"Sampai kapan kau akan menolakku seperti ini, Nisa?" gertak Yogi sambil mencengkram erat lengan Annisa. Pendar bola mata pria itu menyiratkan amarah dan kecewa yang becampur menjadi satu.
"Lepas! Kau menyakitiku, Yogi." Annisa meringis kesakitan.
Meski dia takut melihat Yogi yang sudah dikuasai amarahnya, tetapi Annisa berusaha tidak menunjukkan ketakutan itu.
Bukankah lawan akan semakin senang saat melihat mangsanya melemah? Annisa menggunakan kekuatannya untuk mendorong Yogi, lalu berusaha untuk kabur.
Namun, niatnya itu tidak berhasil karena lagi-lagi Yogi menahan dengan menarik tangannya kembali. Pria itu mengambil ponsel di dalam saku celana, lalu mencari sesuatu di dalamnya.
Beberapa detik kemudian, pria itu menunjukkan layarnya benda pipih itu tepat di depan wajah Annisa.
"Lihat!" titahnya.
Annisa terdiam menatap sebuah gambar yang tertangkap layar ponsel Yogi. Seseorang yang sangat familiar di matanya terpampang jelas di sana
Zidane menarik lengan Annisa ke belakang tubuhnya. Iris cokelat yang menyerupai elang itu menatap pria yang baru saja ingin membawa istrinya pergi dengan tatapan tajam penuh peringatan.Tanpa berkata sepatah kata pun, Zidane merangkul pinggang Annisa, lalu membawa gadis itu pergi menuju ke mobilnya. Meninggalkan Yogi yang masih bergeming di tempatnya semula.Mantan kekasih Annisa itu tersenyum simpul, lalu kedua tangannya mengepal erat sambil menatap tajam punggung pria yang paling dia benci saat ini."Pergilah, Nisa. Pergi! Kau akan menyesal karena ikut dengannya."Zidane berbalik, menatap wajah Yogi dengan sorot yang tajam. Sementara Annisa hanya diam, berkecambuk dalam pikirannya sendiri.Gadis berhijab itu tertunduk, mencoba untuk menjernihkan kembali pikirannya. Sedetik kemudian, dia mengangkat pandangannya, menatap Yogi yang jega sedang melihat ke arahnya."Aku sudah memperingatkanmu, Nisa. Dia ... tak sebaik seperti yang kau pikirkan
"Zidane, apa kau tak ingin mengatakan sesuatu kepadaku?" tanya Annisa.Kedua alis pria tampan itu saling bertautan memandangi wajah sang istri dari samping. Gadis itu nampak tenang meminum cokelat hangat yang dia sediakan."Bicara soal apa?" Zidane balik bertanya karena dia tidak mengerti maksud perkataan istrinya itu.Annisa menyimpan cangkirnya di atas meja. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah sang suami yang juga sedang menatapnya. Menunggu sebuah penjelasan atas tanya yang mungkin tidak bisa dia pahami maksudnya."Ya, tentang apa saja. Mungkin kau ingin berbagi cerita denganku," ucap Annisa datar.Zidane terdiam beberapa detik. Kedua alisnya saling bertautan, mencoba mencerna arah pembicaraan yang sedang istrinya pertanyakan.Dia kembali melihat ke arah Annisa, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak ada," jawabnya."Kau yakin?" tanya Annisa."Ya." Zidane begitu yakin dengan keputusannya. Hal itu membuat Annisa
Annisa kembali berbaring membelakangi Zidane. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Sementara itu, Zidane menggaruk tengkuknya yang tidak gatal melihat sang istri marah kepadanya."Sayang, aku bisa jelaskan semuanya. Aku memang bertemu dengan Maudy, tapi bukan seperti yang kamu pikirkan," jelas Zidane.Tak ada sahutan dari Annisa. Gadis itu masih enggan membuka selimut yang menutupi kepalanya."Aku tidak tahu apa yang Yogi katakan kepadamu, tetapi aku pastikan semua itu tidak benar," ucap Zidane lagi.Annisa menyingkirkan selimut tebal yang menutupi wajahnya. Manik cokelat itu menatap sinis ke arah pria yang sedang memandanginya dengan sorot yang memelas."Kalau benar tidak ada apa-apa, kenapa kau terlihat mesra sekali dalam foto itu? Kamu bahkan diam dan menikmati saat Maudy bergeleyut manja di lenganmu," ujar Annisa sinis.Glek!Zidane menelan salivanya yang mendadak terasa menyangkut di kerongkongan. Dia menghela napas unt
Keesokan paginya, Zidane terbangun karena tangan kanannya terasa pegal tertindih sesuatu. Perlahan dan hati-hati, Zidane menarik tangannya yang digunakan sebagai bantal kepala Annisa agar tidak membangunkan gadis itu. Bibirnya tersenyum tipis memandangi wajah sang itri yang begitu polos nan cantik. Dia merasa bahagia karena orang pertama yang dia lihat saat bangun dari tidur adalah wanita yang paling dia cintai. Zidane mengelus pipi cabi Annisa dengan lembut, mengusap sudut bibir tipis gadis itu yang telah membuatnya candu. Lagi, bibirnya melengkung membentuk senyum. Kening Annisa mengerut saat merasakan sesuatu menyentuh wajahnya. Perlahan, dia membuka mata, mengejapkannya dua kali sembari mengumpulkan puing-puing keadarannya. "Selamat pagi, Cantik," sampa Zidane lembut. Setengah sadar, Annisa melihat senyum manis merekah di bibir pria yang ada di hadapannya. Terpaku akan pesona ketampanan sang suami yang menyambutnya saat baru membuka mata.
"Apa yang kamu dapatkan?" tanya Zidane kepada Rizky.Sekretaris berparas tampan itu menyerahkan berkas-berkas yang sudah dia kumpulkan di dalam satu map berwarna cokelat kepada Zidane. Dia mundur satu langkah dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap atasannya."Pak Antonio memberikan berkas yang isinya tidak sesuai dengan harapan kita," ujar Rizky dengan hati-hati.Kedua alis Zidane saling bertautan, menatap Rizky dengan sorot penuh tanya."Apa maksudmu?"Nampak jelas terlihat iris tajam itu berendar bagai elang mencengkram mangsa. Saat ini, yang dia inginkan hanyalah kejelasan tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.Ragu tetapi harus, Rizky mulai menceritakan bagaimana pertemuannya dengan sang pengacara, yaitu Antonio. Dia pun tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja pria paruh baya itu berubah pikiran.Semua yang Antonio katakan sebelumnya melalui sambungan telepon, tiba-tiba saja berbeda dengan isi dokumen yang pria paruh baya
"Ini adalah bukti bahwa sebelum suami saya meninggal, beliau telah menitipkan perusahaan ini kepada saya," ucap Sarah penuh percaya diri. Ruangan itu kembali riuh dengan suara bisik-bisik para dewan direksi yang berdebat antara yang pro dan kontra. Namun, meskipun begitu, mereka tidak bisa melakukan protes karena bukti yang arah miliki sangat jelas dan menurut mereka sah. "Karena saat ini saya pemilik saham terbesar di sini, demi kebaikan perusahaan saya ingin mengganti kandidat penting yang mengelola Buana grup dengan yang baru. Saya akan merekomendasikan sahabat almarhum suami saya yaitu Pak Hari, sebagai calon CEO Buana Grup. Lusa kita akan meeting lagi untuk menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai CEO di antara Pak Hari dengan Zidane," ujar Sarah. Wanita paruh baya itu tersenyum, lantas melirik ke arah Zidane yang nampak diam menyimak tanpa mencoba untuk menyangkal. Sarah pikir, Zidane sudah pasrah menerima kekalahannya saat ini. Tanpa dia s
Zidane menyunggingkan senyum manis sembari menatap teduh wajah sang istri. Pertanyaan yang terlontar baru saja, menandakan sebuah keputusasaan."Kita punya Tuhan, Sayang, dan kamu punya aku. Aku yakin Allah tidak akan membiarkan orang yang zalim berkuasa," ucap Zidane."Ayo makan dulu, nanti makanannya keburu dingin," ucap Zidane lagi sambil memperlihatkan senyum manisnya.Annisa membalas tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya pelan. Mereka mulai memakan makan siang yang sudah diantar pelayan beberapa menit yang lalu. Tak ada yang berbicara, hanya terdengar suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Beberapa saat setelah mereka selesai makan, ponsel Zidane bergetar. Dia mengambil benda pipih itu dari saku jas yang dikenakannya. Keningnya berkerut menatap layar ponsel yang menyala, entah apa yang sedang Zidane lihat hingga membuat Annisa terheran melihatnya."Ada apa? Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu?" tanya Annisa.Zidane
Kening Annisa mengerut, menatap heran bercampur geram kepada wanita yang tiba-tiba menghampiri Zidane, memeluk dan mencium pipi suaminya itu tanpa tahu malu bahwa saat ini mereka sedang berada di tempat umum. Baru saja mood-nya sedikit membaik, tiba-tiba dihancurkan kembali dengan pemandangan yang tidak mengenakkan. Terlebih, saat melihat suaminya itu nampak menikmati perlakuan wanita tak dikenal itu. "Kay, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Aku kangen sama kamu," ucap Jenny sambil tersenyum sumbringah dan bergelayut manja di lengan Zidane. Annisa terbengong, menatap dua orang di hadapannya dengan terheran bercampur penasaran. 'Ada hubungan apa di antara Zidane dengan wanita itu?' pikir Annisa. "Kamu sedang apa di sini?" tanya Jenny. Zidane melepaskan tangan mantan kekasihnya itu dari lengannya, lalu menarik pinggang Annisa hingga merapat dengannya. "Aku sedang mengantar istriku berbelanja," jawab Zidane. Dia menoleh ke ara