“Nggak, aku pengen beliin baju ibu, udah lama nggak beliin baju ibu, kalau kamu mau temani dan pilihkan! Tapi kalau nggak mau ya, udah, nggak maksa,” jelas Malik. “Owh, boleh kalau gitu. Ibu aja yang di beliin? Mahira nggak?” sahutku seraya bertanya balik.“Mahira sudah sering beli baju dia. Dia sukanya beli sendiri,” jawab Malik. Aku manggut-manggut saja. Wajar kalau Mahira lebih suka beli baju sendiri. Apalagi anak seusia dia, masih senang-senangnya belanja baju sendiri. “Kamu perhatian dan sayang banget ya, sama ibumu,” celetukku. Malik melirikku dan kemudian fokus ke jalanan lagi.“Kalau nggak anak-anaknya siapa lagi?” jawab Malik. Aku mendesah, malu banget rasanya, kalau inget-inget aku sering bentakin Mama.“Iya, ya!” hanya itu yang bisa aku ucapkan. Nggak tahu lagi mau jawab gimana.“Ibu itu udah berjuang mati-matian ingin menyekolahkan anak-anaknya. Masak giliran ibu udah nggak bisa apa-apa, kita mau buang dia ke panti jompo? Nggak mungkin kan? Aku hanya berharap, semoga ist
Mau tak mau aku harus mengikuti ide gila Malik. Masuk ke toko baju yang lumayan besar ini. Jadi penasaran seperti apa mantan Malik. Hingga dia susah move on. Malik saja yang belum sempat menikah, susah move on. Apa lagi aku? wajar dong kalau aku ingin balas dendam ke orang-orang yang bikin rumah tanggaku berantakkan.“Dek, bagus mana?” astaga! Malik memanggilku Dek? Aku hanya bisa menelan ludahku dengan susah payah. Mana suaranya agak di tinggikan lagi. Aku celingak celinguk memandang sekitar. “Sayang! Bagus mana?” jleb! Asli aku baper (terbawa perasaan) kenapa Malik manggilnya kaya gitu? Berdebarlah ini hati. Karena aku diam saja, kemudian dia mendekat. Berbisik di telinga.“Jangan bikin aku malu. Aku sewa deh, sehari ini jadi pacarku, jadi santai saja. Layaknya orang pacaran,” lirihnya. Wajah dia dekat dengan telingaku kayak gini, rasanya semakin terbawa perasaan.“Em, bagus yang ini, Maaasss,” ucapku kikuk. Mas? Aku manggil Mas? Ngimpi apa aku tadi malam? Aku lihat dia tersenyum.
“Ya, kali, aku mau ngenalin ke Tante Heni, pacar sehari? Kenalin Tante ini pacar sehari Malik? Kan nggak banget,” kecap Asin memang paling bisa ngejawab. Heran aku di buatnya.“Ya, harusnya jangan bilang calon istri,” sungutku lagi.“Suka-suka, dong! Namanya juga pacar sehari, jadi seharian ini sampai jam dua belas malam, Halika Sofya Ningrum itu pacar Malik Ibrahim. Jadi suka-suka mau ngomong apa,” jelas Malik sesuka hatinya. Masih senyum-senyum dia seraya melirikku. Kalau nggak ingat dia lagi nyopir udah aku tonjok.“Loh, kok, berhenti?” tanyaku bingung. Tiba-tiba Mobil berhenti di parkiran. Dan saat aku pandangi ternyata ini lagi di alun-alun kota jogja.“Udah, pacaran kita cuma sehari, jadi di nikamti saja. Besok kita sudah kembali jadi tom and jerey,” jawab Malik. Kemudian membuka pintu mobil dan turun. Aku masih ogah untuk turun. Kiraina aku cuma karena ingin ketemu calon mantan mertua gagal. Tapi, ternyata salah.“Turun, dong, Sayang!” ucap Malik seraya membuka pintu mobil. Sum
“Malik, kamu baik-baik saja?” tanyaku kepada Malik. Matanya masih memandang ke seorang wanita tua dengan berpakaian lusuh.“Bentar, ya,” ucapnya. Aku mengangguk saja menanggapi ucapannya.Aku awasi Malik. Dia mendekati wanita tua itu. Kemudian tangan kanannya merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet. Membuka dompet itu dan mengeluarkan uang. Entah berapa jumlah. “Untuk beli Es ya, Nek,” ucap Malik kepada nenek-nenek itu.“Makasih, ya, Nak,” sahut nenek itu. Hati ini merasa semakin salut dengan Malik. Ternyata dia baik, walau selama ini yang aku tahu, Malik itu nyebelin dan suka bentak-bentak ngomongnya. Ternyata dia juga bisa lembut ngomongnya. Bukan hanya ucapannya tapi juga hatinya.“Sama-sama, Nek,” sahut Malik kemudian berlalu meninggalkan nenek-nenek tua itu. “Yok! Beli es,” Malik menarik tanganku lagi. Reflek saja aku tersadar dari lamunan. Pasrah mengikuti langkah kakinya.“Mas, esnya dua, ya!” ucap Malik kepada penjual es itu.“Siap, Mas,” jawab penjual es itu. “Ntar
Akhirnya kami terdiam. Malik malah mengeratkan genggaman tangannya. Padahal habis kesel sama dia. Tapi, kalau dia megang tangan gini, bergetar lagi ini hati.“Lik, kamu nggak malu jalan sama Janda?” tanyaku serius. Dengan nada serius nggak mau bercanda. “Jandakan? Asli janda? Syah jandakan?” apalah maksud Malik ini tanya kayak gitu? Mana mata kami saling beradu lagi.“Kamu baik-baik aja, Lik?” tanyaku khawatir. Karena pertanyaannya membuatku berpikir dia lagi nggak sehat. Kemudian dia mendesah. Menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi panjang ini.“Malik Ibrahim dalam kondisi sehat Halika Sofya Ningrum,” ucapnya seraya mendesah.“Kalau kamu janda emang kenapa? Yang penting bukan istri orang,” jawab Malik. Sama kayak yang di bilang adiknya tadi. Memang kakak adik ini kompak banget. Kompak juga ngerjain aku hari ini.“Ya, enggak, kamukan, masih bujang dan aku sudah janda,” jawabku.“Itu hanya status,” jawabnya. Haduh, kalau lagi serius gini, rasanya dia terlihat dewasa dan bijak. Tap
Akhirnya aku sampai panti juga. Sudah mandi dan sudah makan tadi barenag sama Malik. Sebelum pulang ke panti, di ajak makan Malik di angkringan. Sweet sih, sebenarnya sama Malik hari ini. Walau ada nyebelinnya tapi setidaknya, hari ini dia bisa membuatku baper. “Terimakasih, ya, Halika, untuk hari ini,” ucap Malik di depan rumah Tante Lexa saat mengantarku pulang tadi.“Sama-sama Malik, aku juga terimakasih hari ini udah di ajak muter-muter kota Jogja,” sahutku. Malik tersenyum dan dia membelai rambutku. “Aku pulang dulu, ya! owh iya, masih jadi pacar Malik, lo. Sampai jam dua belas malam nanti,” ucap Malik seraya pamit. Lagi-lagi dia mengerlingkan matanya. “Putusnya sekarang aja, ya! aku mau istrirahat!” sahutku.“Nggak bisa dong! Enak aja! Tetap sampai jam dua belas malam nanti, lewa satu detik, baru deh, kita putus,” sahut Malik kemudian dia masuk ke dalam mobilnya.“Lik, Lik, apa bedanya juga, putus sekarang atau nanti. Ujung-ujungnya juga putus,” ucapku. Walau dia sudah masuk
[Kalau gitu nggak usah pacaran,] sahut Malik. [Lagian siapa yang mau pacaran sama kamu? Yang ada kamu yang maksa-maksa untuk jadi pacar sehari,] ucapku tak ingin kalah mak jleb.[Nggak usah pacaran tapi langsung nikah, ha ha ha ha] celetuk Malik lagi seraya melepaskan tawanya lebar-lebar. Puas banget dia.[Malik, pacaran sama kamu aja bisa mati berdiri, apalagi Nikah. Mungkin baru selesai ijab langsung jantungan aku,] sahutku.[Ha ha ha ha] makin kuat Malik tertawanya. Benar-benar dia ingin ngerjain aku.[Renyah banget, ya, ketawanya,] ucaku. Selang sekian detik tawanya reda.[Tinggal sejam lagi ini jadi pacarku, yok, sayang-sayangan dulu!] pinta Malik. Asli ini orang semaunya sendiri. Ingin baik, ya langsung baik. Ingin bentak-bentak ya langsung bentak-bentak. Benar-benar aneh.[Nggak nunggu sejam perasaan lama banget, kita putus sekarang aja, aku mau tidur,] ucapku dengan nada aku buat marah.[Aku nggak mau putus, gimana?] tanya balik Malik.[Nggak mau putus, ya, udah! Yang penting
“Kamu baik-baik saja, Lik?” tanya Tante Lexa kepadaku. Aku menegrutkan kening kemudian memegang wajahku sendiri.“Iya, Lika baik-baik saja, ada yang aneh ya, Tante?” tanyaku. Tante Lexa tersenyum seraya memandangku.“Nggak, tapi kayaknya Tante lihat wajahmu sumringah,” jawab Tante Lexa.“Iyakah, Tante?” tanyaku balik.“Iya, serius. Kayaknya itu lagi bahagia,” jawab Tante Lexa. “Ah, perasaan Tante Lexa aja, Lika seperti biasanya, kok,” sahutku. “Apa, udah mulai betah tinggal di panti?” tanya Tante Lexa lagi. Aku mendesah dan membelai rambutku sendiri.“Bisa jadi, Tante,” jawabku seraya tersenyum.“Syukurlah, kalau kamu udah mulai betah di sini,” sahut Tante Lexa, seraya menepuk pelan pundakku.“Lika imgin membuka usaha, tapi apa, ya, Tante?” tanyaku kepada Tante Lexa meminta pertimbangan. Tante Lexa mengerutkan keningnya. Kemudian bola matanya menghadap ke atas. Seakan lagi memikirkan jawaban apa yang akan di sampaikan kepadaku.“Kamukan Bidan. Orang kesehatan. Jadi buka usaha sesuai
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu