Kami menunggu kedatangan Lika dan Toni. Nggak tahu kenapa malah aku yang deg-degan. Ibu nampak meremas ujung bajunya. Seakan geram, tapi tatapan matanya padaku juga masih belum bersahabat. Aku sendiri tidak tahu jalan fikiran Ibu. Jelas-jelas ibu yang salah dan video amatir itu sudah menyebar, tapi seakan dia tak mau mengakui kesalahannya. Di matanya tetap aku yang salah dan tetap aku yang harus meminta maaf padanya. Resiko gula yang selalu tak di anggap ada keberadaannya.Terdengar suara motor berhenti di halaman rumah ibu. Suara motor yang tak asing lagi, motor Toni. Tapi telingaku mendengar ada dua motor yang berhenti. Siapa satunya? Aku mengintip dari jendela ruang tamu, ternyata satunya Lika. Mereka tidak berboncengan. Mungkin Toni sudah tak mau membonceng Lika lagi, karena sudah jatuh talak.Kulihat ibu masih belum beranjak dari tempatnya. Tatapan mata yang penuh amarah terpancar. Ujung bajunya sudah terlihat sangat kusut, karena masih di remasnya. Seakan itu cara ibu, untuk me
“Kamu itu selingkuh dan berzina, tak pantas diberi kesempatan ke dua,” sungut Toni. Toni terlihat bener-bener marah. Biasanya dia selalu selow menanggapi suatu masalah. Tapi kali ini, dia bener-bener marah yang tak bisa di bendung lagi.“Bukan hanya itu, kamu juga yang sudah berusaha ingin membuat Ibu dan Mbak Rasti jadi tak akur, juga akan menghancurkan rumah tangga Mbak Rasti dan Mas Riko. Kamu sudah sangat kelewatan Lika,” sungut Toni lagi. “Tapi, Mas. Beri aku kesempatan sekali lagi dan beri aku kesempatan untuk menjelaskan ini semua!” Lika masih berusaha meminta waktu agar dia bisa klarifikasi. Tapi tak ada yang mengindahkan keinginannya.“Cukup, Lika!!! Besok akan saya antar kamu pulang ke rumah orang tuamu biar semua jelas. Aku nggak mau menanggung dosa besar karena ulahmu yang di luar batas,” tegas ibu. Lika membelalak mendengar ucapan Ibu.“Itu bohong, Bu? Itu fitnah,” sahut Lika seakan ingin membela diri dengan cara merayu ibu. Ibu terlihat selalu menepis tangan Lika saat b
Plaaaakkkk. Ke dua kalinya ibu menampar Lika. Hatiku bergemuruh, nafasku naik turun. Aku kira ibu akan percaya dengan ucapan Lika. “Sudah ada bukti kamu masih mengelak dan menuduh Rasti?” sungut ibu setelah menampar pipi Lika. Kulirik Toni. Wajahnya terlihat merah, matanya terlihat sangat kecewa. Begitu juga dengan Mas Riko.“Ibu sudah tidak percaya lagi denganku?” Lika tanya balik. Membuat ibu terlihat semakin geram.“Kamu sudah ketahuan bersalah dan mau zina sama selingkuhanmu itu. Apa ibu masih harus percaya denganmu?” sungut ibu semakin naik. Lika tertunduk.“Lika! Katakan padaku? Aku salah apa sama kamu? Sehingga kamu sangat membenciku?” tanyaku bertubi-tubi. Dia mengerutkan keningnya. Menatapku dengan berani.“Karena kamu ingin nguasai harta ibu dengan Yuda sebagai senjatanya. Karena kamu tahu aku nggak punya anak,” bentak Lika. Aku melongo tak percaya.“Owh, jadi itu alasanmu selingkuh? Ingin punya anak walau bukan benih dari suamimu?” ucapku juga dengan membentak. Toni terlih
“Sudah ketahuan, masih mau nuduh istriku!” ucap Mas Riko lagi. Lika terdiam seakan bingung mau ngomong apa.“Toni! bawa juwariah ke sini!” perintah ibu ke Lika. Semua terdiam. Lika nampak semakin salah tingkah.“Kenapa harus membawa Mbak Ria ke sini, Bu?” tanya Lika seakan tak mau menuruti perintah ibu.“Karena ibu ingin mendengar secara langsung dari mulut kalian berdua,” sungut ibu.“Kalau gitu, biar aku saja yang menjemput Mbak Ria,” Lika menawarkan diri, seraya beranjak dari posisinya.“Tidak!!! Biar Toni saja yang jemput, nanti kamu bisa kerja sama untuk menyamakan omongan,” ucap ibu menghentikan langkah Lika.“Ibu? aku ini menantu kesayanganmu, apakah segitunya ibu sudah tak mempercayaiku?” ucap Lika seakan tak percaya, kalau mertuanya kini sudah tak mempercayai ucapannya lagi. ibu terdiam membuang muka.“Cepat Toni jemput Juwariah!!!” perintah Ibu dengan nada yang tegas. “Baik, Bu!” sahut Toni, beranjak dari duduknya. Di saat menunggu kedatangan Toni dan Mbak Juwariah, kami t
Entah apa yang terjadi. Aku juga merasa sangat cemas. Menunggu kedatangan Mas Riko yang menyusul Toni terasa sangat lama. Kutautkan ke dua tanganku. Meremas-remas, mengontrol degub jantung yang semakin tak menentu. Kulihat ibu juga demikian, meremas-remas ujung bajunya menunggu kedatangan dua putranya dan Lika masih berkutat dengan gawainya. Mau melirik dia chat dengan siapa, tapi anti gores layarnya menggunakan warna hitam, jadi tak kelihatan. Ibu beranjak dari duduknya, mondar mandir, menunjukkan dia sangat cemas dan berkali-kali melongok ke arah pintu. Bahkan kalau terdengar suara motor, langsung bergegas menuju pintu. “Ada apa ini, kenapa mereka lama sekali?” Ibu bertanya entah kepada siapa. Tak menyebut nama. Aku terdiam dan khusuk berdoa dalam hati semoga tak ada apa-apa.“Kita berdoa saja, Bu! semoga tak terjadi apa-apa,” jawabku, ibu terdiam masih dengan mondar-mandirnya. Ibu sampai keluar rumah menuju jalan. Melongok ke kanan jalan, berharap anak-anaknya segera sampai ruma
Keadaan Toni cukup memprihatinkan. Tapi tak sampai di rujukan ke Rumah Sakit. Dia mengalami kecelakaan tunggal, karena ban motornya meletus tiba-tiba di saat kecepatan tinggi. Terdapat lecet-lecet di siku tangan dan kaki dan wajah. Karena tidak menggunakan helm.Mas Riko mengajakku pulang karena dia lapar. Mau makan di area Puskesmas dia tak selera. Aku menuruti. Kasihan juga. lagian sudah ada Ibu dan Lika yang menemani. Sekalian menjemput Yuda pulang dari sekolah.“Mas, gimana cerita sebenarnya, kok, Toni bisa terjatuh kayak gitu?” tanyaku setelah sampai rumah. Mas Riko duduk di kursi makan. Ku ambilkan nasi beserta lauknya. Begitu juga dengan jagoanku, Yuda. Kami makan siang bersama dengan lauk sambal kikil cabai hijau.“Tepatnya nggak tahu juga, Dek. Belum jelas. Yang jelas, Mas sampai sana, Toni sudah tergeletak dan di tolongi orang-orang yang lewat,” jawabnya seraya memasukkan sendok yang berisi makanan ke dalam mulutnya.“Mah, minum, dong!” celetuk Yuda kepedasan. Ku beranjak me
“Nggak tahu, Dek. Mas nyadar kalau hape Mas nggak ada di saku, saat sudah sampai Puskesmas karena mau menghubungi kamu atau ibu. Untung ketemu Pak Sarkam,” jawab Mas Riko. Yah, mau gimana lagi. Tak bisa di paksakan untuk mengingat.“Tapi, kalau idenya Lika, untuk apa? lagian ibu dan Toni juga sudah lihat?” tanya Mas Riko lagi. Terdiam sesaat mengatur desah nafasku.“Memang, iya, tapikan keluarga Lika belum ada yang lihat video itu, Mas!” jawabku, bergabung duduk lagi di dekatnya. Mas Riko mengusap wajahnya. “Benar juga,” jawabnya pelan. “Takutku, nanti Lika berkilah. Bilang ke semua keluarganya kalau Toni yang bermasalah,” ucapku. Mas Riko mengangguk menyetujui pemikiranku.“Lika yang sudah ketahuan selingkuh dan ada bukti videonya, masih berkilah menuduh aku dalang di balik semua ini, apalagi kalau tanpa bukti?” ucapku lagi. Mas Riko semakin berdesah kasar. Terlihat bingung.“Semoga saja hape itu memang hilang dan ada orang baik yang menemukan, di kembalikan kepada yang punya,” uca
Mas Riko menghampiri Toni, yang amarahnya masih memuncak. Menenangkan sebisanya. Lika di seret Ibu keluar dari ruangan. Aku jadi bingung sendiri, mau ke Toni atau ke Lika? Ah, akhirnya aku memilih mendekekati Toni.“Sabar, Ton, malu ini Puskesmas!” Mas Riko mengusap pundak adiknya. Mencoba menenangkannya.“Lika keterlaluan, Mas!” jawabnya masih dengan nafas memburu. Ada apa sebenarnya? Tak seperti biasanya Toni marah kayak gitu. Setahuku, Toni bisa mengontrol emosi.“Ada apa sebenarnya?” tanya Mas Riko pelan. Menatap tajam wajah adiknya. Toni mengusap wajahnya pelan. Seakan berat sekali mau menjawab ucapan Abangnya.“Aku bingung mau menjelaskan, Mas,” jawab Toni meringis, menahan rasas sakit sikunya karena gerak. Iya, terdapat banyak goresan aspal di badan Toni.“Ya, udah, tenangkan dulu pikiranmu, Ton!” sahutku. Kulirik Yuda, dia melongo saja melihat kejadian ini.“Minum dulu, Ton!” aku meyodorkan sebotol air mineral pada Toni. Dia menerimanya dan meneguknya hingga separo.“Mas, Mbak
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu