Nadina akhirnya menurut untuk melaksanakan titah sang umi. Meskipun dengan ribuan tanya di enaknya, akhirnya ia berhasil meminta sang suami dan abi untuk kembali ke pondok dengan susah payah. Kini Nadina duduk di brankar sebelah Aminah sambil menundukkan pandangannya, sesekali ia melirik ke arah Aminah yang mendongak ke atas. Nadina tampak hendak sesekali mengajak sang umi berbincang, namun rasa takutnya lebih besar dan mengalahkan keinginannya yang satu itu. Hingga akhirnya seorang perawat datang dan membawakan sebuah nampan berisi makanan untuk Aminah. “Umi mau makan sekarang? Akan Nadina suapi,” tutur Nadina bangkit sembari tersenyum ke pada sang umi sebisanya. “Umi akan makan sendiri, kamu bantu letakkan makanannya di ranjang saja!” ketus Aminah. Kini wanita paruh baya itu dengan susah payah berusaha mengangkat sendok yang telah berisi makanan itu ke arah mulutnya. Tangannya sedikit bergetar dan membuat Nadina sedikit merasa cemas hingga tak bisa mengalihkan pandangannya dar
Nadhif mengerutkan dahinya mendengar apa yang Azalea tuturkan sementara sudut matanya menangkap sebuah mobil yang melenggang pergi dari sisinya. “Apa lagi yang kau rencanakan Azalea? Tidak bisakah kau berhenti merusak pernikahan kami?” celetuk Nadhif. “Tidak bisa! Setidaknya sampai Aza menjadi istri mas atau tak membiarkan siapapun memiliki mas!” bisik Azalea. “Berhenti memanggil saya dengan kata itu, Azalea! Saya haramkan itu untukmu!” Azalea tampak menghembuskan napas sinis sembari melipat tangannya di depan dada dan menatap Nadhif dengab wajah menantang. “Biarlah, Mas Sayang! Hitung-hitung pemanasan sebelum kita melakukannya setiap hari esok usai pernikahan kita! Mas harus mulai terbiasa mendengar Aza memanggil seperti ini,” ujar Azalea dengan cenderung memanjakan suaranya. “Istigfar, Aza! Kau sangat menjijikkan!” pekik Nadhif lalu berlalu pergi dari sana. Hari berganti malam, seorang santriwati tampak membawa sebuah tas kecil yang berisi pakaian ganti untuk Aminah dan Nadin
Sepanjang malam itu, Aminah memikirkan foto yang ia temukan dari tas milik Azalea. Ia juga sesekali memikirkan Nadina yang mesti ada di depan sana kedinginan tanpa selimut sementara pakaiannya tadi sedikit basah akibat tumpahan minuman yang ia lakukan. Aminah menoleh ke arah Azalea yang tampak telah tertidur beberapa saat lalu meninggalkan dia sendiri. Setelah banyak memikirkan sesuatu, Aminah akhirnya memutuskan untuk membangunkan Azalea. “Pulanglah, Sayang! Umi akan pulang besok dan kamu mesti sehat untuk itu. Pukang dan tidurlah dengan nyaman di ranjangmu. Biar Nadina yang mengurus Umi!” tutur Aminah. “Ehm– umi yakin? Aza takut jika umi akan stress melihat Mbak Nadina nanti,” ujsr Azalea dengan sedikit nada sinis. “Tidak, Aza! Pulanglah dan panggil ia kemari,” ujar Aminah. Singkat cerita akhirnya Azalea pulang kembali ke pondok dan Nadian tang menemani Aminah di dalam kamarnya. Tak ada pembicaraan yang penting, Aminah tampak terus memandang ke atas sambil sesekali melirik Nad
Nadina mendongakkan kepalanya menghadap ke arah Sadewa yang kini juga tengah menatapnya. Saat kedua mata itu saking bertemu, Nadina dengan segera mengalihkan pandangannya. “Nadina tidak bisa ikut dengan Mas Dewa, akan ada banyak masalah yang nanti muncul ketika seseorang melihat kita bersama nanti,” lirih Nadina. “Lalu kamu hendak pergi ke mana Nadina? Ke pondok itu? Bukankah mertuamu telah secara tidak langsung mengusirmu? Apa kau akan datang untuk penghinaan yang nantinya akan kamu dapatkan?” sahut Sadewa. “Nadina tidak akan ke pondok untuk saat ini, tetapi Nadina juga tidak bisa pergi bersama Mas Dewa. Nadina minta maaf, tetapi terima kasih untuk tawarannya!” Nadina bangkit dari bangkunya lalu sedikit menunduk sebagai salam perpisahannya. Wanita itu kini berjalan meninggalkan Sadewa. Wajah Sadewa tampak mengeras ia dengan cepat mengambil ponselnya lalu mengirimkan sebuah pesan kepada seorang suruhannya. [Rencana B!] Nadina tengah berdiri di depan rumah sakit sambil menunggu s
Sementara itu, Nadhif yang telah berada di pondok terus berusaha menelepon sang istri yang sampai sekarang belum ia temui semenjak semalam. Ponselnya mati dan tak sama sekali ada tanda-tanda bahwa wanita itu menerima panggilannya. “Nadina belum mengangkat teleponnya, Nadhif?” tanya Ali yang tiba di sebelah Nadhif dan baru keluar sari kamar Aminah itu. “Belum, Abi! Perasaan Nadhif jadi campur aduk. Tidak mungkin Nadina sengaja pergi bukan? Nadhif juga menelepon rumah sakit dan mengatakan Nadina tak ada di kamar umi. Nadhif harus bagaimana Abi?” tanya Nadhif dengan tatapan cemas. “Coba hubungi Abi Ghafi siapa tahu ia berada di sana. Setelah itu temui umimu dulu, ia terus meminta abi untuk memanggilmu ke dalam.” Nadhif mengangguk sembari menekan nomor telepon Ghafi. [“Assalamualaikum, Nadhif! Apa kabar? Semuanya baik?”] Suara Ghafi terdengar dari seberang. “Waalaikumsalam, Abi! Sebenarnya ada yang ingin Nadhif tanyakan. Apa Nadina pergi ke sana? Nadhif tidak bisa menghubungi ponseln
Di tengah hujan hari itu, Nadhif mendatangi salah satu apartemen tengah kota dan menanyakan keberadaan Sadewa. Namun jawaban yang ia harapkan datang bersamaan dengan jawaban yang tak ia harapkan. “Untuk saat ini Bapak Arif Sadewa sedang tidak ada di tempat. Beliau sudah meninggalkan apartemen pukul enam pagi tadi. Adakah yang ingin bapak titipkan untuk kami sampaikan kepada beliau?” ujar sang resepsionis. “Tidak ada, terima kasih!” Nadhif langsung membalik tubuhnya dan menghubungi nomor Sadewa. Seperti yang ia duga, nomor itu tak lagi aktif. Sama seperti milik Nadina, pemuda itu sepertinya tak menerima panggilan telepon darinya. “Ya Allah, ujian apa lagi ini? Kenapa sulit sekali membangun rumah yang nyaman untuk kami?” ujar Nadhif. Tak berhenti di sana, Nadhif akhirnya mendatangi kantor Sadewa dimana pemuda itu mendirikan grup fotografernya. Namun hasil yang ia dapat sama saja. Seluruh warga kantor Sadewa malah tampak tak melihat batang hidung pemuda itu sejak dua hari yang lalu.
Nadhif cukup terkejut dengan apa yang kini berada di depan matanya, begitupun Aminah yang mendengarkan pasal keributan itu akhirnya pun keluar dari kamarnya. “Nadina!” pekik Nadhif langsung menghadang Sadewa dan mulai hendak mengambil alih sang istri dari pemuda itu. “Apa yang kau lakukan padanya, Sadewa!” pekik Nadhif kini menatap tajam mata Sadewa. “Apa yang kau pikirkan, Nadhif? Kau selalu membuatnya sakit hati, aku menemukannya, dan apa selain itu? Kami melakukannya bersama, mungkin dia kelelahan karenanyalah dia pingsan!” pekik Sadewa sembari membaringkan Nadina ke sofa ruang tamu dalem. Tak menunggu hal lain, usai Sadewa melepaskan tubuh Nadina, dengan kuat Nadhif menarik kerah pakaian Sadewa hingga pemuda di hadapannya itu sedikit terjingkat. “Dengarkan aku baik-baik, Sadewa!! Jaga bicaramu! Jika tak bisa menjaganya tak usah bicara sedikitpun terlebih terkait istriku! Atau aku tak akan melewatkan sedikitpun sesi untuk memukulimu!” bisik Nadhif ketus. “Terserah maumu, Nadh
Jantung Nadhif berpacu sekian kali lebih cepat, pikirannya kacau kemana-mana. Ia bingung apakah harus bahagia atau sedih saat ini. Di satu sisi kabar gembira yang semestinya ia syukuri, namun di sisi lain keadaan Nadina yang melemah. Namun sebuah pikiran mengenai perkataan Sadewa pun mengusiknya. “Tak mungkin jika itu—” “Nadhif, apa yang kau pikirkan lagi? Tak mau menemui istrimu itu?” pekik Ali sembari menepuk pundak Nadhif saat melihat putranya itu hanya melamun. Nadhif pun segera berlari masuk ke dalam ruangan itu dan melihat Nadina yang terbaring dengan mata terpejam, sama seperti saat ia membawanya ke rumah sakit tempo hari. Nadhif melemaskan dirinya dan tampak beruangku wajah di brankar Nadina dengan kedua tangannya. “Apa yang sebenarnya terjadi, Nadina? Saya benar-benar tak paham apa yang mesti saya percayai saat ini. Kebahagiaan atau sebuah kekecewaan?” “Semestinya ini adalah hal yang kita syukuri dan kita nantikan bukan? Tapi kenapa dia datang di saat semua ini? Fotomu
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan