarik selimut tebal berwarna putih dan mencari posisi yang tepat meletakkan kepalanya di bantal lalu memajamkan mata dengan perlahan.Bambang keluar dari kamar mandi sudah dengan kaos lus
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber