Keadaan semakin menegangkan. Lika hanya bisa menunduk dengan berurai air mata. Badannya bergetar sesenggukkan. Dia tak berani memandang wajah ke dua orang tuanya. Mungkin kalau aku berada di posisi Lika, juga nggak berani memandang wajah Pak Samsul dan Bu Santi. Sangat terlihat kekecewaan yang mendalam dan amarah yang memuncak.Kasihan melihat kondisi Lika. Apalagi aku menilai Mbak Juwariah malah memojokkannya. Seakan dia ingin melepaskan diri. Membiarkan Lika menanggung sendirian. Sahabat yang tak bisa di andalkan. Hanya mau enaknya sendiri. “Bapak mau menghajar kamu rasanya sudah nggak pantas, Lika,” ucap Pak Samsul memulai pembicaraan. Karena sempat terjeda sementara. Bu Santi terlihat membuang muka, tak mau memandang ke arah anaknya. Sedangkan Ibu memandang Lika, dengan mata nanar. Seakan merasakan kekecewaan yang mendalam.“Ini semua karena ide kamu, Mbak!!!” teriak Lika tiba-tiba menyerang ke arah Mbak Ria. Menjambak-jambak rambut Mbak Ria. Semua orang kebingungan menenangkan L
[Hai cantik, lagi ngapain? Ketemuan bisa?] dari hasil screnshoot mendapati chat yang di mulai dari Tirta menggombali Lika. Namanya juga laki-laki, merasa terpancing jika mendapati perlakuan lebih dari lawan jenisnya. Merasa juga kalau lawan jenisnya menyalakan lampu hijau.[Lagi jenuh di rumah. Ketemuan? Emmm, malam aja ya, alasanku keluar rumah bisa dengan lembur di Puskesmas jadi aman] jawab Lika. Benar-benar memberikan lampu hijau kepada Tirta.[Ide yang bagus, biar aman aku booking penginapan, ya? Jadi kita aman, yang punya penginapan temanku kok, jadi pasti aman rahasia kita] balas Tirta mengajak lebih. Sepasang lawan jenis, berada dalam kamar penginapan mau ngapain kalau nggak begituan. Itu yang ada dalam pikiran. Membayangkan saja rasanya sudah sesak nafas.[Ok. Atur saja, aku ngikut] Lika pun membalasnya seperti itu. Kucing di kasih ikan asin ya pasti di sambarlah. Walau tak semua lelaki. Tergantung keimanan hatinya. Entahlah, nggak ngerti jalan pikiran Lika. Apa karena demi k
Lika sudah di bawa pulang oleh ke dua orang tuanya. Toni tinggal bersama Ibu. Sampai detik inipun aku masih nggak habis pikir dengan Lika. Kenapa dia tega mengkhianati Toni? Membuat rumah tangganya berantakan. Tapi kembali lagi ke ketentuan Allah. Dia ingin menghancurkan rumah tanggaku, malah rumah tangga dia yang berantakan.Aku mengutak atik gawai, membaca kembali hasil screnshoot yang aku ambil kemarin. Gawai Lika juga sudah aku kembalikan. Aku titipkan kepada Bu Santi, karena Lika pingsan kemarin.[Lika, kalau kamu nggak punya anak, bisa-bisa harta mertuamu jatuh ke Yuda, anak Rasti. Kamu harus segera hamil] chat Mbak Juwariah.[Iya Mbak. Aku dan Mas Toni juga sudah berusaha, tapi nggak tahu nggak hamil-hamil] jawab Lika di chat tersebut.[Kalau bisa anakmu juga laki-laki, kalau sampai perempuan, paling dikit dapatnya] balas Mbak Ria berusaha mengubah polah pikir Lika.[Mbak Rasti orangnya baik Mbak, polos gitu, nggak mungkin dia ada kepikiran sampai ke situ] jawabnya Lika, aku me
Chat satu waktu berhenti sampai di sini. Rencana dia ternyata berhasil waktu itu. Ibu semakin membenciku. Mas Riko juga sempat terhasut sehingga tak mau pulang kerumah. Sampai-sampai Mas Riko menamparku waktu itu. Astaga Lika, aku sampai detik ini masih tak percaya kamu seperti ini. Benar-benar ular berbisa.Dengan hati yang merasa tersayat aku melanjutkan membaca chat mereka lagi. Penasaran bagaimana kebahagian mereka di atas penderitaanku waktu itu.[Gimana?] Mbak Juwariah chat hanya seperti itu. Tapi Lika seakan faham arah pertanyaannya kemana.[Puas, Mbak. Ibu dan Mas Riko percaya sepenuhnya dengan ucapanku. Sampai-sampai Mas Riko nggak mau pulang, dia tidur di rumah ibu] balas Lika, di tambah dengan emotikon tertawa lepas. [Wah, bagus itu. Aku yakin Rasti nggak akan betah dan milih pulang ke orang tuanya] jawab Mbak Juwariah. Juga di tambah dengan emotikon ngakak puas. Air mataku terjatuh membaca chat mereka ini. walau sudah aku baca sebelumnya. Tapi tetap saja sesak hati ini, k
"Mbak Rasti, beneran, ya, Lika sama Toni cerai?” tanya Mak Rida saat aku belanja di warungnya. Pertanyaan yang paling malas untuk menjawabnya. Karena setiap ketemu tetangga selalu itu yang di tanyakan.“Iya, Mak, baru pisah rumah, belum cerai negara. Semoga bisa rujuk lagi,” jawabku, mencoba santai. Mak Rida mengangguk-angguk.“Lika juga kebangetan, banyak yang ngegosipin dia,” sahut Mak Rida lagi. Aku masih memilih-milih telur. Terdiam tak ingin menjawab. Nanti kalau di jawab pasti akan panjang dan melebar kemana-mana. Untung ini warung sepi. Sempat banyak yang belanja, selesai aku di serang pertanyaan.“Eh, berarti gosip Lika dan saudara Juwariah itu benar, ya?” tanya Mak Rida lagi masih gigih dengan kekepoannya. Kuatur nafasku, serasa sesak kalau di tanya rumah tangga Lika dan Toni. Sebenci apapun Lika, setidaknya aku tak berhak membeberkan aibnya. Walau aibnya sudah kebeber dengan sendirinya. Setidaknya bukan dari mulutku.“Semoga hanya gosip, ya, Mak,” aku masih menjawab seperti
Aku pulang dari warung Mak Rida dengan penuh tanda tanya. Kalau benar ucapan Mak Rida, betapa sakit hatinya Lika jika mengetahui. Apa memang udah tahu? Ah, Kopi, kenapa kamu nggak merasa puas dengan kehidupanmu. Padahal semua orang dulu menyayangimu dan memujamu. Membuat tindakan tanpa di pikir panjang dulu untuk efek jangka panjangnya. Kasihan kamu.Aku hanya bisa apa sekarang? Hanya bisa melihat kehidupan Kopi yang berubah drastis dari sebelumnya. Melihat adik ipar yang sebentar lagi menyandang status duda. Kasihan sekali Toni. Padahal dia suami yang nggak neko-neko. Menjunjung tinggi arti sebuah pernikahan.“Kamu kenapa? Bengong aja dari tadi?” tanya Mas Riko, otomatis membuyarkan lamunanku. Aku belum menjawab. Masih sibuk menyusun belanjaan di lemari dapur.“Ngelamunin apa, sih?” tanya Mas Riko lagi. Seakan dia bisa membaca raut mukaku yang bengong melompong, memikirkan ucapan Mak Rida tadi.“Habis belanja pasti dengar gosip, ya?” tanya Mas Riko lagi, menebak-nebak kondisi hati da
[Saudara aku ada yang mau kenalan? Mau nggak?] chat Mbak Juwariah ke Lika. [Cewek apa cowok?] balas Lika. Kulihat jam balasan tak berselang lama. Cepat juga Lika membalasnya.[Cowok dong, namanya Tirta] balas Mbak Juwariah lagi, sama-sama cepat mereka balasnya. Mungkin memang lagi santai.[kok, nggak di balas? Mau nggak? Dia fans beratmu] Mbak Juwariah chat lagi. karena Lika agak lama membalasnya.[Ganteng nggak?] akhirnya Lika menanggapi. Aku tersenyum membaca chat dari Lika ini. Masih mikir juga dia masalah wajah.[Ganteng, Dong! Lebih ganteng dari Toni malah] jawab Mbak Ria. Astaga memang benar-benar promosiin Tirta.[Ok lah, hitung-hitung tambah teman] balas Lika. Di balas emotikon suka dan love dari Mbak Juwariah bheserta nomor kontak hape Tirta.Percakapan satu waktu berhenti sampai di sini. Seperti itulah awal mula Mbak Juwariah mengenalkan Tirta ke Lika. Memperkenalkan yang baik, tapi Lika bisa masuk ke perangkap yang sudah di persiapkan.Ku letakkan gawai ke meja. Menyudahi
“Kamu yakin kalau Lika beneran hamil?” tanya Mas Riko langsung ke arah itu. Aku beranjak dari duduk dan menuju ke dapur. Membuatkan Toni kopi.“Ragu,” hanya itu jawaban yang aku dengar dari mulut Toni. Aku masih terus membuatkan dia kopi. Tak membuat waktu lama, untuk membuatkan dia kopi.“Di bawa Lika periksa ke dokter kandungan, kamu yang pilih dokternya,” sahutku seraya menaruh segelas kopi di meja dekat Toni duduk.“Kalaupun beneran hamil, aku juga ragu itu anak siapa?” balas Toni. Menyandarkan badannya. Aku terdiam saling beradu pandang dengan Mas Riko.“Setidaknya kita cek dulu aja, beneran hamil atau tidak,” saran Mas Riko. Aku mengangguk.“Di saat seperti ini, aku tak mengharapkan kehamilan dia. Kalaupun itu benar-benar anakku, aku tak sanggup bersatu lagi dengan Lika. Karena dia sudah tidur dengan laki-laki lain,” balas Toni, seraya mengambil kopi, meniupnya pelan-pelan, lalu menyeruputnya.“Ini yang bikin nagih ke sini, kopi buatan Mbak Rasti memang lezat,” ucap Toni lagi, s
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu