“Saya tidak akan melepaskanmu, Nadina! Sampai kapanpun itu! Saya tidak akan bisa tenang melepaskanmu dan hidup sendiri tanpamu!” pekik Nadhif. “Siapa yang bilang mas akan hidup sendiri? Menikah, Mas! Menikahlah lagi dengan seorang wanita sempurna di luar sana. Dia akan mengurus mas dengan baik. Dia akan menjaga mas, menjaga umi, abi, juga pondok ini jauh lebih baik daripada Nadina. Dia akan melayani mas dan pondok dengan lebih sempurna. Yang pasti dia tidak akan membuat mas diabaikan selama seperti yang Nadina lakukan,” “Hentikan bicaramu, Nadina! Saya tidak akan pernah setuju! Sampai kapanpun! Saya tidak akan pernah mau! Jangan lagi mengatakan hal itu! Saya tidak akan melepaskanmu! Tidak akan pernah!” Nadhif bangkit dari ranjang laku berjalan ke arah lain kamar sambil menghapus air matanya. Keyakinannya atas pernikahan yang ia janjikan itu terasa semakin mengerat. Setiap ia mengatakan untuk mempertahankan segalanya, Nadina terus menarik talinya hingga seakan mematahkan setiap buli
Nadhif menatap tajam mata Nadina yang berusaha tengar mengatakan izinnya barusan. Sementara Nadina terus memasang wajah meyakinkan, Nadhif malah menggeleng tak setuju. “Melantur! Kamu sangat melantur, Nadina! Jangan pernah katakan hal itu di depan saya apalagi orang lain! Saya tidak membutuhkan wanita lain untuk menjadi istri saya selain kamu!” pekik Nadhif. “Mas butuh! Mas butuh keturunan! Mas butuh cinta yang sama besarnya dengan cinta yang mas berikan! Dan Nadina tidak bisa memberikan itu semua! Tidak akan pernah bisa, Mas! Tolong pahami posisi Nadina di sini.” “Istighfar, Nadina! Jika kamu terus begini sama saja kamu tak lagi mempercayai Tuhanmu! Daripada membuat rencana untuk saling melepas atau merelakan, akan lebih baik jika kita terus bersama, membuat rumah ini tetap nyaman meskipun hanya berdua saja.” “Mungkin saat ini kita memang belum cukup mampu untuk menjadi orang tua, karenanyalah Allah memberikan cobaan ini! Tetapi saya yakin apapun itu mungkin bagi Allah. Kalau kit
Nadina berusaha menahan air matanya yang menetes deras dan suara senggukannya kala mendengar semua pembicaraan antara Nadhif dan Aminah. Tak pernah sedikitpun ia membayangkan bahwa sang umi yang selama ini ia rasa menjadi ibu kedua harus bersikap seperti ini kepadanya. Tak pernah terbayang bahwa masalah keturunan akan membuat rumah tangganya hancur lebih seperti saat ini. Saat Nadhif berjalan ke arahnya dan meninggalkan Aminah, Nadina dengan cepat berbalik. Namun seseorang rupanya berada di bekakangnya. Melati, salah satu santriwati pondok yang saat itu sempat bergurau bersama Nadina di kantor umum. “Eh, Melati! Kamu di sini? Ehm, mencari siapa?” Dengan cepat Nadina mengalihkan wajahnya sembari menghapus semua air mata di wajah cantiknya itu. “Waktu itu Mbak Nadina pernah minta saya kemari saat senggang. Saya pikir saya bisa sekarang. Tetapi jika Mbak Nadina masih ada urusan, tidak apa-apa saya kembali kapan-kapan saja,” tutur Melati sambil menunduk takut membuat Nadina malu karen
Nadina dan Melati langsung menoleh ke belakang dan bangkit dari duduk mereka saat menyadari Nadhif berdiri di belakang mereka dan berjalan menuju Nadina. Melati yang merasa sedikit canggung karena berada di antara sepasang suami istri perlahan memundurkan dirinya dan memberi ruang pada Nadhif untuk menghampiri Nadina. Nadhif tanpa canggung menjatuhkan pelukannya kepada Nadina lanjut mengelus pucuk kepala wanita itu dan mengecupnya. “Jangan pergi tanpa kabar! Saya tidak mau sibuk mencarimu! Saya tidak ingin kamu pergi! Kabari saya apapun caranya, Nadina! Jangan buat saya khawatir!” sergah Nadhif. Melati tampak sedikit tersenyum namun sedikit merasa aneh atas semua perkataan dan perlakuan Gus Nadhif barusan. “Mas, Nadina baik-baik saja. Nadina hanya pergi sebentar dari kamar, bagaimana bisa mas langsung khawatir seperti ini?” celetuk Nadina hendak melepaskan pelukannya dari Nadhif. “Jangan dilepas! Jantung saya belum berhenti berdetak kencang karena khawatir mencarimu!” pekik Nadh
Keesokan harinya, tepatnya pagi hari saat Nadina baru saja menginjakkan kakinya di dapur berusaha setegar mungkin dan mengatur dirinya sendiri untuk bertemu sang umi, tiba-tiba Aminah menoleh namun kembali mengalihkan pandangan. “Assalamualaikum, Umi!” sapa Nadina lalu beranjak menuju sisi sang umi dan hendak meraih beberapa peralatan dapur untuk membantu uminya itu menyiapkan makanan. “Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nadina? Semua baik-baik saja?” sahut Aminah terdengar dingin. Sangat jauh berbeda dengan Aminah yang selama ini Nadina kenal. “Alhamdulillah baik, Umi. Umi dan Abi juga baik-baik saja bukan?” balas Nadina balik bertanya sembari menoleh ke arah Aminah. Wanita paruh baya itu tampak sedikit melirik ke arah Nadina namun dengan cepat kembali mengubah pandangannya. “Entahlah, Nadina. Semoga saja begitu!” celetuk Aminah sembari berjalan menjauh dari Nadina menuju meja makan. Sudut mata wanita itu seketika menangkap Nadhif yang rupanya sejak tadi mengekor Nadina. “Abim
Ali menoleh kepada putranya sebentar tanpa menghentikan langkah. “Abi paham. Abi pun paham apa yang umimu itu khawatirkan. Umi juga seorang menantu di sini. Umimu juga mendapatkan banyak tekanan dari keluarga pondok. Mungkin itulah yang menyebabkan umimu secara tidak langsung hendak menjodohkanmu kembali.” “Sebaik apapun wanita pilihan umi nanti, Nadhif tidak mau, Abi. Nadhif hanya mau bersama Nadina,” lanjut Nadhif. “Keputusanmu baik, Nadhif. Tetapi jangan sampai membuatmu durhaka kepada umimu. Bicarakan semuanya baik-baik. Cari jalan tengah terbaik. Untukmu, untuk Nadina, untuk Umi, Abi, pondok, dan segalanya.” Ali menepuk pundak tegap sang putra. “Kemarin Nadhif melihat umi berbicara dengan Azalea di kantin. Nadhif takut jika tanpa sepengetahuan Nadhif umi telah membuat ikatan untuk Nadhif, Abi.” “Pada awalnya, pernikahan antara Nadhif dan Nadina juga karena bentuk bakti Nadhif pada Abi dan Umi bukan? Saat Nadhif telah berikrar dan benar jatuh cinta padanya, saat semua ini ter
Nadina menundukkan pandangannya, baru saja pertanyaan itu keluar dari mulut Aminah, mata Nadina telah berair dan membuatnya gemetar hanya untuk menjawab iya atau tidak. “Jangan menangis, Nadina. Kenyataan ini tidak hanya pahit untukmu. Ini bahkan lebih pahit untuk umi yang telah banyak bermimpi tentang putra putri kalian!” imbuh Aminah semakin membuat Nadina merasa sesak. “Maafkan Nadina, Umi. Nadina telah gagal menjadi menantu dan istri yabg baik untuk keluarga ini dan Mas Nadhif. Nadina terlalu lama membiarkan semua ini mengambang,” ujar Nadina sambil sedikit sesenggukan. “Kamu benar Nadina. Kamu terlalu lama. Terlalu lama membiarkan suamimu itu menunggu hingga Allah melaknatmu dengan apa yang menimpamu sekarang. Awalnya umi pikir kalian memang membutuhkan waktu, tapi ternyata ini sudah berbulan-bulan lamanya Nadina!” “Kamu terlalu lama menunggu! Hingga akhirnya kamu tak bisa lagi memberikan kami cucu. Apa kau tahu betapa besarnya masalah ini, Nadina?!” sergah Aminah kini menole
Nadhif langsung masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Aminah yang sedikit melirik ke belakang. Pemuda itu tampak bersimpuh di sebelah Nadina dam memangku kepala Nadina yang mata sembabnya telah terpejam. “Umi! Apa yang terjadi pada Nadina?! Kenapa Nadina pingsan, Umi?” teriak Nadhif kembali menoleh ke arah Aminah. “Bukannya istrimu saat ini memang lemah, Nadhif? Jangan banyak bertanya dan cepat bawa saja dia ke rumah sakit.” Aminah langsung berjalan meninggalkan kamar itu. Nadhif merasa tersayat tatkala melihat dan mendengar apa yang dikatakan Aminah kepadanya merujuk pada sang istri. Sebegitukah bencinya sang umi karena musibah yang menimpa istrinya itu? Tetapi pemuda itu tak memiliki banyak waktu. Dengan tenaganya yang baru saja terkuras pada kegiatan pondok, ia berusaha mengangkat tubuh sang istri. Ia tampak segera keluar dari dalem dengan Nadina yang berada di gendongannya. Hampir mencapai mobilnya, Melati melintas dan ikut panik melihat Nadina yang tak sadarkan diri itu. “M
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan