Risti sudah berada di balik selimut dan memunggungi Bambang yang tampak masih menyesal duduk di pinggir kasur. Sambil merapikan dengan pelan barang bawaannya, Bambang sama sekali tidak kepikiran Risti saat membelikan hadiah untuk Fani tadi."Hhhmm ... sepertinya aku bakal dicuekin nih," gumam Bambang, sambil melirik Risti yang memunggunginya.Setelah semua barang rapi, Bambang mencuci tangan, lalu ikut masuk ke dalam selimut dan mencoba tidur."Ris ... Udah tidur ya?" tanya Bambang pelanTak ada jawaban. Namun, Risti mendengarnya hanya enggan menyahut , ia tak ingin terlihat lemah di mata Bambang.Pagi sudah menyapa udara sangat sejuk dan angin sedikit kencang pagi ini. Mereka bersiap menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, dari cottage saat sarapan sampai di bandara tak satupun kalimat keluar dari mulut Risti, padahal sedari tadi Bambang sudah mengajak Risti berbicara. Ia semakin yakin kalau istrinya benar-benar marah saat tak satupun kata sahutan yang keluar dari mulut Risti.Edward suda
Risti mendorong dengan kasar dada Bambang, ada rasa kesal dan marah, namun setitik rasa di sana, bersorak gembira saat Bambang mengecup bibirnya tadi.Blam! Wanita itu menutup pintu kamar mandi, sedangkan Bambang masih terpaku dengan dirinya sendiri, menatap wajahnya di cermin yang berubah menjadi pucat pasi."Ya ampun, apa yang baru saja aku lakukan?" tanya Bambang merutuki dirinya sendiri sambil mengusap kasar wajahnya karena malu."Hadeh ... nih lagi bibir, main nyosor aja!" Bambang menepuk kasar bibirnya.Risti dari balik pintu kamar mandi mencoba menguasai detak jantungnya, entahlah rasa bahagia atau marah yang mendera, tapi bibirnya ...."Aargh! ... benar aku sudah gila," rutuknya sambil memukul-mukul kepalanya sendiri. Adzan shubuh berkumandang, Bambang terbangun dari tidur nyenyaknya, setelah menikah dan tidur di kamar istrinya, Bambang selalu tidur dengan nyenyak dan nyaman, meskipun terkadang ada rasa risih karena satu ranjang dengan istrinya, tapi mau apalagi, ga mungkin
Tepat dua minggu setelah menikah, Bambang, Lala, Lulu, dan Risti pindah ke rumah baru. Ada Bik Sumi, salah satu pembantu di rumah ayah Risti yang ikut diboyong untuk membantu Risti di rumah, termasuk menjaga Lala dan Lulu."Alhamdulillah akhirnya beres juga," kata Bambang sambil berdiri meluruskan pinggang, setelah selesai merapikan dan menyusun barang-barang di kamar si kembar.Lala dan Lulu masih masih setia menemani Bambang sambil merapikan mainan-mainan yang sejak tadi mereka mainkan."Lala, Lulu," panggil Risti menyapa si kembar dari depan pintu kamar."Iya, Teh," jawab si kembar bersamaan."Sudah jam sembilan malam, ayo tidur besok sekolah," kata Risti mengingatkan.Mereka mengangguk lalu bergantian masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamar mereka untuk bersih-bersih."Aku udah cape banget Bang, aku tidur duluan ya, soalnya besok aku ada meeting pagi," pamit Risti kepada Bambang.Bambang mengangguk sambil memperhatikan sekilah wajah lelah istrinya. Kemudian Bambang t
Sore pun tiba, Bambang sudah duluan menunggu di depan pintu bioskop, sambil memegang satu cup pop corn dan dua cup minuman dingin."Baaang!" panggil Risti sambil melambaikan tangan ke arah Bambang.Risti langsung menggandeng lengan Bambang dan masuk ke dalam teater. Selama film berlangsung Bambang selalu saja memperhatikan wajah Risti, sesekali tangan mereka bersentuhan saat hendak mengambil pop corn di waktu bersamaan, tentu saja hal itu menimbulkan desiran hangat di hati Risti dan juga Bambang, keduanya tersenyum kikuk, mirip dengan anak abege yang baru saja berkencan. Selesai menonton, dilanjutkan dengan makan malam di restoran cepat saji, sambil membicarakan hal-hal ringan. Tepat pukul delapan tiga puluh, mereka sampai di rumah kembali.Bik Sumi membukakan pintu rumah saat Bambang dan Risti sampai di rumah. Rumah tampak sepi karena Lala dan Lulu pasti sudah tidur. Setelah bersih-bersih dan siap tidur, tiba-tiba.KllekMati lampu."Bang, apakah kamu bisa mengambil lampu darurat di
Bambang masih terlelap saat Risti membuka mata dan memperhatikan jam dinding masih pukul 03.00 shubuh dan lampu sudah menyala. Seluruh badannya terasa ngilu apalagi bagian intimnya."Astaghfirulloh." Dengan suara tercekat, Risti kaget melihat bercak darah di seprei. Mendadak Risti ketakutan,ketukutan Bambang menyadari akan kebohongan Risti. Cepat Risti membetulkan posisi tubuhnya menutupi bercak tersebut dengan tubuhnya."Kok udah bangun?" ucap Bambang dengan suara serak."Mmhh, iya aku kebangun," ucap Risti gelagapan."Ayo tidur lagi, belum shubuhkan?" ajak Bambang sembari menarik tubuh Risti ke pelukannya, masih dengan mata terpejam. "Mmhh ... Apa boleh satu kali lagi?" tanya Bambang berbisik di telinga Risti."Ish apaan sih?" wajah Risti bersemu merah."Ya udah kalau gitu tidur yuk." Bambang kembali merekatkan pelukannya. Risti masih dengan dada berdebar takut Bambang lihat bercak darah sesungguhnya."Untung dia polos banget, kalau gak, bisa ketahuan bener aku," bisik Risti dalam
Sudah pukul 10 malam, Bambang menatap wajah Lala dan Lulu yang sudah tertidur lelap. Bambang menyunggingkan senyum tipis, bahagia rasanya melihat adik-adiknya terlihat sangat terurus, pakaiannya, sekolahnya, kamarnya, tubuh mereka saja kelihatan lebih berisi, terutama Lala pipinya kelihatan sangat bulat."Terimakasih," gumam Bambang pelan, merasa sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang, mungkin memang sudah takdir Allah yang harus dia jalani."Hhmmm ... dia masih marah soal tadi siang, tak apalah malam ini aku tidur di sini saja," ucap Bambang dalam hati, sambil meletakkan kepalanya di sofa depan televisi."Mungkin orang kaya kalau ngambek begitu ya," lanjutnya lagi sambil matanya menatap lantai atas di mana kamarnya berada.Risti mengunci pintu kamar dia tidak mau berbicara dengan Bambang, saat Bambang akan menjelaskan Risti malah pergi tak menghiraukannya."Kenapa sepi begini sih?" gerutu Risti menatap bantal yang biasa Bambang gunakan, terasa sangat hampa kamar dan kasur
Malam beranjak larut, hening dan senyap, hanya detak jarum jam, nyanyian jangkrik, dan suara ketikan dari jari jemari gagah milik Bambang. Saat ini Bambang sedang mengerjakan proyek apartemen baik itu design brosur, pamflet, dan banyak lainnya. Malam ini Bambang lembur dan masih lanjut mengerjakannya di rumah. Selain itu tugas kuliahnya juga sudah memanggil-manggil hendak dibelai."Maass, udah dulu ngetiknya, besok lagi." Risti berkata halus."Sedikit lagi Yang." balasnya.Risti merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk sambil memandangi wajah serius Bambang di depan laptop. "Betapa aku mencintai suamiku Ya Allah, aku mohon jaga dia untukku, ampuni aku yang memulai semua ini dengan kebohongan," bisik Risti dalam hati tak terasa air matanya luruh.Bambang menoleh ke arah Risti."Sayaang, kamu kenapa?" Bambang menutup laptopnya lalu menghampiri Risti."Eh, ga papa Mas, cuma agak lelah aja hari ini, meeting sampe tiga tempat," ucapnya beralasan."Lelah kok nangis?" Bambang masih tak perc
"Ris, bener lu gak papa?" tanya Karin khawatir sesaat, setelah Risti sadar dari pingsannya."Iya Rin, gue ga papa cuma ingin langsung pulang aja tidur.""Ya udah kita langsung balik aja Mas Edward,"perintah Karin kepada Edward. Saat ini mereka telah berada di tol menuju rumah Risti."Teteh ...." panggil Lala heran melihat Risti masih sore sudah pulang dengan wajah yang pucat.Risti meletakkan tasnya di sofa lalu duduk bersandar, dirasakannya seluruh badannya ngilu dan lelah yang teramat sangat."Teteh sakit?" tanya Lala'Iya sayang, sedikit pusing, teteh minta tolong panggilkan Bik Sumi buatkan teteh teh manis hangat dengan sedikit gula.""Biar Lala yang buatkan untuk teteh ya." Lala beranjak menuju dapur."Ini Teh minum dulu." Lala kembali dari dapur dengan membawa secangkir teh hangat untuk Risti."Mau Lulu pijat kakinya teh?""Ga papa sayang, teteh mau tidur aja, kalian lanjutkan saja mainnya."Risti tertidur di sofa.Tepat pukul tujuh malam Bambang pulang dengan wajah ceria, dilih
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber