Share

Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas
Author: Aksara Ocean

1. Amarah Ellena

Author: Aksara Ocean
last update Last Updated: 2022-02-16 00:56:09

Menantu Tegas, ipar Panas, mertua Lemas

1. Amarah Ellena

"Nggak kerja, Bang?" tanyaku pada Bang Galuh.

"Enggak, lagi males!" ucapnya santai.

"Loh, bukannya kemarin Bang Usman ngajak Abang bantuin dia panen sawit, ya?" Aku bertanya heran.

Kemarin Bang Usman memang datang ke rumahku, dan mengajak suamiku untuk membantunya memanen sawit miliknya. Karena pekerja yang biasa, sedang izin menemani istrinya melahirkan di rumah sakit.

Bang Usman adalah Abang kandungku, namun kehidupannya terlihat jauh lebih baik daripada kehidupanku. Wajar saja, sih, Bang Usman terkenal sangat ulet dan juga rajin, sehingga dia sekarang bisa memiliki beberapa hektar kebun sawit yang sudah bisa dipanen saat ini.

Sedangkan aku? Suamiku? Jangan ditanya, dia hanya bekerja serabutan. Padahal kami juga mempunyai bagian kebun sawit yang diberi oleh orang tuaku dulu. Karena Bang Usman dan juga aku mendapatkan masing-masing satu hektar kebun kosong saat menikah. Hitung-hitung untuk modal.

Saat Bang Usman menanami kebun kosongnya dengan tanaman kelapa sawit, suamiku masih ongkang-ongkang kaki. Saat Bang Usman bekerja di kebun sawitnya, suamiku juga masih belum beranjak dari dunia nyamannya. 

Saat Bang Usman Sudah memanen kebun sawitnya, suamiku masih duduk santai di teras dengan secangkir teh. Bahkan saat sekarang ini Bang Usman sudah mempunyai beberapa hektar kebun sawit yang dibelinya sendiri, dan menjadi tuan tanah, suamiku masih ongkang-ongkang kaki dan menyia-nyiakan kebun pemberian orang tuaku hingga sekarang sudah menjadi semak belukar.

Padahal sudah sangat sering aku ingatkan, tanah kosong itu juga bisa menjadi kebun kelapa sawit, kebun kelapa, kebun durian, dan kebun-kebun lainnya, yang tentunya bisa menghasilkan. Kalau Bang Galuh niat untuk menanaminya.

Tapi dia selalu mempunyai banyak alasan untuk menolak, yang sukses membuatku muak bukan kepalang.

"Aku males," ucap Bang Galuh dengan santai.

"Tapi, bukannya lumayan ya, Bang? Dalam minggu ini Abang kan, belum ada kerja loh," jawabku mengingatkan dirinya, kalau-kalau dia lupa ingatan.

"Alah, uang kamu kan, masih ada, Dek!" tukasnya santai.

Aku mengelus dadaku, menahan amarah yang siap membuncah keluar. Di mana tanggung jawabnya sebagai seorang suami, sih? Bang Galuh memang benar-benar semakin keterlaluan.

"Bang, Abang itu kepala keluarga. Lupa?" ucapku mengingatkan.

"Loh, kamu kok, ngomong gitu sih, Dek?" Bang Galuh berucap tidak terima, dia duduk tegak menghadap ku. "Abang baru minggu ini tidak bekerja, ya! Kamu sudah ngomong begitu!" lanjutnya lagi.

"Ya Allah, Bang! Sadar!" teriakku dengan gemas. “Abang kerja serabutan, kadang seminggu dapat lima ratus ribu, atau bisa juga hanya dapat lima puluh ribu. Mana cukup, Bang!” lanjutku dengan ketus.

Dia memang mempunyai keahlian di bidang elektronik, makanya dia bekerja menunggu panggilan dari orang-orang desa yang barang elektroniknya rusak atau bermasalah. Entah itu televisi, parabola, ataupun laptop. 

Tapi jelas saja pekerjaan itu tidak bisa diharapkan, karena tidak setiap hari barang elektronik orang rusak. Apalagi di desa ini ada beberapa orang juga yang mempunyai keahlian yang sama dengan Bang Galuh. Jadi persaingannya sedikit sengit.

Bang Usman pernah menawarkan pekerjaan menjaga dan merawat salah satu kebun miliknya, dengan gaji bulanan yang lumayan. Tapi Bang Galuh menolak, dia selalu bilang kalau tidak cocok kerja berat.

Itu juga salah satu alasannya, dia tidak mau mengolah tanah pemberian orang tuaku sampai saat ini. Sedangkan aku? Tidak mungkin aku mampu mengolahnya sendirian, mau diupahkan pada orang lain pun, aku tidak punya uang. 

"Itukan juga uang, Dek! Kamunya aja yang kurang bersyukur!" sungutnya tak mau kalah.

"Kurang bersyukur?!" Suaraku naik beberapa oktaf.

Ku elus dadaku lagi, menenangkan debaran jantung yang mulai meronta-ronta seolah hendak lepas dari tempatnya. Tiga tahun kami menikah, sepertinya batas kesabaran ku sudah mulai terkikis habis.

"Sudah kubilang berulang kali, tanami tanah pemberian orang tuaku, Bang. Tapi Abang tidak mau, setidaknya kalau dari pertama kali kita menikah Abang tanami kelapa sawit, sekarang kita sudah tinggal menunggu hasilnya," geramku.

"Itu-itu saja yang kamu bahas, Dek! Muak aku mendengarnya," ucapnya sambil beranjak ke dapur. "Sudah Abang bilang, kan? Abang tidak cocok bekerja berat," lanjutnya emosi.

Lah? Kenapa pula dia yang emosi?

"Lalu, menurut Abang aku harus bagaimana?" Ku kejar langkahnya dengan cepat. "Gas sudah mau habis, beras habis, dan meteran listrik sudah berbunyi. Aku harus bagaimana Bang?" lanjutku lagi.

"Ya beli, lah!" ucapnya santai, dia membuka kulkas dan menenggak air dingin yang selalu aku sediakan di sana. "Jangan macam orang susah!" katanya lagi.

Aku menganga lebar kali ini, jangan macam orang susah katanya? Sialan, padahal kalau matanya bisa melek sedikit saja, dia akan tahu bagaimana susahnya kehidupan kami sekarang ini.

Yang hanya hidup mengandalkan gajiku sebagai seolah penjahit, dan gajinya yang pas-pasan. Bahkan sering kali gajinya tidak nampak hilalnya, akibat tertutup awan gelap yang bernama malas.

"Aku memang susah, Bang! Karena aku harus bekerja sendiri, dan menafkahi diriku sendiri, juga turut menafkahi suamiku yang tidak ada gunanya!" Emosiku naik.

Sambil terengah-engah, aku menatapnya tajam. Tapi jujur saja, aku merasa sangat amat lega saat ini karena sudah berhasil mengeluarkan unek-unek ku, yang selama ini aku pendam dalam-dalam.

"ELLEN!" Bang Galuh membentakku, dia terlihat tak terima dengan ucapanku.

"APA!?" Kubalas bentakannya, apa dia mengira aku takut padanya? "APA GALUH? APA?!" tanyaku menantang.

Dia tersentak kaget, tiga tahun kami menikah baru kali ini aku melawan dan meninggikan ucapanku padanya. Selama ini aku diam dan juga mengalah, agar rumah tanggaku baik-baik saja. Agar keluargaku taunya aku bahagia dengan pilihanku.

"Kamu membentak Abang, Dek?" tanyanya seolah tak percaya.

"Iya! Kenapa? Kamu tidak terima? Jangan karena selama ini aku diam, kamu jadi seenaknya." Aku sudah tidak memanggilnya Abang lagi, biar dia tau kalau aku tengah sangat marah saat ini.

Memangnya dia saja yang bisa marah? Hanya dia yang bisa membentak? Lah, aku juga bisa. Malah sangat jago sekali!

"Jangan marah, Dek!" Bang Galuh nyengir salah tingkah. "Kamu tambah cantik kalau kamu marah begini." Tangannya menjawil dagu ku.

"Kali ini Abang maafkan, tapi jangan diulangi lagi ya. Nanti kamu tidak bisa masuk surga loh. Ingat, Dek! Surga seorang istri ada pada suaminya." Dia berucap sok bijak.

Salah satu kebiasaan buruknya, dia selalu bercanda tidak tahu waktu dan tempat. Aku sedang sangat marah saat ini, jangan dia pikir aku akan luluh seperti biasanya.

Big no!

"Aku tahu!" jawabku singkat. "Tidak  kurang didikan agama yang kuterima dari orang tuaku, tidak seperti seseorang yang sepertinya tidak diajari ilmu agama," lanjutku menantang.

Apa dia kira hanya dengan pujian, maka aku akan luluh? Tidak bisa Ferguso, kali ini aku akan menyadarkan dia hingga terbangun dari mimpi panjangnya.

"Apa maksudmu, Ellen?" Bang Galuh kembali emosi.

"Kenapa? Kamu marah? Pikir pakai otak, lah!" Aku menyeringai meremehkan.

"Surgamu ada pada kakiku, Ellen!" pekik Bang Galuh. "Jangan sampai kau durhaka padaku dan masuk neraka." lanjutanya naik pitam.

"Kamu juga harus tau! Suami tidak akan masuk surga, jika tidak bisa memuliakan istrinya!" balasku lagi. "Jangan mengecewakan aku, Bang! Aku memang memilihmu saat itu, tapi aku juga bisa memilih membuangmu saat ini." Aku mendesis pelan.

Aku berniat memberikan dia sedikit shock terapi, dan sepertinya berhasil karena dia terdiam. Kata-kataku tadi berhasil membuatnya tercengang, dan menatapku tak percaya.

"Berubah, Bang! Atau kalau tidak, kamu akan menyesal!" ketusku sekali lagi sebelum beranjak.

Aku melangkah meninggalkan dapur, dan segera masuk kedalam kamar. Setelah mengunci pintunya aku segera merebahkan diriku di tempat tidur besar milikku.

Ah, nyamannya ….

Lelah di tubuh dan juga di otakku, menjadi sedikit berkurang. Semoga setelah beristirahat sebentar, aku kembali bugar.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan di pintu terdengar bersahutan, aku melengos tak peduli dan malah berubah haluan dengan berbaring menghadap dinding. Lelah sekali rasanya, ya Allah.

"Dek, buka pintunya!" Suara Mas Galuh terdengar. "Dek, buka!" katanya lagi.

"Dek, maafkan Abang!" Suaranya yang memelas, hanya aku anggap angin berlalu.

Aku tak peduli dan memejamkan mataku. Dan setelahnya aku bisa mendengar suara motor yang menjauhi rumahku, pertanda Mas Galuh sudah pergi dari sini. Aku menghela nafas, dan berusaha untuk tidur. 

Kepalaku mendadak sakit, sedangkankan Bang Galuh sudah pasti tidak. Aku hafal sekali, dia akan selalu pergi dari rumah dan berkumpul dengan teman-temannya jika kami sedang cekcok.

Baru saja aku terlelap, telingaku mendengar suara seseorang yang memanggil nama suamiku. Siapa lagi, sih? Tapi mau tidak mau aku harus membuka pintu, karena bisa saja yang memanggil adalah orang yang membutuhkan jasa Bang Galuh.

Kan, lumayan, uangnya bisa digunakan untuk membeli gas dan juga beras.

"GALUH, GALUH, buka pintunya!" pekik suara di luar sana.

Aku beranjak, dan melangkahkan kakiku untuk membuka pintu kamar yang tadi kukunci. Sambil berjalan menuju pintu aku menerka-nerka siapa yang sedang berteriak di depan rumahku. 

Apa memang orang yang mau membetulkan alat-alat elektroniknya? Atau ada hal lainnya?

Dan saat membuka pintu, mataku langsung menyipit heran. Kenapa dia ada di sini?

~Aksara Ocean~

Related chapters

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   2. Pertemuan Keluarga

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 2. Pertemuan Keluarga "Ada apa, Kak?" tanyaku pada Kak Ambar, kakaknya Bang Galuh. Dialah sosok orang yang sedari tadi memanggil Bang Galuh, mau apa dia ke sini? Soalnya Kak Ambar tidak akan menginjakkan kaki di rumahku, jika tidak memiliki keperluan. "Mana Galuh?" ketusnya padaku. "Pergi," jawabku singkat. "Bilang padanya, nanti malam Ibu menyuruh kalian untuk datang ke rumah." Kak Ambar memainkan bibirnya. "Iya, nanti akan aku sampaikan," tukasku cepat. "Ya udah, Kakak pulang dulu." Dia beranjak pergi dan berjalan menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan, pantas saja aku tidak mendengar suara motornya datang. Sembari masuk kedalam rumah, aku bertanya-tanya dalam hati. Ada apakah gerangan, sehingga Ibu menyuruh kami ke rumahnya? ~Aksara Ocean~ Tepat jam tujuh malam, aku dan Bang Galuh sampai di rumah Ibu dengan selamat. Walaupun tadi siang aku sangat marah, tetapi di luar rumah aku tetap harus menjaga marwah suamiku. Kami ber

    Last Updated : 2022-02-16
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   3. Menyumbang

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas 3. Menyumbang "I–-Ibu, bercanda, kan?" tanya Bang Galuh tergagap, keringat dingin menetes di keningnya. Oh, yah. Aku tahu apa yang dipikirkan oleh suamiku itu saat ini, lima puluh juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang segitu banyaknya coba? "Apa Ibu kelihatan lagi bercanda?" tanya Ibu balik. "Bukan begitu, Bu. Tapi dari mana aku bisa dapat uang sebanyak itu? Lima puluh juta itu, tidak sedikit, Bu?" lirih Bang Galuh di akhir kalimat. Sedangkan aku, aku hanya diam dan mengamati situasi. Masih agak bingung dengan situasi yang terjadi di sini. Apa Ibu kira uang lima puluh juta itu sedikit? Lagipula, kenapa suamiku yang lebih banyak menyumbang? "Ya mana Ibu tau, Luh. Itukan urusan kalian, yang penting minggu depan uang itu sudah ada. Karena Ibu sudah bilang pada Pak Mukidi, kalau keluarga kita yang akan membayari sawahnya." Ibu mengangkat bahu tak peduli. "Bu, apa tak sebaiknya Ibu batalkan saja?" Kak Dewi berucap pelan dan hati-hati, beru

    Last Updated : 2022-02-16
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   4. Aib

    Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 4. Aib "Ajari istrimu itu sopan santun, Galuh!" Ibu menatapku dengan sinis. "Suka sekali memfitnah suami! Ibu tidak suka, anak Ibu diperlakukan seperti ini," ketusnya lagi. "Loh, kok fitnah?" Aku bertanya heran, mengabaikan sinar-sinar laser dari mata mereka. "Anakku itu bekerja tidak tahu siang tidak tahu malam, kok, ya kamu bilang dia tidak menafkahi. Itu fitnah namanya, Ellen. Lebih kejam daripada pembunuhan!" ucap Ibu sok bijak, demi membela anak lanangnya. "Bu, kalau hanya lima puluh ribu dalam satu minggu, itu bukan nafkah namanya!" ucapku tak mau kalah. "Bahkan untuk membeli rokoknya saja, harus dari uang hasil aku menjahit!" tegasku lagi. "Lah, ya harus itu. Namanya juga suami istri, uang istri uang suami. Lah, uang anakku saja diberikan untukmu. Aku ibunya saja, tidak pernah meminta walau satu sen pun. Padahal aku yang melahirkan dan membesarkan suamimu sampai segini besarnya!" sungut Ibu makin ngaco. "Ya Allah, Bu. Aku ini istrin

    Last Updated : 2022-02-16
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   5. Kebenaran

    Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 5. Kebenaran "Kenapa suamiku ikutan kena, Kak?" Kak Ambar protes. "Ambar, sadar kamu! Bukannya sudah dikatakan oleh Bang Abdul tadi? Kodrat suami, adalah menafkahi istrinya. Bukan meminta nafkah pada mertuanya!" tegas Kak Dewi lagi. "Kamu dengar, Gery?" tanya Kak Dewi pada Bang Gery yang menunduk segan. "Iya, Kak," lirihnya hampir tak terdengar. " Dan untuk kamu, Galuh!" Sekarang giliran Bang Galuh yang dipanggil, oleh Kak Dewi. "I-iya, Kak," jawabnya pelan. "Kerja! Jangan hanya bergantung pada uang istrimu!" tegas Kak Dewi. "Laki-laki kok, mengharap uang istri, tidak malu kamu dengan mertuamu? Janjimu dulu waktu menikahi Ellen adalah untuk membahagiakannya, kok, ya, sekarang anak orang kamu peras keringatnya. Malu, Galuh, Malu!" Kak Dewi menggeleng lemah. "Tapi, Kak …." Bang Galuh seolah ragu melanjutkan ucapannya. "Apa? Bicara saja," jawab Kak Dewi. "Bukannya aku tidak mau bekerja, tetapi memang tidak ada pekerjaan, Kak! Kakak, kan,

    Last Updated : 2022-02-16
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   6. Lima Puluh Juta

    Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS6. Lima Puluh Juta"Ibu yakin akan mengabulkannya?" tanyaku sambil tersenyum manis."Sudah, cepat katakan! Jangan bertele-tele. Tapi, jangan kamu ungkit-ungkit lagi masalah motor Abang iparmu," kata Ibu dengan sewot.Ibu memijit pelipisnya dengan lembut, yang aku yakini pasti sedang nyut-nyutan saat ini.Tidak sengaja mataku melirik Bang Galuh, matanya meredup saat mendengar kata-kata Ibu. Itu motor Bang Gery, tanpa sadar Ibu mengungkapkannya sendiri tanpa dipinta walaupun tadi mereka berusaha untuk menutupinya. Yang namanya bangkai pasti akan tercium juga. Toh, seluruh desa ini pun bahkan sudah sangat tahu, bagaimana timpangnya kasih sayang Ibu. Beliau memang menyayangi suamiku, tapi entah kenapa Ibu sangat pelit padanya."Ya, tidak bisa begitu, dong, Bu!" kataku santai, dan aku masih menunjukkan senyum semanis madu. "Kan, tadi Ibu sendiri yang bilang, kalau itu motor Ibu. Kami juga berhak memakainya, dong! Iya, kan, Kak?" Aku bertanya pada Kak

    Last Updated : 2022-04-04
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   7. Ide dan Terkejut

    Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS7. Ide dan Terkejut Kami segera bergegas menghampiri suara tersebut, terlihatlah Kak Ambar dan Bang Gery yang sedang panik, mereka saling menutupi sesuatu di belakang tubuh mereka.Kamar Ibu terlihat sedikit berantakan, dan Ibu segera mendekat sambil mengecek kamarnya. Beliau berjalan mondar mandir mengecek laci, meja, dan juga lemari. Sebelum matanya tertumbuk pada sesuatu yang ada di lantai."Ya Allah Ambar, kenapa ini bisa pecah?" tanya Ibu dengan sangat keras."Maaf, Bu! Aku tidak sengaja," jawab Kak Ambar dengan pelan, sekilas aku melihat penyesalan di matanya."Kenapa bisa begini? Ini mahal Ambar! "Pekik Ibu dengan kuat.Dia pasti merasa sangat sayang pada guci kecil miliknya yang diakui Ibu sudah dimilikinya saat beliau masih kecil, jadi sejarahnya tidak main-main. Konon, Wak Yani, Kakak nya Ibu pernah bilang, guci itu peninggalan zaman Majapahit. Peninggalan dari zaman kerajaan cuy, wajar saja Ibu panik dan histeris."Maafkan aku, Bu, a

    Last Updated : 2022-04-04
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   8. Kepahitan Galuh

    Menantu TEGAS, Ipar PANAS, Mertua LEMAS 8. Kepahitan Galuh "Kok, bisa, Dek?" tanya Bang Galuh pelan dan juga dengan penuh keraguan.Matanya menatap mataku dengan pandangan heran dan juga penasaran, sedangkan aku hanya tersenyum lebar dan mengedipkan mataku dengan manja. Aku menunjukkan saldo tabungan di rekening dengan menggunakan ponsel melalui M-banking. Terlihat jelas tertulis di sana, isi saldo ku ada sebanyak enam puluh tujuh juta rupiah."Bisa, dong!" Aku langsung nyengir demi menggoda nya."Jawab Abang, Dek. Darimana uang sebanyak itu? Ibu kan cuma ngasih lima puluh juta. Kamu punya simpanan?" Bang Galuh mendesak aku agar bicara, terlihat sekali kalau dia tidak sabar ingin mendengar jawabanku perihal uang itu."Dari Kak Dewi dan Bang Abdul, Bang," tukasku cepat sambil merebahkan tubuh di ranjang, masih dengan posisi kaki yang menjuntai ke bawah."Yang bener, Dek?" tanyanya lagi seolah tak yakin."Iya, lima puluh juta dari Ibu, lima belas juta dari Kak Dewi. Sedangkan yang dua

    Last Updated : 2022-04-04
  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   9. Terharu

    Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 9. Terharu "Assalamualaikum." Aku dan Bang Galuh mengucap salam dengan kompak. Aku dan Bang Galuh saat ini sedang berada di rumah Bang Gitok, Bang Gitok adalah salah seorang tukang bangunan yang sudah diakui kualitasnya oleh orang-orang di desa ini. Selain cepat, Bang Gitok juga sangat efisien. Sehingga tidak banyak barang yang terbuang ataupun tercuri, karena ada sebagian tukang bangunan disini terkadang menyuruh tuan rumah untuk membeli bahan bangunan seperti semen dengan jumlah banyak dan melebihi dari yang dibutuhkan. Lalu mereka akan menjualnya ke orang lain yang hendak membeli barang-barang tersebut dengan harga murah, dan pemilik rumah akan merugi. Tapi Bang Gitok tidak seperti itu, dia akan merinci pengeluaran dan juga bahan bangunan yang memang dibutuhkan sehingga tidak akan ada kelebihan maupun kekurangan. "Waalaikumussalam!" terdengar suara seorang wanita yang menjawab salam kami. Pasti itu Kak Munah, istrinya Bang Gitok. Benar

    Last Updated : 2022-04-04

Latest chapter

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   235. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian B)

    235. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian B)“Bang Usman?”Usman menghentikan langkahnya seketika, panggilan yang baru saja di dengarnya berhasil menarik atensinya agar berhenti sebentar dari kegiatannya.“Ya?” tanyanya sopan.Usman belum pernah melihat wanita ini, cantik, muda, dan juga terlihat sangat lembut. Dan wanita ini juga terlihat cukup ramah, entah kenapa Usman seperti pernah melihatnya.“Apa Ellena ada di rumah?” tanyanya pelan.“Ellena?” Usman mengulang pertanyaan wanita itu.Dia mengernyit heran dan kemudian langsung menatap wanita itu dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik, berusaha kembali mengingat siapa sebenarnya wanita ini.Namun nihil, Usman sama sekali tidak mendapatkan secuil pun ingatan tentangnya.“Maaf, anda siapa?” tanya Usman ingin tahu.“Oh, maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Veya, saya adalah suster yang akan menjaga Ellena!” katanya tegas. “Apa Ellena di rumah?” tanyanya lagi.Suster? Apakah wanita ini adalah suster yang dikatakan Indra? Sust

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   234. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas234. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian A)POV ELLENA Aku sudah banyak berpikir, dan memikirkan hal ini berulang-ulang kali. Dan aku sudah memutuskan kalau berpisah dengan Bnag Galuh adalah keputusan yang tepat.Dia adalah penerus keluarga Dirga, dan jika kami kekeh untuk bersama maka kemungkinan besarnya adalah darah keluarga Dirga akan terputus hanya di Bang Galuh saja.Aku tidak bisa memberinya keturunan, dan mungkin lebih baik kalau dia menikah dengan orang lain dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya.Taraf paling tinggi dalam mencintai adalah ikhlas, dan aku akan mencoba mengikhlaskan Bang Galuh dan berusaha melepaskannya dengan dada yang lapang.Mencintainya, bukan berarti mengikatnya dengan duri yang terlilit hingga mengeluarkan darah. Definisi cinta bagiku adalah, membiarkan dia menemukan kebahagiaannya yang lain.Jika aku bukanlah pelabuhan terakhirnya, maka aku akan membantu angin agar meniup layarnya hingga menemukan pelabuhan y

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   233. BERCERAI (Bagian B)

    233. BERCERAI (Bagian B)“Besok di cek aja, Dek. Takutnya ada yang kurang atau ada yang harus dibeli,” ujar Bang Usman memberi saran. “Oke,” sahutku cepat.“Rumah kalian gimana?” tanya Bang Usman tiba-tiba.Aku dan Bang Galuh terdiam, kami memang belum ada pembahasan tentang ini. Aku sebenarnya juga bingung, jujur saja aku berat meninggalkan rumah lamaku, tapi aku juga berat meninggalkan rumah ini kosong.Bukan karena rumah ini lebih nyaman ataupun lebih besar dan mewah, yang membuat aku berat meninggalkannya adalah memori Bapak dan Ibu yang ada di sini. Jika aku di rumah ini, setidaknya aku bisa selalu mengenang mereka.“Aku sih, ikut Ellen saja, Bang,” ujar Bnag Galuh bijak. “Di mana dia bisa merasa nyaman dan aman, maka di situ kami akan tinggal,” katanya lagi sambil tersenyum.“Nah, Dek … kamu mau di mana?” kata Bang Usman sambil menghadap ke arahku. “Kalau di sini, rumah kalian di kontrakkan saja, daripada rusak,” lanjutnya memberi usul.Aku terdiam dan menimbang, bagaimanapun j

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   232. BERCERAI (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas232. BERCERAI (Bagian A)Setelah perdebatan yang cukup alot dan juga lama, akhirnya Wak Nurma dan juga Bang Diky serta Kak Nuri sepakat untuk pulang besok. Walaupun sebenarnya, Wak Nurma dan juga Bang Diky terlihat masih keberatan akan permintaan yang diberikan oleh Kak Nuri. Karena memang, yang sangat ngotot untuk pulang adalah Kak Nuri.Entah karena bentakan Bang Galuh tadi, atau karena dia memang sudah sadar kalau selama ini sudah menjadi benalu di rumahku.Yah, yang manapun tidak menjadi masalah. Yang penting mereka tidak di sini, bukannya aku kejam ataupun tidak tidak punya hati, tapi memang aku tidak tahan akan kelakuan mereka yang seenak jidat dan juga keterlaluan.Sekarang berhutang pada Bu Saodah dan juga Mpok Lela, tapi besok-besok bisa saja mereka mengulangi perbuatan mereka ini pada orang lain dan kembali mengatasnamakan aku.Bang Diky dan juga Kak Nuri memang keterlaluan, bahkan mereka sama sekali tidak ada mengeluarkan kata maaf k

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   231. EMOSI BANG GALUH (Bagian B)

    231. EMOSI BANG GALUH (Bagian B)"Salahnya adalah … kalian yang terlalu sok tahu! Tutup mulut kalian, jangan sampai aku mendengar hal-hal seperti ini lagi. Atau aku bersumpah, akan merobek mulut kalian!" ujar bang Galuh dengan tajam."Galuh, kami hanya bercanda!" sahut Bang Diky sambil terkekeh kecil."Kalian keterlaluan, Diky, Nuri!" ujar Bulek Rosma pelan. "Masalah keturunan bukanlah hal yang bisa dijadikan candaan!" lanjutnya dengan tajam."Bulek, mereka saja yang terlalu sensitif!" sahut Bang Diky cepat, senyumnya hilang berganti rengutan kesal."Sensitif? Jika kalian bercanda, dan hanya kalian yang merasa itu adalah hal lucu dan hanya kalian yang tertawa. Berarti ada kesalahan di dalam candaan kalian!" sahut Bulek Rosma. "Jangan berlindung dibalik kata 'terlalu sensitif', karena bisa jadi yang kalian tertawakan adalah sesuatu yang mereka perjuangkan!" lanjutnya lagi.War Nurma dan keluarganya terdiam, walau aku yakin kalau mereka masih gatal ingin membalas tapi mereka memilih pi

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   230. EMOSI BANG GALUH (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas230. EMOSI BANG GALUH (Bagian A)BRAK!Meja kokoh yang terbuat dari kayu jati itu sukses bergetar dengan kuat, dan ….Prang!Asbak cantik yang terbuat dari kristal itu pun jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping hingga menjadi butiran kecil.Semua orang tersentak kaget, dan semuanya sontak melotot kaget dan menatap si pelaku yang tak lain dan tak bukan adalah Bang galuh.Wajahnya memerah menahan amarah, dan nafasnya memburu dengan kuat. Dadanya naik turun berusaha menormalkan detak jantungnya, aku tahu benar kalau lelaki kesayanganku itu tengah sangat marah saat ini."Jaga mulutmu!" desisnya tajam.Kak Nuri tergagap, instingnya sebagai wanita pasti mengatakan padanya untuk menjauh. Dia beringsut mundur ke belakang tubuh Bang Diky, badannya bergetar pelan dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.Ditekan oleh aura mendominasi sekuat ini, jelas membuat siapapun menjadi gentar. Apalagi dia adalah seorang wanita, bahkan Bang Diky saja belu

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   229. ELLENA YANG PERKASA (Bagian B)

    229. ELLENA YANG PERKASA (Bagian B)"Aku tidak bercanda!" balasku tegas. "Aku tidak mau menampung benalu, dan aku tidak mau menjual tanahku!" kataku lagi."Sombong sekali kamu, Ellen!" ujar Kak Nuri marah."Iya, dong. Sombong adalah nama tengahku!" kataku cuek.Wajah mereka terlihat memerah, mungkin mereka tidak terima dengan apa yang aku katakan. Tapi biarlah, memang sekali sekali mereka wajib diberi pelajaran.“Kamu juga, Luh. Tidak bisa tegas sebagai seorang suami!” kata Kak Nuri tiba-tiba.“Maksud Kakak apa?” tanya Bang Galuh heran. “Ya iya, kana kata Kakakmu itu, kamu banyak warisan. punya harta dan tidak mengharapkan punya Ellen. Kalau gitu, ya suruh istrimu ini ngasih tanahnya buat kami, dong!’ katanya santai.Bang Galuh sontak menganga lebar, sedangkan aku mala menahan mulutku agar tidak tertawa. Ngadi-ngadi ni, Kak Nuri … mau mengatur harta orang dia.“Loh, mana bisa begitu, Kak. Milik Ellen adalah sepenuhnya punya dia, aku mana ada hak untuk mengatur-aturnya!” kata Bang Gal

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   228. ELLENA YANG PERKASA (Bagian A)

    Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas228. ELLENA YANG PERKASA (Bagian A)"Woah, tunggu dulu!" Aku memotong ucapan Bang Diky, dengan cara mengangkat tanganku di depan dada. Dia terlihat langsing terdiam, namun matanya menatapku dengan tajam."Asal? Asal apa? Kalian mengajukan syarat padaku? Begitu?" tanyaku santai. "Lucu sekali," lanjutku sambil menatapnya.Bang Diky dan Wak Nurma sontak saling berpandangan, dan tak sengaja aku melihat kalau Kak Nuri sedang mencubit kecil tangan suaminya itu."Kalau begitu kami tidak akan pergi!" kata Bang Diky tegas."Lah, aku yang punya rumah sudah tidak mau kalian tumpangi. Apa tidak malu? Kok betah banget menjadi benalu?" sindirku kepada mereka."Dek!" Bang Galuh kembali menegur, dan dia menggeleng pelan.Aku mendengus, kesal sekali rasanya dengan mereka. Bukannya mendapat pencerahan, dan kemudian sadar, eh, malah sok mengajukan syarat padaku.Memangnya mereka siapa? Saudara boleh saudara, tapi saudara yang baik dan sopan lah yang akan aku angg

  • Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas   228. PENGUSIRAN KELUARGA WAK NURMA (Bagian B)

    228. PENGUSIRAN KELUARGA WAK NURMA (Bagian B)"Dan sekarang, saat mereka datang ke sini untuk menagih perbuatan kalian, kalian berdua malah berpura-pura tidak tahu dan melimpahkan semuanya pada Wak Nurma!" kataku panjang lebar. "Manusia namanya itu?" tanyaku lagi dengan ketus.Semua orang di sini terdiam dan mendengarkan ucapanku, aku yang emosi adalah yang terburuk."Dia Ibu kalian, dan Kakak dari Ibuku! Itu artinya dia juga adalah Ibuku, pengganti orang tuaku! Aku tidak terima kalian melakukan hal itu pada beliau!" kataku lagi. "Tapi kalian malah bersikap seenaknya, apa kalian memikirkan Wak Nurma, hah?" tanyaku lagi."Bila kalian tidak bisa memberi, setidaknya jangan menyusahkan!" kataku dengan nafas terengah.Wak Nurma yang mendengar ucapanku terlihat terdiam, sedangkan Kak Nuri dan Bang Diky masih menatapku marah."Apa kalian tahu rasanya tidak mempunyai orang tua lagi? Aku bahkan rela melakukan apapun, asal Ibu dan Bapak kembali," kataku lirih."Lebay!" Aku menatap Kak Nuri den

DMCA.com Protection Status