Entah apa yang terjadi. Aku juga merasa sangat cemas. Menunggu kedatangan Mas Riko yang menyusul Toni terasa sangat lama. Kutautkan ke dua tanganku. Meremas-remas, mengontrol degub jantung yang semakin tak menentu. Kulihat ibu juga demikian, meremas-remas ujung bajunya menunggu kedatangan dua putranya dan Lika masih berkutat dengan gawainya. Mau melirik dia chat dengan siapa, tapi anti gores layarnya menggunakan warna hitam, jadi tak kelihatan. Ibu beranjak dari duduknya, mondar mandir, menunjukkan dia sangat cemas dan berkali-kali melongok ke arah pintu. Bahkan kalau terdengar suara motor, langsung bergegas menuju pintu. “Ada apa ini, kenapa mereka lama sekali?” Ibu bertanya entah kepada siapa. Tak menyebut nama. Aku terdiam dan khusuk berdoa dalam hati semoga tak ada apa-apa.“Kita berdoa saja, Bu! semoga tak terjadi apa-apa,” jawabku, ibu terdiam masih dengan mondar-mandirnya. Ibu sampai keluar rumah menuju jalan. Melongok ke kanan jalan, berharap anak-anaknya segera sampai ruma
Keadaan Toni cukup memprihatinkan. Tapi tak sampai di rujukan ke Rumah Sakit. Dia mengalami kecelakaan tunggal, karena ban motornya meletus tiba-tiba di saat kecepatan tinggi. Terdapat lecet-lecet di siku tangan dan kaki dan wajah. Karena tidak menggunakan helm.Mas Riko mengajakku pulang karena dia lapar. Mau makan di area Puskesmas dia tak selera. Aku menuruti. Kasihan juga. lagian sudah ada Ibu dan Lika yang menemani. Sekalian menjemput Yuda pulang dari sekolah.“Mas, gimana cerita sebenarnya, kok, Toni bisa terjatuh kayak gitu?” tanyaku setelah sampai rumah. Mas Riko duduk di kursi makan. Ku ambilkan nasi beserta lauknya. Begitu juga dengan jagoanku, Yuda. Kami makan siang bersama dengan lauk sambal kikil cabai hijau.“Tepatnya nggak tahu juga, Dek. Belum jelas. Yang jelas, Mas sampai sana, Toni sudah tergeletak dan di tolongi orang-orang yang lewat,” jawabnya seraya memasukkan sendok yang berisi makanan ke dalam mulutnya.“Mah, minum, dong!” celetuk Yuda kepedasan. Ku beranjak me
“Nggak tahu, Dek. Mas nyadar kalau hape Mas nggak ada di saku, saat sudah sampai Puskesmas karena mau menghubungi kamu atau ibu. Untung ketemu Pak Sarkam,” jawab Mas Riko. Yah, mau gimana lagi. Tak bisa di paksakan untuk mengingat.“Tapi, kalau idenya Lika, untuk apa? lagian ibu dan Toni juga sudah lihat?” tanya Mas Riko lagi. Terdiam sesaat mengatur desah nafasku.“Memang, iya, tapikan keluarga Lika belum ada yang lihat video itu, Mas!” jawabku, bergabung duduk lagi di dekatnya. Mas Riko mengusap wajahnya. “Benar juga,” jawabnya pelan. “Takutku, nanti Lika berkilah. Bilang ke semua keluarganya kalau Toni yang bermasalah,” ucapku. Mas Riko mengangguk menyetujui pemikiranku.“Lika yang sudah ketahuan selingkuh dan ada bukti videonya, masih berkilah menuduh aku dalang di balik semua ini, apalagi kalau tanpa bukti?” ucapku lagi. Mas Riko semakin berdesah kasar. Terlihat bingung.“Semoga saja hape itu memang hilang dan ada orang baik yang menemukan, di kembalikan kepada yang punya,” uca
Mas Riko menghampiri Toni, yang amarahnya masih memuncak. Menenangkan sebisanya. Lika di seret Ibu keluar dari ruangan. Aku jadi bingung sendiri, mau ke Toni atau ke Lika? Ah, akhirnya aku memilih mendekekati Toni.“Sabar, Ton, malu ini Puskesmas!” Mas Riko mengusap pundak adiknya. Mencoba menenangkannya.“Lika keterlaluan, Mas!” jawabnya masih dengan nafas memburu. Ada apa sebenarnya? Tak seperti biasanya Toni marah kayak gitu. Setahuku, Toni bisa mengontrol emosi.“Ada apa sebenarnya?” tanya Mas Riko pelan. Menatap tajam wajah adiknya. Toni mengusap wajahnya pelan. Seakan berat sekali mau menjawab ucapan Abangnya.“Aku bingung mau menjelaskan, Mas,” jawab Toni meringis, menahan rasas sakit sikunya karena gerak. Iya, terdapat banyak goresan aspal di badan Toni.“Ya, udah, tenangkan dulu pikiranmu, Ton!” sahutku. Kulirik Yuda, dia melongo saja melihat kejadian ini.“Minum dulu, Ton!” aku meyodorkan sebotol air mineral pada Toni. Dia menerimanya dan meneguknya hingga separo.“Mas, Mbak
Keadaan Toni sudah semakin membaik. Dia tinggal di rumah Ibu sekarang. Ibu yang menyuruhnya. Nggak mungkin juga mau pulang ke rumahnya. Karena sudah menjatuhkan talak ke Lika. Mau tinggal di rumahku juga nggak di bolehin oleh Ibu. Aku dan Yuda berada di rumah Ibu sekarang. Mas Riko lagi ada kerjaan manen sawit. Hubunganku dengan Ibu juga sudah semakin membaik. Ucapan Ibu juga sudah lumayan lembut. Aku mendekati Toni yang lagi duduk di depan TV bersama Yuda. “Ton,” sapaku.“Iya, Mbak,” jawabnya seraya mengecilkan volume TV. “Mau tanya sesuatu, boleh?” tanyaku terlebih dahulu sebelum bertanya ke intinya. Di melihatku dan tersenyum. Wajahnya yang habis terjatuh terlihat menghitam bekas lukanya.“Serius amat, Mbak. Tanya aja. Kalu bisa ya di jawab, kalau nggak bisa jawab, nanti aku searching do google, hahaha,” jawabnya terkekeh. Aku juga ikutan terkekeh mendengar ucapannya.“Mbak kan kenal kamu udah lama, ya? Jadi mbak sedikit tahu lah karakter kamu,” ucapku basa basi. Memang seakan t
“Dia malah bilang, kalau aku sudah tak ada hak lagi, karena aku telah menjatuhkan talak ke dia, jadi masalah kata sandi itu, itu sudah menjadi privasinya. Aku nggak perlu tahu,” jawabnya sesekali menyeruput kopinya.“Benar sih, Ton, ucapan Lika itu. Kamu sudah tak ada hak lagi atas dia, kamu nyesel jatuhin talak ke dia?” ucapku seraya bertanya. Dia terdiam sejenak, menyandarkan punggungnya ke kursi.“Tingkah dia seolah ingin rujuk tak mau pisah denganku. Tapi ternyata itu hanya kedok. Nyatanya aku meminta kata sandinya dia ngomong seperti itu. Harusnya kalau dia memang benar-benar ingin rujuk denganku, jangan seperti itu,” jawabnya. Ya, aku bisa mengerti maksudnya. Penilainku, Toni juga masih berharap Lika bisa berubah.“Maka dari itu kamu marah-marah?” tanyaku lagi masih berusaha mengorek tuntas kejadian kemarin. “Iya, karena Lika juga ngomongnya kasar dan kenceng, terbawa emosi aku, Mbak. Lagian badanku juga sudah merasa nggak enak, malah di tambah omongan yang tak enak pulak,” jaw
Dengan perencanaan yang matang aku menceritakan semua ideku dengan Toni dan Ibu. mereka menyetujui dan mendukung rencanaku. Setelah Mas Riko pulang dari manen sawitnya juga aku sampaikan. Dia juga menyetujuinya.Hati terasa berbunga-bunga. Kini semua orang telah menerima ide dan saranku. Terutama ibu. Padahal ibu orang yang paling gengsi menyetujui gagasanku. Kini lambat laun ibu telah membuka pintu hatinya, walau susah tapi akhirnya terbuka pelan-pelan.Semua rencana sudah di atur. Semua mempunyai tugasnya masing-masing. Dan aku bagian datang ke rumah Lika. Ya, Lika belum pulang ke rumah orang tuanya. Dia masih di rumah Toni. “Assalamualaikum,” salamku saat berada di rumah Lika. Karena aku sudah mencari tahu dulu Lika ada di rumah apa di Puskesmas. Dia di rumah sekarang. Terbukti motornya terparkir si teras walau pintu rumahnya tertutup.“Waalaikum salam,” jawab Lika sedikit berteriak dari dalam. Terdengar langkah kaki semakin mendekat. Tak berselang lama pintu terbuka.“Eh, Mbak.
“Iya!!!” deg. Hatiku terasa berhenti berdetak. Pertanyaan yang keceplosan tadi membuatnya menjawab dengan reflek. Seketika dia membungkam mulutnya sendiri. Seakan menyadari kalau ucapannya juga reflek.“Astaga Lika! Kamu tahu itu dosa besar,” Nafasku terasa naik turun. Terasa sakit hati ini. pengkhianatan janji suci pernikahan.“Persetan dengan dosa!” sungutnya. Lika seperti lagi kalap. “Lika, ok, ini hanya akan menjadi rahasia kita, tapi dengan satu syarat!” ucapku. Ingin mengembalikan keadaan sesuai rencanaku. Kulihat ekspresinya sedikit tenang mendengar ucapanku.“Apa persyaratannya?” tanyanya. Dengan tatapan menantang. Aku terdiam sejenak. Mengatur emosiku yang naik turun karena pengakuan dahsyat Lika.“Mbak niat awal datang ke sini karena ingin meminta maaf dengan mu, Lika. Selain itu Mbak ingin kamu menemui Toni, dia membutuhkanmu,” jawabku. Kulihat ekspresinya datar.“Mas Toni sudah menjatuhkan talaknya,” jawabnya terdengar serak.“Bisa rujuk lagi, Lika. Mbak yakin Toni pasti
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu