Sudah pukul 10 malam, Bambang menatap wajah Lala dan Lulu yang sudah tertidur lelap. Bambang menyunggingkan senyum tipis, bahagia rasanya melihat adik-adiknya terlihat sangat terurus, pakaiannya, sekolahnya, kamarnya, tubuh mereka saja kelihatan lebih berisi, terutama Lala pipinya kelihatan sangat bulat."Terimakasih," gumam Bambang pelan, merasa sangat bersyukur dengan kehidupannya yang sekarang, mungkin memang sudah takdir Allah yang harus dia jalani."Hhmmm ... dia masih marah soal tadi siang, tak apalah malam ini aku tidur di sini saja," ucap Bambang dalam hati, sambil meletakkan kepalanya di sofa depan televisi."Mungkin orang kaya kalau ngambek begitu ya," lanjutnya lagi sambil matanya menatap lantai atas di mana kamarnya berada.Risti mengunci pintu kamar dia tidak mau berbicara dengan Bambang, saat Bambang akan menjelaskan Risti malah pergi tak menghiraukannya."Kenapa sepi begini sih?" gerutu Risti menatap bantal yang biasa Bambang gunakan, terasa sangat hampa kamar dan kasur
Malam beranjak larut, hening dan senyap, hanya detak jarum jam, nyanyian jangkrik, dan suara ketikan dari jari jemari gagah milik Bambang. Saat ini Bambang sedang mengerjakan proyek apartemen baik itu design brosur, pamflet, dan banyak lainnya. Malam ini Bambang lembur dan masih lanjut mengerjakannya di rumah. Selain itu tugas kuliahnya juga sudah memanggil-manggil hendak dibelai."Maass, udah dulu ngetiknya, besok lagi." Risti berkata halus."Sedikit lagi Yang." balasnya.Risti merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk sambil memandangi wajah serius Bambang di depan laptop. "Betapa aku mencintai suamiku Ya Allah, aku mohon jaga dia untukku, ampuni aku yang memulai semua ini dengan kebohongan," bisik Risti dalam hati tak terasa air matanya luruh.Bambang menoleh ke arah Risti."Sayaang, kamu kenapa?" Bambang menutup laptopnya lalu menghampiri Risti."Eh, ga papa Mas, cuma agak lelah aja hari ini, meeting sampe tiga tempat," ucapnya beralasan."Lelah kok nangis?" Bambang masih tak perc
"Ris, bener lu gak papa?" tanya Karin khawatir sesaat, setelah Risti sadar dari pingsannya."Iya Rin, gue ga papa cuma ingin langsung pulang aja tidur.""Ya udah kita langsung balik aja Mas Edward,"perintah Karin kepada Edward. Saat ini mereka telah berada di tol menuju rumah Risti."Teteh ...." panggil Lala heran melihat Risti masih sore sudah pulang dengan wajah yang pucat.Risti meletakkan tasnya di sofa lalu duduk bersandar, dirasakannya seluruh badannya ngilu dan lelah yang teramat sangat."Teteh sakit?" tanya Lala'Iya sayang, sedikit pusing, teteh minta tolong panggilkan Bik Sumi buatkan teteh teh manis hangat dengan sedikit gula.""Biar Lala yang buatkan untuk teteh ya." Lala beranjak menuju dapur."Ini Teh minum dulu." Lala kembali dari dapur dengan membawa secangkir teh hangat untuk Risti."Mau Lulu pijat kakinya teh?""Ga papa sayang, teteh mau tidur aja, kalian lanjutkan saja mainnya."Risti tertidur di sofa.Tepat pukul tujuh malam Bambang pulang dengan wajah ceria, dilih
"Kenapa Dok?" Karin semakin tak sabar.Bu Risti sepertinya hamil"Deg..."Tebakan gue bener" gumam Karin."Begitu beliau sadar, sebaiknya segera periksa air seni dengan ini." Dokter memberikan alat deteksi kehamilan."Baik Dok, terima kasih banyak" Karin mengantarkan dokter Irwan keluar ruangan."Karin ... ya ampun gue pingsan lagi ya." Risti tersadar dan menatap Karin sedang tersenyum ke arahnya."Nih.." Karin menyerahkan testpack"Buat apaan testpack?" Risti masih bingung."Udah cepat sana periksa, tadi dokter Irwan bilang gitu." Karin memaksa Risti masuk ke kamar mandi yang berada di dalam ruangannya."Mmmhh ... apa iya aku hamil?" gumam Risti dalam hati sambil menunggu munculnya garis di sana."Hhhaaa!" Risti terperangah menutup mulutnya dengan tangannya."Alhamdulillah ya Allah." Risti tersenyum bahagia, segera ia keluar kamar mandi hendak memberitahukan Karin."Gimana?" Karin penasaran"Garisnya dua Rin." Risti tersenyum bahagia."Alhamdulillah,selamat my bos,mmmuuaaahh..." deng
"Ya Allah apa yang sudah kukatakan, Astaghfirullah ... Astaghfirullah." Bambang berada di lift menuju lantai dasar tempat parkir motor, dengan hati gusar, air mata sudah menggenang dipelupuk mata, "Ya Allah ... Ya Allah ...." Bambang tersedu, merasakan dadanya seperti terhimpit batu besar.Karin dan dibantu beberapa staf Risti mengangkat tubuh lemah Risti masuk ke ruangan. Karin sangat khawatir dengan keadaan Risti. Setelah beberapa saat Risti kembali sadar."Karin, apa lo dengar yang dikatakan Bambang tadi?" ucapnya lirih dengan air mata yang sudah merembes dikedua pipinya.Karin mengangguk. "Sabar ya Ris." Karin mendekati bos sekaligus sahabatnya itu lalu dipeluknya erat."Hiks ... Hiks ... aku yang salah Rin, aku yang salah, aku menyesal, hiks ...." Risti merutuki dirinya sendiri, suara tangisannya semakin kencang.Karin, masih memeluk erat Risti, dibiarkannya Risti menumpahkan air mata sepuasnya."Hai, bos gue yang gue tahu, lu wanita kuat, jangan begini, kasian kandungan lu." Kar
Sementara itu, di rumah Risti tepatnya di dalam kamarnya, Risti sedang tersedu, dadanya terasa sakit saat memandangi rak pakaian suaminya."Huuaaaa....huuaaa...." tangisnya dengan kencang."Nyonyaaa.....Nyonyaaa...."Tokk..took...Bik Sumi masih terus mengetok pintu kamar Risti khawatir sesuatu terjadi pada Risti.Karin yang baru tiba di rumah Risti kaget melihat wajah panik Bik Sumi yang sedang menggedor-gedor pintu kamar Risti."Mbak Karin, itu ... Nyonyaa nangisnya kenceng banget." Bik Sumi panik."Risti.....bukaa...ini gue Karin!" panggil Karin."Risti...Ya Allah...istighfar Ris.." Karin masih bicara dibalik pintu suara tangis Risti masih terdengar kencang."Inget kandungan lu Ris, plis." Karin memohon air matanya juga hampir tumpah."Apaa Mbak? Nyonya lagi hamil?" Bik Sumi memastikan."Iya Bik, Risti sedang hamil dan kandungannya lemah, dia ga boleh stres," jelas Karin masih terus mengetok pintu kamar."Ya Allah, kasian Nyonya ..." Bik Sumi memandang lesu ke arah pintu."Tuan sud
Bambang menghembuskan nafas kasar, pikirannya mengawang-awang, teringat akan wajah cantik istrinya yang tiga bulan lalu baru saja ditalaknya.Yah sudah tiga bulan ini Bambang tinggal di Tasikmalaya, kota kelahiran orangtuanya, di sini Bambang membantu pamannya berkebun. Tampak matahari akan segera tenggelam, Bambang mengusap peluh yang menetes dengan handuk kecil yang sudah lusuh, beranjak pergi dari gubuk kecil tempatnya melepas penat setelah berkebun.Disusurinya jalan rerumputan dengan perlahan, matanya menatap langit yang sebentar lagi berwarna gelap. Entah kenapa hari ini terasa begitu melelahkan bagi Bambang, dadanya sesak mengingat istrinya yang sangat dia rindukan, namun rasa itu tertutupi rasa ego seorang lelaki yang merasa telah benar-benar dibohongi selama ini.Setelah berjalan lebih kurang lima belas menit sampailah Bambang di jalan raya pedesaannya, tampak lalu lalang orang cukup ramai, tampak juga beberapa pedagang berseliweran disana."Maaf Mang," sapa Bambang pada peda
"Ris," panggil Karin lembut sambil menatap wajah pucat Risti yang sudah tiga bulan ini belum berubah warna. Ini tepatnya tiga hari sudah Risti dirawat di sebuah rumah sakit dikarena mual dan muntah-muntah yang berlebihan di trisemester awal kehamilan Risti.Risti menoleh wajah sahabatnya."Apa lo sudah dapat kabar Bambang di mana?" tanya Risti lirih.Karin menggeleng lesu."Gue rindu hiks ...." tangis pilu Risti terdengar di dalam ruangan perawatannya."Ck, gue udh tanya pihak sekolah kembar juga, hasilnya sama, mereka bilang alasan pribadi tidak bisa menyebutkan dimana kembar pindah sekolah." terang Karin lesu"Ish, kenapa gue bisa bodoh banget gini jatuh cinta sama lelaki seperti Bambang." Risti masih terisak pelan."Kita ga pernah tau kapan cinta itu datang dan pergi dalam hidup kita Ris, lu harus sabar, Bambang masih muda, egonya tinggi, ternyata kesalahan lu diawal sudah melukai harga dirinya sebagai lelaki, dan lu harus terima itu sebagai konsekuensi, membiarkannya tenang untuk
Pertemuan mengharu-biru antara si Mbok, Fani, dan Munos pun tidak terelakkan. Ditambah melihat cucunya tumbuh sehat, montok, dan tampan; Abi; cucu satu-satunya yang diurus Munos dan Fani dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bu Darsih tidak bisa menahan air mata kerinduan sekaligus haru. Bu Sundari pun sama terharunya dengan anak menantunya. Bagi Bu Sundari, ibu dari Tiyan adalah keluarga, bukan orang lain. Bu Sundari tidak akan pernah bisa membalas kebaikan almarhum Tiyan dan ibunya yang sudah mau menerima Fani dahulu apa adanya. "Mbah jangan nangis," kata Abi yang kini sudah di pangkuan Bu Darsih. "Mbah nangis bukan karena sedih, tapi karena senang ketemu Abi dan adik kembar. Duh, pipi Abi kayak bakpao coklat. Makannya apa, Nak?" Bu Darsih mencium gemas pipi cucunya. "Minum susunya kuat sekali, Mbak. Ya ampun, nyedot botol terus, padahal udah mau sekolah." Bu Sundari menjawab sambil tersenyum. "Pantas saja pipinya gembul. Perutnya juga ndut. Aduh, Mbah senang sekali lihat
Bu Darsih sudah sampai di Stasiun Gambir pukul delapan pagi. Perjalanan dari Malang menuju Jakarta memang memakan waktu kurang lebih tiga belas jam dengan kereta api. Semalam Bu Darsih berangkat dari Stasiun Malang Kota Lama pukul tujuh malam. Dengan dibantu jasa dua porter, Bu Darsih menurunkan semua barang bawaannya sampai di pintu keluar. Masing-masing porter diberikan uang tujuh puluh lima ribu rupiah oleh wanita itu, sengaja ia lebihkan karena porter stasiun yang mengangkut barangnya mungkin seumuran suaminya. Tidak tega ia memberikan pas ataupun menawar dengan harga sangat rendah, karena ia teringat akan suaminya yang juga bekerja hanya sebagai buruh. "Bu." Gadis berwajah manis menepuk pundak Bu Darsih dengan riang. "Ya ampun, kamu bikin kaget Ibu saja. Udah lama nunggu?""Nggak, Bu, baru sepuluh menit. Ibu udah sarapan belum?" tanya Hesti. "Belum.""Sama, Hesti juga belum, emang sengaja nunggu Ibu, biar ditraktir." Gadis itu menggandeng tangan Bu Darsih, lalu membawanya ke
"Mama tadi bilang, Fani harus cukup istirahat. Jika si Kembar tidur, maka Fani juga harus tidur. Gak usah pedulikan bayi tua yang suka iseng gangguin. Biarkan ia berpuasa selama empat puluh hari, itu juga kalau beruntung. Bisa saja jadi buntung, saat nifasnya kamu menjadi enam puluh hari, ha ha ha.... "Bu Sundari berbalik badan dengan cepat. Ia tergelak dan tidak sanggup melihat wajah Munos yang pastinya sangat kesal dengan ocehan tidak jelasnya. "Mama mau lihat Abi dulu di kamarnya!" Seru Bu Sundari setelah kedua kakinya berada di luar kamar. Setelah pintu kamar tertutup rapat. Munos menghampiri Fani yang tengah memangku Fathia yang sudah pulas. Wajah Fathia sangat mirip dengan Munos, begitu juga Ibrahim. Tidak ada sedikit pun mengambil wajahnya yang biasa-biasa saja. Wajah anak kembarnya sedikit ke timur tengahan, persis bapak mereka. Lelaki itu duduk di samping Fani sambil memperhatikan wajah Fathia yang terlelap. "MasyaAllah, anak Bapak Munos kenapa cakep semua?" pria itu me
Kabar Fani yang sudah melahirkan sampai juga ke telinga si Mbok di kampung. Wanita paruh baya; ibu dari Tiyan. Si Mbok mendapatkan kabar itu dari orang tua Fani yang masih berhubungan baik dengan ibunya Tiyan itu. Bukan main senangnya si Mbok mendengar kabar Fani melahirkan anak kembar. Si Mbok bahkan pergi ke pemakaman Tiyan untuk menceritakan kabar gembira ini di pusara putra satu-satunya. Ia mengatakan akan pergi ke Jakarta untuk menjenguk Fani dan bayi kembarnya. "Bu, sudah, jangan nangis terus. Ini sudah bertahun-tahun berlalu, Ibu masih saja menangis saat di pusara Tiyan. Kasihan Tiyan, Bu. Ikhlaskan ya." "Iya, Pak, saya hanya terharu saja." Wanita yang biasa dipanggil si Mbok oleh Fani dan Tiyan itu bernama asli Darsih. Semenjak Fani kembali ke Jakarta dan menikah dengan Munos, Bu Darsih tinggal sendiri di kampung. Ditemani keponakannya. Namun setahun lalu, Bu Darsih yang masih berusia empat puluh delapan tahun ini dijodohkan dengan seorang duda anak tiga, untuk menemani ha
Fani merapikan mukenanya setelah selesai sholat isya, malam ini suaminya lembur kemudian ia mengambil ponsel, melihat pesan masuk, apakah ada dari suaminya? Ternyata Munos baru saja mengirim pesan bahwa Munos baru akan pulang dari kantor, dan menanyakan pada Fani, mau dibelikan apa untuk oleh-oleh saat pulang.[Mau bapak saja.][Hahahaha..awas ya, Buu]Fani terkekeh membaca balasan pesan suaminya. Kehamilan ketiga ini dirasanya sangat berbeda. Tanpa ngidam berlebihan dan mual muntah juga yang biasa saja. Hanya seluruh tubuhnya, seakan tak rela jika berjauhan lama dengan suaminya. Kalau kata reader mah, bucin. Aah..ntah dari mana dimulainya perasaan bahagia ini, yang jelas dikehamilan ketiga ini, Fani merasa dipenuhi cinta dari kedua mertuanya, dari orangtuanya,khususnya sang suami yang bersiap siaga kapan pun mengabulkan keinginan dirinya. Fani tengah menemani Abi bermain lempar tangkap bola. Usia Abi yang sudah memasuki enam belas bulan, dan kandungan Fani sudah menginjak empat bula
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber