Setibanya di rumah, aku sengaja memberi tahu Harry tentang kejadian ini tanpa merahasiakan apa pun. Dia memujiku dengan gembira, "Sayang, kamu benar-benar istri yang baik dan pengertian, kamu pandai banget mengambil hati orang lain!""Aku nggak mengambil hati orang lain, tapi tulus pada orang lain, oke?" Aku mengoreksinya dan melanjutkan, "Selama bertahun-tahun ini, James benar-benar bekerja keras dan berkontribusi banyak pada keluarga kita. Wajar kalau pria sepertimu nggak memikirkan aspek-aspek ini. Seorang wanita paling senang dibantu dan diperlakukan dengan baik!"Sebenarnya, aku berbuat seperti itu untuk menghilangkan kecurigaan Harry. Pria licik ini pasti akan berwaspada jika tahu aku menyembunyikan beberapa hal darinya. Maka dari itu, aku harus membuat Harry berhenti mencurigaiku. Dengan adanya alasan ini, aku mulai mendekati istri klien untuk membangun fondasi masa depan. Bagi Harry, tindakanku hanyalah trik kecil seorang wanita. Bagaimanapun, aku hanya mengajak mereka makan a
Setelah mempertimbangkan hal itu, aku segera menelepon Fanny dan menanyakan tentang jaket itu. Ketika mendengar ucapanku, dia berseru kaget, "Astaga, aku lupa. Jaket itu masih ada di penatu!""Nggak apa-apa, aku akan mengambilnya sendiri!" Usai mengakhiri panggilan telepon dan hendak bangun, aku tiba-tiba teringat bahwa aku belum memiliki nomor Taufan. Jadi, aku duduk kembali, membuka laptop, dan mencari nomor telepon Taufan.Sayangnya, aku sama sekali tidak dapat menemukan informasi orang ini. Sepertinya, dia benar-benar bukan orang penting di Bright Celestial. Jika tidak, informasi kontaknya pasti bisa ditemukan.Aku mengingat kembali penampilan Taufan. Dia benar-benar memiliki citra dan aura yang luar biasa. Namun, hal ini tidak mengherankan. Bagaimanapun, karyawan di perusahaan besar seperti Bright Celestial pasti sangat terampil. Sebelum menemukan cara untuk mendapatkan kontak Taufan, Harry menelepon dan menyuruhku pergi ke kantornya. Aku pun bangkit dan berjalan keluar. Setibany
Sejujurnya, aku merasa terkejut dan canggung ketika berpapasan dengan tatapannya yang dingin. Bagaimanapun, aku masih ingat dengan adegan malam yang dingin itu. Lagi pula, kejadian itu belum lama. Jadi, dia pasti masih mengingatnya.Malam itu, aku terlihat histeris, bahkan menceburkan diri ke sungai. Penampilanku yang menyedihkan disaksikan olehnya secara langsung. Namun, saat ini aku malah terlihat mesra dengan Harry di sini. Rasanya sungguh memalukan. Berhubung ditatap oleh Taufan, aku tanpa sadar melepaskan tanganku dari lengan Harry dan tersenyum padanya. Ketika melihat Marvin, sekumpulan orang di sekelilingku langsung bergegas mendekat. Mereka berkumpul dan berebut untuk menyapa Marvin, termasuk Harry.Aku memandang kerumunan orang itu dengan tenang dan merasa sinis dengan "ketulusan" mereka. Aku juga mendapati mata Taufan yang tertuju pada Harry. Aku yakin bahwa ada sedikit rasa jijik di tatapannya. Marvin tidak memperkenalkan Taufan kepada semuanya, sementara Taufan juga tidak
Aku terkejut dan langsung mengepalkan tanganku. Ketika melihat Taufan pergi, jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Kemudian, aku menyelipkan kertas itu ke dalam tas kecil yang kupegang. Ketika hendak pulang, aku masuk ke mobil terlebih dahulu, sementara Harry masih mengobrol dengan beberapa bos perusahaan. Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeluarkan kertas dari tasku. Entah kenapa, tanganku agak gemetar. Nomor telepon Taufan beserta namanya tertulis di kertas itu. Tulisannya memberi kesan elegan dan tegas. Ternyata, Taufan memberiku informasi kontaknya. Aku tersenyum senang dan segera memasukkan kertas itu ke kantong dalam tas. Aku bersikap waspada karena khawatir Harry akan diam-diam memeriksa barang-barangku.Dalam perjalanan pulang, Harry mengomentari orang-orang di perjamuan hari ini dengan semangat. Ketika mendengar ucapannya, aku mencibir dan memarahinya dalam hatiku. Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang Harry katakan. Sebaliknya, aku sedang berpikir untuk mene
Aku tidak bergerak dan sedikit kebingungan. Perilakunya yang aneh membuatku bertanya-tanya. Mungkin inilah yang disebut air mata buaya? Beberapa saat kemudian, Harry berdiri dan berkata tanpa menunjukkan wajahnya, "Tunggu sebentar, aku akan membuatkanmu makanan!"Aku tidak tertarik untuk menebak pikiran Harry. Emosi yang jarang-jarang ditunjukkan olehnya tidak dapat mengubah sisinya yang kotor di dalam hatiku. Aku tidak bisa hidup bersama bajingan ini lagi. Aku harus menjalankan rencanaku secepat mungkin untuk melindungi diriku. Aku tidak akan membiarkan keinginan Harry tercapai. Saat makan, suasana hati Harry kembali normal. Dia berujar seraya tersenyum hangat, "Sayang, ayo makan selagi panas. Minum susunya dulu." Dia merawatku dengan perhatian, seolah-olah segalanya telah kembali seperti semula. Tingkah laku Harry membuatku sedikit bingung."Bagaimana kalau kamu istirahat saja hari ini? Aku rasa berat badanmu turun banyak waktu menggendongmu semalam," ucap Harry dengan lembut dan pe
Ketika panggilan terhubung, aku memberitahukan identitasku. Namun, Taufan langsung menjawab, "Aku sudah tahu."Aku terkejut dan kesulitan menebak emosi dari jawabannya. Beberapa saat kemudian, aku baru tersadar kembali. "Hmm ... aku mau mentraktirmu makan siang. Apa kamu senggang? Aku akan sekalian mengembalikan jaket Anda!""Lagi sibuk," ujar Taufan tanpa basa-basi. Aku merasa sangat canggung dan merasa Taufan adalah orang yang lugas. Ketika aku kebingungan untuk merespons, dia malah berkata, "Jam dua siang, kedai kopi di bawah Eagle Tower."Tiba-tiba, aku melihat ada kesempatan. Ternyata dia bukan menolak, melainkan ada bentrokan waktu."Oke, sampai jumpa sore nanti!" Setelah menutup telepon, aku mengangkat alis dan mengucapkan nama Bright Celestial di dalam hati.Ketika istirahat makan siang, aku menyadari bahwa Harry dan James tidak ada di perusahaan. Sepertinya, mereka pergi makan dengan klien. Aku berbalik dan pergi ke kamar mandi.Begitu memasuki bilik kamar mandi, aku mendenga
Di seberang jalan, terlihat dua sosok yang keluar dari sebuah restoran Italia. Seorang cewek sedang merangkul lengan seorang pria. Tampaknya, mereka baru selesai makan siang dan menghabiskan banyak waktu di sana. Setelah keluar, kedua orang itu berhenti di depan pintu seolah-olah sedang membicarakan sesuatu. Setelah selesai berbicara, wanita itu mencium pipi pria itu. Pria itu pun mengusap kepala wanita itu seraya tersenyum dengan penuh kasih sayang.Kemudian, dia memanggilkan sebuah taksi untuk wanita itu. Setelah wanita itu masuk ke mobil dan pergi, pria itu baru berbalik dan menuju ke sisi lain alun-alun. Kedua orang itu tidak lain adalah Harry dan Jasmine. Wajahku memanas karena merasa sangat malu. Aku tertawa kecil dan menatap langsung ke arah Taufan. "Maaf, situasi ini lucu sekali, 'kan?"Taufan menatapku dengan tatapan serius dan langsung menimpali, "Tidak lucu."Aku berusaha keras untuk mengendalikan rasa malu di dalam hatiku. Awalnya, aku mengira bahwa Harry dan James sedang
Ketika bangun, aku mendapati diriku terbaring di ranjang ruang gawat darurat. Semuanya seperti biasa. Rasa sakit yang dahsyat telah menghilang sepenuhnya. Di sebelahku, hanya ada Taufan yang tampak cemas. Sepertinya, dialah yang membawaku ke rumah sakit. Aku merasa sedikit bersalah karena kondisi mendadak ini mengejutkannya. "Aku membuatmu terkejut, ya? Maaf!" ucapku seraya tersenyum kikuk. "Maaf membuatmu selalu menyaksikan momen-momen paling memalukan di dalam hidupku. Terima kasih! Kamu menyelamatkanku lagi!" "Kamu baik-baik saja sekarang?" tanya Taufan dengan khawatir sembari menatap wajahku dengan serius. "Aku mengidap penyakit batu empedu, jadi ini sudah sering terjadi!" jawabku dengan tenang. Dia memanggil dokter untuk pemeriksaan lanjutan. Dokter menjelaskan padaku tentang kondisi dan tindakan pencegahan secara rinci, lalu memberi tahu Taufan bahwa aku sudah boleh pergi setelah infus. Taufan yang merasa khawatir memastikan kepada dokter lagi. Setelah dokter pergi, aku menasi
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung