Citra
Aku tidur benar-benar pulas, padahal saat di bus pun aku tidur hampir sepanjang perjalanan. Tetapi saat kepalaku menyentuh bantal, aku kembali mengantuk dan tertidur seperti bayi yang kenyang sampai pukul sembilan pagi.
Sempat merasa bingung, dan bertanya-tanya di mana aku sekarang. Tetapi saat semua kesadaranku kembali, aku pun ingat jika sekarang tinggal di hotel, di kota yang tak pernah aku kunjungi sama sekali sebelumnya. Jauh dari semua orang yang kukenal.
“Hari ini enaknya ngapain...cari rumah tinggal?” tanyaku pada diri sendiri.
Cahaya matahari terasa sangat terik, bahkan tirai pun tak mampu menahan sinarnya yang terang. Aku turun dari tempat tidur lalu melangkah menuju pintu kaca yang menuju ke balkon, membukanya lebar-lebar dan aku tercengang melihat pemandangan yang nampak di hadapanku.
Hotel kecil ini lokasinya di atas bukit, jauh ke bawah sana adalah pantai berpasir putih dengan laut biru ya
RakaHari kedua Citra pergi dari rumah, membawa tas ransel besar dan mengatakan bahwa ia ingin memutuskan kontrak sepihak. Gila, setelah mendapatkan semua barang bagus, dia ingin lari dari tanggung jawab dan sok kuat dengan mengatakan akan mengembalikan semua uangku yang dia pakai.Cih, uang dari mana dia mau membayarnya kembali?Jujur sebenarnya aku tidak mengharapkan uang yang kuberikan kembali padaku, sebab aku memang sudah memberikannya. Tetapi melihat kesombongannya sebagai orang tak punya, membuatku jadi kesal. Biar saja sekalian kujadikan hutang.Padahal apa susahnya bertahan sebentar lagi, toh Maureen pun mulai menunjukkan ketergantungannya padaku. Aku yakin hal itu menjadi salah satu ciri bahwa ia mulai merasakan cinta padaku.“Mohon maaf pak, kalau saya boleh tahu ibu pergi kemana, ya? Saya agak khawatir. Soalnya kondisi kesehatan ibu sepertinya kurang baik.”Pelayan muda yang selalu bersama Citra berdiri
CitraSetelah beberapa hari, akhirnya aku menyalakan Hpku lagi. Aku sudah mengganti nomor dengan yang baru, dan kubuang SIM card yang lama. Aku tidak khawatir tentang ayah dan Angga, tak kuberi kabar pun sepertinya mereka baik-baik saja. Toh mereka sudah tak ada hutang apapun lagi, hidup mereka tinggal menjalani seperti biasa.Selain itu tidak ada kontak penting lainnya, jadi walaupun kubuang dan ganti dengan yang baru aku tidak merasa keberatan.Hal pertama yang kulakukan setelah memiiliki SIM card baru adalah menanyakan lamaran pekerjaan lewat WA, pada nomor yang tertera dalam selebaran yang kudapat dari cafe tempo hari. Syukurlah, ternyata lowongannya masih ada dan pemilik cafe menjawab jika pengalaman kerjaku cukup meyakinkan.Ya tentu saja, aku berpengalaman menjaga toko pakaian, jadi kasir minimarket dan juga jadi penjaga pom bensin. Semuanya melayani pelanggan, jadi aku pasti bisa melakukan tugasku dengan baik di cafe it
RakaHatiku belakangan ini terasa lebih tenang, semua berkat kata-kata Reza tempo hari. Ia mengatakan jika Citra mengecek kehamilannya sembunyi-sembunyi di klinik yang jauh sekali. Sudah tentu dia punya agenda lain, mungkin dia takut ketahuan jika dia punya affair dengan lelaki lain dan sampai hamil.Huh, tak kusangka dia rupanya cukup liar.Padahal jika pikiranku tak salah, dia masih virgin saat hubungan itu terjadi di antara kami. Lantas kenapa? Virgin atau tidaknya seseorang tidak menghentikan sisi liar dan binal seseorang. Mungkin Citra menyukai aktivitas itu dan mencari lelaki lain yang bisa menyenangkan dia. Mungkin?Gila, dalam waktu kurang dari dua minggu?!Brak!Seseorang membanting pintu kamar, begitu keras sampai aku yakin kaca jendela di belakangku bergetar. Kurasa orang yang membanting pintu adalah Maureen, sebab tak mungkin ada pelayan yang melakukan hal seperti itu di rumah ini.Bergegas aku
CitraSudah seminggu aku bekerja sebagai pelayan di cafe Aloha ini, selalu ramai setiap hari, apalagi di weekend. Nyaris tidak bisa duduk santai lebih dari 30 menit, selalu ada saja tamu yang datang dan pergi.Selama ini aku juga tidak mendapatkan banyak masalah, aku bisa bekerja dengan baik, bosku baik, teman-temanku lumayan walaupun belum akrab, paling hanya Lola saja yang sering ketus karena merasa dia lebih senior dibandingkan aku.Kemudian si kecil dalam perutku ini juga sangat mendukung kondisi kami saat ini, aku sama sekali tidak banyak mual, hanya sesekali dan bisa makan apapun dengan leluasa.“Cit, tolong ke meja 12 ya? Hati-hati agak berat.”Jalu memanggilku dari jendela dapur, ia menyodorkan satu baki penuh makanan dan minuman yang harus kuantarkan ke meja 12.“Baik. Upp, ternyata memang agak berat...”“Iya, makanya kubilang hati-hati.”Aku melirik Jalu,
CitraMatahari sudah lewat dari atas kepala, sudah beranjak sore. Mungkin sekarang pukul dua siang, atau lebih? Aku tidak membawa ponsel dan tidak juga mengenakan jam tangan untuk mengecek waktu. Lagipula siapa peduli ini jam berapa? Aku hanya ingin berlama-lama memandangi laut di kejauhan.“Cuekin aja Lola, dia emang begitu. Nyolot. Tapi kalo udah berlebihan aku juga pasti enggak tinggal diam kok.”Kutolehkan kepala, Jalu tiba-tiba saja duduk di sebelahku tanpa permisi. Ia menyodorkan sebotol minuman dingin, kuterima dan langsung kuminum setelah mengucapkan terima kasih.Sejak tadi aku memang duduk di sini, di bawah pohon yang tak jauh dari lokasi cafe. Sendirian memikirkan hidupku yang bisa jadi seperti ini, sendirian di tempat sangat jauh dari kota asal. Di tempat baruku ini juga tidak semulus itu, malah aku langsung dapat fitnahan di hari ketujuh bekerja.Tapi jika kupikir-pikir lagi, fitnahan ini tidak ada apa-a
RakaEntah sudah berapa malam Citra pergi dari rumah dan membatalkan kontrak sepihak, aku tak pernah menghubunginya sama sekali sejak hari pertama. Sudahlah, anggap saja kontrak kami sudah selesai karena sekarang Maureen pun mau denganku walau banyak syaratnya.“Raka! Kapan kita mau ke notaris?”Maureen yang baru selesai mandi langsung menagih janjiku, untuk memberikan mayoritas saham padanya. Aroma segar buah tercium dari tubuhnya, perutnya yang mulai membuncit terlihat lucu di balik gaun tidur yang ia kenakan.“Kamu maunya kapan? Kapan pun aku mau.” Jawabku penuh keyakinan.“Hmm, kapan yaa? Besok?”“Mau besok aja?”“Iya lah! Biar cepet kesampaian nih ngidamku!” Maureen mengatakan itu sambil mengusap-usap perutnya.“Haha, kayaknya anakmu ini bakalan jadi pebisnis handal deh nantinya. Ngidamnya aja sekarang pengen jadi pe
CitraSetelah pergi ke klinik ibu dan anak, aku merasa lebih tenang karena sudah memeriksakan kondisi kehamilanku. Dokter bilang kandunganku kuat, dan sehat. Si kecil dalam rahimku juga bertumbuh dengan baik, sejauh ini tak ada keluhan berarti dan aku juga merasa tak ada masalah apapun.Sedikit kelalahan dan selalu lapar, wajar. Bahkan aku yang selalu lapar katanya lebih baik, karena bisa makan enak tanpa dihantui mual, yang sering jadi momok bagi ibu hamil muda lainnya. Aku sempat merasa bangga, karena kehamilanku ini sepertinya tidak akan rewel dengan morning sickness, ngidam dan sebagainya.Aku bisa santai menjalani kehamilanku ini tanpa masalah.Tapi cepat atau lambat aku harus memberi tahu Dadan dan teman-teman kerjaku bahwa aku sudah menikah, dan sudah mengandung. Jika salah satu dari mereka yang tahu lebih dahulu sebelum kukabari, bisa-bisa mereka menilai aku mengada-ada. Apalagi insiden alat kontrasepsi itu, bisa-bisa a
RakaSetelah pertengkaranku dengan ayah kemarin, Maureen tak keluar kamar sama sekali. Aku mengetuk pintu kamarnya dan bertanya apakah ia lapar atau tidak. Sudah semalaman dia tidak keluar sama sekali, bagaimana jika ia lapar?Tetapi yang paling aku khawatirkan adalah Maureen melakukan hal-hal yang bisa mencelakakan dirinya sendiri. Seperti tempo hari.“Maureen?”Belum ada sahutan dari dalam. Kugedor pintunya agak kencang, mencoba membuka pintu tetapi terkunci dari dalam. Rasa panik mulai muncul karena bayangan buruk beberapa waktu silam kembali lagi, mungkin ia merasa ketakutan dan tertekan melihat ayahku kemarin.Ia memang baru melihat sifat ayah yang sesungguhnya setelah tinggal di sini. Saat kami masih berteman dan hubungan kami baik-baik saja sebelum kehadiran Citra, Ayah selalu bersikap baik dan lembut. Bahkan teman-temanku yang pernah datang ke rumah menganggap ayah adalah orang yang paling baik. Seper
Selama berada di depan Raka, Citra tidak menangis sama sekali, sebab semua tangisnya sudah habis. Malah Raka yang menangis, ia terlihat sangat menyesali semua yang ia rasakan saat ini. “Maafkan aku Citra, maafkan aku. Aku bahkan tak pantas untuk menggendong anak kita.. karena semua kelakuanku di masa lalu.” Citra tak menanggapi hal itu, biarkan saja Raka dengan penyesalannya sendiri. Ini salah satu cara untuk mengikhlaskan semuanya. Lagipula mau minta pertanggungjawaban dalam bentuk apa? Raka saja nyaris tak bisa menghidupi dirinya sendiri. Tak mau berlama-lama, Citra mengajak Angga pergi. Raka yang masih bercucuran air mata meminta untuk menggendong Hana sebentar. “SIlahkan,” sahut Citra. Walau sangsi, ia tetap memberikan Hana untuk digendong. Selama beberapa saat Hana dalam gendongan ayahnya sendiri, ia sangat anteng dan cuma mengoceh kecil sementara Raka makin banjir dalam air mata penyesalan. Tak berselang lama, Maureen datang sambil kesusahan menggunakan kursi rodanya. “Rak
Walaupun baru beberapa bulan saja Citra tinggal bersama bu Susi dan Anwar, tetapi perpisahan yang terjadi antara mereka cukup menyedihkan. Ketiganya menangis dengan haru bercampur sedih, namun mereka sama-sama berjanji supaya bisa tetap saling berkomunikasi walaupun sudah tak bersama.Citra kembali ke kampung halamannya, di mana ayah dan adiknya tinggal. Juga tentu saja Raka.Tetapi dia tak begitu peduli dengan Raka, bukan urusannya lagi sekalipun harus tinggal satu daerah dengan lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya yang damai.Memang, saat belum menikah dengan lelaki itu dirinya juga dipusingkan dengan kelakuan Angga, tetapi paling tidak batinnya tak terluka sedalam saat bersama dengan Raka.Sebab karena Raka juga, dirinya mengalami patah hati dan rasa kecewa yang luar biasa karena dibohongi oleh orang yang telah ia percayai. Bahkan Citra juga sudah memikirkan kemungkinan jika dirinya akan mempercayakan hatinya juga pada Jalu.Iya, Jalu.Lelaki itu tipe pendamping yang sempurna, de
POV RakaCitra tak main-main dengan apa yang telah ia katakan dua bulan yang lalu, di rumah sakit, ketika lukanya masih berdarah dan bayi kecil kami masih belum terbuka matanya.Dia benar-benar pergi, meninggalkan semuanya. Masa lalunya, termasuk aku yang ternyata bukan siapa-siapa untuknya, sekalipun ada darahku dalam tubuh gadis mungil dalam pelukannya itu.Ah andai saja dulu aku tahu hidupku bakal sesusah ini, niscaya aku tak akan berkata hal yang buruk tentang anak kami. Paling tidak, aku tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.Aku akui, dahulu diriku memang sangat buta dan mengahalalkan segala cara, aku sangat takut jatuh miskin, apalagi dengan adanya papa dan Maureen yang menjadi tanggunganku.Kuakui saat itu menjadi kesalahan besar yang telah kulakukan, setelah banyak kesalahan lain yang telah kulakukan dan menyakiti hati Citra. Aku berangkat bukan untuk benar-benar menemui Citra, dan buah hati kami.Tetapi untuk memaksanya kembali denganku, dan meminta bagian warisan dar
Raka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berkacak pinggang sambil memalingkan mukanya ke arah lain. Ke mana pun, asal tak perlu bertatapan dengan Jalu.Ia merasa jika Jalu memiliki semacam kemampuan untuk mengintimidasi orang lain. Entah karena memang dirinya yang terlalu pengecut, Raka tidak terlalu paham akan hal itu.“Mau apa datang ke mari? Mengacaukan semuanya lagi, hah?” desak Jalu.“Terus salahku di mana? Aku cuma mau ketemu anak istriku. Aku cuma mau mengatakan yang sebenarnya saja. salah?!”“Masih berani tanya salahmu di mana? Hmm. Kau lupa dengan semua yang telah kau lakukan pada Citra? Pernikahan kontrak itu, tindakanmu yang semena-mena padanya cuma karena ingin menyenangkan Maureen?”Raka jengah, ternyata Jalu juga tahu sampai sedetail itu.“Tau dari mana kamu? Jangan sok tau!”“Aku bukan sok tau, aku memang sudah tau. Kamu juga tak mengakui darah dagingmu, sampai Citra harus pergi jauh sekali. kalau aku jadi kamu, aku tak akan pernah menampakkan mukaku lagi di depan Citr
Citra berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun ia merasa kepalanya begitu berat dan ditambah lagi luka di perutnya terasa makin nyeri saja.“Duh, perutku sakit banget..” keluhnya sambil memegang perut, dan ia merasa jika perutnya sudah diperban lagi.Terakhir ia ingat jika dirinya sudah melepaskan perban saat berlari, karena perbannya sudah basah oleh darah dan perekatnya lepas. Tapi sekarang benda itu sudah diganti dengan yang baru, demikian juga pakaian yang ia kenakan.“Bu Susi pasti bawa aku ke mari.. aduh ya Tuhan, mau bayar pakai apa?” keluhnya lagi sambil menahan tangis.Tetapi ia tak bisa menangis, sebab dalam pikirannya kini hanya bayinya, bayinya dan bayinya. Urusan bayar rumah sakit, atau rasa nyeri yang tak tertahankan ini, semua masih bisa dipikirkan nanti.Bagaimana dengan bayinya yang masih merah? Di mana dia sekarang? Bersama siapa? Bagaimana jika dia ingin minum susu?“Ya Tuhan, kuatkan aku..”Citra turun dari ranjang, dan melepas infusan yang menempel di tangannya
Citra baru menyelesaikan makannya, dan bayi kecil yang baru saja dia lahirkan masih tidur terlelap tanpa menangis, rewel atau apapun. Setahunya, bayi baru lahir memang tidak terlalu banyak menangis, bahkan cenderung lebih banyak tidur.Maka karena itu dirinya harus memaksimalkan waktu, harus mampu memulihkan diri dalam waktu cepat namun juga harus bisa bekerja.Citra keluar kamar dan menutup pintunya rapat, ia berniat mengantarkan piringnya ke depan sambil bertanya apakah ada yang bisa dia bantu. Bagian belakang rumah sekaligus warung makan ini tidak dipagar, melainkan langsung mengarah ke kebun yang cukup padat tumbuhannya.Sejauh yang Citra lihat, ada beberapa batang pohon jengkol, rambutan dan pohon-pohon besar berbuah lainnya. Di ujung kebun yang cukup jauh terlihat ada jalan setapak kecil yang entah mengarah ke mana.“Agak ngeri juga ya kalau begini? Tapi enggak apa-apa. Siapa juga yang mau datang ke mari?” gumam Citra, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.Di dalam kepalany
Kamar yang diberikan untuk Citra adalah sebuah ruangan yang cukup untuk satu kasur single, ada lemari pakaian dan kipas angin. Satu pintu di bagian depan dan di sebelahnya ada jendela yang lumayan besar, dengan gorden yang bersih. “Syukurlah, tempatnya bersih. Aku bisa menidurkan anakku dulu, sementara aku makan. Aduh, perutku.. “ keluh Citra, sambil memegang bagian bawah perutnya. Ia khawatir jika luka jahitannya berdarah, atau parahnya jahitannya lepas. Tetapi saat ia melihat bagian bawah perutnya, sepertinya baik-baik saja. Semoga memang tak ada masalah apapun. “Permisi kak, ini nasinya dari depan.” Remaja lelaki anak pemilik warung nasi mengantarkan makanan Citra, bahkan sudah ditambah dengan es teh manis dan juga ayam goreng. “Makasih. Eh iya, nama kamu siapa Dek?” “Anwar, kak. Kalau Kakak siapa?” “Citra.” “Oh Kak Citra. Ya udah selamat makan dan istrirahat kak, kalau ada butuh apa-apa tinggal panggil aja aku di depan.” Citra mengangguk dan berterima kasih. Ia benar-benar
Selama hampir setengah jam Citra hanya duduk termangu di depan toserba, ia masih menggendong bayinya dalam posisi yang sama seperti saat pertama ia datang ke tempat ini. Jalanan di depannya masih ramai, beberapa orang yang melintas melihat dia dengan tatapan aneh.Wajar, semua orang juga pasti akan merasa aneh melihat seorang wanita muda dengan bayi yang masih merah. Pakaiannya berantakan dan bahkan mukanya juga masih pucat, hanya saja tidak ada yang cukup peduli untuk bertanya keadaannya, atau bahkan curiga jika dia penculik bayi atau apalah.Tetapi pada kenyataannya memang Citra lebih suka tidak ada yang peduli padanya, ia benar-benar sedang tidak mau bicara dengan siapapun.Citra baru tersadar saat bayinya bersuara, tidak menangis, hanya merengek sedikit lalu kembali tidur.“Ahh, aku harus beli baju buat anakku. Kasihan.. nanti dia mau pake apa?” gumamnya sambil berdiri.Ia membetulkan letak tas yang tersampir di bahunya, memperbaiki
Para perawat dan bruder mengeluarkan semua orang yang ada dalam ruangan rawat Citra, dan membiarkan ibu muda itu berduaan saja dengan bayinya. Seorang perawat sempat memberitahunya bagiamana cara untuk menyusui bayi yang benar, dan Citra sangat bersyukur tentang hal itu.“Sayang, kita pergi dari sini yuk? Di sini udah enggak aman. Mama enggak mau hidup kamu kacau kayak mama. Padahal ini hari pertama kamu di dunia, tapi kamu udah dapat masalah begini. Maafin mama ya?” bisik Citra, ia mendekap bayinya dengan erat.Bayi mungil dalam dekapannya sudah dibalut dengan selimut bayi, ia turun dari ranjang untuk mencari barang-barang pribadinya. Ia terkejut melihat tas yang biasa ia gunakan sudah ada di lemari kecil dekat ranjang.Isinya masih lengkap seperti terakhir dia meninggalkannya, ada HP, dan dompet.“Baguslah, aku bisa pergi sekarang.” Gumamnya sambil menghela napas.Tidak ada pakaian ganti, tidak ada baju untuk si baby. Suda