Share

113. Bukan Pasangan

Penulis: Annisarz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nadhif menghentikan tangan Nadina yang saat itu terus mengelus pundaknya berdalih merapikan pakaian baru yang dikenakan Nadhif. Pemuda itu mencekal tangan Nadina lalu menatapnya dalam.

Mata Nadina semakin berair saat kedua matanya bertemu pandang dengan mata Nadhif. Nadhif yang tak paham dengan situasi di sana pun semakin kelu melihat sang istri.

Tak membalas pertanyaan sang suami, Nadina kini malah tampak menjatuhkan tubuhnya kepada Nadhif dan memeluknya erat. Dengan cepat pula ia mengusap matanya dan menarik napas dalam agar tak jadi menangis.

“Apa Nadina salah jika hanya ingin memuji suami, Nadina? Nadina tidak berbohong! Mas tampak sangat sempurna dengan pakaian ini!” pekik Nadina.

“Kamu sangat aneh, Nadina! Saya tidak paham. Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari saya?” tanya Nadhif sembari melepaskan pelukan Nadina dari dirinya.

Nadina menggeleng pelan sambil berusaha tersenyum.

“Tidak, tidak ada. Nadina hanya ingin memuji ketampanan Mas Nadhif saja!” pekik Nadina.

“Kemar
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Annisarz
Aminah said, "tidak semudah itu putraku" .........️
goodnovel comment avatar
Tiraya
kaburo ae wis Dhif wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   114. Izin Tanpa Hadir

    Nadhif langsung menoleh ke arah kerabat yang baru saja memekikkan kalimat penuh kebahagiaan itu. Wajah pemuda itu tak dilakukan lagi jika sedang dalam kebingungan yang amat dalam. “Maksud bude apa?” tanya Nadhif seketika membuat sang kerabat itu menoleh dam terkekeh. “Kamu ini bagaimana sih, Nadhif! Acara ini dibuat untukmu! Ya meskipun kami sedikit terkejut karena kamu setuju untuk menikah lagi, tapi apapun untuk kamu, Nadhif! Hari ini adalah pengajuan lamarannya!” Mata Nadhif seketika melotot. Pandangannya langsung mengarah ke sekitar, mencari keberadaan sang umi tentunya. Dan seperti yang terjadi di sana, Aminah dan Ali tengah mempersilakan keluarga Putri Azalea yang tak terlalu banyak itu ke bangku yang berada di hadapan Nadhif. Sempat sekali Azalea menatap Nadhif dengan senyumnya yang tampak manis itu, namun dengan cepat pula Nadhif mengalihkannya. Ingatannya kembali mengulang izin Nadina untuk pergi ke toilet, tanpa mengatakan hal lain, Nadhif segera beranjak dari kursi itu

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   115. Sesi Pertama

    Usai acara pembukaan kala itu, Nadhif dan Azalea akhirnya dipersilakan untuk saling mengenal lebih dalam lagi dengan seseorang masing-masing bersamanya yang merupakan kawan mereka. “Saya tidak menyangka ini benar-benar terjadi, Gus! Kemarin umi datang dan mengatakan semuanya, Mbak Nadina telah mengizinkan saya untuk menjadi istri kedua Gus bukan?” tutur Azalea sambil tersenyum ke arah Nadhif. “Jika Nadina benar mengizinkannya, saya yang tidak mengizinkannya, Azalea. Tidak usah berlama-lama, segera selesaikan saja semua sesi ini. Saya telah menemukan jawaban yang tepat.” Azalea tampak membenahi posisi duduknya lalu semakin memandang Nadhif. Senyuman sejenak tampil di wajahnya yang tampak naif. “Aza tahu kok apa jawaban yang akan mas berikan nanti. Tapi mas juga perlu tahu, meskipun mas menolak perjodohan ini nantinya, Aza tidak akan menyerah begitu saja!” ujar Azalea bangga. “Saya tahu itu. Saya tahu wanita seperti apa kamu bagi rumah tangga saya dengan Nadina.” “Yaps! Mas Nadhif

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   116. Keputusan Perjodohan

    Nadhif duduk kembali di bangkunya, ia sedikit melirik ke arah Ali yang mengangguk ke arahnya seolah mempercayai apa keputusan yang akan putranya itu ambil. Kini saatnya kedua calon untuk menyampaikan apa yang mereka putuskan usai sesi perkenalan itu di antara keluarga kecil mereka. Azalea memilih untuk menyampaikannya terlebih dahulu. “Sebelumnya saya sangat bersyukur memiliki kesempatan untuk lebih dekat mengenak Gus Nadhif sebagai calon suami saya jika Allah meridhoi nantinya. Tetapi mengingat lagi bagaimana Gus Nadhif yang telah menikah sebelumnya, membuat saya merasa ragu. Saya takut kehadiran saya benar mengganggu dan membuat hati wanita lain tersakati. Gus Nadhif memanglah pemuda yang sangat baik dan sempurna dimata saya. Tetapi untuk saat ini, setelah saling mengenal, saya sadar saya masih kurang untuk bersanding dengan Gus Nadhif. Terlebih pernikahan gus dengan istri pertamanya masih sangat dekat, cintanya masih terlalu besar dan tidak mengizinkan saya untuk semakin masuk k

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   117. Alasan untuk Menikah

    Nadhif langsung membalik tubuhnya dan bangkit dari kursi yang ia duduki lalu menghampiri sang istri. Nadina tampak malah mengerutkan dahinya dan tak menyukai kehadiran sang suami di hadapannya itu. “Apa kamu tidak menyukai kedatanganku kemari, Nadina? Kenapa memandangku seperti itu?” tanya Nadhif sembari melayangkan pandangan menyelidiknya kepada Nadina. Ghafi dan Ulfah saling berpandangan, keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana dan meninggalkan Nadhif dan Nadina berdua di ruangan itu. “Mas Nadhif semestinya masih ada di acara itu hingga pukul empat. Mengapa datang kemari sekarang? Mas kabur?” sergah Nadina. “Saya tidak percaya kamu membohongi saya sebesar ini, Nadina. Sejak kemarin kamu mengetahui semuanya. Kamu tahu apa rencana umi dengan memberikan pakaian ini kepada saya. Kamu juga berbohong jika kamu mendapatkannya namun pakaian itu terlalu kecil. Pakaian itu ada pada Azalea. Kamu tahu itu ‘kan, Nadina? Kenapa kamu sangat tega melakukan semua ini kepada suamimu se

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   118. Semudah Mengganti Barang

    Sementara Nadhif dan Nadina bersiap untuk kembali ke pondok, Aminah tampak terus mengamuk di dalam kamarnya sementara Ali tampak berisap dengan apa yang akan ia lakukan. “Apa yang Nadhif lakukan, Abi! Dia merusak semuanya hanya demi wanita yang tak bisa lagi kita harapkan itu! Bukankah masih baik karena kita masih mengizinkannya mempertahankan pernikahannya dengan Nadina?! Kenapa dia tak bisa menerima Putri Azalea saja?!” sergah Aminah. “Kenapa umi ini sangat ingin menggantikan posisi Nadina? Nadina menantu umi, bukan barang yang dengan mudah diganti atau disingkirkan, Umi. Umi lupa bagaimana umi menjemputnya dengan penuh kasih sayang untuk putra kita?” cecar Ali. Aminah seketika langsung menatap ke arah sang suami dengan tatapan kecewa yang teramat besar. “Sepertinya umi melakukan kesalahan dengan menjodohkan mereka! Seharusnya umi memberikan putra umi satu-satunya itu kepada menantu yang pantas dan mampu!” pekik Aminah. “Apa umi tidak pernah lagi memikirkan kata-kata yang kelua

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   119. Rumah Sakit

    Nadina dengan cepat berlari menuju Aminah yang terlah meringkuk di lantai, ia segera bersimpuh dan memeriksa Aminah yang tampak sesak napas itu. “Umi, apa yang terjadi, Umi? Kenapa umi seperti ini?” pekik Nadina tampak amat khawatir. Aminah tak mampu membalas dan hanya bisa memandang wajah menantunya itu. Nadina tak bisa menunggu lebih lama, ia bangkit kembali lalu berteriak sekencang yang ia bisa. “Abi!! Mas Nadhif!! Siapapun tolong!!!” teriak Nadina sambil terus melirik ke arah Aminah yang amat kesakitan itu. Tak ada yang menyahut. Saat itu, dalem memang tak ada orang, Nadhif dan Ali pun memutuskan untuk pergi dari dalem usai membiarkan Nadina bertemu dengan Aminah tadi. Nadina kembali ke dalam kamar dan merangkul Aminah kembut. “Umi, maafkan Nadina. Nadina tidak bisa memanggil orang lain. Kita berjalan ke mobil saja ya, Umi! Kita ke rumah sakit sekarang!” pekik Nadina lalu langsung berusaha membantu Aminah untuk berdiri. Dengan cukup sempoyongan dan kesulitan, keduanya berja

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   120. Tawaran Kerjasama

    Nadina akhirnya menurut untuk melaksanakan titah sang umi. Meskipun dengan ribuan tanya di enaknya, akhirnya ia berhasil meminta sang suami dan abi untuk kembali ke pondok dengan susah payah. Kini Nadina duduk di brankar sebelah Aminah sambil menundukkan pandangannya, sesekali ia melirik ke arah Aminah yang mendongak ke atas. Nadina tampak hendak sesekali mengajak sang umi berbincang, namun rasa takutnya lebih besar dan mengalahkan keinginannya yang satu itu. Hingga akhirnya seorang perawat datang dan membawakan sebuah nampan berisi makanan untuk Aminah. “Umi mau makan sekarang? Akan Nadina suapi,” tutur Nadina bangkit sembari tersenyum ke pada sang umi sebisanya. “Umi akan makan sendiri, kamu bantu letakkan makanannya di ranjang saja!” ketus Aminah. Kini wanita paruh baya itu dengan susah payah berusaha mengangkat sendok yang telah berisi makanan itu ke arah mulutnya. Tangannya sedikit bergetar dan membuat Nadina sedikit merasa cemas hingga tak bisa mengalihkan pandangannya dar

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   121. Sang Penyela

    Nadhif mengerutkan dahinya mendengar apa yang Azalea tuturkan sementara sudut matanya menangkap sebuah mobil yang melenggang pergi dari sisinya. “Apa lagi yang kau rencanakan Azalea? Tidak bisakah kau berhenti merusak pernikahan kami?” celetuk Nadhif. “Tidak bisa! Setidaknya sampai Aza menjadi istri mas atau tak membiarkan siapapun memiliki mas!” bisik Azalea. “Berhenti memanggil saya dengan kata itu, Azalea! Saya haramkan itu untukmu!” Azalea tampak menghembuskan napas sinis sembari melipat tangannya di depan dada dan menatap Nadhif dengab wajah menantang. “Biarlah, Mas Sayang! Hitung-hitung pemanasan sebelum kita melakukannya setiap hari esok usai pernikahan kita! Mas harus mulai terbiasa mendengar Aza memanggil seperti ini,” ujar Azalea dengan cenderung memanjakan suaranya. “Istigfar, Aza! Kau sangat menjijikkan!” pekik Nadhif lalu berlalu pergi dari sana. Hari berganti malam, seorang santriwati tampak membawa sebuah tas kecil yang berisi pakaian ganti untuk Aminah dan Nadin

Bab terbaru

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   228. Mencintai itu Mengikhlaskan

    Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   227. Menutup Lembar

    Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   226. Malaikat Penolong

    Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   225. Nyamuk Harus Mati

    “Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   224. Dendam Terpendam

    Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   223. Unjuk Gigi

    “Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   222. Trauma

    Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   221. Lembar Baru?

    Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa

  • Menantu Pilihan Bukan Pemilik Hati   220. Keputusan Terbaik

    Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan

DMCA.com Protection Status