Bagai disambar petir, panggilan telepon ini membuatku tercengang. Aku sudah dua tahun tidak kembali ke kampung halaman. Bagaimanapun, Adele masih kecil dan Harry selalu sibuk. Kalau aku membawa anak pulang sendirian, Harry selalu menolak dengan alasan khawatir padaku. Jadi, aku tidak pernah pulang ke rumahku selama dua tahun ini.Aku memegang telepon dan terpaku untuk waktu yang lama. Rasa bersalah sontak memenuhi hatiku. Aku adalah satu-satunya anak perempuan orang tuaku. Setelah mereka menafkahiku untuk kuliah, aku perlahan-lahan menjauh dari rumah. Hanya ketika mengalami kesulitan, aku baru akan meminta bantuan mereka. Namun, sejujurnya, aku telah mengabaikan mereka selama bertahun-tahun ini.Aku jauh lebih berbakti dan peduli dengan orang tua Harry daripada orang tuaku sendiri. Tanpa sadar, aku selalu menganggap mereka masih muda dan sehat. Jadi, kata "sakit parah" terasa terlalu berat bagiku. Aku panik sesaat karena aku sadar apa artinya berbakti sebelum terlambat. Mereka telah me
Aku memasuki gerbang dengan kecewa dan melangkah menuju terminal keberangkatan. Saat ini, aku sebenarnya ingin sekali pulang bersama kekasihku. Bagaimanapun, hubungan suami istri yang terlihat dekat dan penuh kasih sayang jugalah harapan dari orang tuaku. Namun, Harry malah pergi dengan terburu-buru. Mungkin ada panggilan darurat! Aku berusaha menghibur diriku sendiri. Aku menelepon Fanny untuk memberitahunya tentang keberangkatanku. Setelah itu, aku duduk di aula terminal dan menunggu untuk naik ke pesawat dengan cemas. Harry hanya pernah pulang bersamaku sebanyak tiga kali. Pertama kali adalah saat kelulusan kami. Setelah menjalin hubungan, dia pulang bersamaku untuk bertemu orang tuaku. Kedua kali adalah ketika kami memutuskan untuk memulai bisnis, tetapi tidak memiliki modal awal. Jadi, kami kembali ke kampung halaman untuk mencari cara mengumpulkan uang. Ketiga kali adalah ketika kami menggunakan rumah orang tuaku sebagai hipotek. Setelah pinjaman disetujui, dia bersikeras membaw
Aku berteriak kaget, memejamkan mata, dan mempersiapkan diri untuk terjatuh akibat tabrakan yang kuat. Namun, detik berikutnya, tubuhku terasa ditarik dengan kuat dan melayang secara tidak realistis untuk sesaat. Ketika rasa kaget belum mereda, aku mendengar seruan dan sorakan beberapa orang di sekitarku. Aku membuka mata dan mendapati diriku dipeluk oleh seorang pria yang jangkung. Aura unik dari pria tersebut menyelimuti tubuhku.Pria itu mengenakan masker berwarna hitam, sementara sepasang matanya yang tajam tertuju pada wajahku. Entah kenapa tatapan matanya terasa akrab. Tanganku masih memegang erat lengannya dan mataku menatap wajahnya dengan bingung. Pria tersebut menurunkanku dan memapahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tetapi pandangannya terpaku pada tanganku yang masih memegang lengannya. Aku segera menyadari sikapku yang kurang sopan sehingga segera menarik tanganku, lalu berkata seraya tersenyum kikuk, "Maaf! Terima kasih!"Seseorang yang baik hati membantuku mengambi
Adegan yang terpampang di depan mata membuatku terkejut dan terus melangkah mundur. Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu takut. Mataku terbelalak karena tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Namun, aku benar-benar melihat kedua wajah itu dengan jelas. Satunya adalah Harry, sementara yang lainnya adalah Jasmine.Aku hampir saja berteriak. Biarpun tahu Harry berselingkuh dan pasti akan melakukan hal seperti itu dengan wanita lain, aku tetap saja tidak menyangka bahwa wanita yang ditekannya … adalah adik perempuannya sendiri ….Aku terpana di tempat seolah-olah tersambar petir. Siapa pun yang mengalami hal ini pasti akan mendobrak pintu dengan kesal, tetapi aku malah tercengang dan tidak bisa bergerak. Di tengah kekacauan di dalam kamar, telingaku terus berdengung dan mataku terbuka lebar. Kesadaran yang tersisa menggerakkan tanganku yang gemetar untuk mengeluarkan ponsel, lalu mengambil beberapa foto dan merekam video. Setelah itu, aku diam-diam meninggalkan rumah itu. Aku menutu
Tindakan Taufan membuatku lagi-lagi tidak bisa menahan air mataku. Aku tidak sekuat itu, aku tidak tahu dari mana keberanianku untuk mengambil foto dengan tenang sebelum keluar dari rumah. Taufan ragu-ragu sejenak dan menepuk punggungku. Gerakannya sangat lembut dan sopan. Saat ini, penghiburan dari orang asing pun bagaikan penghiburan malaikat bagiku. Emosiku sontak kehilangan kendali. Layaknya anak kecil yang ditinggalkan oleh orang tua, aku tiba-tiba memeluk Taufan dan menangis lagi. Tidak disangka, aku terus-menerus bertemu dengannya hari ini dan bahkan memperlihatkan sisi yang begitu menyedihkan di depannya. Entah berapa lama kemudian, tangisanku mereda. Mungkin, air mataku sudah kering.Cahaya abu-abu menyingsing di cakrawala yang jauh dan menerangi langit yang gelap. Aku menyadari bahwa fajar akan segera tiba. "Terima kasih, Pak Taufan! Aku mau pergi ke rumah temanku! Di Godland Villa!" kataku. Dia memelukku dengan erat untuk sejenak dan mengangguk. Melihat penampilanku yang b
Ini akan menjadi sumpahku. Aku akan hidup kembali sebagai diriku yang baru. Ketika menatap aku yang tampak garang, Fanny menggelengkan kepalanya tanpa daya dan membujukku dengan pelan, "Makan sesuatu dulu!"Aku menanggapinya dengan mengangguk. Fanny segera keluar dan menyiapkan makanan untukku. Setelah menenangkan hatiku dan merapikan penampilanku, aku baru keluar dari kamar. Usai makan, aku memberi tahu Fanny, "Aku mau jemput putriku.""Kamu sanggup nggak? Bagaimana kalau kamu tinggal di sini selama dua hari lagi? Kalau benar-benar sudah tenang, kamu baru pulang ke sana," ujar Fanny. Aku tahu dia khawatir denganku.Aku pun menatapnya seraya berkata dengan tegas, "Aku nggak akan menyerah begitu saja. Aku mau mendapatkan kembali semua milikku, semuanya!" "Terus, bagaimana kamu menjelaskan alasan kamu nggak pulang?" tanya Fanny dengan agak cemas.Aku menjawabnya dengan tenang, "Aku tahu caranya." Kemudian, aku berganti pakaian, mengambil tas, dan menghidupkan jaringan ponselku. Sebelum
Malam itu, aku menahan rasa tidak nyaman untuk berbaring di ranjang yang kotor itu. Aku terus memberi tahu diriku bahwa melewati semua ini adalah langkah pertama untuk membalas dendam. Di malam hari, Harry mendekat dan ingin memelukku. Namun, aku langsung mendorongnya dan berujar, "Aku lagi mens, tolong jangan ganggu aku, menyebalkan!"Harry menjauh dengan kesal. "Aku tahu kamu lagi marah, semua ini salahku. Sayang, jangan marah lagi.""Tidurlah! Aku sangat khawatir dengan kondisi ayah di kampung, untuk apa aku marah padamu? Jangan terlalu banyak berpikir, oke?" ucapku tanpa serius di balik kegelapan.Harry sangat gembira ketika mendengar ucapanku. Dia menghampiriku dan menciumku. "Jangan khawatir, Tuhan pasti akan memberkati ayah!"Aku merasa jijik dan mengepalkan tanganku yang tertutup selimut. Di dalam hati, aku terus-menerus mengutuknya!Mengingat Harry yang begitu tidak tahu malu sampai meniduri adik perempuannya, aku benar-benar merasa jijik dan mual. Namun, aku harus mendapatka
Setibanya di rumah, aku sengaja memberi tahu Harry tentang kejadian ini tanpa merahasiakan apa pun. Dia memujiku dengan gembira, "Sayang, kamu benar-benar istri yang baik dan pengertian, kamu pandai banget mengambil hati orang lain!""Aku nggak mengambil hati orang lain, tapi tulus pada orang lain, oke?" Aku mengoreksinya dan melanjutkan, "Selama bertahun-tahun ini, James benar-benar bekerja keras dan berkontribusi banyak pada keluarga kita. Wajar kalau pria sepertimu nggak memikirkan aspek-aspek ini. Seorang wanita paling senang dibantu dan diperlakukan dengan baik!"Sebenarnya, aku berbuat seperti itu untuk menghilangkan kecurigaan Harry. Pria licik ini pasti akan berwaspada jika tahu aku menyembunyikan beberapa hal darinya. Maka dari itu, aku harus membuat Harry berhenti mencurigaiku. Dengan adanya alasan ini, aku mulai mendekati istri klien untuk membangun fondasi masa depan. Bagi Harry, tindakanku hanyalah trik kecil seorang wanita. Bagaimanapun, aku hanya mengajak mereka makan a
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung