Saat aku melihat ekspresinya, aku hampir tertawa. Kemudian, aku bertanya dengan acuh tak acuh, "Oh ... oke! Apa ada hal lain?"Yvonne mungkin tidak menyangka reaksiku akan seperti ini. Dia sedikit terkejut dan menatapku dengan hati-hati. "Kamu nggak mau tanya dengan siapa aku akan pergi?""Siapa pun itu, nggak hubungannya denganku! Nggak ada gunanya aku bertanya, aku nggak tertarik! Lagi pula, bidang kita berbeda, aku nggak mengerti pekerjaanmu. Kenapa nggak cari Fanny saja? Menurutku kamu harus kasih tahu dia!" Wajahku terlihat acuh tak acuh dan nada bicaraku terdengar seolah-olah topik pembicaraan Yvonne sangat membosankan."Aku pergi dengan Taufan, bagaimana menurutmu?" Yvonne menatapku dengan provokatif dan bersikap seperti seorang pemenang."Oh! Benarkah? Pacarmu yang kamu bilang itu?" Aku masih bersikap tenang dan berkata, "Aku nggak begitu peduli, tapi mungkin kamu bisa bicara dengan adiknya, mungkin dia akan tertarik! Jangan tertipu orang lain. Karena kita tetangga, aku menging
Aku mengamati ekspresi ibuku. Aku samar-samar bisa merasakan bahwa ada kejanggalan di sini."Apa Ibu pernah mengalami hal seperti ini? Nggak bisa mengingat sesuatu dari masa lalu?" Aku mengerutkan kening dan berpikir keras. "Bahkan ketika aku masih kecil, aku sepertinya nggak ingat apa pun. Orang-orang bisa menceritakan masa kecilnya, tapi aku nggak tahu apa-apa.""Bagaimana bisa itu terjadi? Ketika kamu masih kecil, nggak ada yang berbeda. Kita tinggal di Kompleks Anggara pada waktu itu. Di sana ada rekan-rekan ayahmu dan sekelompok anak-anak, nggak ada bedanya," kata Ibu. Ibu berkali-kali mendesakku untuk melupakannya.Aku menyadari bahwa sepertinya Ibu tidak ingin mengungkit-ungkit masalah ini lagi.Saat itu, teleponku berdering. Ketika aku melihat itu adalah telepon dari Taufan, aku berdiri dan menjawabnya, "Kenapa kamu menelepon larut malam?"Aku berkata dengan pelan."Bisakah kamu keluar? Aku sekarang ada di Capital International!" Suara Taufan terdengar sangat menggoda, dan hati
"Maksudmu, kamu mau menghabisi dia?" Aku terkejut dan menatap Taufan.Taufan menunduk dan menatapku. Setelah beberapa saat, dia menyentuh hidungku dan berkata, "Kekasihku sangat pintar!""Kamu nggak takut kalau dia benar-benar bekerja sama dengan Gilbert? Kamu nggak bisa menarik kembali keputusanmu," ujarku ragu-ragu.Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Apa menurutmu Gilbert akan bekerja sama dengan orang lain semudah itu?"Taufan benar, Gilbert adalah seekor rubah tua, baik secara eksternal maupun internal.Taufan menepuk wajahku dan memperingatkanku, "Kalau kamu nggak bisa meneleponku, kirim email saja! Aku bisa melihatnya kapan saja. Kali ini, aku melakukan urusanku sendiri, jadi aku nggak akan dikendalikan olehnya."Aku benar-benar tidak rela membiarkan Taufan pergi. Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang harus kulakukan jika aku tidak bisa bertemu dengannya."Kalau Gilbert bergerak, ingatlah satu hal, lakukan yang terbaik untuk memperjuangkan keuntungan sebesar-besarnya
Setelah meninggalkan kantor Haikal dan memastikan bahwa kontraknya tidak bermasalah, aku merasa jauh lebih lega. Tampaknya segala sesuatunya harus ditangani dengan sangat hati-hati agar tidak ada ruang untuk kelalaian.Ketika kedua rubah ini berselisih, pasti orang-orang di sekitar mereka akan terkena dampaknya. Aku harus waspada, apalagi aku telah terseret ke dalam lingkaran mereka.Begitu aku sampai di lobi kantor, aku melihat beberapa orang berkumpul di sekitar layar lebar di dinding lobi untuk menonton berita siaran langsung.Mereka tampak terkejut saat menonton berita tersebut. Aku melirik dengan santai ke layar tersebut. Acara berita itu sedang meliput kecelakaan mobil, terlihat ambulans dan truk pemadam kebakaran di sana.Aku tetap berjalan menuju pintu masuk dan tidak ingin terlibat dalam keributan itu. Aku masih memiliki trauma dalam benakku."Oh, kudengar itu adalah CEO perusahaan Bright Celestial?""Kelihatannya sangat serius ...."Kepalaku berdengung. CEO perusahaan Bright
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku