“Lik, Lika!” teriak Tante Lexa seraya mengetuk pintu. Lika yang sudah mempunyai niat untuk menelpon Rasti akhirnya di tunda dulu.“Iya, Tante,” sahut Lika kemudian beranjak membukakan pintu.“Di cari Mahira di luar,” ucap Tante Lexa setelah Lika membukakan pintu. Lika mengerutkan kening.“Mahira? Ada apa ya?” tanya Lika.“Tante Juga nggak tahu,” jawab Tante Lexa. “Yaudah temui sana!” perintah Tante Lexa kepada Lika. “Iya, Tante,” jawab Lika. Kemudian Tante Lexa memutarkan badan melangkah menuju ke rumahnya. Lika mengikuti langkah kakinya.‘Ngapain Mahira ke sini? Mau ngajak ke Rumah Makan mereka lagi?’ tanya Lika dalam hati. “Mahira kayaknya seneng ya, sama kamu?” ucap Tante Lexa kepada Lika. Lika tersenyum begitu juga dengan Tante Lexa.“Mungkin Tante,” jawab Lika asal.“Loh, kok, mungkin? Udah jelas itu Mahira ingin menjadikanmu kakaknya,” ledek Tante Lexa. Membuat wajah Lika memerah.Mereka jalan beriringan menuju ke rumah Tante Lexa. Mahira sudah menunggunya di sana. Dia memang
“Loh, inikan toko mantan mertua masmu?” tanya Lika setelah turun dari taxi. Karena memang Mahira datang sendiri ke Rumah Tante Lexa. Malik nggak bisa mengantarkan, karena kerjaan rumah makan lagi banyak. Dari kemarin rumah makannya belum dia datangi karena sibuk main dengan Lika.“Mbak Lika kok tahu?” Mahira tanya balik.“Iya, pernah di ajak masmu ke sini, saat beliin baju ibu,” jawab Lika. Mahira tersemyum mendengar jawaban Lika. Karena dia sebenarnya dia sudah tahu. Malik sudah menceritakan. Karena Malik dan Mahira ini, selain kakak adik, mereka juga suka curhat.“Sweet banget,” ledek Mahira. Lika melirik Mahira dengan tatapan aneh. ‘Apanya yang sweet?’ tanya Lika dalam hati.Karena Mahira sudah tahu sebelumnya, makanya dia mengajak Lika ke sini lagi. Jelas ada tujuan tersendiri di pikiran Mahira. Dia ingin ngerjain Lika lagi. Entahlah, dia memang suka banget lihat Lika, kalau wajahnya memerah malu-malu. Di samping itu, Mahira juga menginginkan Lika ini menjadi kakak iparnya.Mereka
[Lika, sibuk?] tanya Malik lewat pesan singkat. Malam ini Lika merasa lelah sekali. Karena habis jalan-jalan sama Mahira. Akhirnya Mahira membelikan baju untuk Lika. Walau Lika menolaknya, tapi dia kekeh ingin membelikan Lika baju. Akhirnya Lika nggak bisa menolaknya lagi. Padahal dia benar-benar bercanda.Lika yang sudah rebahan, pas pula gawainya dia pegang. Langsung tersenyum meihat pesan singkat dari Malik.[Nggak, ada apa?] balas Lika. Dia senyum-senyum sendiri saat mengetik dan mengirimnya.[Kangen,] jawab Malik, membuat Lika semakin melebarkan senyumnya. [Aku nggak,] jawab Lika, malu dong kalau harus jawab, aku kangen juga. Bisa-bisa terbang ke awan nggak bisa balik lagi ke bumi.[Ya, memang aku nggak pantas untuk di kangenin,] jawab Malik, dengan emot cemberut. Mambuat hati Lika merasa gimana gitu.[Kan, gitu] balas Lika. Malik tak ada menjawabnya lagi. Membuat Lika berkali-kali melihat gawainya. “Kok, nggak di balas, sih? Marahkah?” tanya Lika dalam hati. Membuatnya merasa
[Segitu betahnya kamu di panti? Bukannya kamu nggak mau banget ya dulu, untuk tinggal di panti? Sekarang mau di jemput malah nggak mau. Aneh kamu ini. namanya orang itu kata pulang adalah hal yang paling membahagiakan,] ucap Tante Nova. Air mata Lika semakin terus menetes.‘Tante nggak tahu, ada yang aku beratkan di sini. Ada yang memberatkan aku untuk meninggalkan panti ini. Owh Tuhan, aku nggak bisa menjelaskannya,’ lirih hati Lika. Hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.[Itu dulu Tante, sekarang Lika betah di sini. Nggak ingin pulang,] jelas Lika dengan suara berat.[Kamu nangis?] tanya Tante Nova memastikan. Lika terdiam, tapi suara hidungnya menarik ingus terdengar oleh Tante Nova.[Kamu jatuh cintakah dengan salah satu anak panti di situ? Atau ada hal lain?] tanya Tante Nova, dia justru semakin penasaran.[Nggak Tante. Lika memang udah betah di sini. Di saat Lika sudah betah, masak iya di suruh pulang. Lika kan lama juga adaptasinya di sini,] jawab Lika asal.[Yaudah, nanti Tante co
Hari ini, Juwariah mendatangi rumah mertuanya Rasti. Ingin meminta maaf lagi untuk ke dua kalinya. Itu juga karena desakkan terus menerus dari Bulek Arum. Akhirnya Juwariah mau lagi ke rumah mertuanya Rasti.Hatinya juga sudah nggak deg-degan kayak pertama kali minta maaf. Ada deg-degan tapi udah nggak separah kemarin.Saat sudah berada di rumah mertua Rasti ada beberapa motor berjejer di halaman. Pertanda lagi ada tamu.“Lagi banyak orang Bulek,” ucap Juwariah kepada Bulek Arum.“Iya,” sahut Bulek Arum.“Ria malulah, Bulek, kalau lagi banyak orang gini,” ucap Ria. Bulek Arum mengangguk, mengerti perasaan keponakannya. Dia sendiri juga pasti malu kalau di posisi Juwariah. Minta maaf di depan banyak orang. Apa lagi sifat mertua Rasti kayak gitu, pasti nanti malah sengaja bikin malu ponakannya.“Yaudah, kita tunda saja, kita balik saja,” ucap Bulek Arum mengambil keputusan.“Iya, Bulek,” jawab Ria tersenyum. Hatinya lega juga nggak jadi masuk ke rumah itu. Ria sudah membayangkan, kalau
“Nggak usah, Dek,” jawab Toni lembut, tersenyum menatap istrinya. Nayla juga membalas senyuman itu.“Juwariah nggak serius mau minta maaf, nyatanya nggak ada ke sini lagi,” celetuk ibu, kemudian meniup pelan kopinya dan menyeruputnya dengan pelan. Menikmati enaknya rasa kopi bikinan menantunya.“Tunggu aja, Bu. Tapi, Rasti yakin, Mbak Ria pasti akan ke sini lagi,” jawab Rasti dengan nada lembut.Riko terdiam, kalau membahas Juwariah dia terdiam. Nggak mau ikut andil. Karena dia malu dan menyesal, kenapa dulu dia bisa jatuh cinta dengan Juwariah. Karena nafsu saja. Tak di pungkiri memang Juwariah mempunyai paras yang cantik.“Perutnya udah besar, lo, bentar lagi lahiran itu,” ucap Ibu. Belum mau memberika maaf, tapi suka juga membahas Juwariah.“Iya, Bu, kasihan hamil nggak ada suaminya,” ucap Rasti. Kalau mendengar kata hamil, membuat hati Nayla gimana gitu. Merasa nggak adil rasanya. Dia yang ingin merasakan hamil, agar bisa menjadi wanita seutuhnya, tapi semua itu nggak akan mungkin
Suasana pagi panti sangat menyenangkan. Semua repot dan sibuk dengan tugannya masing-masing. Sesuai jadwalnya, ada yang harus bantu masak-masak, ada juga yang jadwalnya bersih-bersih.Lika mengamati anak-anak itu, menjalani hidup di dunia ini tanpa orang tua. Mereka tertawa lepas, seakan tak ada bebaan. Berlari-lari dengan tawa yang di raut wajah mereka. Nggak tahu masalah hati, mungkin anak-anak itu juga sedih. Tapi, tak mereka nampakkan. Itu membuat Lika merasa sangat beruntung sekali hidup di dunia ini. Dengan di dampingi ke dua orang tuanya yang masih sangat utuh.“Hai,” terdengar suara laki-laki, kemudian Lika juga meraskan ada yang menepuk pundaknya pelan. Lika langsung menoleh ke asal suara itu. Lika sedikit terkejut mengetahui siapa yang menyapanya.“Hai,” sapa Lika dengan senyum di paksakannya. ‘Halim?’ lirih Lika dalam hati, ‘sepagi ini sudah di panti?’ tanya Lika dalam hati.“Boleh kenalan?” tanyanya. Lika melipat keningnya. ‘Ngimpi nggak sih aku ini? jangan-jangan ngimpi l
Malik sudah berada di rumah Tante Lexa. Sedangkan Lika masih bersiap-siap. Sedangkan di dalam ada Halim yang masih berbincang dengan buleknya.“Assalamualaikum,” salam Malik seraya mengetuk pintu.“Waalaikum salam,” jawab Tante Lexa dengan anda agak meninggi, “ada tamu, bentar, ya, Bulek buka pintu dulu,” ucap Tante Lexa lagi.“Iya, Bulek,” jawab Halim seraya mengangguk. Tante Lexa langung beranjak dan melangkah menuju pintu.“Eh, Lik, tumben pagi-pagi udah nyampai sini, masuk!!” ucap Tante Lexa setelah membukakan pintu. Kemudian mempersilahkan Malik masuk. Halim yang mendengar buleknua memanggil nama Malik, langsung mengerutkan kening. ‘Malik? Kebetulan dia ke sini,’ ucap Halim dalam hatinya.“Iya, Tante, makasih,” sahut Malik, belum menanggapi ucapan Tante Lexa.“Ada Halim juga di sini,” ucap Tante Lexa. Halim beranjak dari duduknya.“Hay, Bro!! Apa kabar?” Halim menyalami Malik dulu.“Kabar baik, Bro. Lama nggak ketemu,” sahut Malik menanggapi ucapan Halim.“Iya, udah lama kita ngg
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu