Saat ini, kami saling menatap. Pelukan Taufan makin erat hingga membuatku tidak bisa bernapas. Tanganku yang awalnya mendorong Taufan menjadi lemah dan akhirnya memegang pinggangnya dengan lembut. Aku bisa merasakan tubuh Taufan yang menegang. Detik berikutnya, dia menundukkan kepalanya dan mencium bibirku. Seketika itu juga, aku merasa lemas seolah-olah tersengat listrik. Taufan menahan kepalaku dan terus memperdalam ciumannya hingga membuatku hampir kehabisan napas. Tiba-tiba, adegan intim di antara Harry dan Jasmine terlintas di benakku. Aku sontak terhasut dan menginginkan rangsangan semacam ini.Entah karena efek dari alkohol, gairah yang sudah lama terpendam, atau kenikmatan balas dendam, aku tanpa sadar mendekat dan memeluk Taufan, lalu menanggapi ciumannya yang ganas. Adegan di benakku perlahan-lahan menghilang. Aku tidak bisa berpikir jernih dan hanya ingin melanjutkan hasrat yang ada di hadapanku. Akhirnya, Taufan melepaskanku. Aku menarik napas dan menghirup udara segar ya
Aku merasa Taufan keluar dari kamar, lalu mendengar seseorang berbicara di luar pintu. Setelah itu, terdengar suara pintu ditutup dan seseorang berjalan balik. "Kamu nggak merasa sesak napas?" Terdengar suara Taufan lagi. Tak berselang lama, aku merasa sesak hingga tidak bisa bernapas. Jadi, aku menyingkap sudut selimut dan mendapati Taufan yang menatapku sambil berdiri dan tersenyum cerah. Penampilannya saat ini terlihat sangat tampan. Apa pria ini masih Taufan yang kukenal? Dia tidak bersikap dingin seperti biasanya. Ketika melihat aku terpana dan tampak lugu, Taufan mengulurkan tangannya dan langsung menarikku bersama selimut, lalu dia mengangkat tubuhku dan memelukku dengan erat. Aku merasa sangat panik dan buru-buru berkata, "Hei … kamu … kamu … apa yang kamu lakukan?"Berhubung jarak kami terlalu dekat, aura Taufan sontak menyelimutiku. Aku merasa sedikit sesak napas saat melihat wajah Taufan yang makin dekat denganku. Tiba-tiba, aku teringat dengan ciuman gila dan memabukkan
Ketika menengadah dan melihat Harry yang berdiri di depan kantorku, aku merasa terkejut. Bukankah dia pergi ke Linde? Saat ini, dia seharusnya masih bersenang-senang dengan Jasmine, bukan?Aku tidak berbicara dan hanya menatap Harry. Dia pun tersenyum lembut dan berkata, "Sayang, apa yang mau kamu makan siang ini?" "Aku belum memikirkannya!" jawabku dengan nada datar tanpa merasa terkejut sama sekali.Harry menghampiri dan berkata, "Semalam, aku membahas pekerjaan dengan klien sampai kemalaman. Aku pergi secara mendadak dan takut kamu khawatir. Jadi, aku bergegas kembali pagi ini dan bahkan nggak sempat makan sarapan! Ayo kita makan siang lebih awal nanti. Pikirkanlah, apa yang mau kamu makan? Aku akan mentraktirmu!"Ketika melihat Harry tersenyum dan berakting, aku malah tidak merasa marah dan berkata dengan senang, "Kebetulan, aku juga belum sarapan!" "Kamu minum alkohol semalam?" tanya Harry yang mencium bau alkohol saat mendekatiku. Ironisnya, tubuh Harry malah tidak berbau alkoh
Sebenarnya, aku tidak ingin menghadiri acara makan malam. Jadi, aku menolak Harry dengan alasan bahwa Adele sudah dijemput balik olehku. Namun, Harry mengatakan bahwa dirinya sudah memberi tahu Giana dan Giana akan segera tiba di rumah. Sikap Harry membuatku merasa aneh. Biasanya, dia selalu enggan untuk membawaku menemui klien. Di dalam perjalanan, aku baru tahu bahwa acara makan malam ini diselenggarakan oleh Bright Celestial. Dalam pertemuan sore tadi, Marvin menanyai Harry mengapa aku tidak menghadiri pertemuan kali ini. Jadi, Harry pun mencari cara untuk menebus hal ini dan membawaku makan bersama malam ini. Selain itu, dia juga berulang kali mengingatkanku terkait apa yang harus aku katakan. Tiga perusahaan lain yang ikut menghadiri acara makan malam ini adalah perusahaan terbaik di Reva. Ketiga perusahaan itu memiliki kelebihan masing-masing. Berdasarkan informasi yang kumiliki, Aurous Construction benar-benar kalah telak dan tidak selevel dengan mereka. Tiba-tiba, aku merasa
Keesokan harinya, aku membawa Adele naik pesawat menuju kampung halaman. Setelah berada di pesawat, aku menelepon Fanny untuk mengabari kepergianku. Selain itu, aku juga mengingatkan Fanny untuk segera menyelesaikan beberapa hal yang kusuruh. Bagaimanapun, setiap langkah di dalam rencanaku harus berjalan mulus tanpa kesalahan. Aku memberi tahu Fanny bahwa aku telah berhasil melacak lokasi Harry dan menyuruh Fanny mengawasinya setiap saat. Setelah mengakhiri panggilan telepon Fanny, aku menggenggam ponselku dengan erat dan menahan keinginan untuk menelepon seseorang. Akhirnya, aku menghela napas dan mematikan ponsel. Aku mengingatkan diriku untuk menjauhi pria tersebut. Sementara Adele bersemangat di sepanjang penerbangan, aku malah memikirkan rencanaku dengan teliti. Aku selalu merasa ucapan Taufan hari itu memiliki arti lain. Pertahankan kesadaranmu, aku akan bantu kamu. Kata-kata tersebut terngiang-ngiang di dalam benakku. Jangan-jangan dia sedang membantuku? Namun, aku tidak ingin
Ketika melangkah maju ke pabrik, penjaga menghentikanku. Aku langsung menyampaikan keinginanku untuk bertemu dengan Sandy Musa. Ketika mendengar permintaanku, penjaga pintu mengamatiku sejenak dan menjawab dengan suara dingin, "Pak Sandy nggak ada di sini, beliau sedang dalam perjalanan bisnis!" "Ke mana Pak Sandy pergi?" tanyaku dengan sedikit cemas karena aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal di Jola. "Mana mungkin seorang penjaga sepertiku bisa tahu?" balas penjaga itu dengan sikap yang kurang ramah. "Kalau begitu, apa kamu bisa memberimu nomor teleponnya? Aku datang dari luar kota untuk menemuinya secara khusus. Aku ingin meneleponnya," ucapku dengan sopan. Aku tidak memiliki informasi kontak perusahaan ini karena kejadian empat tahun lalu. "Aku juga nggak tahu!" Penjaga itu menjawab dengan tegas, lalu bertanya dengan tidak sabar, "Kenapa kamu mencari Pak Sandy?" "Aku datang untuk membahas masalah kerja sama," kataku dengan tulus. "Kalau mau membahas kerja sama, cari saj
Setelah menyewa sebuah kamar, aku segera melepas pakaianku yang basah dan menyalakan kipas angin untuk mengeringkannya. Setelah itu, aku bergegas ke kamar mandi dan mandi dengan air panas. Rasa dingin yang membuat tubuhku menjadi kaku sedikit mereda setelah aku diguyur air hangat untuk waktu yang lama. Aku sedikit menyesal karena tidak membawa pakaian ganti. Aku membungkus diriku dengan selimut dan merebus sepanci air panas. Aku tidak peduli apakah cangkir di sini bersih atau tidak. Setelah membersihkan cangkir dengan air panas, aku langsung menuangkan air dan meminumnya. Alangkah baiknya kalau ada sepotong jahe, batinku. Aku tersenyum getir, tetapi otakku masih berfokus memikirkan cara untuk bertemu dengan Sandy. Aku mengambil brosur dan melihat informasi kontak di dalamnya. Aku mencoba menghubungi beberapa nomor tersebut, tetapi upayaku berakhir sia-sia. Bos di perusahaan besar benar-benar sulit untuk ditemui. Aku hanya bisa menaruh harapan pada Pak Musa itu. Namun, setelah menun
Pendatang tersebut tidak lain adalah Sandy yang berusaha aku temui. Selain itu, ada juga Pak Musa yang memberiku tumpangan dua hari yang lalu. Mataku berpapasan dengan mata Sandy. Empat tahun berselang, Sandy sudah tua. Rambut aslinya yang berwarna hitam telah memutih. Tubuhnya pun menjadi makin kurus. Dia menatapku untuk waktu yang lama, lalu mengulurkan tangan dan menunjukku. "Ternyata, benar-benar kamu, Maya!" "Iya, Pak Sandy. Aku Maya, lama nggak bertemu!" Aku merasa agak canggung dengan penampilanku yang kacau saat ini. "Cepat baring, baring saja!" kata Sandy yang buru-buru melangkah ke ranjang. Taufan pun segera bangkit untuk memberi jalan. "Maaf, Nona Maya. Ini semua salahku sampai membuatmu menunggu terlalu lama, maaf sekali," lanjut Sandy yang langsung duduk di kursi depan ranjang. Taufan memberi isyarat kepada Pak Musa yang mengikuti Sandy, lalu keduanya pun berjalan keluar serta meninggalkan ruangan itu untuk aku dan Sandy. Aku sedikit bersemangat dan segera berkata, "P
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung