Nggak tahu kenapa semalaman aku nggak bisa tidur. Jadi Cuma gulang guling nggak jelas. Main hape sampai pedas mata juga nggak tidur-tidur. Entahlah, apa yang terjadi dengan diriku. Cek-cek akun Nayla dan Mas Toni juga nggak ada status baru. Karena nggak bisa tidur, akhirnya pagi ini, tanpa di bangunin siapapun bangun sendiri. Karena ya, memang belum tidur. Akhirnya aku memutuskan keluar. Aku lihat sudah banyak yang bangun. Anak-anak panti ini lumayan banyak ternyata. Masih ada yang kecil juga. Kasihan sekali mereka, masih sekecil itu sudah tak memiliki orang tua.“Kakak, anak baru?” tanya seorang anak kecil perempuan menatapku. “Kakak ini Bidan, jadi kalau kalian ada yang sakit, kakak ini yang akan menyuntik kalian,” sahut Tante Lexa menjawab pertanyaan anak itu. Kemudian mendekat.“Perkenalkan Kak, namaku Dilla,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.“Lika,” sahutku seraya menerima uluran tangannya. Dia tersenyum, manis sekali. Kemudian memamerkan gigi gingsulnya.“Semoga Lika bisa k
“Iya, Tante!” ucapku dengan nada lembut. Di lembut-lembutkan, aku nggak mau juga namaku jelek di mata anak-anak panti ini. Astaga! benar-benar nggak penting sekali,Aku mengambil piring-piring yang di perintahkan Tante Lexa. Pikiranku melayang-layang. Kalau aku masih di sini, bagaimana balas dendamku kepada Mbak Rasti dan Mbak Juwariyem. Aku juga nggak rela melihat Mas Toni dan Nayla hidup bahagia. Semakin buntu dan jauh saja rasanya, ingin menjalankan rencana balas dendam ini.“Lika, kamu kenapa? Kok, tante lihat dari tadi kamu diam saja?” tanya Tante Lexa. Bisa di akali ini biar aku segera keluar dari dapur ini.“Nggak apa-apa Tante. Cuma pusing saja,” jawabku selow dan lembut.“Kamu sakit?” tanya Tante Lexa lagi.“Nggak Tante, mungkin kurang tidur saja,” jawabku dengan nada lelah.“Emang tadi malam nggak tidur?” tanya Tante Lexa. Aku lihat dia sedang mengaduk-aduk sayur yang dia masak.“Nggak bisa tidur Tante,” jawabku selow. Mengambil selah hatinya.“Kenapa nggak bisa tidur? Apaka
Aku berkeliling di belakang rumah Tante Lexa. Menikmati indahnya taman kecil yang sangat rapi dan bersih. Anak-anak Panti juga pada berlarian. Bersendau gurau dengan teman-temannya. Melihat mereka merasa kasihan. Anak sekecil itu sudah harus kehilang ke dua orang tuanya. Betapa bersyukurnya aku. Aku duduk di kursi yang tak jauh dari jejeran bunga-bunga bermekaran. Sungguh asyik sekali. Di belakang rumah mewah Tante Lexa, siapa sangka akan menemukan taman kecil senyaman ini. Terlihat sekali kalau taman ini terawat. Tak ada sampah satupun yang berserak.Anak-anak panti di sini bergiliran membersih kan taman dan panti. Ada jadwal pikietnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Tapi tak tahulah bagaimana perasaan hatinya. Aku yakin pasti ada rasa iri dan cemburu, jika melihat anak seusianya di gandeng atau di peluk-peluk Papa dan Mamanya. Aku tak bisa membayangkan.Masih menjadi tanda tanya besar buatku. Kenapa aku di suruh kesini? Di suruh ikut Tante Lexa? Entah kenapa aku nggak percaya begi
Untung saja aku tak keluar. Kalau sempat aku keluar waktu itu, bisa-bisa aku gagal ingin mendekati dia. Secara dia nggak akan mau kenalan denganku lebih. Mungkin maulah kenalan, tapi hanya sekedar kenal saja. Jadi, aku akan menutupi siapa aku sebenarnya. Biarkan dia terpesona dulu denganku. Kalaupun ujung-ujungnya ketahuan, tapikan dia sudah ada rasa denganku.Aku beranjak berusaha mendekat. Ingin aku buat menabrak dia secara nggak sengaja. Persis kayak di sinetron-sinetron yang aku lihat. Dan aku akan mempraktekkannya untuk pertama kali. Semoga nggak malu-maluin.Bruuugghhhhhh. Sukses aku menabrak dia. “Eh, Maaf, Mbak,” ucapnya. Aku yang nabrak dia yang meminta maaf. Berarti nggak ketahuan kalau ini rekayasa saja.“Hati-hati dong, Mas kalau jalan,” ucapku sambil membersihkan bajuku yang kotor karena terjatuh. Hanya pura-pura. Jago juga aku akting ternyata.“Iya, Mbak, Maaf. Tadi saya asik lihatin anak-anak,” jawabnya. Aku mengangguk saja. Tak ada aku tampakkan wajah senyum. Ecek-ece
“Mas aku pengen rujak, isinya mangga muda, jambu air sama timun,” ucap Naila kepada Toni. Iya, dia nggak hamil, Rasti yang hamil. Tapi, nggak tahu kenapa dia yang merasakan nyidamnya. Apa mungkin karena udah janji Rasti ke Naila, ya? waktu dia belum menikah dengan Toni. Entahlah.Toni tinggal di rumah mertuanya. Rumah yang dia tinggali bersama Lika dulu sudah di jual. Karena dia nggak mau mengenangnya lagi. Sebenarnya bisa saja Toni membeli rumah lagi untuk di tempati bersama Naila, tapi dia memikirkan nasib Naila. Dia nggak mau Naila kenapa-kanapa. Karena menurut Toni, dia akan merasa tenang saat bekerja, kalau Naila tinggal di rumah orang tuanya. Jadi mending dia yang mengalah. Nggak apa-apa satu rumah dengan mertua. Walau sebenarnya bagi dia sebagai lelaki itu pantangan. Tapi dia membuang semuanya, membuang rasa gengsinya, demi kenyamanan istrinya.“Mbak Rasti yang hamil, aku yang nyidam,” ucap Naila lagi. Toni tersenyum.“Nggak apa-apa, kita deliveri aja, ya, ada ini di efbe yang
“Walaikum salam,” Rasti menjawab salam Naila. Kemudian membukakan pintu.“Mbak,” ucap Naila seraya mencium punggung tangan Rasti. Dia merasa kecil, merasa adik, makanya dia mencium punggung tangan Rasti.“Eh, Tante Naila,” jawab Rasti, sengaja memanggil Tante, membahasakan Yuda.“Ayo masuk!” perintah Rasti sangat ramah. Kehadiran Naila selama ini membuat keluarganya adem ayem. Tak pernah ada masalah lagi dari ibu.“Aku bawa rujak, aku pengen banget soalnya,” ucap Naila saat sudah duduk di sofa ruang tamu.“Wah, banyak sekali, kebetulan, Mbak baru saja membatin pengen rujak, eh, sudah datang saja,” balas Rasti. Naila tersenyum. Kemudian mengelus perut Rasti. “Hai, sayang, sehat-sehat, ya, kami semua menunggumu,” ucap Naila dengan nada gemes. Rasti tersenyum medengar ucapan Naila.“Iya, lo, Mbak, Naila yang ngidam,” ucap Toni.“Nggak apa-apa, berarti dedeknya nyatu dengan hati Mama Naila,” sahut Rasti. Mendengar Rasti ngomong seperti itu Naila merasa terharu, sungguh merasa terharu. Dia
“Lika, kamu ngimpi apa?” tanya Tante Lexa, seakan mengintrogasi. Mengucek mata, karena baru terbuka. Aku melirik jam dinding. Setengah satu siang. Lama juga aku tidur.“Ngimpi ketemu kawan, Tante,” jawabku asal saja. Kok, bisa-bisanya aku bermimpi Halim. Kata orang kalau kita ngimpiin orang itu, dia juga lagi mikirin kita. Apa bener? Tapi, kayaknya salah, deh. Kenapa aku bilang salah? Karena Halim belum pernah melihatku. Hanya aku yang sudah pernah melihatnya. Ah, mungkin aku hanya terbayang-bayang wajahnya yang tampan itu. Kenapa harus pacarnya Tante Nova, sih? Huft.“Yaudah, kamu cuci muka dulu! Kamu juga belum makan dari pagi, karena waktu tante cek tadi, mau anter makanan, kamu lagi pules-pulesnya,” ucap dan perintah Tante Lexa. Perut juga sudah merasa melilit. Iya, aku baru sadar kalau aku belum makan.“Iya, Tante,” jawabku kemudian beranjak dari kasur. “Yaudah, Tante tunggu di rumah, ya. Kamu makan di rumah Tante aja,” ucap tante Lexa juga ikutan beranjak. Aku mengambil handuk
Belum lagi teriakkan dari Papa dan Mama. Yalah, setidaknya telinga ini tenang dulu. Juga menenangkan degub jantung. Bukannya nggak bergetar ini jantung saat mendapatkan bentakkan. Tapi, memang aku buat santai.“Makan yang banyak, jangan sampai kurus hidup di sini,” ucap Tante Lexa. Aku tersenyum. Tante Lexa sangat baik. Dia nggak pernah berbicara kasar dan keras. Dia juga terlihat sangat sayang dengan anak-anak panti. Perhatian, cocok memang kalau dia memang pemilik panti.“Siap, Tante. Makanannya enak gini nggak mungkin sedikit makannya, pasti tambuh-tambuh,” sahutku seraya mengambil nasi, kemudian menyiduk gulai pucuk daun ubi itu.“Ini tempenya,” Tante lexa menyodorkan tempe goreng itu, agar lebih dekat kepadaku.“Maaksih, Tante,” sahutku. Tante Lexa tersenyum. Kemudian kami menikmati makan siang itu dengan santai.“Kamu betah nggak di sini?” tanya Tante Lexa. Setelah selesai makan. Baru saja mengelap mulutnya dengan tisue. Aku juga sudah selesai makan.“Dibetah-betahin sajalah Tan
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu