"Kia, setelah mengantarmu pulang, aku izin untuk pergi lagi. Ada hal penting yang harus aku urus," ucap Zidane.
Saat ini Zidane dan Annisa sedang dalam perjalanan pulang dari kantor. Setelah sempat berdebat masalah nama panggilan, akhirnya Zidane memanggil Annisa dengan nama depan gadis itu karena dia ingin berbeda dari orang lain.
"Urusan apa?" tanya Annisa.
"Urusan kantor."
Zidane menepikan mobilnya di depan rumah mereka, lalu melepas sabuk pengaman dan langsung bergegas ke luar. Dia membukakan pintu penumpang depan, memastikan istrinya turun dengan selamat.
"Kamu tidak apa-apa 'kan di rumah sendirian? Aku pergi hanya sebentar. Setelah selesai dengan urusanku, aku akan langsung pulang," ucap Zidane.
Manik kecokelatan itu menatap dalam-dalam wajah cantik sang istri yang selalu berhasil membuatnya terpesona setiap hari.
"Hm, pergilah. Aku tidak apa-apa," sahut Annisa. Dia memperlihatkan seulas senyum tipis.
"Aku pergi dulu. Kab
Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan minuman ke meja yang ditempati Zidane. Rupanya, Jeny sengaja memesankan miuman itu sebelum Zidane datang agar dia bisa berlama-lama mengobrol dengan mantan kekasihnya itu."Aku sudah memesankan minum untukmu. Minum dulu, ya," ucap Jeny.Meski nampak kesal dan badmood, Zidane menuruti keinginan Jeny. Dia mengambil cangkir berisi kopi miliknya, lalu menyeruput minuman itu secara perlahan."Kamu apa kabar, Kay? Setelah dua tahun tidak bertemu, kamu masih terlihat sama seperti dulu."Zidane tersenyum simpul, lalu membuang muka merasa muak dengan omong kosong mantan kekasihnya itu."Tidak usah banyak basa basi. Cepat katakan apa yang ingin kamu bicarakan denganku!" ujar Zidane sembari melihat jam yang melingkar di tangannya.Jeny merasa kesal karena sikap Zidane yang nampak terlihat tidak senang bertemu dengannya. Padahal, dia kembali ke Indonesia hanya karena ingin bertemu dan memperbaiki hubungan yang
Sore telah berganti malam, waktu pun sudah menunjukkan pukul 20.00, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan Zidane. Annisa nampak tidak tenang menunggu sang suami kembali ke rumah. Dia terus mengintip dari jendela untuk melihat apakah Zidane sudah kembali atau belum. "Sudah jam delapan malam, tapi dia belum pulang," gumam Annisa tak tenang. "Padahal dia sedang bersenang-senang dengan wanita lain di luar sana. Seharusnya aku tidak perlu menunggu dan mencemaskannya," gumam Annisa lagi bernada kesal. Dia memutuskan untuk berhenti menunggu dan berniat untuk ke dapur mencari makanan karena perutnya sudah terasa kelaparan. Annisa mendesah kasar karena dia tidak bisa memasak. Dia sedikit kebingungan begitu berada di dapur. Mencoba mencari sesuatu yang bisa dia makan, hingga khirnya menemukan mi instan. "Aku makan mi saja untuk malam ini," ucap Annisa sambil membaca bagian belakang kemasannya. Saat gadis itu baru saja menyalakan kompor
Annisa mengejapkan matanya karena terkejut. Refleks dia menoleh ke samping, menatap wajah Zidane yang ternyata sedang menatapnya juga."Kami sudah lama berpisah, tapi tiba-tiba saja dia menghubungiku dan ingin bertemu," jelas Zidane tanpa mengalihkan pandangannya.Ada yang aneh bergetar di hatinya. Entah ini kabar baik atau buruk, tetapi rasanya membuat Annisa terkejut.Tak pernah dia sangka sedikit pun bahwa suaminya itu akan mengaku begitu cepat. Sungguh, dia tidak mengerti akan tujuan suaminya itu."Syukurlah. Kamu pasti senang," jawab Annisa dengan nada datar.Zidane terdiam sambil terus menatap Annisa yang berusaha menghindarinya. Mencoba membaca situasi dan juga isi dalam pikiran gadis di hadapannya.Dia menghela napas panjang, lalu menyenderkan punggung pada penyangga sofa."Aku malah senang jika tidak bertemu dengannya lagi.""Kenapa?" Annisa refleks menoleh ke samping menatap Zidane yang sedang terpejam.Pria it
Annisa mengejapkan mata, mengumpulkan kesadarannya hingga terkumpul sepenuhnya. Dia terkejut begitu menyadari dirinya tertidur dalam dekapan Zidane. Namun, begitu mengingat dirinyalah yang meminta suaminya itu tidur di kasur, Annisa pun tidak jadi marah dan malah tersenyum tipis. Perlahan, dia mencoba menjauhkan tangan Zidane yang melingkar di pinggangnya dan bergeser secara perlahan untuk pergi ke kamar mandi. Namun, niatnya tertahan karena tiba-tiba saja Zidane kembali menarik dan mendekapnya dengan erat. "Zidane, lepaskan! Aku mau ke kamar mandi dulu," ucap Annisa. Zidane tak menggubris perkataan istrinya. Dia malah sengaja semakin mempererat pelukannya. "Nanti saja," ucap Zidane, parau. "Tapi nanti aku kesiangan salat subuh." "Sebentar saja. sepuluh menit!" putus Zidane. Annisa tak berkutik, membiarkan suaminya tetap memeluk tubuhnya. Dia berbalik menghadapkan tubuhnya dengan Zidane. Menatap dalam wajah sang suami yang seda
"Pak Zidane, ada tamu yang menunggu Anda di ruangan," kata Rizky begitu Zidane akan masuk ke ruang kerjanya."Siapa?" tanya Zidane sambil mengernyitkan alis.Seingatnya, dia tidak memiliki janji dengan siapa pun sepagi ini.Rizky menunduk tak langsung menjawab tanya Zidane."Pak Yogi," jawabnya ragu-ragu.Zidane terdiam sambil menaikkan sebelah alisnya. Beberapa detik kemudian, dia mengangguk ringan, lalu bergegas ke ruangannya begitu pun dengan Rizky.Dia melihat Yogi sedang melihat-lihat benda di atas meja, membelakanginya. Entah ada maksud apa pria itu tiba-tiba datang ke kantor untuk menemuinya."Hm."Mendengar suara seseorang berdehem, Yogi pun berbalik melihat ke arah sumber suara.Seulas senyum simpul terukir di bibir pria itu menyambut kedatangan sang pemilik ruangan. Dia berjalan mendekat sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Wow, CEO baru kita sudah datang," ucap Yogi. "Selamat," sambunya
"Salah satu penyesalan terbesar dalam hidup adalah terlambat mengetahui sebuah fakta. Fakta bahwa orang yang selama ini kita anggap tak peduli, ternyata diam-diam melindungi kita. Menyayangi dan mencintai dengan caranya sendiri." Annisa menyalakan ponsel begitu dia mendengar notifikasi pesan masuk. Sejenak, dia menghentikan dulu aktivitasnya yang begitu padat. [Siang ini aku tidak bisa menemanimu makan siang. Aku belum selesai meeting.] [Jangan coba-coba pergi dengan pria mana pun!] Annisa tersenyum geli membaca pesan teks yang dikiramkan Zidane. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah waktunya makan siang, lalu beranjak dari duduknya setelah membereskan meja dan mematikan laptop. Derap langkah itu melaju menuju ke luar ruangannya. Baru saja dia akan menarik gagang pintu, niatnya tertahan oleh suara ponsel yang berdering cukup lama. Annisa merogoh ponselnya dari saku blazer yang dikenakan
"A-apa?""Tidak mungkin! Dokter, selama ini Papa saya baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba terkena serangan jantung?"Annisa terkejut dan tidak percaya papanya memiliki penyakit jantung karena selama ini dia tidak pernah melihat papanya sakit hingga perlu dirawat di rumah sakit.Dokter Raka menghela napas. Menatap lamat manik mata sendu putri dari pasiennya, lalu berkata, "Apa Pak Reza tidak pernah mengatakan apa pun kepadamu mengenai kondisi kesehatannya?"Annisa menggeleng cepat."Aku tidak tahu tentang ini," jawabnya lirih."Sebenarnya papamu sudah lama sakit, Nisa. Dia sengaja merahasiakan penyakitnya dari kamu karena tidak ingin membuatmu khawatir." Sarah menjelaskan alasan Reza tidak memberi tahu Annisa tentang penyakitnya.Tubuh Annisa mendadak lemas tak bertenaga. Apakah hubungannya denga Reza benar-benar jauh hingga dia tidak mengetahui berita penting ini?Pelan kaki itu melangkah mendekat ke arah ranjang. Iris matanya ber
Zidane baru saja selesai meeting dengan klien-nya, dan akan kembali ke kantor ditemani oleh Rizky. Dia terkejut saat melihat ponselnya dipenuhi notifikasi panggilan tak terjawab dari Annisa.Namun, saat Zidane mencoba menghubungi balik, nomor Annisa sedang tidak aktif. Beruntung ada notifikasi pesan teks yang dikirim oleh istrinya yang mengatakan saat ini sedang di rumah sakit.Zidane langsung bergegas menaiki mobilnya dan meminta Rizky untuk membawanya ke rumah sakit."Ada apa? Kenapa kamu memintaku membawamu ke rumah sakit?" tanya Rizky."Istriku ada di rumah sakit. Aku khawatir terjadi sesuatu kepadanya," sahut Zidane.Mendengar hal itu, Rizky pun langsung menekan pedal gas dan melesat dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Dia ikut merasa khawatir akan keadaan istri dari atasannya.Tak lama kemudian, Zidane dan Rizky tiba di rumah sakit. Mereka mencoba bertanya kepada petugas resepsionis tetapi tidak menemukan pasien bernama Tazkia An
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe