Nayla menghela napas, menatap sendu wajah Annisa seolah merasakan kesedihan yang sedang sahabatnya itu rasakan.
"Ya Allah, Nis," lirih Nayla. "Jadi, papamu memberikan semua saham perusahaan kepada tante Sarah dan bukan untuk anak kandungnya sendiri?" tanyanya dengan ekpresi merasa tidak percaya dengan apa yang sedang dia dengar.
Annisa menggelengkan kepala, menyangkal tuduhan Nayla yang secara tidak langsung sudah berpikir negatif tentang papanya yang sudah tiada.
"Ceritanya panjang. Aku dan Zidane sedang mencari tahu kebenarannya. Entahlah, aku merasa tante Sarah berbohong," ucap Annisa.
Tatapan mata gadis berhijab itu menerawang kosong. Sesaat kemudian, dia menunduk untuk menetralkan perasaannya yang bercampur aduk.
"Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Kita sudah lama tidak bertemu, seharusnya kita bersenang-senang sekarang," ucap Annisa.
Dia mencoba mengalihkan pembicaraan agar suasananya tidak tegang dan sedih. Nayla mengangguk setuju
"Sampai kapan kau akan menolakku seperti ini, Nisa?" gertak Yogi sambil mencengkram erat lengan Annisa. Pendar bola mata pria itu menyiratkan amarah dan kecewa yang becampur menjadi satu."Lepas! Kau menyakitiku, Yogi." Annisa meringis kesakitan.Meski dia takut melihat Yogi yang sudah dikuasai amarahnya, tetapi Annisa berusaha tidak menunjukkan ketakutan itu.Bukankah lawan akan semakin senang saat melihat mangsanya melemah? Annisa menggunakan kekuatannya untuk mendorong Yogi, lalu berusaha untuk kabur.Namun, niatnya itu tidak berhasil karena lagi-lagi Yogi menahan dengan menarik tangannya kembali. Pria itu mengambil ponsel di dalam saku celana, lalu mencari sesuatu di dalamnya.Beberapa detik kemudian, pria itu menunjukkan layarnya benda pipih itu tepat di depan wajah Annisa."Lihat!" titahnya.Annisa terdiam menatap sebuah gambar yang tertangkap layar ponsel Yogi. Seseorang yang sangat familiar di matanya terpampang jelas di sana
Zidane menarik lengan Annisa ke belakang tubuhnya. Iris cokelat yang menyerupai elang itu menatap pria yang baru saja ingin membawa istrinya pergi dengan tatapan tajam penuh peringatan.Tanpa berkata sepatah kata pun, Zidane merangkul pinggang Annisa, lalu membawa gadis itu pergi menuju ke mobilnya. Meninggalkan Yogi yang masih bergeming di tempatnya semula.Mantan kekasih Annisa itu tersenyum simpul, lalu kedua tangannya mengepal erat sambil menatap tajam punggung pria yang paling dia benci saat ini."Pergilah, Nisa. Pergi! Kau akan menyesal karena ikut dengannya."Zidane berbalik, menatap wajah Yogi dengan sorot yang tajam. Sementara Annisa hanya diam, berkecambuk dalam pikirannya sendiri.Gadis berhijab itu tertunduk, mencoba untuk menjernihkan kembali pikirannya. Sedetik kemudian, dia mengangkat pandangannya, menatap Yogi yang jega sedang melihat ke arahnya."Aku sudah memperingatkanmu, Nisa. Dia ... tak sebaik seperti yang kau pikirkan
"Zidane, apa kau tak ingin mengatakan sesuatu kepadaku?" tanya Annisa.Kedua alis pria tampan itu saling bertautan memandangi wajah sang istri dari samping. Gadis itu nampak tenang meminum cokelat hangat yang dia sediakan."Bicara soal apa?" Zidane balik bertanya karena dia tidak mengerti maksud perkataan istrinya itu.Annisa menyimpan cangkirnya di atas meja. Dia menghela napas pelan, lalu menoleh ke arah sang suami yang juga sedang menatapnya. Menunggu sebuah penjelasan atas tanya yang mungkin tidak bisa dia pahami maksudnya."Ya, tentang apa saja. Mungkin kau ingin berbagi cerita denganku," ucap Annisa datar.Zidane terdiam beberapa detik. Kedua alisnya saling bertautan, mencoba mencerna arah pembicaraan yang sedang istrinya pertanyakan.Dia kembali melihat ke arah Annisa, kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak ada," jawabnya."Kau yakin?" tanya Annisa."Ya." Zidane begitu yakin dengan keputusannya. Hal itu membuat Annisa
Annisa kembali berbaring membelakangi Zidane. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Sementara itu, Zidane menggaruk tengkuknya yang tidak gatal melihat sang istri marah kepadanya."Sayang, aku bisa jelaskan semuanya. Aku memang bertemu dengan Maudy, tapi bukan seperti yang kamu pikirkan," jelas Zidane.Tak ada sahutan dari Annisa. Gadis itu masih enggan membuka selimut yang menutupi kepalanya."Aku tidak tahu apa yang Yogi katakan kepadamu, tetapi aku pastikan semua itu tidak benar," ucap Zidane lagi.Annisa menyingkirkan selimut tebal yang menutupi wajahnya. Manik cokelat itu menatap sinis ke arah pria yang sedang memandanginya dengan sorot yang memelas."Kalau benar tidak ada apa-apa, kenapa kau terlihat mesra sekali dalam foto itu? Kamu bahkan diam dan menikmati saat Maudy bergeleyut manja di lenganmu," ujar Annisa sinis.Glek!Zidane menelan salivanya yang mendadak terasa menyangkut di kerongkongan. Dia menghela napas unt
Keesokan paginya, Zidane terbangun karena tangan kanannya terasa pegal tertindih sesuatu. Perlahan dan hati-hati, Zidane menarik tangannya yang digunakan sebagai bantal kepala Annisa agar tidak membangunkan gadis itu. Bibirnya tersenyum tipis memandangi wajah sang itri yang begitu polos nan cantik. Dia merasa bahagia karena orang pertama yang dia lihat saat bangun dari tidur adalah wanita yang paling dia cintai. Zidane mengelus pipi cabi Annisa dengan lembut, mengusap sudut bibir tipis gadis itu yang telah membuatnya candu. Lagi, bibirnya melengkung membentuk senyum. Kening Annisa mengerut saat merasakan sesuatu menyentuh wajahnya. Perlahan, dia membuka mata, mengejapkannya dua kali sembari mengumpulkan puing-puing keadarannya. "Selamat pagi, Cantik," sampa Zidane lembut. Setengah sadar, Annisa melihat senyum manis merekah di bibir pria yang ada di hadapannya. Terpaku akan pesona ketampanan sang suami yang menyambutnya saat baru membuka mata.
"Apa yang kamu dapatkan?" tanya Zidane kepada Rizky.Sekretaris berparas tampan itu menyerahkan berkas-berkas yang sudah dia kumpulkan di dalam satu map berwarna cokelat kepada Zidane. Dia mundur satu langkah dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap atasannya."Pak Antonio memberikan berkas yang isinya tidak sesuai dengan harapan kita," ujar Rizky dengan hati-hati.Kedua alis Zidane saling bertautan, menatap Rizky dengan sorot penuh tanya."Apa maksudmu?"Nampak jelas terlihat iris tajam itu berendar bagai elang mencengkram mangsa. Saat ini, yang dia inginkan hanyalah kejelasan tentang apa yang telah terjadi sebenarnya.Ragu tetapi harus, Rizky mulai menceritakan bagaimana pertemuannya dengan sang pengacara, yaitu Antonio. Dia pun tidak mengerti mengapa tiba-tiba saja pria paruh baya itu berubah pikiran.Semua yang Antonio katakan sebelumnya melalui sambungan telepon, tiba-tiba saja berbeda dengan isi dokumen yang pria paruh baya
"Ini adalah bukti bahwa sebelum suami saya meninggal, beliau telah menitipkan perusahaan ini kepada saya," ucap Sarah penuh percaya diri. Ruangan itu kembali riuh dengan suara bisik-bisik para dewan direksi yang berdebat antara yang pro dan kontra. Namun, meskipun begitu, mereka tidak bisa melakukan protes karena bukti yang arah miliki sangat jelas dan menurut mereka sah. "Karena saat ini saya pemilik saham terbesar di sini, demi kebaikan perusahaan saya ingin mengganti kandidat penting yang mengelola Buana grup dengan yang baru. Saya akan merekomendasikan sahabat almarhum suami saya yaitu Pak Hari, sebagai calon CEO Buana Grup. Lusa kita akan meeting lagi untuk menentukan siapa yang berhak menjabat sebagai CEO di antara Pak Hari dengan Zidane," ujar Sarah. Wanita paruh baya itu tersenyum, lantas melirik ke arah Zidane yang nampak diam menyimak tanpa mencoba untuk menyangkal. Sarah pikir, Zidane sudah pasrah menerima kekalahannya saat ini. Tanpa dia s
Zidane menyunggingkan senyum manis sembari menatap teduh wajah sang istri. Pertanyaan yang terlontar baru saja, menandakan sebuah keputusasaan."Kita punya Tuhan, Sayang, dan kamu punya aku. Aku yakin Allah tidak akan membiarkan orang yang zalim berkuasa," ucap Zidane."Ayo makan dulu, nanti makanannya keburu dingin," ucap Zidane lagi sambil memperlihatkan senyum manisnya.Annisa membalas tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya pelan. Mereka mulai memakan makan siang yang sudah diantar pelayan beberapa menit yang lalu. Tak ada yang berbicara, hanya terdengar suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.Beberapa saat setelah mereka selesai makan, ponsel Zidane bergetar. Dia mengambil benda pipih itu dari saku jas yang dikenakannya. Keningnya berkerut menatap layar ponsel yang menyala, entah apa yang sedang Zidane lihat hingga membuat Annisa terheran melihatnya."Ada apa? Kenapa ekspresi wajahmu seperti itu?" tanya Annisa.Zidane
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe