"Oke! Kamu di mana?" jawabku."Masih di kelab yang waktu itu, aku akan segera kirimkan lokasinya padamu!""Oke!" Aku menutup telepon, lalu Gilbert mengirimkan lokasinya.Aku melihat lokasinya dan mencari tahu arahnya, lalu langsung menuju kelab.Gilbert sudah menungguku di sana."Pak Gilbert!" Aku melangkah masuk dan dia langsung menuangkan secangkir teh untukku."Maya, ada yang ingin kutanyakan padamu!" Dia berkata langsung ke intinya.Sejujurnya, kesanku terhadap pria ini sangat baik, tidak bertele-tele, tidak pura-pura, dan tidak ada maksud lain."Katakan saja!" Aku juga tidak sungkan.Dia sangat bersemangat saat melihatku. Dia berbalik dan mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya, lalu menyerahkannya padaku. "Lihat ini dulu!"Aku mengambilnya dengan sedikit ragu-ragu. Ini adalah kontrak, sebuah kontrak proyek, tetapi judulnya bukan milik Eternal.Setelah memeriksanya dengan saksama, ternyata kawasan pengembangannya tidak kecil dan sudah direncanakan dengan baik.Namun, aku tidak meng
Ketika aku kembali ke perusahaan, semua orang sudah pulang kerja. Oscar sedang menungguku di ruangannya. Aku kebetulan bertemu Danny di koridor yang hendak pulang, lalu aku memanggilnya ke ruangan Oscar.Aku memberi tahu mereka berdua secara rinci apa yang Gilbert katakan padaku dan menyerahkan kontrak itu kepada Oscar.Setelah Oscar membacanya, dia menyerahkannya kepada Danny.Danny juga mengatakan bahwa kontrak ini tidak sederhana dan pasti ada rahasia tersembunyi di baliknya."Kalau begitu, sebaiknya kita lebih berhati-hati. Aku akan menolaknya dengan sopan!" Aku menatap mereka berdua dan berkata, "Kita baru saja mulai berkembang, jadi kita nggak bisa mengambil risiko!"Oscar berkata, "Menurutku, kita bisa saja menerimanya. Gilbert juga bilang kita bisa mengajukan syaratnya! Menurutku, ini adalah kesempatan!"Dia bersandar di kursi dan berpikir sejenak, lalu dia melanjutkan, "Kalau kamu merasa nggak enak, biar aku yang bicara dengannya!""Kamu ingin pembagian yang merata?" Danny men
Pikiran ini membuatku terkejut. Apa mungkin Taufan ingin mengalihkan perhatian Cynthia?Tanganku tiba-tiba gemetar, jantungku tiba-tiba terangkat. Aku teringat akan pertanyaannya kepadaku, dia bertanya kenapa aku tidak mengerti maksudnya.Suasana hatiku saat ini benar-benar terbolak-balik. Jika tidak ada orang di ruangan itu, aku akan bergegas keluar dan mencarinya untuk memastikan. Jika memang demikian, itu artinya aku benar-benar bodoh dan mengacaukan niat baiknya.Aku menahan emosiku agar hal ini tidak mengacaukan pikiranku. Lagi pula, aku masih belum terbiasa dengan sikapnya yang dingin. Lebih baik aku tidak membuat alasan untuk diriku sendiri. Aku akan terus berjalan tanpa memedulikan apa pun situasinya. Berjalan bersamanya tidak akan mudah.Setelah makan malam, aku berdiskusi dengan Oscar dan Danny tentang detail pertemuan dengan Gilbert besok. Aku khawatir jika kami melakukan ini, rasanya seperti memanfaatkan orang lain.Oscar menggelengkan kepalanya, bisnis adalah bisnis. Makin
Aku merasa ada yang aneh pada Adele dan menatapnya. Dia melepaskan tanganku dan berlari sambil berteriak, "Paman ...."Aku melihat ke arah gerbang, ke arah mana Adele berlari. Tiba-tiba aku terdiam di tempat dan merasa sangat bingung.Mungkin putriku terlalu bersemangat saat hendak meraih pria itu. Adele tersandung di bawah kaki pria itu dan jatuh. Hal ini membuatku berteriak kaget.Namun pada saat itu, pria itu segera mengulurkan tangan dan berjongkok untuk menangkap Adele yang terjatuh hingga membuatnya berlutut di tanah.Aku berlari mendekat dan melihat mereka berdua terkikik. Lengan kecil Adele memeluk erat leher Taufan. "Paman, kamu hebat sekali!"Kata-kata ini membuatku tidak bisa menahan diri dan mulai tersenyum. Senyuman hangat menghiasi wajahnya yang tampan dan matanya penuh dengan tatapan kasih sayang.Aku tidak percaya Taufan yang dikagumi dan ditakuti banyak orang itu akan menyayangi seorang gadis kecil."Bangunlah, apa kamu terjatuh?" tanyaku dengan takut-takut.Taufan han
Ayahku segera menyapa, "Pak Taufan! Sudah lama nggak berjumpa!"Sapaan hangatnya itu memecahkan keheningan.Taufan juga tersenyum dan berkata dengan hangat, "Paman, sudah lama tak bertemu. Akhir-akhir ini aku sibuk dan nggak sempat menemui Paman! Bagaimana kondisi Paman?""Kakek, Paman memberiku hadiah yang luar biasa dan dia juga akan merayakan ulang tahun Adele!" Adele sangat senang, tetapi aku terlihat sangat malu. Dasar anak nakal!"Benarkah?" Ayahku tersenyum tulus. Aku benar-benar terkejut, sejak kapan dia jago akting?"Ya!" Adele tertawa dan bertanya pada Taufan, "Ya kan, Paman?""Ya! Paman janji sudah pada Adele, Paman nggak akan mengingkari!" Taufan banyak berbicara hari ini.Aku segera menarik Adele dan berkata, "Kalau begitu, cepat turun dan ganti baju bersama ibu!"Adele takut Taufan akan melarikan diri, jadi dia melingkarkan lengannya di leher Taufan dan berkata, "Aku mau Paman yang membantuku ganti baju!"Aku benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun. Sejak kapan kedua or
Begitu kata-kata tersebut keluar dari mulutku, aku hampir menggigit lidahku sendiri. Bukan karena menyesal, tetapi aku merasa begitu luar biasa.Benar saja. Taufan menatapku sambil tersenyum. Namun, menurutku senyuman itu pasti mengandung permusuhan.“Omongan macam apa itu? Sebaiknya kamu pergi mengantarnya. Pak Taufan juga sudah minum. Dia nggak boleh mengemudi,” kata ayahku.“Oh,” jawabku sambil berdiri. “Oke.”Di dalam mobil, Taufan berkata kepadaku, “Pergi ke Asterik Tower.”Aku langsung merasa kecewa di dalam hati. Asterik Tower jauh lebih dekat dibanding Taman Adaline. Namun, aku tidak tahu kenapa dia tidak kembali ke Taman Adaline.Pertanyaan ini baru saja muncul di benakku, tetapi sepertinya Taufan bisa membaca pikiranku. “Taman Adaline terlalu jauh. Aku khawatir kalau kamu pulang sendirian.”Mendengar kata-kata Taufan, aku tidak tahu apakah aku harus merasa senang atau berterima kasih kepadanya.Apakah aku bisa menganggap jika dia peduli padaku?Aku hanya diam saja di sepanjan
Taufan menatapku, tetapi tidak menjawab pertanyaanku.“Benar itu kamu? Kenapa kamu nggak masuk? Bagaimana kamu melewatkan liburan ini? Kamu di luar negeri atau di Reva? Apa kamu sendirian?” Pertanyaanku bagaikan rentetan peluru.“Kamu baru ingat untuk menanyakannya. Apa kamu nggak merasa kalau pertanyaanmu itu sudah agak terlambat?” Nada bicara Taufan terdengar agak marah.Suasana hatiku langsung menjadi buruk dalam sekejap. Air mataku mengalir. “Siapa yang menyuruhmu untuk menyebarkan gosip ke mana-mana? Bagaimana aku bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah? Sebentar ada Alina, sebentar lagi ada Yvonne. Aku tahu, masih akan ada banyak Alina dan Yvonne yang lain. Aku nggak peduli sama kekayaanmu yang melimpah itu. Tapi, aku nggak suka sama pria yang suka main-main dengan wanita, ‘kan?”Sepertinya, akhirnya aku bisa menemukan cara untuk melampiaskan kemarahanku. Aku tidak peduli dengan akibatnya. Aku menumpahkan semua kekesalanku dan mencaci maki Taufan tanpa takut.“Aku sudah cuk
Aku mengedarkan pandanganku dari dalam mobil. Namun, aku tidak melihat ada sesuatu yang aneh. Hanya saja, perasaan itu begitu kuat.Lantaran berpikir demikian di dalam hati, aku pun buru-buru tancap gas dan melaju pergi.Sesampainya di rumah, orang tuaku masih menonton televisi di ruang tamu. Aku tahu, mereka pasti sedang menungguku kembali.“Kamu sudah mengantarnya sampai ke rumah?” tanya ibuku.“Hmm,” jawabku dengan asal-asalan. Kemudian, aku mengganti sepatu dan masuk ke dalam. “Kenapa pada belum tidur?”Baru pada saat itulah ayahku berdiri dan meregangkan tubuhnya. “Sekarang aku mau tidur. Kamu sudah pulang. Dengan begini rasanya lebih tenang.”“Pak Taufan ini benar-benar sangat baik pada Adele.” Ibuku mengambil kesempatan untuk angkat bicara. “Aku nggak menyangka gadis kecil itu akan lengket sama Pak Taufan.”“Pak Taufan sendiri juga cukup kesepian. Orang tuanya sudah meninggal. Sanak saudaranya nggak banyak. Mungkin dia merindukan suasana kekeluargaan seperti di rumah kita ini.”
Aku menenangkan diri untuk sesaat. Kemudian, aku menyalakan mobil dan perlahan-lahan meninggalkan jalan kecil itu. Dari persimpangan di depan, aku kembali ke jalan utama. Pada saat ini, kemacetan sudah agak mendingan. Aku langsung bergegas pulang ke rumah.Ibuku langsung merasa lega begitu melihatku sudah sampai di rumah. Dia buru-buru mulai memasak makanan. Jarang sekali aku bisa makan bersama mereka di rumah seperti ini.Begitu mendengar jika aku ingin makan di rumah, kedua orang tuaku langsung menunggu kepulanganku. Ibuku mengatakan, makanan yang paling enak adalah makanan yang baru dimasak.Setelah makan malam, aku menelepon Fanny dan bertanya apakah dia sedang ada di rumah. Fanny mengatakan jika dirinya baru saja sampai di rumah. Oleh karena itu, aku mengajak Adele jalan-jalan dan pergi menemui Fanny.Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Fanny. Begitu melihatku, Fanny langsung menanyakan tentang Taufan. Aku hanya bisa menggelengkan kepala tanpa daya.Fanny mengatakan, akhi
Entah kenapa, pada saat itu, punggungku terasa dingin dan merinding. Aku merasa ngeri saat memikirkannya. Bayangkan saja, manusia yang masih hidup dan baik-baik saja ditabrak mobil hingga tewas saat dalam perjalanan menemui diriku. Mungkinkah semua ini hanya kebetulan belaka?Selain itu, dia hanya ingin menyampaikan informasi mengenai Taufan kepadaku. Hanya sebuah informasi. Akan tetapi, apakah semua itu harus ditebus dengan mengorbankan nyawanya? Bagaimana mungkin orang yang begitu lembut itu sekarang dibilang sudah meninggal …Semua ini makin membuatku mengerti jika situasinya tidaklah sesederhana itu.Melihat Danny yang buru-buru pergi, makin aku memikirkannya, makin aku merasa jika ada yang tidak beres. Kenapa polisi tidak menanyakan apa pun mengenai Taufan kepadaku? Bukankah itu adalah pertanyaan yang paling penting? Apakah mungkin bagi mereka untuk mengabaikan pertanyaan sepenting itu?Selain itu, jika sudah dipastikan bahwa sopir mobil karavan kecil itu mabuk dan Bastian meningg
Yang datang ke kantorku adalah dua petugas berseragam polisi.Hal ini membuatku agak terkejut dan bingung. Apa yang menyebabkan polisi mendatangiku di kantor?Aku mempersilakan mereka untuk duduk dan menatap mereka. Salah satu dari mereka bertanya kepadaku dengan sangat serius, “Bolehkah aku bertanya padamu? Apa kamu kenal Bastian Luzman?”“Siapa?” Aku agak bingung dan langsung menyangkalnya. “Aku nggak kenal.”Petugas polisi itu langsung menatapku dengan tajam. Jelas, dia tidak percaya dengan jawabanku. Kemudian, dia melirik rekannya dan berkata, “Mana fotonya?”Polisi satunya buru-buru mengeluarkan foto dari tas kerja yang dipegangnya dan menyerahkannya kepadaku. “Perhatikan baik-baik orang yang ada di foto ini.”Aku menerima foto tersebut dengan kedua tanganku dan melihat orang yang ada di foto itu. Dia adalah seorang pria. Wajahnya terlihat cukup tampan. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa yang masih berusia sekitar 20 tahun.Aku menggelengkan kepalaku dan berkata dengan tegas,
Orang yang meneleponku itu adalah seorang pria asing. Dia memintaku untuk menemuinya seorang diri. Pria itu mengatakan bahwa dia punya informasi mengenai Taufan.Aku menanyakan siapa dirinya. Namun, pria itu langsung menutup teleponnya. Akan tetapi, dia mengirimkan pesan kepadaku, berupa sebuah alamat. Sepertinya, alamat tersebut merupakan lokasi di mana kami akan bertemu nanti.Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil tasku dan turun ke bawah.Setelah mengatur navigasi, aku langsung menuju ke tempat yang dia sebutkan sebelumnya. Hatiku merasa cemas. Dalam beberapa hari terakhir, inilah pertama kalinya aku mendengar ada seseorang yang memberitahuku bahwa dia memiliki informasi mengenai Taufan.Aku bahkan tidak memikirkan apakah informasinya itu benar atau salah. Sekalipun salah, aku tetap ingin mendengar apa yang ingin dia katakan. Setidaknya, itu lebih baik daripada aku tidak tahu apa-apa.Dalam beberapa hari terakhir, kecelakaan mobil yang menimpa Taufan seakan-akan tidak perna
Hatiku langsung berdebar kencang saat melihat nama yang muncul di layar ponselku adalah nama Luna.“Luna, kalau kamu mau bicara omong kosong, sebaiknya hentikan saja. Aku sedang malas berurusan denganmu.” Aku mengangkat telepon dan langsung berkata kepada Luna. “Informasi mengenai Taufan, kalian mau mengatakannya atau nggak, aku pasti akan tetap mengetahuinya.”“Hahaha … Kak Maya, kayaknya kamu benar-benar cemas.” Luna terlihat aneh saat mengetahui kecemasanku. Sikapnya begitu menyenangkan. “Kayaknya Kakak marah besar.”“Kayaknya kamu lagi nggak ada kerjaan ya?” Setelah berkata seperti itu, aku langsung menutup teleponnya. Aku tahu betul. Makin aku memedulikannya, Luna akan makin menjadi-jadi.Benar saja. Ponsel di tanganku kembali berdering. Aku menahan diri dan baru mengangkatnya setelah berdering beberapa kali. “Jangan menguji kesabaranku.”“Hahaha … Kak Maya, aku cuma ingin memberitahumu kalau dia baik-baik saja. Sungguh.” Nada bicara Luna menyiratkan jika dia bersukacita atas musi
Bagai membuka pintu misterius, aku buru-buru melangkahkan kakiku dan masuk ke dalam. Aku memeriksa setiap ruangan yang ada, tetapi tidak ada seorang pun di sana.Sampai-sampai seorang perawat membentakku dengan tegas, “Apa yang kamu lakukan? Ini ruang steril. Bagaimana kalian bisa masuk ke sini? Cepat keluar!”Aku mencengkeramnya dengan satu tanganku. “Kalau begitu, katakan padaku. Di mana orang yang barusan kalian selamatkan? Bagaimana keadaannya?”“Cepat keluar! Orang yang diselamatkan apa? Banyak yang kami selamatkan.” Perawat itu berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku dan mendorong kami keluar. “Cepat keluar!”“Pak Taufan. Pak Taufan yang barusan kalian selamatkan. Bagaimana keadaannya?” Aku masih belum mau menyerah.Perawat itu terlihat marah dan langsung mendorongku keluar. “Aku nggak tahu.”Kemudian, pintu dibanting dengan keras sampai berbunyi ‘brak’ dan terdengar suara kunci pintu yang diputar dari dalam.Aku bersandar di dinding dengan putus asa dan agak hilang akal. Aku
Tatapanku menjadi tegang. Jantungku kembali berdegap kencang. Aku mengulurkan tanganku dan mendorong Luna yang menghalangi di depanku. Luna terhuyung-huyung dan hampir jatuh tersungkur beberapa langkah ke samping. Aku tidak peduli. Aku buru-buru berlari menuju koridor. Namun, para pengawal berpakaian hitam itu tetap saja menghalangiku.Aku melihat dokter sedang menjelaskan sesuatu kepada Cynthia di depan pintu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tidak sampai dua menit, dokter itu sudah berbalik dan kembali masuk ke ruang gawat darurat. Yang bisa kulihat hanyalah sarung tangan yang dikenakannya berlumuran darah yang mengerikan.Mataku tertuju pada Cynthia. Aku melihat Cynthia masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kosong. Ekspresinya sangat aneh. Aku tidak tahu apakah yang disampaikan dokter tadi adalah kabar baik ataukah kabar buruk.Cynthia tertegun untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengatakan sesuatu kepada Fara yang ada di belakangn
Telepon berdering untuk waktu yang lama sebelum akhirnya Danny mengangkatnya. Aku berkata kepada Danny dengan suara bergetar, “Danny … kamu di mana? Tolong selidiki …. Sesuatu terjadi pada Taufan …. Dia mengalami kecelakaan mobil di jalan tol menuju bandara …”“Jangan khawatir, Kak Maya. Aku sudah langsung menyelidikinya begitu mendapat kabar.” Mungkin, karena mendengar suaraku yang tidak jelas, Danny pun menghiburku. “Kakak ada di mana?”“Aku di rumah sakit.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Ceritakan hasil penyelidikanmu padaku.”“Itu pasti. Jaga diri Kakak baik-baik. Apa Kak Maya ingin aku menyuruh Shea untuk menemani Kakak di rumah sakit?” tanya Danny kepadaku. Mungkin saja dia merasa jika suasana hatiku sedang tidak baik.“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat-cepat. Kemudian, aku bertanya kepada Danny, “Apa kamu tahu bagaimana kondisi cedera yang dialami Taufan?”Di ujung telepon, Danny terdiam selama beberapa saat. Kemudian, dia berkata, “Menurut para saksi mata … lukanya sangat para
Wajah Cynthia tampak begitu muram dan menakutkan. Dia duduk jauh di sana sambil menegakkan punggungnya. Matanya menyiratkan aura ganas, yang sama sekali tidak terdapat kehangatan di dalamnya. Mata Cynthia itu membuatku tanpa sadar teringat pada posisi seekor ular sebelum melancarkan serangan pada musuhnya.Kejam, ganas, dan menakutkan.Aku menenangkan diri sebentar. Sebenarnya, saat melihat Cynthia, aku sudah yakin jika orang di dalam ruangan itu pastilah Taufan. Rasa takut yang belum pernah kurasakan sebelumnya memenuhi dadaku. Aku kembali menatap pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat dan berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa.“Kenapa? Apa kamu mau membuat keributan dengan datang kemari?” Nada bicara Cynthia begitu dingin. Matanya yang bagaikan elang terus saja menatap wajahku.Aku menarik napas dalam-dalam, menggertakkan gigiku, dan berjalan menghampirinya. Seketika itu juga, aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang yang ada dalam ruangan itu. Hal tersebut langsung