"Saya punya alasan kenapa saya ingin mempertahankan rumah ini."Arman berjalan ke sebuah ruangan dengan diikuti oleh Arnita di belakangnya. Arnita berdecak kagum melihat barisan buku berjajar rapi di rak buku. Arman membawanya ke ruang perpustakaan pribadi."Ini alasan saya untuk mempertahankan rumah ini." ujar Arman seraya menatap dinding di depannya.Arnita mendongakkan kepalanya untuk melihat sebuah foto yang lumayan besar menggantung di dinding. Terlihat seorang pria paruh baya yang sedang tersenyum sambil memegang stik golf. Dan disampingnya ada Arman yang juga menunjukkan senyum lebarnya. Terlihat sekali seperti kedekatan seorang ayah dan putranya."Foto ini diambil sewaktu sebulan sebelum kepergian papa. Ini foto terakhir yang saya punya bersama papa. Dan yang membuat ini sangat berharga adalah karena papa dan saya sendiri yang menggantung foto itu disini." Arman menatap foto di depannya dengan mata berkaca-kaca."Saya tidak ingin foto ini sampai diturunkan dari sini." Ah Arni
"Akkkkhhh!"Arnita langsung berlari menuju asal suara. Ia membulatkan matanya melihat Mawar terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit. Segera Arnita ikut membantu Mawar untuk berdiri tetapi tangannya segera ditepis oleh ibu mertuanya. "Bibi gimana sih lantai basah kok nggak di keringin!" Mawar berdecak kesal mendapati lantai yang ia pijak ternyata basah. Ia ngilu merasakan bokongnya yang mendarat lebih dahulu mencium dinginnya lantai marmer. "Aku yang salah mbak, bukan bibi. Tadi aku baru aja ke dapur mau ambil kain kering untuk mengeringkan lantai." jelas Arnita. Ia tidak tega jika bi Ira yang disalahkan karena jujur ini adalah salahnya. Mata Mawar menatap Arnita dengan tajam, bibirnya berdecak mendengar pengakuan Arnita. "Oh jadi kamu yang sengaja bikin lantai basah? Kamu dendam sama aku Nit? Kamu nggak suka karena aku pengen rebut rumah warisan milik suamimu itu kan!" emosi Mawar semakin berkobar begitu mengetahui Arnita yang ternyata yang membuat lantai basah. "Enggak mba
Arnita mengusap dadanya yang berdebar lebih cepat. Ia merasa terkejut mendengar Kenzi membentaknya dan menutup pintu dengan keras tepat di depannya. Arnita tidak boleh berpikiran negatif. Mungkin saja Kenzi masih kesal dengan kejadian kemarin saat ia tidak sengaja membuat mbak Mawar jatuh. "Non bibi permisi." bi Ira menundukkan kepalanya dan pergi berlalu ke dapur."Ngapain kamu disini? Mau menghasut anak saya? Belum cukup kamu menghasut Arman?" Arnita membalikkan badannya begitu mendengar suara yang ia kenali. Mbak Mawar tengah berdiri di depannya dengan kedua tangan dilipat di depan. Jangan lupakan wajah mencemooh mbak Mawar yang selalu terlihat saat di depan Arnita. "Emm saya tadi cuman mau bantuin bi Ira untuk bangunin Kenzi mbak." Arnita mengulas senyum tipis meski ia mendapat tatapan sinis dari kakak iparnya itu."Nggak usah sok perhatian sama anak saya! Urusin aja hidup kamu!" Mawar berjalan melewati Arnita. Saat bersisian dengan Arnita, Mawar menyenggol pelan bahu Arnita hi
Arnita menatap Imel yang juga sama khawatir dengannya. Setelah Kenzi tidak sengaja menumpahkan minuman di baju Mawar, Mawar langsung menarik Kenzi masuk ke dalam kamar. "Mbak gimana kalau aku cek aja kamarnya mbak Mawar?" ujar Arnita memberi usulan. Ia khawatir jika mbak Mawar akan menyakiti Kenzi."Nggak perlu! Kamu nggak usah ikut campur! Mawar itu ibunya, nggak mungkin dia nyakitin anaknya sendiri. Lebih baik kamu bantuin bibi buat makan siang." ujar Cintya menghentikan niat Arnita yang ingin pergi ke kamar Mawar."Ma, Arnita kan cuman khawatir tentang keadaannya Kenzi." Imel menepuk pelan bahu mamanya yang sudah berbicara keterlaluan ke Arnita."Kamu ini selalu belain dia, kamu sama Arman sama aja!" Cintya menunjukkan wajah tidak sukanya karena kedua anaknya lebih membela Arnita daripada dirinya. Cintya melenggang pergi meninggalkan Imel dan Cintya begitu saja."Yaudah mbak, aku mau bantuin bibi nyiapin makan siang dulu." ujar Arnita."Mbak juga mau bantu." Imel menarik lengan Ar
Sudah lima belas menit yang lalu bel sekolah SMA Sriwijaya berbunyi. Sekolah dengan standar internasional, hanya orang-orang yang memiliki uang yang bisa masuk ke dalam sekolah tersebut. Fasilitas yang disediakan juga sangat lengkap dan modern. Saat semua siswa telah pulang ke rumah masing-masing, tidak bagi lima siswa yang masih berada di halaman belakang sekolah. Terlihat empat orang siswa sedang mengerumuni seorang siswa. "Gue udah kasih tau jangan sok jagoan lo di sekolah ini. Modal beasiswa aja belagu!" sindir perempuan cantik berambut panjang."Udah Ni kasih pelajaran aja tuh anak kampung!" ujar siswa lainnya mengompor-kompori. Yang dimaksud anak kampung oleh gadis itu adalah Lea adik kandung Arnita. Dan yang sedang menyudutkan Lea adalah Agni adik Arman. Mereka memang satu sekolah semenjak Arnita menikah dengan Arman. Arman tidak membiayai sekolah Lea, karena keluarga Arnita menolak uang dari Arman. Karena itu Arman membantu mendaftarkan Lea ke sekolah Agni lewat jalur beasi
Arnita mengerjapkan matanya beberapa kali, ia tidak bisa memejamkan matanya. Mungkin ini efek kopi yang ia minum tadi bersama dengan Arman. Arnita berniat membuatkan kopi untuk Arman saat laki-laki itu sedang mengerjakan pekerjaan kantor. Melihat Arman minum kopi buatannya membuat Arnita juga ingin minum kopi. Jadilah ia membuat kopi untuk dirinya. Dan sekarang Arnita memiliki masalah dengan tidurnya. Sebelumnya Arnita tidak pernah tidur diatas jam sepuluh malam, tapi malam ini Arnita masih membuka matanya padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Arnita menengokkan kepalanya ke samping, ia merasakan sebuah pergerakan di sampingnya. Mata Arnita bertatapan dengan mata Arman. "Kau juga tidak bisa tidur?" tanya Arman dengan wajah ingin tertawa. Arnita menganggukkan kepalanya."Huh, karena kopimu kita tidak bisa tidur." ujar Arman diakhiri dengan suara tawanya. "Maaf," Arnita meringis, karenanya Arman tidak bisa tidur. Apalagi besok Arman masih harus pergi ke kantor. Arman me
Cintya yang sedang duduk santai di ruang tengah menengokkan kepalanya ke belakang melihat Arnita yang baru saja keluar dari kamarnya. "Kamu udah selesai lap semua tas saya?" tanya Cintya."Udah ma." "Kalau sudah, kamu rapikan pohon bonsai di halaman depan." suruh Cintya."Iya ma." Arnita memutar tubuhnya dan berjalan keluar rumah.Biasanya setiap dua minggu sekali akan ada tukang kebun yang datang ke rumah untuk merapikan tanaman-tanaman yang ada di rumah. Dan baru sepuluh hari yang lalu tukang kebun yang biasanya datang ke rumah. Dan seharusnya empat hari kedepan tukang kebun baru akan datang ke rumah. Tapi mungkin kemungkinan tukang kebun tidak akan datang besok, karena Arnita sudah menyelesaikan pekerjaannya. Arnita menggunting satu persatu daun kering dan memberikan pupuk tambahan ke beberapa tanaman. Sebelumnya Arnita tidak pernah belajar mengenai bagaimana cara merawat tanaman. Semoga saja yang ia lakukan ke tanaman ibu mertuanya sudah benar. Selesai bercocok tanam, Arnita m
"Mas," panggil Arnita.Arnita menghela nafasnya melihat Arman yang masih diam. Setelah berdebat dengan mamanya, Arman menjadi lebih banyak diam. Arnita mendudukan tubuhnya untuk bisa leluasa menatap Arman."Istirahat aja." ujar Arman yang tidak suka Arnita mendudukan dirinya."Aku udah baikan kok mas." ujar Arnita mencoba membuat Arman untuk tidak khawatir.Arnita beranjak turun dari tempat tidur. Ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Arman. Tangan Arnita mengusap pundak Arman. Ia tahu suaminya saat ini sedang berusaha untuk mengontrol emosinya. "Mas jangan marah sama mama." ujar Arnita memperingatkan Arman.Arman mendongakkan kepalanya ke arah Arnita."Saya juga nggak mau marah sama mama. Tapi kali ini mama sudah benar-benar keterlaluan. Dia memperlakukanmu seperti pembantu di rumah ini, dan saya tidak bisa tinggal diam." ujar Arman masih dengan emosi yang sedikit menggebu-gebu."Tapi mama kan orang tua mas, mama juga lebih tua dari mas, harusnya mas nggak langsung emosi begitu s
"Nit?" Arman menyentuh bahu Arnita."Mas, mas kapan pulangnya?" tanya Arnita dengan bingung."Kamu dari tadi duduk di balkon nggak lihat saya masuk?" kini gantian Arman yang bingung.Sebab Arnita sudah duduk di balkon kamar cukup lama tapi tidak melihat mobil Arman masuk ke halaman. Arman juga tadi sempat memanggil Arnita saat masuk ke dalam kamar, tetapi Arnita tidak menjawabnya. Dan akhirnya Arman menemukan Arnita duduk termenung di balkon kamar."Kamu nggak papa? Apa yang kamu pikirkan sampai nggak denger saya panggil." tiba-tiba Arnita memeluk pinggang Arman sambil menyandarkan kepalanya di perut Arman."Kamu mikirin apa hmm?" tanya Arman lagi karena masih belum mendapat balasan dari Arnita."Tadi mbak Jenny datang ke rumah." gumam Arnita di perut Arman. Arnita tahu jika ucapannya pasti tidak akan terdengar jelas di telinga Arman."Hmm?" Arman bergumam mendengar ucapan Arnita yang kurang jelas.Arman menangkup wajah Arnita dan menjauhkannya dari perutnya. "Coba ulangi lagi tadi ng
Dewa merangkul pinggang Mawar sambil tersenyum lebar ke arah semua tamu. Dewa membawa Mawar semakin masuk ke dalam pesta. Mata Dewa menjelajahi setiap tamu yang datang ke pesta itu. Satu sudut bibirnya terangkat ketika melihat targetnya tertangkap oleh penglihatannya. Dewa menarik Mawar ke arah meja tersebut. Matanya tak lepas menatap laki-laki yang berdiri di kerumunan itu."Pak Dewa." sapa laki-laki paruh baya yang berada di kerumunan itu."Selamat malam pak Albert." Dewa balas menyapa pria paruh baya itu dengan ramah."Selamat malam pak Atlas." sapa Dewa dengan menekan nama laki-laki di depannya itu.Dewa merasakan atmosfer disekitarnya berubah menjadi canggung dan tegang. Ia menatap Atlas di depannya yang terlihat kikuk saat melihat kehadirannya."Selamat malam pak Dewa." balas Atlas.Beberapa kali Dewa menangkap tatapan Atlas yang mencuri lirik ke arah istrinya. Dewa menatap istri Atlas yang terlihat seperti tidak tahu apa-apa yang sudah diperbuat suaminya di belakangnya."Bagaim
Arnita menunggu Arman di meja makan. Kepalanya terus menatap ke arah pintu menunggu kedatangan Arman. Dua porsi sate yang tadi ia beli sudah disiapkan di piring. Karena Arman terlalu lama berada diluar, Arnita jadi berpikir untuk memanggil Arman untuk segera masuk ke dalam. Perutnya sudah lapar minta diisi."Mas Arman." panggil Arnita sambil kepalanya celingukan mencari keberadaan suaminya itu.Seketika Arnita sadar jika mobil suaminya yang tadi terparkir di halaman rumah sekarang sudah tidak ada lagi disana. Arnita terdiam berpikir apa yang sebenarnya sudah terjadi. Apa Arman pergi lagi setelah mengangkat telepon tadi? Sepertinya memang ada hal penting yang Arman lakukan saat ini.Dengan langkah lesu Arnita kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia kembali membungkus sate milik Arman dan menyimpannya. Arnita kemudian menghabiskan seporsi sate ayam seorang diri di meja makan.Selesai makan Arnita menunggu Arman pulang di depan tv. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh mala
Kandungan Arnita sudah memasuki bulan ketiga kehamilan. Tak terasa perut Arnita semakin membesar. Seperti menjadi kebiasaan baru Arman, setiap kali Arnita berada di dekatnya ia selalu mengelus perut istrinya itu. Hingga kadang Arnita kesal kepadanya karena risih dengan sikapnya itu.Hingga sampai sekarang Arman belum memberitahu mamanya tentang kehamilan Arnita. Tapi rencananya Arman akan memberitahu mamanya dalam waktu dekat. Ia akan membawa Arnita ke rumah.Arman menggeser layar tab nya. Keningnya berkerut melihat berita sebuah agensi model yang ia ketahui Jenny menjadi salah satu model disana itu sedang terjerat kasus penipuan. Arman membuka artikel berita tersebut dan mencari tahu kebenarannya. Ia tercengang jika agensi tersebut benar-benar melakukan tindakan penipuan. Bukan hanya menipu modelnya saja, tetapi juga menipu pengusaha lain yang menggunakan jasa modelling perusahaan tersebut. Kasus itu juga ikut menyeret para model di perusahaan tersebut dan Arman melihat nama Jenny ju
"Makasih ya Ar udah mau temani aku makan." ujar Jenny."Hmm." "Istri kamu nggak akan marah kan?" tanya Jenny hati-hati. Arman menggelengkan kepalanya."Oh iya untuk perpanjang kontrak yang kamu tawarkan sepertinya aku nggak bisa ambil." tangannya memainkan pisau dan garpu di atas steaknya.Arman mendongakkan sedikit kepalanya untuk menatap perempuan di depannya. "Kenapa?" "Emm, bukannya aku nggak tertarik mau ambil perpanjangan kontrak yang kamu tawarkan. Tapi aku mau mencoba untuk ekspor modelling yang beda dari sebelumnya.""Manajer aku bilang kalau ada salah satu merk fashion ternama di Indonesia yang nawarin kerja sama dengan aku. Aku harap kamu nggak tersinggung sama keputusan aku."Arman menganggukkan kepalanya pelan. Ia mengerti jika Jenny ingin mencoba dunia modelling lain yang ada di negara ini. Itu juga akan mempermudah karirnya di negara ini."Bagus kalau kamu mau ekspor dunia modelling disini." balas Arman.Jenny lega mendengar jawaban Arman yang mendukung keputusannya.
Arman menyandarkan kepalanya ke bahu Arman. Kakinya diluruskan sampai ujung kakinya menyentuh batas ujung sofa yang ia duduki. Tangannya asik menggeser layar ponselnya. Disisi lain Arman terlihat sibuk dengan tab di tangannya. Ia tidak sama sekali tidak kelihatan pegal saat Arnita menyandarkan tubuhnya ke tubuh Arman. Arman melepas kacamata yang bertengger di hidungnya dan meletakkan tab di tangannya ke atas meja. Ia sedikit menggerakkan tubuhnya dengan pelan."Kamu sudah minum susu hamilnya?" tanya Arman."Belum." balas Arnita pelan seperti gumaman."Kenapa belum? Ayo minum susunya dulu." Arman mengambil ponsel yang ada di genggaman Arnita.Arnita sempat memasang wajah kesalnya saat Arman tiba-tiba mengambil ponselnya. Namun segera ia merubah raut wajahnya saat Arman menatapnya dengan tatapan tajam. "Jangan main ponsel terus. Ayo saya buatkan susu." Arman menggandeng lengan Arnita ke dapur. Ia menyuruh Arnita untuk duduk sambil menunggunya selesai membuatkan susu untuk Arnita."Mi
Mawar berjalan berlenggak-lenggok memasuki lobi hotel. Dengan masker dan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya tidak akan membuat orang lain mengenalinya. Mawar berjalan ke arah meja resepsionis."Ada yang bisa saya bantu bu?" tanya resepsionis hotel tersebut dengan ramah."Saya ingin ambil kunci nomor 506." ujar Mawar."Atas nama siapa bu?" "Pak Atlas." "Tunggu sebentar ya bu." "Silahkan di isi data diri ibu disini." resepsionis wanita tersebut menyerahkan buku tamu kepada Mawar.Setelah mendapatkan kunci kamar milik Atlas, Mawar masuk ke dalam lift menuju lantai lima hotel tersebut. Langkahnya berhenti di depan pintu bernomor 506. Dengan menempelkan kartu akses, pintu itu sudah bisa terbuka.Mawar masuk ke dalam kamar itu. Matanya menyoroti setiap sudut ruangan. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyum miring. Diambilnya pigura foto yang ada di atas meja. Terlihat sebuah keluarga bahagia di foto itu. Tiitt tittSuara seseorang yang baru saja menempelkan kar
Alif dan Arnita menengokkan kepalanya ke belakang secara bersamaan. Terlihat mobil Arman yang berhenti tepat di belakang mereka. Arman berjalan cepat menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa. Arnita meneguk ludahnya dengan susah payah ketika melihat Arman terus menatap Alif dengan begitu intens."Kaki kamu kenapa?" tanya Arman dengan khawatir."Ini tadi nggak sengaja nginjek pecahan kaca mas." ujar Arnita sambil menunjuk ke pecahan kaca yang sudah Alif singkirkan ke tepi jalan."Kamu kenapa bisa disini?" "Aku tadi habis ikut penyuluhan RT terus pulangnya mampir ke warung es dawet di depan. Ini aku baru mau pulang ke rumah." jelas Arnita menceritakannya dengan singkat dan jelas."Kamu bisa jalan?" tanya Arman lagi. Pandangannya tidak lepas dari kaki Arnita yang terluka."Bisa kok mas." Arnita berjalan pelan menunjukkannya kepada Arman."Bisa dari mana? Kamu jalan aja kesusahan." Arman sedikit membungkukan badannya. Satu tangannya ia selipkan di belakang dengkul Arnita."Mas!" Arn
Arnita berusaha menahan tawanya agar tidak mengeluarkan suara yang mengganggu tidur Arman. Sudah hampir sepuluh menit Arnita terbangun. Pertama ia terbangun ia terkejut dengan Arman yang memakai piyama hello kitty miliknya. Pagi ini piyama berwarna ungu itu sudah tidak berbentuk lagi. Dua kancing piyama di bagian tengah terlepas entah kemana. Mungkin karena terlalu sempit di tubuh Arman hingga membuat kancing piyama itu terlepas dengan sendirinya. Arnita merasa kasihan dengan Arman yang terlihat tidak nyaman memakai piyama miliknya. Tangan Arnita bergerak membuka satu persatu kancing piyama. Ia hanya ingin membukakan kancing piyama itu agar Arman bisa bergerak dengan nyaman dalam tidurnya. "Hmm." tanpa sepengetahuan Arnita, Arman terbangun dari tidurnya karena gerakan tangan Arnita.Arman menundukkan pandangannya ke bawah di mana Arnita sedang sibuk membuka kancing piyama yang ia pakai. Tangan Arman langsung memegang tangan Arnita. Arnita yang sebelumnya sedang terfokus membuka kan