“Zara,” panggil Kevin, dia sempat melirik ke arah ranjang pasien lain yang ditempati Inem.Kevin berjalan mendekati Zara di ICU, hatinya berdebar-debar seiring langkahnya yang semakin dekat ke ranjang tersebut. Sesampainya di sana, ia langsung duduk di samping ranjang yang menjadi tempat istri tercintanya, Zara, beristirahat. Kening Zara dibanjiri keringat dan pucat, namun perlahan Kevin mulai melihat senyuman kecil di bibir istri yang ia kasihi itu. Kevin merasa lega karena Zara berhasil melewati pintu maut, meski masih ada kekhawatiran di hati. "Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan jika kehilanganmu, Zara," bisik Kevin di samping telinga sang istri sambil mengecup kening istrinya dengan penuh perasaan.“A–aku,” air mata membanjiri wajah Zara. Ingatan ditarik mundur saat mengingat tragedi malam itu. Tidak lama kemudian, dokter yang menangani Zara datang ke ruangan untuk memeriksa kondisi Zara. “Mohon izin Tuan, saya ingin memastikan kondisi Nyonya baik-baik saja.”Kevin men
"Jadi ini rumahmu?" tanya Zara pada sang suami dengan ekspresi terkejut.Baru saja ia keluar dari rumah sakit dan untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di rumah suaminya. Beberapa bulan yang lalu, Zara masih mengira bahwa suaminya adalah orang miskin dan selalu mendapat hinaan gembel dari orang tua angkatnya. Namun, kini di depan matanya berdiri sebuah rumah yang mewah bak istana. "Maaf kalau aku dan keluargaku dulu selalu meremehkanmu, padahal kenyataannya jauh dari apa yang kami pikirkan selama ini," gumam Zara lirih menatap sang suami dengan rasa bersalah. Kevin tersenyum, “semua kan atas permintaan kakek, jadi ini semua bukan salah kalian. Berhenti menyalahkan diri sendiri,” jawab Kevin lembut.Zara tersenyum kecut. Ada perasaan penyesalan yang mendalam seketika ia menyadari kesalahannya. Suaminya tersenyum menenangkan, "Sekali lagi aku tekankan itu tidak masalah, Zara. Aku tahu kau belum tahu semuanya. Tapi yang terpenting, sekarang kita bisa mulai menjalani kehidupan bers
Zara tiba-tiba memeluk Kevin erat, tangisnya pecah, membuat suaminya bingung dan terkejut. "Ada apa, Zara?" tanya Kevin dengan perasaan khawatir. Dalam tangisnya yang terisak-isak, Zara menjawab, "Seandainya bisa memilih, aku rela hidup miskin bersamamu, asalkan Pedro dan Bi Inem bisa kembali." Zara terus menangis dalam dekapan sang suami, dan perasaan pilu mulai menyelimuti hati Kevin. Zara belum ikhlas menerima takdir ini. Sejak penculikan itu terjadi, dirinya merasa bersalah karena Pedro dan Inem meregang nyawa saat berusaha menyelamatkannya.Terbayang lagi wajah-wajah yang begitu setia melindungi dan melayaninya. Semakin larut dalam tangis, Zara merasa tak sanggup membendung rasa rindu yang mulai merebak."Mengapa mereka harus meregang nyawa? Apakah ini salahku? Apakah aku tak pantas menerima cinta dan perlindungan yang begitu tulus?"Lamunan pilu Zara hanya tersisihkan oleh pelukan hangat Kevin, yang berusaha menguatkan hatinya.“Ikhlaskan semua, jangan sampai kau menyalahka
"Siapa wanita ini?" tanya Daniel penuh amarah, merasa terkejut melihat kehadiran wanita tersebut di samping Kevin. Kevin menatap Zara, sang istri, dengan pandangan penuh kasih dan kemudian meraih tangannya erat."Sepertinya tak perlu lagi Kevin menutup-nutupi soal hubungan Kevin dengan Zara. Dia istri Kevin," jawabnya dengan tegas, membuat Daniel dan istrinya terbelalak tak percaya. Dalam hati Daniel bergumam, ‘Apa? Kevin sudah menikah selama ini? Dia pasti berbohong padaku!’ Dia lalu mengejek dengan nada marah, "Kau jangan bercanda Kevin!" Kevin hanya tertawa kecil, "Kami sudah menikah sejak tiga tahun yang lalu, dan Kevin terpaksa menutupi semuanya dari Paman. Sekarang Kevin mohon jangan pernah memaksa Kevin untuk menikahi Raras, anak semata wayang Paman." Tangan Daniel mengepal, marah meluap-luap dalam dadanya, ingin rasanya memberikan tinju di wajah Kevin. Tapi, sang paman berhasil menahan dirinya, mencoba mengedepankan akal sehat daripada emosi. Kevin berbalik pada Zara dan
Daniel mendengar kata-kata sang istri yang begitu emosional pun berujar, "Benar kata Mama, Papa hanya punya satu jalan yaitu menghabisi Kevin dan wanita sialan itu. Bisa-bisanya dia menikahi wanita lain, sementara sejak dulu kita sudah tekankan kalau dia harus menikahi Raras, anak kita." Terdengar Daniel meluapkan kekesalannya. "Ya benar Pa. Kita dianggap seperti tak punya harga diri olehnya. Maka kita harus buktikan kalau kita bisa membuat Kevin menyesal dengan keputusannya menikahi wanita lain tanpa sepengetahuan kita. Mama sangat membencinya," tambah istrinya Daniel, merasa begitu terhina. Daniel hanya bisa merenung mendengar ucapan istrinya itu. Hatinya merasa begitu tersayat, apa yang sudah terjadi dengan dirinya hingga Kevin seolah tak punya rasa hormat lagi padanya? Seolah dia dan sang istri sedang diarahkan kepada kebencian yang mendalam? “Papa harus segera bergerak, terlebih Kevin sudah tahu keterlibatan Papa atas kematian keluarganya. Jangan biarkan usaha kita sia-sia.
“Kau pikir aku akan menyerah untuk menghancurkanmu huh?” desis Mario Baron pada Kevin.Kevin menyandarkan punggungnya di kursi kebesarannya sambil melipat tangan di depan dada.“Dan aku tidak akan ikhlas begitu saja kau membunuh Papaku,” sambungnya lagi.Kevin sengaja mengizinkan Mario Baron masuk ke dalam ruangannya, karena dia yakin Mario Baron ini cerdik dan licik, tidak seperti Tuan Baron yang penuh emosi.“Kau pikir aku peduli?”Mendengar kalimat yang terucap dari mulut Kevin tentu membuat Mario Baron tersulut emosi.“Kalau Papamu menculik istriku, membunuh pengawalku dan pelayan kesayanganku, boleh?”Kevin masih menatap tajam pria muda di depannya. “Kau belum lahir saat aku dan keluargaku menjadi korban kejahatan Papamu!” desis Kevin penuh amarah. “Kau pantas mendapatkan itu, harusnya kau ikut mati dengan keluargamu,” sahut Mario Baron.Pria itu berusaha menahan emosi di depan Kevin, padahal iblis di dalam dirinya ingin rasanya mencakar Kevin saat ini juga.“Kenapa tidak kau s
Setelah sampai di kediaman Daniel mereka pun mulai berbincang.“Kau sebenarnya ngapain di sini?” tanya Daniel.“Ceritanya panjang. Awalnya Tuan Baron ingin membeli anak angkatku. Tapi suami miskin anakku menghalanginya.”Galen menceritakan semua yang terjadi antara dirinya dan Kevin.“Aku akan memberimu imbalan besar, asal kau bisa melakukan tugasmu,” ucap Daniel.Daniel mengeluarkan amplop yang berisi banyak uang pecahan 100 ribu.“Ini uang mukanya, kalau kau mau melakukan tugas dariku. Sebab kalau kau kembali ikut ario Baron, aku yakin kau tak akan mendapatkan apapun. Dia sedang terpuruk, semua usahanya gagal, bahkan tempat dia menyimpan senjata ilegal dan bom rakitannya meledak,” ungkat Daniel.“Pantas saja dia tak pernah datang menemui kami,” sahut Galen.“Hubungi anakmu, kirimkan dia uang yang banyak, bilang kau dan istrimu sedang ada pekerjaan di Kota ini, tapi kalau anakmu mau datang ke Kota ini juga tak masalah,” usul Daniel.Galen berbincang bersama sang istri lalu mengambil
Galen melangkah perlahan ke dalam ruang kerja direktur utama Adamson Corporation. Di sana ia melihat sosok pria elegan dengan pakaian mahal, yang tengah memunggunginya sambil menatap keluar jendela. Seribu macam perasaan campur aduk dalam pikiran Galen; takut, cemas, dan sedikit penasaran. Kira-kira Apa yang sedang dipikirkan orang ini? Apakah dia menyadari keberadaannya di sini? Apa yang akan terjadi padanya setelah ini? pikir Galen dalam hati, sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendekati pria itu. Tangan Galen terasa dingin dan berkeringat, namun ia mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara, "Permisi Tuan muda, saya salah satu pemilik bahan baku yang sedang perusahaan anda butuhkan. proposal sudah saya ajukan pada bawahan anda.”Demi apapun baru kali ini Galen merasa takut, terlebih suasana mendadak menjadi horor."Dari mana Anda bisa tahu kalau perusahaan Adamson Corporation sedang membutuhkan bahan baku?" tanya sang presiden direktur pada Galen. Mendengar suar
Sore yang mendung, tak menyurutkan semangat Kevin dalam meresmikan pembukaan anak cabang Adamson Corporation sesuai rencana. Tak ada yang tahu, termasuk tamu undangan yang nanti akan hadir di sana, bahwa perusahaan ini sudah disiapkan oleh Kevin sebagai kejutan untuk sang asisten terbaiknya, Dimas. Dalam kesempatan istimewa ini, Dimas datang bersama istri tercinta, ibu mertuanya yang begitu penyayang, serta bibinya yang selalu dianggap seperti ibu kandung sendiri. Sementara itu, Kevin datang bersama sang istri, dua buah hatinya yang merupakan anak kembar berusia tiga tahun, serta ayah mertuanya yang nampak semakin sehat dan bugar. Anak-anak kembar tersebut menjadi pusat perhatian. Betapa adil Tuhan, wajah gadis kecil itu persis seperti Kevin, sedangkan bocah lelakinya menyerupai wajah sang istri. Sebuah keluarga yang harmonis, mencerminkan cinta yang tulus di antara mereka. Seperti biasa, Kevin diminta untuk memberikan sambutan sebagai pimpinan perusahaan. Dalam sorotan cahaya s
Tiga bulan berikutnya, Kevin sedang berbincang serius dengan istri tercintanya mengenai rencana masa depan Dimas dan Dinda. "Sayang, ada hal penting yang ingin aku bicarakan," ucap Kevin pada sang istri, membuatnya penasaran. "Apa itu, Sayang? Kok sepertinya sangat penting?" tanya sang istri dengan wajah penasaran, menambah kegugupan dalam ruangan. Kevin tersenyum, merasa bersyukur memiliki istri yang begitu mendukungnya. "Sebenarnya, ini bukan hanya penting, tapi juga menyangkut masa depan Dimas dan Dinda. Aku ingin meminta pendapat dari istriku tercinta karena apa yang aku miliki, juga menjadi milik istriku." Mendengar hal tersebut, istri Kevin tersenyum lembut dan mengecup pipi suaminya sebagai tanda cinta dan dukungan. "Apa yang ingin kamu bahas, Sayang?" Dengan nafas yang berat, Kevin mulai bercerita, "Aku berencana memberikan satu perusahaan kepada Dimas. Dia sudah bekerja sangat keras untuk kantor kita, dan aku ingin dia bersama Dinda maju serta memulai segalanya dari awal
Hari ini adalah hari terakhir Dinda dan Dimas untuk mengecap bulan madu, mereka sudah berkeliling ke berbagai tempat namun rasanya waktu itu masih kurang.Seperti pagi ini tidur mereka harus terenggut saat keduanya sudah merencanakan di hari sebelumnya untuk membeli oleh-oleh."Sayang, ayo bangun kita harus segera menuju ke tempat oleh-oleh jangan sampai nanti pulang malah tidak membawa apa-apa,“ ucap Dinda pada sang suami Dimas saat ini masih bersantai di atas ranjang setelah kelelahan selama beberapa hari ini menikmati indahnya sebagai pasangan suami istri.“Sebentar lagi Sayang aku ngantuk banget.” rasanya sangat sulit bagi Dimas untuk membuka mata dia lebih memilih untuk tetap terpejam dan berada di atas ranjang."Tapi kita harus segera pergi, Sayang. Jangan sampai kehabisan oleh-oleh," ucap Dinda dengan nada menggoda. Dinda mengeluarkan jurusnya agar sang suami mau segera bangun dari tidurnya, dirinya sudah menunggu cukup lama Namun pria ini tak juga membuka matanya hingga membua
Pesta pernikahan Dimas terus berlangsung hingga larut malam pemilihan tempat yang outdoor membuat suasana semakin Syahdu dan terkesan akrab. Semua karyawan Adamson corporation sengaja diundang oleh Dimas dan mereka tidak ada yang tidak datang Jujur semenjak ada Dinda, Dimas sudah tidak sekaku dulu lagi minimal orang kedua di kantor tempat mereka bekerja sudah lebih sering tersenyum ketimbang sebelumnya. Semakin malam pesta semakin larut hentakan musik di pinggir pantai memecah suasana malam itu mereka berpesta pora hingga akhirnya pesta pun berakhir. Setelah berbulan-bulan persiapan yang melelahkan, Dimas dan Dinda akhirnya menyelesaikan pesta pernikahan mereka dengan sukses. Dikelilingi oleh cahaya gemerlap lampu dan tumpukan karangan bunga, mereka berdua tampak kelelahan namun bahagia. Dalam pelukan satu sama lain, mereka menghela nafas lega, menikmati momen indah setelah perjalanan panjang menuju hari yang mereka nantikan. “Akhirnya semua ritual melelahkan kita berakhir,” uc
Pernikahan Dimas dan Dinda"Sayang, apa kau sudah siap?" tanya Kevin pada sang istri. Hari ini mereka akan menghadiri acara pernikahan Dimas dan Dinda, acara sakral yang dihadiri oleh keluarga besar kedua belah pihak. "Sebentar, Sayang. Dua menit lagi, tinggal memakai berlian saja kok," ucap sang istri, yang membuat Kevin tersenyum bahagia. Padahal, istrinya sudah diberikan waktu cukup lama untuk berdandan; bahkan Kevin sempat bermain bersama kedua anak kembarnya. Namun, begitu kembali, sang istri masih sibuk berkutik di depan meja rias. Sementara itu, istrinya ingin tampil sempurna agar tidak membuat sang suami malu. "Iya, sayang, berapapun waktu yang kau inginkan pasti akan kuberikan," ucap Kevin dengan lembut. Zara tertawa kecil, tak mengetahui apakah kalimat itu sarkasme atau benar-benar dari hati Kevin, sebab ia tahu suaminya telah menunggu cukup lama. "Sabar dong, Sayang. Sebentar lagi," ucap Zara dengan menggoda. Tak berselang lama, ia pun mendekati Kevin, ternyata sang
Kevin dan Dimas berdiri kokoh di tengah jalanan yang sepi dan mulai gelap, terasa begitu mencekam dan hening, matapun tertuju pada para preman bersenjata api. Jantung mereka berdegup semakin cepat; namun mereka tahu bahwa mereka harus bertindak gesit untuk melindungi diri sendiri serta orang-orang di sekitar. Keduanya lantas merancang strategi dengan mata fokus, tanpa sepatah kata pun terlontar, sekedar tatapan yang saling bercerita dan penuh tekad bersama. Siap menghadapi bahaya yang melayang di atas kepala mereka, mereka mempersiapkan segala yang dibutuhkan. Tak lama, preman-preman itu mulai mendekati dengan niat yang jelas. Kevin dan Dimas pun segera melancarkan aksi mereka. Keduanya mengandalkan keterampilan bertarung serta refleks yang telah mereka asah, bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan para penjahat tersebut. Angin meniup lantang, suara bentrokan demi bentrokan memecah kesunyian, menjadikan malam itu satu episode yang tak akan pernah dilupakan oleh siapapun yang m
Malam itu, Kevin duduk di balkon kamarnya bersama istri tercinta, setelah berhasil menidurkan kedua anak kembarnya yang lucu. Rencana yang akan dibahas adalah mengenai persiapan pernikahan Dimas dan Dinda, keduanya yang telah lama diincar oleh hati Kevin untuk dipertemukan. Kebahagiaan Dimas adalah kebahagiaan bagi Kevin. Tidak hanya sebagai asisten pribadi yang sudah seperti keluarga, tetapi juga sahabat yang selalu setia menemani Kevin dalam suka duka. Diiringi malam yang tenang, ia menggenggam tangan istri dan berbicara dengan tulus dari lubuk hatinya. Kevin ingin meminta izin untuk memberikan biaya pernikahan untuk Dimas dan Dinda. Bagaimanapun, Dimas telah memberikan begitu banyak hal dalam hidup mereka dan tentunya Kevin sangat berharap sang istri tidak keberatan dengan keputusannya.Tentu saja tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi Kevin selain melihat orang-orang di sekitarnya bahagia. Karena ia tahu betul bahwa Dinda telah mencuri hati Dimas sejak pertama kali bertemu
Satu Tahun kemudianHubungan Dimas dan Dinda semakin menemukan titik kebahagiaan mereka benar-benar tak menyangka akhirnya bisa sampai di titik ini. Malam ini Dimas mengajak Dinda untuk makan malam bersama. Jujur ada desir hangat mengalir dalam darah dinda."Dinda, ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,” ucap Dimas gugup. Demi apapun Dimas tak pernah sebelumnya merasa segugup ini."Apa itu, Dimas? Jangan membuatku gugugp deh,” jawab Dinada penuh rasa penasaran Dinda berharap Dimas menyatakan cinta padanya, sudah sejak lama Dinda menunggu ungkapan cinta dari lelaki yang terkenal dingin ini namun tak kunjung terjadi juga.“Hmmmm,” Dimas berdehem gugup. "Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu. Kamu membuat setiap hari menjadi lebih cerah dan berarti bagiku. Aku mencintaimu, Dinda, dengan segenap hatiku."Dinta membelalak mendengar ungkapan cinta dari pria kutub utara ini. Benarkah ini? Atau aku hanya bermimpi? ... Aku juga mencintaimu. Kamu adalah sumber kebahagiaanku,” sayangny
Sementara itu di sebuah restoran mewah Kevin sengaja meminta istrinya untuk datang ke restoran hari ini.Dia mengajak sang istri untuk makan siang bersama, senyum mengembang di bibirnya ketika melihat wanita yang ia cintai sudah tiba di hadapannya.“Wah, kau cantik sekali, Sayang," ucap Kevin dengan nada rayuan, memandangi sang istri yang berdandan cantik. Wanita itu mencebik, merasa gusar dengan cara suaminya memujinya. "Memangnya selama ini aku tidak cantik, Sayang?" tanya sang istri, menegaskan kalimatnya. Kevin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tersenyum geli. "Tentu saja cantik. Tidak ada yang bisa mengalahkan kecantikan istriku," jawabnya dengan hati-hati. "Ayo sayang, kita makan siang dulu. Aku sudah pesan makanan kesukaanmu," ajaknya seraya menunjuk hidangan yang sudah tersaji di atas meja makan. Kevin menggenggam tangan sang istri, tatapannya lembut dan sayang. "Sesekali kita perlu menghabiskan waktu berdua saja, Sayang. Semoga di waktu yang akan datang, kita bisa leb