Nadhif langsung membalik tubuhnya dan bangkit dari kursi yang ia duduki lalu menghampiri sang istri. Nadina tampak malah mengerutkan dahinya dan tak menyukai kehadiran sang suami di hadapannya itu. “Apa kamu tidak menyukai kedatanganku kemari, Nadina? Kenapa memandangku seperti itu?” tanya Nadhif sembari melayangkan pandangan menyelidiknya kepada Nadina. Ghafi dan Ulfah saling berpandangan, keduanya akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana dan meninggalkan Nadhif dan Nadina berdua di ruangan itu. “Mas Nadhif semestinya masih ada di acara itu hingga pukul empat. Mengapa datang kemari sekarang? Mas kabur?” sergah Nadina. “Saya tidak percaya kamu membohongi saya sebesar ini, Nadina. Sejak kemarin kamu mengetahui semuanya. Kamu tahu apa rencana umi dengan memberikan pakaian ini kepada saya. Kamu juga berbohong jika kamu mendapatkannya namun pakaian itu terlalu kecil. Pakaian itu ada pada Azalea. Kamu tahu itu ‘kan, Nadina? Kenapa kamu sangat tega melakukan semua ini kepada suamimu se
Sementara Nadhif dan Nadina bersiap untuk kembali ke pondok, Aminah tampak terus mengamuk di dalam kamarnya sementara Ali tampak berisap dengan apa yang akan ia lakukan. “Apa yang Nadhif lakukan, Abi! Dia merusak semuanya hanya demi wanita yang tak bisa lagi kita harapkan itu! Bukankah masih baik karena kita masih mengizinkannya mempertahankan pernikahannya dengan Nadina?! Kenapa dia tak bisa menerima Putri Azalea saja?!” sergah Aminah. “Kenapa umi ini sangat ingin menggantikan posisi Nadina? Nadina menantu umi, bukan barang yang dengan mudah diganti atau disingkirkan, Umi. Umi lupa bagaimana umi menjemputnya dengan penuh kasih sayang untuk putra kita?” cecar Ali. Aminah seketika langsung menatap ke arah sang suami dengan tatapan kecewa yang teramat besar. “Sepertinya umi melakukan kesalahan dengan menjodohkan mereka! Seharusnya umi memberikan putra umi satu-satunya itu kepada menantu yang pantas dan mampu!” pekik Aminah. “Apa umi tidak pernah lagi memikirkan kata-kata yang kelua
Nadina dengan cepat berlari menuju Aminah yang terlah meringkuk di lantai, ia segera bersimpuh dan memeriksa Aminah yang tampak sesak napas itu. “Umi, apa yang terjadi, Umi? Kenapa umi seperti ini?” pekik Nadina tampak amat khawatir. Aminah tak mampu membalas dan hanya bisa memandang wajah menantunya itu. Nadina tak bisa menunggu lebih lama, ia bangkit kembali lalu berteriak sekencang yang ia bisa. “Abi!! Mas Nadhif!! Siapapun tolong!!!” teriak Nadina sambil terus melirik ke arah Aminah yang amat kesakitan itu. Tak ada yang menyahut. Saat itu, dalem memang tak ada orang, Nadhif dan Ali pun memutuskan untuk pergi dari dalem usai membiarkan Nadina bertemu dengan Aminah tadi. Nadina kembali ke dalam kamar dan merangkul Aminah kembut. “Umi, maafkan Nadina. Nadina tidak bisa memanggil orang lain. Kita berjalan ke mobil saja ya, Umi! Kita ke rumah sakit sekarang!” pekik Nadina lalu langsung berusaha membantu Aminah untuk berdiri. Dengan cukup sempoyongan dan kesulitan, keduanya berja
Nadina akhirnya menurut untuk melaksanakan titah sang umi. Meskipun dengan ribuan tanya di enaknya, akhirnya ia berhasil meminta sang suami dan abi untuk kembali ke pondok dengan susah payah. Kini Nadina duduk di brankar sebelah Aminah sambil menundukkan pandangannya, sesekali ia melirik ke arah Aminah yang mendongak ke atas. Nadina tampak hendak sesekali mengajak sang umi berbincang, namun rasa takutnya lebih besar dan mengalahkan keinginannya yang satu itu. Hingga akhirnya seorang perawat datang dan membawakan sebuah nampan berisi makanan untuk Aminah. “Umi mau makan sekarang? Akan Nadina suapi,” tutur Nadina bangkit sembari tersenyum ke pada sang umi sebisanya. “Umi akan makan sendiri, kamu bantu letakkan makanannya di ranjang saja!” ketus Aminah. Kini wanita paruh baya itu dengan susah payah berusaha mengangkat sendok yang telah berisi makanan itu ke arah mulutnya. Tangannya sedikit bergetar dan membuat Nadina sedikit merasa cemas hingga tak bisa mengalihkan pandangannya dar
Nadhif mengerutkan dahinya mendengar apa yang Azalea tuturkan sementara sudut matanya menangkap sebuah mobil yang melenggang pergi dari sisinya. “Apa lagi yang kau rencanakan Azalea? Tidak bisakah kau berhenti merusak pernikahan kami?” celetuk Nadhif. “Tidak bisa! Setidaknya sampai Aza menjadi istri mas atau tak membiarkan siapapun memiliki mas!” bisik Azalea. “Berhenti memanggil saya dengan kata itu, Azalea! Saya haramkan itu untukmu!” Azalea tampak menghembuskan napas sinis sembari melipat tangannya di depan dada dan menatap Nadhif dengab wajah menantang. “Biarlah, Mas Sayang! Hitung-hitung pemanasan sebelum kita melakukannya setiap hari esok usai pernikahan kita! Mas harus mulai terbiasa mendengar Aza memanggil seperti ini,” ujar Azalea dengan cenderung memanjakan suaranya. “Istigfar, Aza! Kau sangat menjijikkan!” pekik Nadhif lalu berlalu pergi dari sana. Hari berganti malam, seorang santriwati tampak membawa sebuah tas kecil yang berisi pakaian ganti untuk Aminah dan Nadin
Sepanjang malam itu, Aminah memikirkan foto yang ia temukan dari tas milik Azalea. Ia juga sesekali memikirkan Nadina yang mesti ada di depan sana kedinginan tanpa selimut sementara pakaiannya tadi sedikit basah akibat tumpahan minuman yang ia lakukan. Aminah menoleh ke arah Azalea yang tampak telah tertidur beberapa saat lalu meninggalkan dia sendiri. Setelah banyak memikirkan sesuatu, Aminah akhirnya memutuskan untuk membangunkan Azalea. “Pulanglah, Sayang! Umi akan pulang besok dan kamu mesti sehat untuk itu. Pukang dan tidurlah dengan nyaman di ranjangmu. Biar Nadina yang mengurus Umi!” tutur Aminah. “Ehm– umi yakin? Aza takut jika umi akan stress melihat Mbak Nadina nanti,” ujsr Azalea dengan sedikit nada sinis. “Tidak, Aza! Pulanglah dan panggil ia kemari,” ujar Aminah. Singkat cerita akhirnya Azalea pulang kembali ke pondok dan Nadian tang menemani Aminah di dalam kamarnya. Tak ada pembicaraan yang penting, Aminah tampak terus memandang ke atas sambil sesekali melirik Nad
Nadina mendongakkan kepalanya menghadap ke arah Sadewa yang kini juga tengah menatapnya. Saat kedua mata itu saking bertemu, Nadina dengan segera mengalihkan pandangannya. “Nadina tidak bisa ikut dengan Mas Dewa, akan ada banyak masalah yang nanti muncul ketika seseorang melihat kita bersama nanti,” lirih Nadina. “Lalu kamu hendak pergi ke mana Nadina? Ke pondok itu? Bukankah mertuamu telah secara tidak langsung mengusirmu? Apa kau akan datang untuk penghinaan yang nantinya akan kamu dapatkan?” sahut Sadewa. “Nadina tidak akan ke pondok untuk saat ini, tetapi Nadina juga tidak bisa pergi bersama Mas Dewa. Nadina minta maaf, tetapi terima kasih untuk tawarannya!” Nadina bangkit dari bangkunya lalu sedikit menunduk sebagai salam perpisahannya. Wanita itu kini berjalan meninggalkan Sadewa. Wajah Sadewa tampak mengeras ia dengan cepat mengambil ponselnya lalu mengirimkan sebuah pesan kepada seorang suruhannya. [Rencana B!] Nadina tengah berdiri di depan rumah sakit sambil menunggu s
Sementara itu, Nadhif yang telah berada di pondok terus berusaha menelepon sang istri yang sampai sekarang belum ia temui semenjak semalam. Ponselnya mati dan tak sama sekali ada tanda-tanda bahwa wanita itu menerima panggilannya. “Nadina belum mengangkat teleponnya, Nadhif?” tanya Ali yang tiba di sebelah Nadhif dan baru keluar sari kamar Aminah itu. “Belum, Abi! Perasaan Nadhif jadi campur aduk. Tidak mungkin Nadina sengaja pergi bukan? Nadhif juga menelepon rumah sakit dan mengatakan Nadina tak ada di kamar umi. Nadhif harus bagaimana Abi?” tanya Nadhif dengan tatapan cemas. “Coba hubungi Abi Ghafi siapa tahu ia berada di sana. Setelah itu temui umimu dulu, ia terus meminta abi untuk memanggilmu ke dalam.” Nadhif mengangguk sembari menekan nomor telepon Ghafi. [“Assalamualaikum, Nadhif! Apa kabar? Semuanya baik?”] Suara Ghafi terdengar dari seberang. “Waalaikumsalam, Abi! Sebenarnya ada yang ingin Nadhif tanyakan. Apa Nadina pergi ke sana? Nadhif tidak bisa menghubungi ponseln
Melati memegang tangan Nadina dan membuat Nadina segera menoleh. “Benar, Mbak. Semuanya begitu cepat. InsyaAllah Abi Ali yang membantu kami juga, apa Mbak Nadina tidak keberatan?” tanya Melati. Wajah terkejut Nadina seketika berubah menjadi raut bahagia, wanita itu bahkan balas memegang tangan Melati dan menepuknya sebentar. “Untuk apa aku keberatan, Mel? Sudah pasti aku sangat senang!! Akhirnya sahabatku ini akan menikah juga! Aku turut bahagia untuk kalian berdua, ya! Kapan tanggal pernikahannya?” Nadina menoleh bergantian ke arah Melati dan Rayyan. Sepasang calon suami istri itupun tampak tersipu malu dengan ucapan yang Rayyan tuturkan. Sementara itu Nadina bisa melihat dengan jelas kebahahiaan di mata keduanya. Termasuk kebahagiaan lain yang tak Nadina lihat saat Rayyan mengatakan pemuda itu telah jatuh hati padanya. “Syukurlajh jika mereka benar-benar telah menemukan satu sama lain!” batin Nadina masih terus tersenyum tulis. “Insyaallah dalam waktu dekat, Mbak! Kami sekalia
Nadina terbangun di sebuah brankar rumah sakit, ia menoleh ke kiri dan melihat brankar lain yang menaungi putranya yang tak sadarkan diri. Ia kembali meneteskan air matanya. Baru saja ia tersadar, ingatannya kembali memutar apa yang terjadi, ia kembali mengingat kenyataan pahit Azif yang telah meninggalkan dunia ini. “Sayang, tenangkan dirimu. Semua sudah Allah takdirkan. Hidup dan mati hanya ada di tangan Allah. Azfi tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut, tidak lagi sakit dan sedih, dia pasti telah bahagia di sana.” Aminah mengelus pucuk kepala Nadina. “Putramu baik-baik saja, dokter bilang ia akan siuman tak lama lagi. Pertolongan datang tepat waktu sebelum Adnan harus lebih banyak menghirup gas beracun itu, Nadina.” Nadina tak bisa membalas, ia hanya terdiam sementara air matanya terus mengalir. Di satu sisi ia bersyukur karena putranya dapat selamat. Di sisi lain, ia sedih atas kematian Azif. Bahkan keajaiban Allah mengirimkan Azif untuk memberinya petunjuk agar bisa meng
Rayyan berlari ke arah Nadina dan segera mengambil alih Adnan dari pelukan Nadina. “Rayyan?!” pekik Nadina terkejut bercampur bingung. “Jangan banyak bertanya dan bicara dulu, Nadina! Kita harus bawa Adnan ke rumah sakit sekarang!” pekik Rayyan langsung membawa Adnan pergi. Nadina menoleh ke belakang berniat menggendong Azif untuk juga pergi dari sana. Namun anehnya, bocah itu menghilang. Tak ada di sana, Nadina dengan sedikit kebingungan mesti melanjutkan langkahnya menyusul Rayyan. Tempat itu telah digerebek polisi, semua antek Azalea ditangkap, begitu pula dengan Azalea. Namun sudut mata Nadina menangkap bayangan Rukmi tengah menangis mengikuti petugas medis membawa seseorang lain masuk ke dalam ambulans. “Nadina, ayo cepat!!” pekik Rayyan mengingatkan Nadina untuk segera naik ke ambulans lain. Petugas medis segera melakukan pertolongan pertama pada Adnan, Nadina terus memegang tangan Adnan dan mengusapnya berharap sang anak akan sadar dan selamat. Rumah sakit menjadi tempat
“Azalea, berhentilah. Kau terlalu jauh. Adnan hanya anak kecil yang tak tahu apapun!” pekik Nadina. Azalea berjalan berkeliling ruangan menuju kaca tempat mereka bisa memandang Adnan yang mulai kelelahan itu. “Muhammad Adnan Maulana, dia memang masih seorang anak kecil berusia tujuh tahun, tapi ketahuilah Nadina. Anak tujuh tahun itu telah membuatku diadili oleh putraku sendiri!” “Ya, aku memang mengatur Azif untuk menarik perhatian Adnan. Aku membuat mereka berdua sangat dekat hingga Adnanmu itu sangat mempercayai putraku sehingga secara tak langsung mempercayaiku untuk secara cuma-cuma masuk ke dalam mobilku dan menemui kematiannya.” Pengakuan Azalea tiba-tiba mengingatkan Nadina dengan pesan Rukmi untuk terus menjaga diri dan putranya terlebih untuk tak mudah percaya kepada orang baru. “Tapi sayangnya! Anak kecil itu terlalu polos! Azifpun juga begitu! Dia rupanya sangat bahagia memiliki teman seperti Adnan, dia bahkan menyukaimu! Kau tahu? Telingaku panas mendengarnya merenge
Jantung Nadina seakan berhenti berdetak. Foto yang ada benar-benar membuatnya kebingungan. Tampak di foto Azif bersama Adnan tengah bersiap memasuki mobil bersama seorang wanita yang tak lain dam tak bukan memili paras wajah yang sama dengan Putri Azalea. “Ya Allah! Jadi apa yang aku lihat kemarin ini benar? Foto dalam telepon itu benar Putri Azalea? Jadi dia dan putranya, Azif? Masih hidup? Ya Allah, dan Adnan! Bagaimana dengannya sekarang!” Tangisan Nadina tak bisa lagi terbendung ia gemetar bahkan amat lemas dan nyaris tak bisa mengendalikan dirinya. Namun tiba-tiba sebuah telepon video datang. Nadina getar hendak mengangkatnya. Baru saja panggilan itu terhubung, wajah Adnan berada di sana. “Adnan!! Ya Allah! Adnan!!” teriak Nadina histeris. Putranya tampak duduk lemas pada sebuah kursi dengan tangan dan tubuh yang terikat. Bocah itu tampak kelelahan dan menunduk setengah tak sadarkan diri. [“Hai, Nadina! Apa kau terkejut?”] Suara yang tujuh tahun lalu menghilang kini kembali
“Nadina?!” pekik Rayyan yang terkejut atas kehadiran seseorang di kamar penginapannya itu. Pemuda itu segera berjalan memasuki kamar itu, Nadina terus berteriak seolah kembali teringat dengan kejadian kala itu. Rayyan meletakkan tasnya ke ranjang lalu mendekati Nadina dengan berjongkok. “Jangan!! Jangan mendekat!” teriak Nadina terus histeris. “Nadina! Ada apa?! Kau? Nadina! Ini aku Rayan! Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau di sini? Bagaimana bisa kau–” cecar Rayyan sembari menyentak pundak Nadina. Sentakan Rayyan seolah memberi membuat Nadina kembali tersadar. Wanita itu yang semula berteriak histeris ketakutan sekarang malah tampak menatap Rayyan tajam. Tangan Nadina dengan cepat mendorong Rayyan hingga pemuda itu tersungkur ke belakang. “Nadina? Apa yang kau la–” lirih Rayyan terputus. “Di mana, Adnan?!! Apa yang kau lakukan padanya, Ray!? Kenapa kau tega menyiksaku seperti ini?!! Kembalikan Adnan sekarang!! Di mana putraku?!” sergah Nadina segera bangkit dari posisinya. “
Nadina menyipitkan matanya, tepatnya ia tak menyangka jika Rayyan akan melakukan sesuatu senekat ini dengan mengambil Adnan dari sisinya dengan menggunakan kepercayaan yang telah diberikan ia dan keluarganya berikan. “Apa-apaan ini, Ray?! Jadi kau membawa Adnan dan mengancamku? Apa yang terjadi sebenarnya!?” sergah Nadina berusaha menelepon namun tetap saja Rayyan tak membalasnya. Tak mau semakin mengulur waktu apalagi Adnan yang menjadi taruhan, Nadina segera memeriksa share location yang Rayyan kirimkan. Tak menunggu kama, Nadina segera melakukan mobilnya dan mengikuti jalur yang ada pada petunjuk arah itu. Segala pujian, doa, serta dzikir terus keluar dari mulut Nadina. Dengan jelas raut kekhawatiran mewarnai wanita itu. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain fokus pada jalanan hingga bisa sampai secepat yang ia bisa. “Ya Allah, lindungi putraku. Jangan sampai ada sesuatu hal buruk menimpanya. Kumohin, ya Allah!” pekik Nadina. “Adnan, tunggu ibu ya, Nak! Ya Allah, bagai
Hari berganti hari, usia keputusan itu, Rayyan dan Nadina tak sesering dulu bertemu mungkin memang selayaknya pertemuan antara wali murid dan guru adalah seperti ini. Nadina yang semula ingin memutuskan kerja sama pada Rayyan untuk memberi kelas tambahan pada Adnan akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sempat berbicara pada Adnan mengenai kekhawatirannya itu, dan jawaban yang sang putra berikan sangat membuatnya sadar. Ia tak perlu lagi menghindar. Ia tahu, Adnan mungkin sesekali merindukan ayahnya. Namun di dalam hati anak itu telah terpatri satu nama yang hanya akan menjadi aba untuknya. Muhammad Nadhif. Sejak kemarin Nadina, Adnan, dan Nadhin memutuskan untuk tinggal di rumah kedua orang tuanya, Harun dan Khoiri. Memang dalam satu bulan mereka akan ada waktu untuk tinggal bersama. Mengobati rasa rindu kepada anak cucu, serta orang tua dan kakek nenek. “Ibu senang kamu bisa lebih dewasa sekarang, Nadina. Ibu mendengar semuanya dari umi Aminah tentangmu dan pemuda itu. Apapun keputusa
Pertemuan itu diakhiri dengan penerimaan atas jawaban yang diutarakan dan maksud yang disampaikan. Usai meneguk habis teh dan mencicipi roti yang Nadina sajikan, akhirnya Rayyan memutuskan untuk pamit. Aminah maupun Nadina mengantar Rayyan hingga pemuda itu memasuki mobilnya. Sepertinya mobil itu beserta pengemudinya, Aminah menoleh ke pada Nadina. “Umi pasti sudah tahu jawabannya bukan?” celetuk Nadina. Aminah mengangguk paham. Memang benar wanita paruh baya itu paham jika entah bagaimana wanita itu menyampaikan alasannya, ia pasti akan tetap menyimpulkan penolakan atas niat lamaran yang hendak Rayyan berikan padanya. Aminah merangkul Nadina dan keduanya berbalik hendak kembali menuju dalem. “Maafkan Nadina jika keputusan Nadina mengecewakan abi dan umi. Tetapi maafkan Nadina umi, Nadina tidak mau sesuatu yang sama terjadi. Mas Nadhif telah merasakan banyak rasa sakit setelah menikah dengan Nadina hanya untuk meyakinkan Nadina pada cinta semata itu.” “Nadina tak akan bisa menan