Keesokan harinya, tepatnya pagi hari saat Nadina baru saja menginjakkan kakinya di dapur berusaha setegar mungkin dan mengatur dirinya sendiri untuk bertemu sang umi, tiba-tiba Aminah menoleh namun kembali mengalihkan pandangan. “Assalamualaikum, Umi!” sapa Nadina lalu beranjak menuju sisi sang umi dan hendak meraih beberapa peralatan dapur untuk membantu uminya itu menyiapkan makanan. “Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu, Nadina? Semua baik-baik saja?” sahut Aminah terdengar dingin. Sangat jauh berbeda dengan Aminah yang selama ini Nadina kenal. “Alhamdulillah baik, Umi. Umi dan Abi juga baik-baik saja bukan?” balas Nadina balik bertanya sembari menoleh ke arah Aminah. Wanita paruh baya itu tampak sedikit melirik ke arah Nadina namun dengan cepat kembali mengubah pandangannya. “Entahlah, Nadina. Semoga saja begitu!” celetuk Aminah sembari berjalan menjauh dari Nadina menuju meja makan. Sudut mata wanita itu seketika menangkap Nadhif yang rupanya sejak tadi mengekor Nadina. “Abim
Ali menoleh kepada putranya sebentar tanpa menghentikan langkah. “Abi paham. Abi pun paham apa yang umimu itu khawatirkan. Umi juga seorang menantu di sini. Umimu juga mendapatkan banyak tekanan dari keluarga pondok. Mungkin itulah yang menyebabkan umimu secara tidak langsung hendak menjodohkanmu kembali.” “Sebaik apapun wanita pilihan umi nanti, Nadhif tidak mau, Abi. Nadhif hanya mau bersama Nadina,” lanjut Nadhif. “Keputusanmu baik, Nadhif. Tetapi jangan sampai membuatmu durhaka kepada umimu. Bicarakan semuanya baik-baik. Cari jalan tengah terbaik. Untukmu, untuk Nadina, untuk Umi, Abi, pondok, dan segalanya.” Ali menepuk pundak tegap sang putra. “Kemarin Nadhif melihat umi berbicara dengan Azalea di kantin. Nadhif takut jika tanpa sepengetahuan Nadhif umi telah membuat ikatan untuk Nadhif, Abi.” “Pada awalnya, pernikahan antara Nadhif dan Nadina juga karena bentuk bakti Nadhif pada Abi dan Umi bukan? Saat Nadhif telah berikrar dan benar jatuh cinta padanya, saat semua ini ter
Nadina menundukkan pandangannya, baru saja pertanyaan itu keluar dari mulut Aminah, mata Nadina telah berair dan membuatnya gemetar hanya untuk menjawab iya atau tidak. “Jangan menangis, Nadina. Kenyataan ini tidak hanya pahit untukmu. Ini bahkan lebih pahit untuk umi yang telah banyak bermimpi tentang putra putri kalian!” imbuh Aminah semakin membuat Nadina merasa sesak. “Maafkan Nadina, Umi. Nadina telah gagal menjadi menantu dan istri yabg baik untuk keluarga ini dan Mas Nadhif. Nadina terlalu lama membiarkan semua ini mengambang,” ujar Nadina sambil sedikit sesenggukan. “Kamu benar Nadina. Kamu terlalu lama. Terlalu lama membiarkan suamimu itu menunggu hingga Allah melaknatmu dengan apa yang menimpamu sekarang. Awalnya umi pikir kalian memang membutuhkan waktu, tapi ternyata ini sudah berbulan-bulan lamanya Nadina!” “Kamu terlalu lama menunggu! Hingga akhirnya kamu tak bisa lagi memberikan kami cucu. Apa kau tahu betapa besarnya masalah ini, Nadina?!” sergah Aminah kini menole
Nadhif langsung masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Aminah yang sedikit melirik ke belakang. Pemuda itu tampak bersimpuh di sebelah Nadina dam memangku kepala Nadina yang mata sembabnya telah terpejam. “Umi! Apa yang terjadi pada Nadina?! Kenapa Nadina pingsan, Umi?” teriak Nadhif kembali menoleh ke arah Aminah. “Bukannya istrimu saat ini memang lemah, Nadhif? Jangan banyak bertanya dan cepat bawa saja dia ke rumah sakit.” Aminah langsung berjalan meninggalkan kamar itu. Nadhif merasa tersayat tatkala melihat dan mendengar apa yang dikatakan Aminah kepadanya merujuk pada sang istri. Sebegitukah bencinya sang umi karena musibah yang menimpa istrinya itu? Tetapi pemuda itu tak memiliki banyak waktu. Dengan tenaganya yang baru saja terkuras pada kegiatan pondok, ia berusaha mengangkat tubuh sang istri. Ia tampak segera keluar dari dalem dengan Nadina yang berada di gendongannya. Hampir mencapai mobilnya, Melati melintas dan ikut panik melihat Nadina yang tak sadarkan diri itu. “M
“Kenapa kamu bertanya seperti itu, Melati? Apa saya tampak akan mengacuhkan istri saya?” tanya Nadhif. “Maaf, bukan begitu, Gus! Tetapi dari pertanyaan Mbak Nadina kemarin, saya merasa Mbak Nadina seperti sedang mencari alasan yang tepat untuk menguatkan fakta bahwa Gus akan menikah lagi. Beliau bertanya, jika dengan sang istri pertama keduanya tidak bisa bahagia, bukankah lebih baik mengizinkan sang suami menikah lagi,” tutur Melati. Nadhif menundukkan pandangannya sementara tangannya mengelus tangan Nadina perlahan. “Saya tidak pernah bermimpi untuk menikahi dua wanita atau bahkan lebih dalam hidup saya, Melati. Saya selalu ingin hanya mencintai Nadina apapun yang terjadi. Tekanan dan apa yang terjadi saat ini, itulah yang pasti membuatnya meminta saya untuk menikah kembali.” “Saya paham, Gus! Ini pasti keputusan yang sangat sulit untuk Gus Nadhif ataupun Mbak Nadina. Tetapi jika boleh, jangan tinggalkan Mbak Nadina, Gus! Saya tahu setiap orang menginginkan kehadiran putra putri
Nadhif menghentikan tangan Nadina yang saat itu terus mengelus pundaknya berdalih merapikan pakaian baru yang dikenakan Nadhif. Pemuda itu mencekal tangan Nadina lalu menatapnya dalam. Mata Nadina semakin berair saat kedua matanya bertemu pandang dengan mata Nadhif. Nadhif yang tak paham dengan situasi di sana pun semakin kelu melihat sang istri. Tak membalas pertanyaan sang suami, Nadina kini malah tampak menjatuhkan tubuhnya kepada Nadhif dan memeluknya erat. Dengan cepat pula ia mengusap matanya dan menarik napas dalam agar tak jadi menangis. “Apa Nadina salah jika hanya ingin memuji suami, Nadina? Nadina tidak berbohong! Mas tampak sangat sempurna dengan pakaian ini!” pekik Nadina. “Kamu sangat aneh, Nadina! Saya tidak paham. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari saya?” tanya Nadhif sembari melepaskan pelukan Nadina dari dirinya. Nadina menggeleng pelan sambil berusaha tersenyum. “Tidak, tidak ada. Nadina hanya ingin memuji ketampanan Mas Nadhif saja!” pekik Nadina. “Kemar
Nadhif langsung menoleh ke arah kerabat yang baru saja memekikkan kalimat penuh kebahagiaan itu. Wajah pemuda itu tak dilakukan lagi jika sedang dalam kebingungan yang amat dalam. “Maksud bude apa?” tanya Nadhif seketika membuat sang kerabat itu menoleh dam terkekeh. “Kamu ini bagaimana sih, Nadhif! Acara ini dibuat untukmu! Ya meskipun kami sedikit terkejut karena kamu setuju untuk menikah lagi, tapi apapun untuk kamu, Nadhif! Hari ini adalah pengajuan lamarannya!” Mata Nadhif seketika melotot. Pandangannya langsung mengarah ke sekitar, mencari keberadaan sang umi tentunya. Dan seperti yang terjadi di sana, Aminah dan Ali tengah mempersilakan keluarga Putri Azalea yang tak terlalu banyak itu ke bangku yang berada di hadapan Nadhif. Sempat sekali Azalea menatap Nadhif dengan senyumnya yang tampak manis itu, namun dengan cepat pula Nadhif mengalihkannya. Ingatannya kembali mengulang izin Nadina untuk pergi ke toilet, tanpa mengatakan hal lain, Nadhif segera beranjak dari kursi itu
Usai acara pembukaan kala itu, Nadhif dan Azalea akhirnya dipersilakan untuk saling mengenal lebih dalam lagi dengan seseorang masing-masing bersamanya yang merupakan kawan mereka. “Saya tidak menyangka ini benar-benar terjadi, Gus! Kemarin umi datang dan mengatakan semuanya, Mbak Nadina telah mengizinkan saya untuk menjadi istri kedua Gus bukan?” tutur Azalea sambil tersenyum ke arah Nadhif. “Jika Nadina benar mengizinkannya, saya yang tidak mengizinkannya, Azalea. Tidak usah berlama-lama, segera selesaikan saja semua sesi ini. Saya telah menemukan jawaban yang tepat.” Azalea tampak membenahi posisi duduknya lalu semakin memandang Nadhif. Senyuman sejenak tampil di wajahnya yang tampak naif. “Aza tahu kok apa jawaban yang akan mas berikan nanti. Tapi mas juga perlu tahu, meskipun mas menolak perjodohan ini nantinya, Aza tidak akan menyerah begitu saja!” ujar Azalea bangga. “Saya tahu itu. Saya tahu wanita seperti apa kamu bagi rumah tangga saya dengan Nadina.” “Yaps! Mas Nadhif
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan