Rasti juga melihat Naila baik orangnya. Sholatnya juga rajin dan juga sangat apa adanya. Tidak bermuka dua kayak Lika dulu. “Sudah masuk belum kiriman fotonya, Mbak?” tanya Naila kepada Rasti. Karena dia baru saja mengirimkan foto USG itu ke WA Rasti.“Udah, Nai, baru saja masuk,” jawab Rasti seraya memandang gawainya. Kemudian juga ikut mengupload foto itu di sosial medianya. Belum lama mereka berdua upload, banyak sekali like dan komentar yang berdatangan. Hingga mereka senyum-senyum sendiri melihat gawai masing-masing.“Mbak, besok yang ngasih nama anak itu, siapa? Mbak apa aku?” tanya Naila polos. Rasti tersenyum mendapati pertanyaan Naila.“Kamu sama Toni aja yang kasih nama, kan, kalian yang akan merawatnya,” jawab Rasti. Jawaban Rasti seperti ini, membuat Naila melebarkan senyumnya.“Makasih banget, ya, Mbak udah baik sama aku,” ucap Naila seraya memeluk kakak iparnya itu. Rasti membalas pelukkan itu dengan hangat.“Sama-sama Naila, Mbak percaya dan sayang sama kamu dan Toni.
“Lika, tante boleh minta tolong?” ucap Tante Lexa masuk ke kamarku. Aku lagi membereskan kamar. Menata baju-bajuku di dalam lemari. Karena baju-bajuku masih di dalam koper.“Minta tolong apa, Tante?” tanyaku kepada Tante Lexa seraya memandangnya. “Belanja kebutuhan panti, Tante mau belanja ini udah ada janji sama salah satu donatur,” jawab Tante Lexa. Belanja kebutuhan panti? Kalau belanja kebutuhan aku sendiri sendir atau belanja baju gitu, sih, dengan senang hati. “Gimana, bisakan?” tanya Tante Lexa. Tanya saja begitu, ‘Bisa kan?’ Bukannya, ‘bisa nggak?’ Kalau tanyanya ‘bisakan?’ mau tak mau aku jawabnya bisa.“Iya, Tante, bisa,” jawabku maksa. Tante Lexa tersenyum dan kemudian menyodorkan selembar kertas putih. Segera aku melihatnya. Ternyata isinya daftar-daftar belanja yang harus di beli. Banyak juga ternyata.“Segini banyaknya, Tante?” tanyaku meyakinkan. Bisa gempor kaki harus beli belanjaan segini banyak. Mana belanjaan yang bikin nggak happy lagi.“Iya, namanya juga kebutuh
“Cepetan, dong! Lama banget di tungguin!” teriak Malik, baru saja kaki ini menginjak pintu keluar. Teriakkan Malika kecap asin sudah berdenting saja. Apalagi kalau seharian ini harus bersama dia? bisa-bisa berdengung ini telinga.“Sabar! Namanya juga cewek,” sungutku.“Halah, mau pakai make up setebel apapun, tetep nggak akan berubah, tetep aja jelek,” sungut Malik juga. isshh, memang benar-benar ngeselin itu anak.Tanpa di komando aku langsung membuka pintu belakang mobil. Hendak duduk di belakang saja. Males banget duduk di depan jejeran sama kecap asin.“Enak saja duduk di belakang, emang aku sopir?” tiba-tiba Malik menarik pergelangan tanganku dan menutup lagi pintu mobil itu.“Ish, apa-apaan, sih,” sungutku seraya menarik tanganku. Tapi percuma genggaman tangannya lebih kuat. Dia tetap menarikku dan membukakan pintu depan. Memaksaku duduk di depan. Dari pada badan sakit semua, karena memberontak, akhirnya aku nurut saja. Dari pada panas ini pergelangan tangan. Benar sajalah, calo
“Doorrrrrr,” seketika aku terkejut mendengar suara orang yang menepuk pundakku lumayan kuat. Reflek saja langsung mengarah ke asal suara itu. Benar, siapa kalau bukan kecap asin.“Malik, bisa nggak usah bikin darah tinggiku naik,” sungutku. Dia malah tertawa lebar. “Nggak tega juga mau ninggalin Lika liku kehidupan belanja sendirian,” jawabnya nggak nyambung.“Iya, ngapain ke sini?” tanyaku. Aku sudah berada di dalam supermarket. Belanja kebutuhan panti yang lumayan banyak. Bukan lumayan lagi, memang banyak.“Santai, sih, kalau ngomong. Tadi itu sengaja ngerjain kamu,” sahutnya enteng. Enteng banget. Padahal aku udah teriak-teriak manggil namanya udah kayak mau putus ini tenggorokkan.“Ngerjain? Sampai mau putus ini tenggorokkan manggil-manggil kamu tadi, Lik,” sungutku lagi. dia malah ngakak nggak jelas. Gusti! Kenapa harus ketemu lagi sama manusia model begini.“Masih maukan, belum putus,” ucapnya seraya mendorong trolly. Huft, makin dongkol saja ini hati.“Lik, kenapa kamu nggak n
Mobil langsung berlalu dengan cepat. Kencang dia membawa mobil ini. Entah mau kemana. Aku mau bertanya juga nggak berani. Aku hanya bisa meliriknya. Wajahnya seakan cemas dan khawatir. Kalau tadi dia ngebut saat ngerjain aku, wajahnya santai dan nyengir-nyengir gitu. Ini tidak, dia memang benar-benar lagi mengejar sesuatu, agar cepat sampai tujuan.Akhirnya mobil sampai di halaman rumah yang sederhana. Dia langsung turun tanpa ngomong sepatah katapun dengan ku. Nggak mungkin juga aku bertahan di dalam mobil. Akhirnya aku ikutan turun. Aku lihat rumah itu sepi, cuma ada motor satu yang berada di teras rumahnya. Dengan langkah yang sedikit ragu aku mendekati rumah itu.Pintu rumah itu sudah terbuka, karena saat kami datang memang sudah terbuka. Karena ada motor juga di luar. Setelah mendekat, Malik lagi menggendong seorang perempuan paruh baya, kayaknya menuju kamar mandi.Aku teringat ucapan Tante Lexa. Kalau Malik sedang merawat ibunya yang terkena stroke. Mungkin itu ibunya. Akhirny
Akhirnya aku sudah bisa merebahkan badanku di ranjang. Seharian belanja kebutuhan panti bersama Malik capek juga. Tapi, lumayan jugalah hari ini, keluar bersama Malik membuatku sedikit bisa menghilangkan stress. Aku tinggal di panti ini saja, sudah stress sebenarnya. Aku yang terbiasa dengan kerjaan yang padat, ke sana ke sini naik motor, ini harus berdiam di dalam panti. Nggak punya teman. Teman-teman yang ada di sini, cuma anak-anak panti yang umurnya jauh di bawahku.Mata ini melihat langit-langit kamar. Membayangkan kejadian hari ini bersama Malik.“Kamu laper?” tanya Malik saat aku merasa ngos-ngoson karena capek juga muter-muter supermarket untuk membeli barang yang belum di beli.“Bukan capek, tapi haus,” jawabku seraya mengerucutkan bibir. Kemudia dia mengacak rambutku. Menyebalkan sekali.“Yaudah, sabar, ya! aku belikan minum dulu,” ucapnya seraya tersenyum. Tumben baik diakan? Biasanya juga nggak perduli.Seraya menunggu Malik membeli air minum, aku memainkan gawaiku. Mengu
“Aku laper, jadi kita makan dulu,” ucapnya. Jujur saja aku juga laper, jadi ya udahlah nurut saja. Iya, kalau di panti ada makanan yang enak? Kalau nggak? Ah, bisa kelaparan aku. Karena di panti tidak setiap hari makan enak.“Lik, kamu kerja apa?” tanyaku saat di dalam mobi. “Ngerampok,” jawabnya seraya melebarkan tawanya. Tuh, ka? Dia mulai resek, kumat gilanya.“Serius, Lik, aku ini tanyanya,” jawabku. Karena aku penasaran, dia laki-laki sendiri dalam rumahnya. Adiknya masih sekolah dan ibunya juga sakit. Jadi jelas mau tak mau, Malik yang menjadi tulang punggung keluarga.“Aku juga serius, ngerampok kerjaanku,” jawabnya semakin lebar saja tawanya. Semakin dia melebarkan tawa, semakin membuatku kesal. Karena emosi dengernya.“Taulah, gelap,” sungutku sambil mencemberutkan bibir. Dia makin menjadi tawanya. Kemudian mobil berhenti di salah satu rumah makan. Malik segera turun dan aku mengikuti. “Makan di sini kita, ya?” ucap Malik memandangku seraya tersenyum. Aku manggut-manggut sa
Semakin hari berkutat di panti terasa sangat jenuh. Nggak punya teman, hanya beteman dengan anak-anak panti yang umurnya jauh di bawahku. Mungkin hanya ngobrol dengan Tante Lexa. Itupun kalau Tante Lexanya lagi nggak sibuk. Benar-benar membuat suntuk.Karena suntuk berada di dalam kamar, aku keluar. Duduk-duduk di taman mini, panti ini. memainkan gawai, ingin menelpon Mama. Melihat Malik yang begitu sayang dengan Ibunya yang lagi sakit, membuatku ke ingat Mama. Segera aku mengambil gawai dan mencari nomor kontak Mama. Karenas selama ada di panti ini, aku belum pernah menelpon Mama. Kepikaran Mama aja juga nggak. Jahatnya aku jadi anak. Padahal Mama nggak pernah merepotkanku.Bergetar juga tanganku ingin menghubungi Mama. Hati ini juga berdegub. Entahlah, nggak kayak biasanya. Biasanya kalau telpon ya tinggal telpon saja. Tapi ini perasaanku berbeda. Aku seakan merasakan bersalah. Ya, aku memang banyak salah ke Mama. Sering membuatnya marah dan malu. [Hallo, Nak, apa kabar?] terdenga
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu