Share

Pulang Kampung

Aku butuh ketenangan agar terhindar dari segala amarah dan caci maki di rumah ini, jika terus - terusan begini aku bisa stress.

"Aku akan memberitahu Mas Zidan sebentar," Gumamku dalam hati.

Baru saja aku ingin melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi, tiba - tiba terdengar suara Ibu mertuaku yang berteriak dari luar kamar sambil menggedor - gedor pintu dengan keras.

"KAHIYANG, BUKA PINTUNYA!!!" Teriak Ibu dari luar.

"Astaghfirullah, ada apa lagi ini?" Gumamku dalam hati.

Lekasku melangkahkan kaki menuju ke pintu dan membukanya.

"Ada apa bu?" Tanyaku dengan sopan.

"Kamu tuh ya, mantu kurang ajar! Pasti kamu yang mengadu di suami kamu kalau aku yang mencuri uangmu!" Bentak Ibu dengan suara yang menggelegar.

Segera aku membela diri dan mengatakan bahwa aku hanya mengadu jika uangku hilang, tetapi tidak menuduh ibu sebagai pelakunya, tetapi tetap saja Ibu bersikeras bahwa aku menuduhnya sebagai pencuri.

"Astaghfirullah, tidak bu ... Ibu hanya salah salah paham!"

"Lantas jika Ibu bukan pencurinya, terus kenapa uang empat ratus ribu rupiahku ada di tangan Ibu?" Tanyaku.

Spontan, Ibu langsung terdiam dan menatapku sinis dari atas sampai bawah.

"Eh Kahiyang! Kamu tidak usah sombong! Baru punya uang empat ratus saja sudah belagu! Ingat Kahiyang, kamu cuma berasal dari keluarga miskin. Menikah dengan anakku Zidan membuatmu hidup enak karena Zidan adalah pria yang mapan," Ucap Ibu.

Dalam hati, aku hanya tetap beristighfar sembari mengelus - ulus dadaku yang teras nyeri karena perkataan menyakitkan dari Ibu.

Aku memang berasal dari keluarga miskin, tapi kedua orangtuaku mendidikku dan saudara - saudaraku menjadi anak yang jujur. Kami tidak pernah sekalipun mengambil barang orang lain tanpa izin, apalagi sampai mencurinya.

"Jadi, kenapa Ibu merestui pernikahanku dengan Mas Zidan? Kenapa Ibu tidak menjodohka Mas Zidan dengan perempuan lain?" Tanyaku penasaran dengan suara yang bergetar.

"Apa kamu tidak tau? Orangtuamu punya hutang sama aku! Mereka tidak bisa membayarnya jadi mau tidak mau kamulah yang menjadi penebus hutang kedua orangtuamu!" Jawab Ibu dengan nada tinggi.

Mataku seketika terbelalak, aku sangat terkejut mendengar penuturan yang Ibu sampaikan.

"Penebus hutang? Jadi kedua orangtuaku ada hutang di keluarga ini?" Tanyaku, karena merasa sangat tidak percaya pada pengakuan Ibu.

"Iya! Bentak Ibu.

Astaghfirullah ...

Astaghfirullah ...

Astaghfirullah ...

"Kenapa mama tidak mengatakan ini kepadaku? Jika dari awal aku mengetahui jika pernikahan ini sebagai ajang penebus hutang, aku tidak akan mau menikah dengan Mas Zidan," Gumamku dalam hati.

"Apa Mas Zidan juga mengetahui hal ini?" Tanyaku.

Ibu menjawab bahwa Mas Zidan juga tau dari awal, makanya ia mendekatiku selama beberapa bulan hingga aku jatuh ke pelukannya. Menurut pengakuan Ibu, awalnya Mas Zidan menolak dijodohkan denganku karena ia sudah mempunyai kekasih, tetapi karena Ibu memaksa jadi mau tidak mau Mas Zidan harus tetap melanjutkan perjodohan ini.

"Ya Allah," Ucapku sambil menutup mulutku karena sangat terkejut mendengar semua fakta ini.

Tak terasa, buliran air mata jatuh membasahi kedua pipiku. Aku segera berlari masuk ke kamar kembali dan meninggalkan Ibu yang masih berdiri didepan kamarku.

"Ya Allah, kenapa aku baru mengetahuinya sekarang?"

"Ya Allah, kuatkanlah hamba menjalani semua ini,"

Begitu perih perasaanku saat ini. Sakit, sangat sakit. Ternyata aku hanyalah dianggap sebagai penebus hutang dikeluarga ini dan tidak dianggap sebagai menantu. Pantas saja sikap keluarga Mas Zidan sangat kasar kepadaku.

"Aku harus segera pulang dan menanyakan semua ini kepada mama," Gumamku dengan sangat yakin.

Dengan segera, aku meraih koper dan memasukkan beberapa baju ku disana dan beberapa barang penting lainnya.

Tidak lama, terdengar suara deru mobil Mas Zidan yang berarti ia sudah pulang.

"Assalamualaikum," Aku bisa mendengar Mas Zidan mengucapkan salam, tandanya ia sudah masuk ke dalam rumah.

[KRIET]

Mas Zidan membuka pintu dan terkejut melihatku yang sedang memasukkan barang - barang ke dalam koper.

"Kahiyang, kamu sedang apa?" Tanya Mas Zidan yang bingung.

"Aku mau pulang Mas," Jawabku sambil menahan tangisku.

Aku tidak mau menangis di hadapan Mas Zidan, aku malu. Aku tidak tau apakah Mas Zidan menganggapku sebagai istrinya atau justru hanya menganggapku sebagai penebus hutang kedua orangtuanya.

"Kenapa? Ada masalah apa?" Mas Zidan mencercaku dengan beberapa pertanyaan.

Aku hanya bisa menggeleng lalu menoleh kepadanya kemudian tersenyum getir.

"Tidak ada masalah apa - apa kok Mas, aku cuma rindu sama mama," Jawabku dengan suara bergetar.

"Tapi kenapa sangat mendadak seperti ini?" Tanya Mas Zidan yang sepertinya tidak mengizinkanku untuk pergi.

Saat aku ingin menjawab pertanyaan Mas Zidan, tiba - tiba Ibu langsung datang menghampiri kami berdua.

"Istrimu itu nak, tidak bisa di kasih tau! Ibu sudah melarangnya untuk pulang tetapi dia memaksa untuk pulang," Ucap Ibu mertuaku dengan angkuhnya.

Aku yang mendengar perkataannya hanya tersenyum palsu sambil terus beristrighfar dalam hati.

"Kahiyang, apa karena masalah tadi kamu jadi marah pada Ibuku?" Tanya Mas Zidan sambil menatapku dalam - dalam.

"Tidak Mas, sama sekali tidak. Aku hanya ingin pulang karena rindu pada Ibu," Jawabku dengan tegas sambil menggelengkan kepalaku.

Ibu terus berkilah dan berakting seakan ia sedih melepas kepergianku, katanya ia tidak menyangka aku akan pulang padahal baru dua hari aku berada di rumah ini.

Kulihat Mas Zidan terdiam, ia sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Hum, baiklah Mas akan mengantarmu ke Bandung," Tutur Mas Zidan.

"Tapi, Mas hanya mengizinkanmu untuk berada disana selama tiga hari saja, setelah itu Mas akan kembali menjemputmu!" Lanjut Mas Zidan.

Aku mengangguk paham lalu melanjutkan mengatur barang. Kulihat Ibu yang tersenyum penuh kemenangan sambil melirikku.

Setelah siap, Mas Zidan membantuku membawakan barang ke mobil. Sebelum aku pergi, aku menyempatkan berpamitan kepada Ibu dan menciumi tangannya dengan takzim meski dengan perasaan yang jengkel kepadanya. Sedangkan Zenith, ia tidak keluar kamar sedari tadi.

"Hati - hati di jalan ya nak!" Ucap Ibu sembari melambaikan tangannya kepada kami.

Sekarang, Mas Zidan dan aku sedang berada dalam perjalanan ke Bandung. Dibutuhkan waktu beberapa jam untuk sampai kesana.

Selama diperjalanan, suasana hening menyelimuti. Aku masih merasa canggung dengan Mas Zidan untuk berbicara. Aku yakin, Mas Zidan juga merasakan apa yang kurasakan.

Sekitar satu jam perjalan kami lalui tanpa ada satu patah kata pun yang terlontarkan dari kami berdua.

"Kenapa Mas Zidan diam saja dari tadi?"

"Apakah Mas Zidan marah kepadaku?"

Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi pikiranku hingga membuatku pusing sendiri. Apalagi mengingat perkataan Ibu yang mengatakan bahwa Mas Zidan sempat menolak untuk menikahiku karena ia sudah punya kekasih.

"Astaghfirullah,"

"Astahgfirullah,"

"Astaghfirullah,"

Aku cepat beristighfar agar pikiranku menjadi tenang kembali.

Tetapi, sebagai seorang perempuan aku pasti merasa cemburu karena aku sudah mencintai Mas Zidan.

Tiba - tiba saja, mulut ini terbuka dan melontakan pertanyaan yang menjadi privasi Mas Zidan.

"APAKAH MAS ZIDAN DAHULU MEMPUNYAI KEKASIH DAN MASIH MENCINTAINYA SAMPAI SEKARANG?"

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status