Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS
5. Kebenaran
"Kenapa suamiku ikutan kena, Kak?" Kak Ambar protes.
"Ambar, sadar kamu! Bukannya sudah dikatakan oleh Bang Abdul tadi? Kodrat suami, adalah menafkahi istrinya. Bukan meminta nafkah pada mertuanya!" tegas Kak Dewi lagi. "Kamu dengar, Gery?" tanya Kak Dewi pada Bang Gery yang menunduk segan.
"Iya, Kak," lirihnya hampir tak terdengar.
" Dan untuk kamu, Galuh!" Sekarang giliran Bang Galuh yang dipanggil, oleh Kak Dewi.
"I-iya, Kak," jawabnya pelan.
"Kerja! Jangan hanya bergantung pada uang istrimu!" tegas Kak Dewi. "Laki-laki kok, mengharap uang istri, tidak malu kamu dengan mertuamu? Janjimu dulu waktu menikahi Ellen adalah untuk membahagiakannya, kok, ya, sekarang anak orang kamu peras keringatnya. Malu, Galuh, Malu!" Kak Dewi menggeleng lemah.
"Tapi, Kak …." Bang Galuh seolah ragu melanjutkan ucapannya.
"Apa? Bicara saja," jawab Kak Dewi.
"Bukannya aku tidak mau bekerja, tetapi memang tidak ada pekerjaan, Kak! Kakak, kan, tahu sendiri kalau di desa ini sudah banyak tukang reparasi televisi," ucap suamiku dengan lesu, bahunya merosot lemas.
Sebenarnya aku kasihan melihatnya, Bang Galuh memang mau bekerja, tapi yang jadi masalah adalah dia yang seolah pasrah menerima nasib dan tidak mau merubah nasibnya dengan keluar dari zona nyamannya.
Seharusnya kalau ada pekerjaan, dia bisa bekerja. Tapi, kalau memang dia menganggur lama kan, lebih bagus kalau dia mulai menggarap tanah kami.
"Kerjakan apa yang ada, bukannya Usman memberikan kamu pekerjaan tadi? Kenapa kamu tidak mau? Apa dia tidak menggajimu?" tanya Kak Dewi.
"Tentu digaji, bahkan selalu berlebih, Kak," jelas Bang Galuh dengan mantap. "Tapi aku malu, Kak! Masak kerja sama Abang ipar, apa nanti kata orang?" lanjutnya dengan lesu.
"Ya Allah, Bang! Kamu lebih mendengarkan perkataan orang, daripada mengisi perut istrimu?" Aku memekik tak percaya.
"Ellen, wajar anakku malu. Toh, karena mengerjai kebun sawit abangmu, seharusnya abangmu juga punya otaklah. Adiknya susah, ya, mbok dibantu. Ini malah disuruh kerja berat, memang kurang ajar abangmu itu!" Ibu tiba-tiba menyela dengan kasar, dengan memaki Bang Usman.
Dadaku naik turun menahan emosi, abangku yang selalu membantuku, yang selalu mengayomiku, dan yang selalu memberiku uang secara diam-diam, dihina oleh Ibu mertuaku sendiri. Padahal Bang Usman sudah cukup sabar selama ini, beberapa kali dia selalu dibohongi oleh suamiku, janji bekerja untuk memanen sawit, tetapi nyatanya suamiku tidak datang.
Tapi besoknya Bang Usman tetap menyuruh Bang Galuh untuk kembali bekerja, berharap suamiku itu sudah berubah dan sadar. Sehingga mau bekerja dan bukannya menikmati jerih payah adik perempuannya.
"Bu! Sudah!" Bang Galuh menenangkan ibunya, dia mengusap bahu ibunya naik turun dengan pelan dan juga lembut.
Siapa yang kau tenang kan, Bang? Bukankah seharusnya aku, istrimu? Yang abangnya baru saja dihina oleh ibumu, batinku berteriak pilu .
"Bu! Ibu sudah sangat keterlaluan!" Aku menatap Ibu dengan nyalang.
"Apa? Memang benar, kan? Kalau abangmu itu waras, dia pasti akan memberikan modal untuk adik iparnya membuka usaha sendiri. Jadi anakku tidak perlu berkeliling mencari pekerjaan, dasar keluarga pelit," ucapnya sok bijak.
Ya Allah, ampuni hamba kali ini. Batinku bergolak marah. Ku remas gamis biru dongker yang aku pakai, untuk mencari kekuatan lebih agar mampu mengucapkan kata-kata ini.
"Ibu, bila anak lanang kesayanganmu ini malu bekerja di kebun sawit abangku, dia juga bisa punya sendiri. Sejak pertama menikah, orang tuaku telah memberi kami bekal, tanah kosong sebanyak satu hektar. Tapi dia selalu menolak! Bagaimana mau punya, kalau anak lanang Ibu itu saja malas Nauzubillah? Kebun sawit itu tidak akan tumbuh sendiri, Bu!" kataku berusaha untuk tetap tenang.
Kata-kataku sukses membuat mereka terdiam, bahkan Ibu dan Kak Ambar nampak menganga. Selama ini mereka tidak pernah tahu kalau aku punya tanah yang luas, karena untuk apa juga cerita? Toh, Bang Galuh tidak mau menggarapnya. Masak membanggakan tanah kosong? Untuk apa juga.
"Untuk rumah, orang tuaku juga menyediakan rumah besar itu untuk kami, Bu. Agar kami nyaman, tidak memikirkan tempat tinggal, dan bisa menabung untuk masa depan. Tapi boro-boro menabung, untuk makan saja susah. Orang tuaku bahkan tidak tahu kalau menantunya ini sangat zalim pada anak perempuan mereka satu-satunya." Kulirik Bang Galuh yang nampak tidak nyaman.
"Dan untuk modal usaha, emas-emasku habis untuk membeli alat-alat kerja Bang Galuh waktu itu, Bu! Emasku, sewaktu aku gadis. Yang dibelikan oleh orang tuaku dan juga abangku, Bang Usman!" jelasku lagi.
Karena memang, emas-emasku habis sewaktu pertama Bang Galuh hendak memulai usaha. Dia kursus reparasi televisi, parabola, dan laptop, yang cukup mahal. Dia juga membeli laptop yang lumayan canggih untuk bekerja, dan juga alat-alat pendukung lainnya.
"Sedangkan Ibu jelas-jelas lebih tahu, bukankah tiga minggu yang lalu, anak Lanang Ibu ini meminjam uang ke sini? Untuk modal usaha, Bu. Untuk mendirikan bengkel reparasi sendiri, agar dia tidak capek berkeliling seperti yang Ibu ucapkan." Aku mengungkit kejadian tiga minggu yang lalu.
Aku menyeringai mengejek, melihat tatapan yang berbeda di sini. Bang Galuh yang memohon agar aku berhenti, Ibu yang nampak marah, Kak Ambar terlihat tidak nyaman, dan Kak Dewi yang terlihat tidak percaya.
"Tapi, coba ingat-ingat lagi. Apa yang Ibu katakan pada suamiku? IBU … TIDAK … PUNYA … UANG!" Sengaja aku mengeja kata-kataku di akhir kalimat. "Padahal setelahnya Ibu membelikan Bang Gery sebuah motor, secara
Cash, loh, Bu. Waw …." ujarku dengan santai.
Aku bertepuk tangan tiga kali, biar saja mereka marah. Aku tidak peduli. Selain aku membela Bang Usman, aku juga kasihan pada suamiku. Dia benar-benar terpukul saat mengetahui kalau Bang Gery dibelikan motor baru oleh ibunya.
Sedangkan saat dia meminjam modal usaha saja, Ibu tidak mau meminjamkannya. Entah siapa yang anak, entah siapa yang menantu, tapi perlakuan Ibu pada Bang Geruy dan juga pada Bang Galuh memang berbeda.
"Sekarang, bisa kalian katakan padaku, siapa yang pelit? Keluargaku, atau Ibu?" Aku berucap santai.
Lega rasanya saat mengucapkan itu semua, bahkan selama ini kata-kata yang hanya bisa terpendam di hati saat ini bisa dikeluarkan. Sudah sejak lama aku ingin membicarakan masalah ketidakadilan yang diterima suamiku dari Ibu. Tapi Bang Galuh selalu melarang, tidak enak hitung-hitungan dengan orang tua sendiri katanya.
"Benar begitu, Bu?" Kak Dewi berbicara, setelah sembuh dari keterkejutannya. Dia memang bisa dibilang lebih lama di luar kota, daripada di desa ini. Wajar kalau dia tidak tahu keadaan keluarganya di sini.
"Ya Allah, Bu! Dewi tidak menyangka, kalau Ibu seperti itu," lirihnya hampir menangis saat tida mendapatkan jawaban dari Ibu, bahunya diusap Bang Abdul dengan lembut.
"Jangan dengarkan dia, Kak!" Tiba-tiba Bang Gery berbicara sambil menatapku sinis. "Itu motor Ibu, tapi aku yang memakainya," seringai pongah dia sunggingkan kepadaku, mungkin niatnya ingin memanasi aku.
"Ha ha ha, aduh, Bang. Sakit perutku Abang buat, loh." Aku tertawa terbahak-bahak. "Ya, itu namanya motor Abang, lah! Kan, Abang yang pakai. Satu desa juga tahu kali, wong Ibu saja tidak bisa bawa motor!" Seringai balasan aku perlihatkan.
"Ya, wajarlah dipakai suamiku. Diakan menantu Ibu," ucap Kak Ambar membela suaminya.
"Yang lebih wajar itu, ya suamiku yang memakainya, Kak. Bang Galuh, kan, anak Lanang Ibu, satu-satunya, loh!" Aku membalas tanpa rasa takut.
"Dek, sudah, Dek!" Bang Galuh beranjak, demi mengelus bahuku.
Terlambat, Bang, terlambat! Batinku berteriak gemas.
"Jadi, apa maumu, Ellen?!" Pekik Ibu dengan nada marah.
Yeah, ini yang sedari tadi kutunggu, Ibu yang kehilangan kesabaran dan langsung menanyakan apa keinginanku.
~Aksara Ocean~
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS6. Lima Puluh Juta"Ibu yakin akan mengabulkannya?" tanyaku sambil tersenyum manis."Sudah, cepat katakan! Jangan bertele-tele. Tapi, jangan kamu ungkit-ungkit lagi masalah motor Abang iparmu," kata Ibu dengan sewot.Ibu memijit pelipisnya dengan lembut, yang aku yakini pasti sedang nyut-nyutan saat ini.Tidak sengaja mataku melirik Bang Galuh, matanya meredup saat mendengar kata-kata Ibu. Itu motor Bang Gery, tanpa sadar Ibu mengungkapkannya sendiri tanpa dipinta walaupun tadi mereka berusaha untuk menutupinya. Yang namanya bangkai pasti akan tercium juga. Toh, seluruh desa ini pun bahkan sudah sangat tahu, bagaimana timpangnya kasih sayang Ibu. Beliau memang menyayangi suamiku, tapi entah kenapa Ibu sangat pelit padanya."Ya, tidak bisa begitu, dong, Bu!" kataku santai, dan aku masih menunjukkan senyum semanis madu. "Kan, tadi Ibu sendiri yang bilang, kalau itu motor Ibu. Kami juga berhak memakainya, dong! Iya, kan, Kak?" Aku bertanya pada Kak
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS7. Ide dan Terkejut Kami segera bergegas menghampiri suara tersebut, terlihatlah Kak Ambar dan Bang Gery yang sedang panik, mereka saling menutupi sesuatu di belakang tubuh mereka.Kamar Ibu terlihat sedikit berantakan, dan Ibu segera mendekat sambil mengecek kamarnya. Beliau berjalan mondar mandir mengecek laci, meja, dan juga lemari. Sebelum matanya tertumbuk pada sesuatu yang ada di lantai."Ya Allah Ambar, kenapa ini bisa pecah?" tanya Ibu dengan sangat keras."Maaf, Bu! Aku tidak sengaja," jawab Kak Ambar dengan pelan, sekilas aku melihat penyesalan di matanya."Kenapa bisa begini? Ini mahal Ambar! "Pekik Ibu dengan kuat.Dia pasti merasa sangat sayang pada guci kecil miliknya yang diakui Ibu sudah dimilikinya saat beliau masih kecil, jadi sejarahnya tidak main-main. Konon, Wak Yani, Kakak nya Ibu pernah bilang, guci itu peninggalan zaman Majapahit. Peninggalan dari zaman kerajaan cuy, wajar saja Ibu panik dan histeris."Maafkan aku, Bu, a
Menantu TEGAS, Ipar PANAS, Mertua LEMAS 8. Kepahitan Galuh "Kok, bisa, Dek?" tanya Bang Galuh pelan dan juga dengan penuh keraguan.Matanya menatap mataku dengan pandangan heran dan juga penasaran, sedangkan aku hanya tersenyum lebar dan mengedipkan mataku dengan manja. Aku menunjukkan saldo tabungan di rekening dengan menggunakan ponsel melalui M-banking. Terlihat jelas tertulis di sana, isi saldo ku ada sebanyak enam puluh tujuh juta rupiah."Bisa, dong!" Aku langsung nyengir demi menggoda nya."Jawab Abang, Dek. Darimana uang sebanyak itu? Ibu kan cuma ngasih lima puluh juta. Kamu punya simpanan?" Bang Galuh mendesak aku agar bicara, terlihat sekali kalau dia tidak sabar ingin mendengar jawabanku perihal uang itu."Dari Kak Dewi dan Bang Abdul, Bang," tukasku cepat sambil merebahkan tubuh di ranjang, masih dengan posisi kaki yang menjuntai ke bawah."Yang bener, Dek?" tanyanya lagi seolah tak yakin."Iya, lima puluh juta dari Ibu, lima belas juta dari Kak Dewi. Sedangkan yang dua
Menantu TEGAS, ipar PANAS, mertua LEMAS 9. Terharu "Assalamualaikum." Aku dan Bang Galuh mengucap salam dengan kompak. Aku dan Bang Galuh saat ini sedang berada di rumah Bang Gitok, Bang Gitok adalah salah seorang tukang bangunan yang sudah diakui kualitasnya oleh orang-orang di desa ini. Selain cepat, Bang Gitok juga sangat efisien. Sehingga tidak banyak barang yang terbuang ataupun tercuri, karena ada sebagian tukang bangunan disini terkadang menyuruh tuan rumah untuk membeli bahan bangunan seperti semen dengan jumlah banyak dan melebihi dari yang dibutuhkan. Lalu mereka akan menjualnya ke orang lain yang hendak membeli barang-barang tersebut dengan harga murah, dan pemilik rumah akan merugi. Tapi Bang Gitok tidak seperti itu, dia akan merinci pengeluaran dan juga bahan bangunan yang memang dibutuhkan sehingga tidak akan ada kelebihan maupun kekurangan. "Waalaikumussalam!" terdengar suara seorang wanita yang menjawab salam kami. Pasti itu Kak Munah, istrinya Bang Gitok. Benar
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas10. Minta UangAku bergegas ke depan dan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang berteriak-teriak tadi. Dasar tidak punya sopan santun! Bukannya mengucapkan salam malah berteriak-teriak tidak karuan, aku membatin kesal di dalam hati.Aku sudah punya dugaan sebenarnya siapa yang berteriak tadi, tapi untuk lebih memastikan aku harus segera ke depan dan melihatnya sendiri dengan kedua mataku secara langsung."Lama sekali kamu!" ketus Kak Ambar saat aku membuka pintu, matanya memelototiku sedangkan Bang Gery yang berdiri di sampingnya hanya diam dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.Wajahnya terlihat merah padam, entah menahan cuaca panas di depan, entah karena menahan amarah. Aku tidak tahu persisnya, karena Kak Ambar memang begitu orangnya. Kami tidak dekat dan jika dia kesini, pasti hanya untuk menyampaikan pesan Ibu atau membawa keributan dan huru-hara. Mereka langsung nyelonong masuk ke ruang tengah, aku hanya bisa mendengus
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas11. Kecurigaan Ellena (Bagian A)Nafas Kak Ika langsung terengah-engah setelah selesai berteriak barusan, matanya menatap Kak Ambar dengan nyalang. Amarah yang sangat besar terlihat jelas di kedua bola matanya, sehingga aku menelan ludah dengan susah payah dibuatnya.Jika Kak Ika sudah marah bisa-bisa Kak Ambar habis dibuatnya, karena Kakak iparku itu memang berwatak keras dan juga tegas. Sedangkan Bang Usman hanya diam dan meminum sirup yang aku hidangkan dengan sangat nikmat, seolah tidak peduli dengan keributan yang akan segera terjadi di depan matanya.Dia malah cuek dan memalingkan wajahnya guna menatap Aksa yang sedang menonton televisi dengan damai, tepat ketika aku menatapnya memohon pertolongan agar menjinakkan Kak Ika."Apa? Ngapain kamu teriak-teriak? Dasar orang kampung!" ujar Kak Ambar menantang.Aku menepuk dahiku dengan kuat, kenapa pula harus ditantang, sih? Kak Ambar ini memang benar-benar tidak tahu situasi. Tapi memang sifatny
12. Kecurigaan Ellena (Bagian B) Kak Ika dan Kak Ambar terdiam dengan memalingkan wajah masing-masing, rasa muak terlihat jelas di wajah kedua wanita yang kebetulan bergelar sebagai kakak iparku itu. Sedangkan Bang Usman masih setia melihat Aksa di depan televisi, dan Bang Gery masih setia plonga-plongo tidak jelas."Apaan sih, Luh? Biar Kakak kasih pelajaran Kakak ipar kamu ini, mulutnya tidak ada tata krama!" ketus Kak Ambar sambil menatap tajam Bang Galuh.Kak Ika hanya mencebik dan segera kembali mendudukkan diri dengan nyaman di sofa, mungkin emosinya sudah mereda sehingga dia terlihat lebih santai saat ini. "Kak, jangan begitu. Malu sama Bang Usman," kata Bang Galuh lagi, sambil menatap Bang Usman dengan sungkan."Oh, tidak apa-apa, Luh," kata Bang Usman santai sambil mengibaskan telapak tangannya. "Santai saja, Abang suka kok. Kapan lagi bisa melihat monyet betina yang berkelahi," katanya sambil bercanda."Ih, Abang ini …." Rajuk Kak Ika dengan manja."Lah, maksud sampeyan ap
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas13. Selingkuh? (Bagian A)"JANGAN PEGANG-PEGANG!" pekik Kak Ambar kuat sambil menyentak tangannya yang tadi aku pegang, dia terlihat risih dan segera membetulkan lengan bajunya.Aku limbung karena hentakannya dan hampir saja terjungkal ke depan jika saja tidak segera dipegang oleh Bang Galuh."Kak!" tegur Bang Galuh pada kakaknya, suamiku terlihat sagat tidak suka karena aku hampir saja terjatuh.Aku hanya diam dan mencerna kejadian yang sangat cepat ini, lalu kembali bersikap setenang mungkin. Kududukkan diriku lagi, dan segera meminum sirup yang dari tadi memang sudah ada di gelasku."Sudah, Bang. Tidak apa-apa," kataku pada Bang Galuh yang masih menatap Kak Ambar dengan marah.Kutarik tangannya untuk ikut duduk bersamaku, dan menyodorkan minuman untuknya. Sedangkan Kak Ambar terlihat gelisah dan lantas menatap Bang Gery dengan takut-takut."Jadi kamu tidak mau memberikan uang itu, Luh?" tanya Bang Gery pada suamiku."Tidak, Bang! Uang itu akan
235. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian B)“Bang Usman?”Usman menghentikan langkahnya seketika, panggilan yang baru saja di dengarnya berhasil menarik atensinya agar berhenti sebentar dari kegiatannya.“Ya?” tanyanya sopan.Usman belum pernah melihat wanita ini, cantik, muda, dan juga terlihat sangat lembut. Dan wanita ini juga terlihat cukup ramah, entah kenapa Usman seperti pernah melihatnya.“Apa Ellena ada di rumah?” tanyanya pelan.“Ellena?” Usman mengulang pertanyaan wanita itu.Dia mengernyit heran dan kemudian langsung menatap wanita itu dari atas ke bawah dengan pandangan menyelidik, berusaha kembali mengingat siapa sebenarnya wanita ini.Namun nihil, Usman sama sekali tidak mendapatkan secuil pun ingatan tentangnya.“Maaf, anda siapa?” tanya Usman ingin tahu.“Oh, maaf, saya lupa memperkenalkan diri. Saya Veya, saya adalah suster yang akan menjaga Ellena!” katanya tegas. “Apa Ellena di rumah?” tanyanya lagi.Suster? Apakah wanita ini adalah suster yang dikatakan Indra? Sust
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas234. (ENDING) CUPLIKAN SEASON 2 (Bagian A)POV ELLENA Aku sudah banyak berpikir, dan memikirkan hal ini berulang-ulang kali. Dan aku sudah memutuskan kalau berpisah dengan Bnag Galuh adalah keputusan yang tepat.Dia adalah penerus keluarga Dirga, dan jika kami kekeh untuk bersama maka kemungkinan besarnya adalah darah keluarga Dirga akan terputus hanya di Bang Galuh saja.Aku tidak bisa memberinya keturunan, dan mungkin lebih baik kalau dia menikah dengan orang lain dan hidup bahagia bersama keluarga kecilnya.Taraf paling tinggi dalam mencintai adalah ikhlas, dan aku akan mencoba mengikhlaskan Bang Galuh dan berusaha melepaskannya dengan dada yang lapang.Mencintainya, bukan berarti mengikatnya dengan duri yang terlilit hingga mengeluarkan darah. Definisi cinta bagiku adalah, membiarkan dia menemukan kebahagiaannya yang lain.Jika aku bukanlah pelabuhan terakhirnya, maka aku akan membantu angin agar meniup layarnya hingga menemukan pelabuhan y
233. BERCERAI (Bagian B)“Besok di cek aja, Dek. Takutnya ada yang kurang atau ada yang harus dibeli,” ujar Bang Usman memberi saran. “Oke,” sahutku cepat.“Rumah kalian gimana?” tanya Bang Usman tiba-tiba.Aku dan Bang Galuh terdiam, kami memang belum ada pembahasan tentang ini. Aku sebenarnya juga bingung, jujur saja aku berat meninggalkan rumah lamaku, tapi aku juga berat meninggalkan rumah ini kosong.Bukan karena rumah ini lebih nyaman ataupun lebih besar dan mewah, yang membuat aku berat meninggalkannya adalah memori Bapak dan Ibu yang ada di sini. Jika aku di rumah ini, setidaknya aku bisa selalu mengenang mereka.“Aku sih, ikut Ellen saja, Bang,” ujar Bnag Galuh bijak. “Di mana dia bisa merasa nyaman dan aman, maka di situ kami akan tinggal,” katanya lagi sambil tersenyum.“Nah, Dek … kamu mau di mana?” kata Bang Usman sambil menghadap ke arahku. “Kalau di sini, rumah kalian di kontrakkan saja, daripada rusak,” lanjutnya memberi usul.Aku terdiam dan menimbang, bagaimanapun j
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas232. BERCERAI (Bagian A)Setelah perdebatan yang cukup alot dan juga lama, akhirnya Wak Nurma dan juga Bang Diky serta Kak Nuri sepakat untuk pulang besok. Walaupun sebenarnya, Wak Nurma dan juga Bang Diky terlihat masih keberatan akan permintaan yang diberikan oleh Kak Nuri. Karena memang, yang sangat ngotot untuk pulang adalah Kak Nuri.Entah karena bentakan Bang Galuh tadi, atau karena dia memang sudah sadar kalau selama ini sudah menjadi benalu di rumahku.Yah, yang manapun tidak menjadi masalah. Yang penting mereka tidak di sini, bukannya aku kejam ataupun tidak tidak punya hati, tapi memang aku tidak tahan akan kelakuan mereka yang seenak jidat dan juga keterlaluan.Sekarang berhutang pada Bu Saodah dan juga Mpok Lela, tapi besok-besok bisa saja mereka mengulangi perbuatan mereka ini pada orang lain dan kembali mengatasnamakan aku.Bang Diky dan juga Kak Nuri memang keterlaluan, bahkan mereka sama sekali tidak ada mengeluarkan kata maaf k
231. EMOSI BANG GALUH (Bagian B)"Salahnya adalah … kalian yang terlalu sok tahu! Tutup mulut kalian, jangan sampai aku mendengar hal-hal seperti ini lagi. Atau aku bersumpah, akan merobek mulut kalian!" ujar bang Galuh dengan tajam."Galuh, kami hanya bercanda!" sahut Bang Diky sambil terkekeh kecil."Kalian keterlaluan, Diky, Nuri!" ujar Bulek Rosma pelan. "Masalah keturunan bukanlah hal yang bisa dijadikan candaan!" lanjutnya dengan tajam."Bulek, mereka saja yang terlalu sensitif!" sahut Bang Diky cepat, senyumnya hilang berganti rengutan kesal."Sensitif? Jika kalian bercanda, dan hanya kalian yang merasa itu adalah hal lucu dan hanya kalian yang tertawa. Berarti ada kesalahan di dalam candaan kalian!" sahut Bulek Rosma. "Jangan berlindung dibalik kata 'terlalu sensitif', karena bisa jadi yang kalian tertawakan adalah sesuatu yang mereka perjuangkan!" lanjutnya lagi.War Nurma dan keluarganya terdiam, walau aku yakin kalau mereka masih gatal ingin membalas tapi mereka memilih pi
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas230. EMOSI BANG GALUH (Bagian A)BRAK!Meja kokoh yang terbuat dari kayu jati itu sukses bergetar dengan kuat, dan ….Prang!Asbak cantik yang terbuat dari kristal itu pun jatuh menghantam lantai, pecah berkeping-keping hingga menjadi butiran kecil.Semua orang tersentak kaget, dan semuanya sontak melotot kaget dan menatap si pelaku yang tak lain dan tak bukan adalah Bang galuh.Wajahnya memerah menahan amarah, dan nafasnya memburu dengan kuat. Dadanya naik turun berusaha menormalkan detak jantungnya, aku tahu benar kalau lelaki kesayanganku itu tengah sangat marah saat ini."Jaga mulutmu!" desisnya tajam.Kak Nuri tergagap, instingnya sebagai wanita pasti mengatakan padanya untuk menjauh. Dia beringsut mundur ke belakang tubuh Bang Diky, badannya bergetar pelan dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.Ditekan oleh aura mendominasi sekuat ini, jelas membuat siapapun menjadi gentar. Apalagi dia adalah seorang wanita, bahkan Bang Diky saja belu
229. ELLENA YANG PERKASA (Bagian B)"Aku tidak bercanda!" balasku tegas. "Aku tidak mau menampung benalu, dan aku tidak mau menjual tanahku!" kataku lagi."Sombong sekali kamu, Ellen!" ujar Kak Nuri marah."Iya, dong. Sombong adalah nama tengahku!" kataku cuek.Wajah mereka terlihat memerah, mungkin mereka tidak terima dengan apa yang aku katakan. Tapi biarlah, memang sekali sekali mereka wajib diberi pelajaran.“Kamu juga, Luh. Tidak bisa tegas sebagai seorang suami!” kata Kak Nuri tiba-tiba.“Maksud Kakak apa?” tanya Bang Galuh heran. “Ya iya, kana kata Kakakmu itu, kamu banyak warisan. punya harta dan tidak mengharapkan punya Ellen. Kalau gitu, ya suruh istrimu ini ngasih tanahnya buat kami, dong!’ katanya santai.Bang Galuh sontak menganga lebar, sedangkan aku mala menahan mulutku agar tidak tertawa. Ngadi-ngadi ni, Kak Nuri … mau mengatur harta orang dia.“Loh, mana bisa begitu, Kak. Milik Ellen adalah sepenuhnya punya dia, aku mana ada hak untuk mengatur-aturnya!” kata Bang Gal
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas228. ELLENA YANG PERKASA (Bagian A)"Woah, tunggu dulu!" Aku memotong ucapan Bang Diky, dengan cara mengangkat tanganku di depan dada. Dia terlihat langsing terdiam, namun matanya menatapku dengan tajam."Asal? Asal apa? Kalian mengajukan syarat padaku? Begitu?" tanyaku santai. "Lucu sekali," lanjutku sambil menatapnya.Bang Diky dan Wak Nurma sontak saling berpandangan, dan tak sengaja aku melihat kalau Kak Nuri sedang mencubit kecil tangan suaminya itu."Kalau begitu kami tidak akan pergi!" kata Bang Diky tegas."Lah, aku yang punya rumah sudah tidak mau kalian tumpangi. Apa tidak malu? Kok betah banget menjadi benalu?" sindirku kepada mereka."Dek!" Bang Galuh kembali menegur, dan dia menggeleng pelan.Aku mendengus, kesal sekali rasanya dengan mereka. Bukannya mendapat pencerahan, dan kemudian sadar, eh, malah sok mengajukan syarat padaku.Memangnya mereka siapa? Saudara boleh saudara, tapi saudara yang baik dan sopan lah yang akan aku angg
228. PENGUSIRAN KELUARGA WAK NURMA (Bagian B)"Dan sekarang, saat mereka datang ke sini untuk menagih perbuatan kalian, kalian berdua malah berpura-pura tidak tahu dan melimpahkan semuanya pada Wak Nurma!" kataku panjang lebar. "Manusia namanya itu?" tanyaku lagi dengan ketus.Semua orang di sini terdiam dan mendengarkan ucapanku, aku yang emosi adalah yang terburuk."Dia Ibu kalian, dan Kakak dari Ibuku! Itu artinya dia juga adalah Ibuku, pengganti orang tuaku! Aku tidak terima kalian melakukan hal itu pada beliau!" kataku lagi. "Tapi kalian malah bersikap seenaknya, apa kalian memikirkan Wak Nurma, hah?" tanyaku lagi."Bila kalian tidak bisa memberi, setidaknya jangan menyusahkan!" kataku dengan nafas terengah.Wak Nurma yang mendengar ucapanku terlihat terdiam, sedangkan Kak Nuri dan Bang Diky masih menatapku marah."Apa kalian tahu rasanya tidak mempunyai orang tua lagi? Aku bahkan rela melakukan apapun, asal Ibu dan Bapak kembali," kataku lirih."Lebay!" Aku menatap Kak Nuri den