Nadhif kembali ke kamar inap sembari berjalan pelan. Matanya melihat bagaimana kedua orang tuanya dengan cemas memandang Nadina yang belum sadarkan diri. “Nadina harus baik-baik saja ya, Nak! Umi tidak ingin Nadina kenapa-napa. Nadhif membutuhkan Nadina. Kalian juga harus memiliki anak-anak yang sholeh-sholehah lalu hidup bahagia bersama, yah!” bisik Aminah. “Bagaimana aku bisa mengatakannya sekarang? Apakah semuanya akan baik-baik saja setelah ini?” batin Nadhif. “Nadhif!” celetuk Ali yang pertama kali menyadari keberadaan Nadhif di ruangan itu. Dengan segera Nadhif menghapus air matanya dan berjalan ke arah abinya. “Bagaimana kata dokter? Nadina baik-baik saja bukan?” tanya Ali. “Nggih, Abi. Nadina baik-baik saja. Nadina masih harus di rawat di sini dan melakukan beberapa pengecekan sebelum akhirnya diperbolehkan pulang. Abi dan umi tidak perlu khawatir,” tutur Nadhif. “Syukurlah kalau begitu. Umi dan Abi akan kembali ke pondok untuk mengambil beberapa keperluan untuk di sini.
Sepanjang hari setelah kepulangan Nadina dari rumah sakit itu, Nadhif tampak terus menjaga dan merawat Nadina dengan semua ketulusan yang ia punya. Kedekatan antara keduanya membuat Azalea sedikit kesusahan untuk mendekat pada Nadhif. “Mas,” panggil Nadina saat Nadhif tengah merapikan rak buku di dalam kamar mereka. “Hmm, iya?” sahut Nadhif. “Nadina mau tanya sesuatu. Nadina hanya takut ini terus menghantui Nadina sampai nanti. Jadi terpaksa Nadina tanyakan.” “Tanyakan saja, Nadina. Ada apa?” Nadhif berjalan mendekati Nadina lalu duduk di sebelah sang istri yang setengah berbaring di ranjang itu. “Malam itu, saat mas dan Azalea menginap di luar, apa kalian tidur dalam ruangan yang sama? Lalu yang Azalea katakan mengenai meminta pertanggung jawaban? Itu apa?” tanya Nadina lirih. Ia tampak sedikit takut jika pertanyaannya akan menyinggung dan menyebabkan pertengkaran lain. “Malam itu kami datang ke rumah sakit, Nadina. Azalea menjaga ibunya di ruang kamar sementara saya menunggu d
Seperti yang Nadhif sampaikan, pemuda itu memimpin sholat maghrib, tadarus, juga sholat isya setelahnya. Nadina pun turut hadir dalam semua rangkaian tugas terakhir Nadhif hari itu. Biasanya, setelah sholat isya, Nadhif dan Nadina akan turun dari masjid bersama. Namun selesai jamaah saat itu, Nadhif tampak kesulitan mencari keberadaan Nadina. Bahkan saat masjid besar pondok tampak lenggang, ia tak kunjung menemukan sang istri. “Apa Nadina pergi duluan? Tak biasanya dia kembali sendiri setelah sholat isya. Biasanya dia selalu meminta bersama? Apa dia sudah kembali ke kamar?” batin Nadhif. Nadhif segera bergegas menuju dalem untuk mencapai kamarnya. Namun dalam perjalanannya sebelum sampai dalem itu, lagi-lagi Putri Azalea muncul dengan sebuah map di tangannya. “Assalamualaikum, Gus! Sudah selesai sholat isya ya? Mbak Nadina kemana? Kok tumben tidak jalan bersama? Kalau saja aku sholat hari ini, aku pasti menemani gus berjalan di malam hari ini. Sayang sekali aku sedang tidak sholat
Pagi itu, Nadhif terus mengamati wajah Nadina yang masih terpejam sembari mengelus pucuk rambut Nadina pelan. Malam tadi keduanya telah menjadi satu untuk selamanya. Nadhif tak hentinya menatap sang istri sembari terus memohonkan ampunan bagi keduanya dan memohon yang terbaik kepada Sang Pencipta untuk istri dan pernikahannya itu. Nadina perlahan membuka matanya lalu turut tersenyum saat melihat Nadhif masih memandangnya dengan senyuman manis di wajahnya. “Nadina tidak akan tanggung jawab jika Mas Nadhif semakin jatuh cinta pada Nadina karena terus menatap wajah Nadina saat tidur. Ibu bilang Nadina semakin cantik saat tidur! Mas pasti semakin jatuh cinta bukan?” ujar Nadina percaya diri sembari menimpa tangannya di bawah kepalanya itu. “Tidak perlu bertanya lagi, Nadina. Saya sudah berulang kali jatuh cinta saat melihatmu baik terbangun atau tertidur, Nadina. Saya yakin kamu yang tidak akan kuat menanggung besarnya cinta saya kepadamu,” sahut Nadhif sembari kembali tersenyum. “Hu
Aminah langsung berlari ke dalam kamarnya hingga membuat Ali yang saat itu sedang membaca Al-Quran terkejut bukan main. “Abi! Lihat ini, Abi!!” pekik Aminah memanggil sang suami. Ali pun segera mengakhiri sesi bacaannya itu dan mengembalikan Al-Quran ke tempatnya. “Ada apa, Umi? Kenapa terburu dan mengagetkan seperti ini?” sahut Ali lalu menghampiri sang istri. Aminah tampak memandangnya dengan sedikit air mata menetes di pipi. “Abi baca ini! Putra kita berbohong!” pekik Aminah sembari menyodorkan kertas dari rumah sakit itu kepada Ali. Ali pun tampak membaca dengan saksama. Hingga pada saat matanya usai membaca kalimat yang membuat Aminah terkejut, Ali sedikit menundukkan pandangannya. “Bagaimana bisa Nadhif merahasiakan hal ini dari kita, Abi?! Dia bilang menantu baik-baik saja! Tapi lihat laporan itu! Bahkan Nadina bilang kepada Umi bahwa mereka telah melakukan malam pertamanya semalam! Lantas hasil ini?! Nadina turut berbohong pada Umi begitu?!” sergah Aminah. “Umi, tenangka
Aminah tampak mengalihkan tubuhnya. Dengan cukup lama wanita paruh baya itu terdiam sementara Nadhif dan Ali menunggu jawaban atas maksud kalimat terakhir yang Aminah berikan. “Umi!” pekik Nadhif lalu berjalan ke depan Aminah. Dipegangnya lengan tangan sang umi sambil memandangnya kelu. Segala pikiran buruk kini menghantui Nadhif. Ia benar-benar takut jika jawaban yang akan uminya katakan akan sesuai dengan ketakutannya kala itu “Umi! Jawab Nadhif, Umi! Katakan apa yang ada di pikiran Nadhif salah!” sergah Nadhif. “Beritahu istrimu tentang masalahnya ini! Umi akan carikan cara lain untuk tetap melanjutkan mimpi umi, abi, juga keluarga pondok yang lain!” pekik Aminah. “Apa maksud, Umi? Abi tidak akan mengizinkan hal buruk terjadi pada putra putri kita, Umi!” pekik Ali menengahi. “Suruh putra Abi yang telah jago berbohong ini keluar!” sergah Aminah. Nadhif tampak menggelengkan kepalanya sembari sedikit berkaca-kaca atas perubahan sikap Aminah yang amat drastis menurutnya. Tanpa m
“Saya tidak akan melepaskanmu, Nadina! Sampai kapanpun itu! Saya tidak akan bisa tenang melepaskanmu dan hidup sendiri tanpamu!” pekik Nadhif. “Siapa yang bilang mas akan hidup sendiri? Menikah, Mas! Menikahlah lagi dengan seorang wanita sempurna di luar sana. Dia akan mengurus mas dengan baik. Dia akan menjaga mas, menjaga umi, abi, juga pondok ini jauh lebih baik daripada Nadina. Dia akan melayani mas dan pondok dengan lebih sempurna. Yang pasti dia tidak akan membuat mas diabaikan selama seperti yang Nadina lakukan,” “Hentikan bicaramu, Nadina! Saya tidak akan pernah setuju! Sampai kapanpun! Saya tidak akan pernah mau! Jangan lagi mengatakan hal itu! Saya tidak akan melepaskanmu! Tidak akan pernah!” Nadhif bangkit dari ranjang laku berjalan ke arah lain kamar sambil menghapus air matanya. Keyakinannya atas pernikahan yang ia janjikan itu terasa semakin mengerat. Setiap ia mengatakan untuk mempertahankan segalanya, Nadina terus menarik talinya hingga seakan mematahkan setiap buli
Nadhif menatap tajam mata Nadina yang berusaha tengar mengatakan izinnya barusan. Sementara Nadina terus memasang wajah meyakinkan, Nadhif malah menggeleng tak setuju. “Melantur! Kamu sangat melantur, Nadina! Jangan pernah katakan hal itu di depan saya apalagi orang lain! Saya tidak membutuhkan wanita lain untuk menjadi istri saya selain kamu!” pekik Nadhif. “Mas butuh! Mas butuh keturunan! Mas butuh cinta yang sama besarnya dengan cinta yang mas berikan! Dan Nadina tidak bisa memberikan itu semua! Tidak akan pernah bisa, Mas! Tolong pahami posisi Nadina di sini.” “Istighfar, Nadina! Jika kamu terus begini sama saja kamu tak lagi mempercayai Tuhanmu! Daripada membuat rencana untuk saling melepas atau merelakan, akan lebih baik jika kita terus bersama, membuat rumah ini tetap nyaman meskipun hanya berdua saja.” “Mungkin saat ini kita memang belum cukup mampu untuk menjadi orang tua, karenanyalah Allah memberikan cobaan ini! Tetapi saya yakin apapun itu mungkin bagi Allah. Kalau kit