Nadina dan Sadewa berhenti di salah satu kafe yang memiliki layanan ruangan privat untuk segala jenis pertemuan. Nadina tak berhenti menangis di sudut ruangan sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sementara itu, Sadewa tampak berpikir sekeras mungkin untuk membuat emosi wanita di dekatnya itu kembali stabil. Dengan sedikit ragu, ia mengambil minuman yang sengaja ia pesan untuk Nadina dan membawanya menuju wanita itu. “Nadina, minum dulu? Kamu butuh banyak tenaga untuk menjelaskan segalanya kepadaku. Aku tidak mau memiliki tampang seperti badut kebingungan seperti ini,” celetuk Sadewa seketika menoleh ke arah Sadewa sembari mengusap air matanya. Saat Nadina melirik, Sadewa dengan cepat meringis, senyuman yang menampakkan giginya itu dengan cepat membuat wajah cuek Sadewa pergi entah ke mana. “Terima kasih. Maaf harus terus merepotkan Mas Dewa,” lirih Nadina seraya mengambil alih gelas minuman itu dan perlahan meneguknya. Sadewa dengan perlahan sedikit menggeser duduknya
Nadina tiba-tiba mendapati tatapan kosong Sadewa yang terkesan mengganggu dirinya. Jarak duduk Sadewa saat ini juga jauh dari batas aman yang pernah ia tuturkan. Mereka terlalu dekat di sudut ruang tertutup itu. Jantung Nadina berdegup kencang, keringatnya mulai mengalir, sementara tangannya mulai kuat mencengkeram ponsel. “Kamu hendak memesan minuman lain dulu, Nadina?” tawar Sadewa tiba-tiba. “Tidak! Nadina mau pulang saja sekarang,” ujar Nadina sembari dengan cepat bangkit dari sofa dan berjalan membuka pintu ruangan itu. Sadewa tak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah wanita itu. Kafe yang ia pilih hanya kafe umum yang akan merespons teriakan. Ia tak bisa mengambil risiko di sana. Akhirnya mereka berdua berada dalam mobil kembali ke jalanan kota dan menuju ke pondok. Seperti biasa, Sadewa berhenti di ujung jalan. Sadewa memberikan payungnya untuk melindungi Nadina dari hujan saat menuju pondoknya. Baru saja Nadina mengangguk dan hendak bersiap, Sadewa malah dengan
Nadhif tak membalas lagi. Nadina dengan cepat kini naik ke atas ranjang dan membungkus tubuhnya dalam selimut lalu mematikan lampunya. “Kalau Mas Nadhif masih menganggap keberadaan Nadina dan menghargai Nadina, tinggalkan kamar ini. Nadina tidak ingin tidur bersama seorang pria yang baru bermalam bersama wanita lain!” sergah Nadina. Nadhif berusaha keras menahan segala amarah, kesedihan, dan kekecewaannya sendiri lalu berjalan menuju pintu kamar dan meninggalkan Nadina sendiri di sana. Tangisan Nadina seketika pecah. Ia terus sesenggukan sendiri di dalam kamar itu sambil terus menarik selimut itu dan mendekapnya erat. “Kenapa mas tega lakuin ini sama Nadina, Mas? Kenapa tidak menceraikan Nadina saja sebelum bersama wanita itu?” rintih Nadina. Sementara itu Nadhif yang kembali ke kamar lawasnya tampak dihampiri oleh beberapa santriwan yang juga berada di dalam sana. “Yang sabar ya, Gus! Pasti nini sulit untuk Gus dan Mbak Nadina. Gus tidak bisa menyalahkannya juga karena menolak
“Kamu bicara apa, Aza! Jangan melantur!” sergah Nadhif langsung menatap nyalang wanita di hadapannya itu. Sementara itu, Nadina yang semakin merasa sakit hati perlahan mengundurkan langkahnya. Sudah pasti wanita itu akan memilih mundur dan meninggalkan sang suami di sana. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain, dalam usahanya itu ia menabrak tumpukan tong juga beberapa kotak kabel hingga membuat suara nyaring yang mengundang Nadhif dan Azalea menoleh. “Nadina!” teriak Nadhif langsung bergegas hendak menghampiri Nadina. Nadina pun segera berlari menjauh. “Kenapa semua menjadi kacau seperti ini? Saya hendak menyelesaikan masalah ini dan lihat sekarang apa yang terjadi?! Semua semakin tidak terkendali!” gumam Nadhif bersamaan dengan cepatnya langlah kaki yang mengejar Nadina. Seluruh warga pondok yang mereka lintasi, termasuk beberapa yang ada di dalam dalem langsung mengernyit saat melihat Nadina berlari ke arah kamar dengan tangisannya juga Nadhif yang mengejar di belakang. “Nadi
Seluruh pondok langsung berteriak saat mendengar juga melihat bagaimana Nadina tertabrak lalu terjatuh dengan banyaknya darah di sana. Nadhif seketika bersimpuh sembari mengangkat kepala sang istri. Tangisannya semakin keras, tangannya yang juga ikut berwarna merah terus mengelus wajah sang istri yang setengah sadar itu. “Mas,” lirih Nadina. “Nadina, saya di sini. Kamu bertahan. Semua pasti baik-baik saja. Saya mohon kamu kuat. Kamu tidak boleh kenapa-napa,” bisik Nadhif lalu ia dengan cepat menoleh ke kanan dan ke kiri. “Ambulans! Mobil!! Cepat!!” teriaknya. Sepanjang perjalanan Nadhif terus memegang tangan Nadina erat sembari sesekali mengecup istrinya itu. Wajah Nadina tampak kaku, tak ada pergerakan, Nadhif tak hentinya memandang wajah Nadina dan memohon keselamatan bagi istrinya itu. “Maafkan saya, Nadina. Saya mohon bertahan,” lirih Nadhif. Semenjak memasuki mobil, Nadina tak lagi dalam kondisi sadar. Ia telah memejamkan matanya. Hingga saat wanita itu di dorong masuk ke
Nadhif kembali ke kamar inap sembari berjalan pelan. Matanya melihat bagaimana kedua orang tuanya dengan cemas memandang Nadina yang belum sadarkan diri. “Nadina harus baik-baik saja ya, Nak! Umi tidak ingin Nadina kenapa-napa. Nadhif membutuhkan Nadina. Kalian juga harus memiliki anak-anak yang sholeh-sholehah lalu hidup bahagia bersama, yah!” bisik Aminah. “Bagaimana aku bisa mengatakannya sekarang? Apakah semuanya akan baik-baik saja setelah ini?” batin Nadhif. “Nadhif!” celetuk Ali yang pertama kali menyadari keberadaan Nadhif di ruangan itu. Dengan segera Nadhif menghapus air matanya dan berjalan ke arah abinya. “Bagaimana kata dokter? Nadina baik-baik saja bukan?” tanya Ali. “Nggih, Abi. Nadina baik-baik saja. Nadina masih harus di rawat di sini dan melakukan beberapa pengecekan sebelum akhirnya diperbolehkan pulang. Abi dan umi tidak perlu khawatir,” tutur Nadhif. “Syukurlah kalau begitu. Umi dan Abi akan kembali ke pondok untuk mengambil beberapa keperluan untuk di sini.
Sepanjang hari setelah kepulangan Nadina dari rumah sakit itu, Nadhif tampak terus menjaga dan merawat Nadina dengan semua ketulusan yang ia punya. Kedekatan antara keduanya membuat Azalea sedikit kesusahan untuk mendekat pada Nadhif. “Mas,” panggil Nadina saat Nadhif tengah merapikan rak buku di dalam kamar mereka. “Hmm, iya?” sahut Nadhif. “Nadina mau tanya sesuatu. Nadina hanya takut ini terus menghantui Nadina sampai nanti. Jadi terpaksa Nadina tanyakan.” “Tanyakan saja, Nadina. Ada apa?” Nadhif berjalan mendekati Nadina lalu duduk di sebelah sang istri yang setengah berbaring di ranjang itu. “Malam itu, saat mas dan Azalea menginap di luar, apa kalian tidur dalam ruangan yang sama? Lalu yang Azalea katakan mengenai meminta pertanggung jawaban? Itu apa?” tanya Nadina lirih. Ia tampak sedikit takut jika pertanyaannya akan menyinggung dan menyebabkan pertengkaran lain. “Malam itu kami datang ke rumah sakit, Nadina. Azalea menjaga ibunya di ruang kamar sementara saya menunggu d
Seperti yang Nadhif sampaikan, pemuda itu memimpin sholat maghrib, tadarus, juga sholat isya setelahnya. Nadina pun turut hadir dalam semua rangkaian tugas terakhir Nadhif hari itu. Biasanya, setelah sholat isya, Nadhif dan Nadina akan turun dari masjid bersama. Namun selesai jamaah saat itu, Nadhif tampak kesulitan mencari keberadaan Nadina. Bahkan saat masjid besar pondok tampak lenggang, ia tak kunjung menemukan sang istri. “Apa Nadina pergi duluan? Tak biasanya dia kembali sendiri setelah sholat isya. Biasanya dia selalu meminta bersama? Apa dia sudah kembali ke kamar?” batin Nadhif. Nadhif segera bergegas menuju dalem untuk mencapai kamarnya. Namun dalam perjalanannya sebelum sampai dalem itu, lagi-lagi Putri Azalea muncul dengan sebuah map di tangannya. “Assalamualaikum, Gus! Sudah selesai sholat isya ya? Mbak Nadina kemana? Kok tumben tidak jalan bersama? Kalau saja aku sholat hari ini, aku pasti menemani gus berjalan di malam hari ini. Sayang sekali aku sedang tidak sholat
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan