Sepengetahuanku, yang namanya mau lamaran, otomatis awalnya cowok atau ceweknya menyatakan cinta dulu. Kalau di terima, baru berlanjut ke lamaran. Lah, ini? pusing juga memikirkannya.Berarti kalau Halim dan Tante Nova nggak ada ikatan pacaran, masih sah-sah sajakan, jika hati ini berharap? Nggak di sebut pelakor juga kan? Nggak ngebayangin kalau Halim nikah dengan Tante Nova. Aku harus memanggilnya Om. OMG.Akhirnya selesai juga masak yang akan di hidangkan tamu ini. Entah siapa yang akan di undang nenek. Secara waktu Halim tadi yang datang tak seperti ini Nenek menyambutnya. Apakah ini lebih spesial di banding Halim? Owh, semoga saja.Setelah semua terhidang di meja makan, aku memandanginya. Banyak menu yang di olah. Iseng-iseng saja aku memotonya. Kemudian posting ke sosial media.[Untuk tamu spesial] seperti itulah caption yang aku cantumkan. Di tambahi emot love. Semoga saja Mas Toni dan Naila melihat. Kalau aku juga bisa bahagia. Benar saja, sekian menit di posting, like dan ko
“Cium tangan dulu, Lika!” perintah Nenek kepadaku terdengar sopan. Aku mengangguk kemudian mencium tangan emak-emak itu. Emak-emak yang di panggil nenek Bu Lexa.“Cantik sekali kamu sekarang, Lika,” pujinya kepadaku seraya mengelus rambutku. Mata ini masih belum berkedip melihat wajah emak-emak itu. Seakan nggak percaya kalau dia adalah tamu undangan nenek untukku. “Makasih, Tante,” jawabku. Selama ini aku memang nggak tahu namanya. Dari kecil aku memanggilnya Tante. Dia adalah ibu kandungnya Vito, sahabat waktu SMP. Cuma sekarang wajahnya sudah agak berubah. Sudah ada keriput di beberapa bagian.Tante Lexa menghambur memelukku. Memang sudah lama sekali kami tak ketemu. Entah sudah berapa tahun, semenjak aku lulus SMP sudah tak ketemu Vito lagi. Karena waktu SMA kami tak satu sekolahan. Tapi aku sering di ajak main ke rumahnya dulu. Makanya aku akrab dengan ibunya.Kurasakan badan Tante Lexa bergetar. Dia terisak memelukku. Ada apa? apa segitu kangennya padaku?“Tante kok nangis? Kan
“Lika niat Tante kesini ingin mengajakmu tinggal di rumah Tante. Menemani Tante, seraya kamu mencari pekerjaan di sini. Tante sudah tahu semuanya, tante juga sudah ijin kepada ke dua orang tuamu, apakah kamu mau?” tanya Tante Lexa.Aku semakin melipatkan kening. Kulihat semuanya mengangguk. Apakah mereka sengaja ingin membuangku? Sehingga mengijinkan Tante Lexa untuk menjemputku. Benar-benar aneh. Kenapa mereka ikhlas banget kalau Tante Lexa mengajakku tinggal bersamanya. Ada apa ini? Setahuku juga Tante Lexa bukan Ustadzah. Walau dia kemana-kemana menggunakan syar’i.“Tapi, Tante ...,”“Lika, turuti saja,” sergah Papa. Aku semakin bingung dengan ide konyol mereka-mereka ini. Kenapa harus Tante Lexa? Kenapa nggak di masukin ke pesantren sekalian? Ah, entahlah. Pusing aku memikirkannya. Kalau gitu, aku ikuti dulu alur mereka. Apa maksudnya memereka membuangku ikut bersama Tante Lexa. Niat hati ingin membantah habis-habisan. Malah Tante Lexa pula yang di datangkan. Nggak mungkin aku ma
Malik Ibrahim. Itulah nama sesorang yang di ajak Tante Lexa. Teman akrabnya Vito tapi musuhku waktu jaman sekolah. Selama sekolah Vito lah yang selalu menjadi penengah. Apakah itu artinya Malik juga serumah dengan Tante Lexa? Untuk mengobati rasa Tante Lexa? Ah, semoga saja tidak. semoga saja saja, Malik hanya mengantar Tante Lexa ke sini.Aku dan Malik hanya terdiam. Masih di rumah Nenek, dari makan hingga sekarang berada di dalam mobil Tante Lexa kami masih terdiam. Wajah Malik tidak jauh berubah. Cuma sekarang sudah dewasa saja. Entahlah, dia sudah menikah apa belum. Kasihan sekali yang menjadi istrinya. Pasti tekanan batin setiap hari. Secara Malik ngeselin banget orangnya. Tapi, nggak tahu juga dia sudah berubah apa belum? Semoga saja sudah. Kalau nggak tambah ngeselin.Tapi, lumayan juga sih, sebenarnya tampang Malik ini. Nggak malu-maluin kalau di bawa kondangan. Bodynya tinggi, hidungnya mancung dan berkulit sawo matang. Maco sih, tapi ada satu kekurangannya, ngeselin banget,
“Iya, tapi bukan berarti kamu jaid Nyonya,” sungutnya. Aku hanya mengerucutkan bibir menanggapi ucapannya.“Eh, kamu juga tinggal di rumah Tante Lexa?” tanyaku penasara. Dia tak menjawab, dia masih fokus mengeluarkan barang-barangku dari mobil.“Malik! Diam aja, sih, di tanyain!” sungutku. Dia masih fokus ngangkati barang-barangku. Kemudian dia mendekat. ‘Ngapa pula dia?’ lirihku dalam hati. Dia semakin mendekat. Bahkan wajahnya semakin mendekati wajahku. Aish, kok malah deg-degan gini.“Malik?” lirihku. Tapi dia semakin mendekatkan wajahnya. Huft, ini anak ngapain, sih.“KEPO!!!” teriaknya di dekat telinga. Sampai mendengung rasanya. Kututup telinga walau telat. Kemudian dia berjalan masuk menuju rumah Tante Lexa.“DASAR MALIKA KECAP ASIN!!!” teriakku kuat-kuat. Dia malah ngakak girang di atas penderitaanku. Telinga ini terasa berdengung. Tunggu saja pembalasanku Malik. ........Aku mengedarkan pandang saat kaki ini masuk ke rumah Tante Lexa. Rumah yang sangat rapi dan bersih. Bingk
Nggak tahu kenapa semalaman aku nggak bisa tidur. Jadi Cuma gulang guling nggak jelas. Main hape sampai pedas mata juga nggak tidur-tidur. Entahlah, apa yang terjadi dengan diriku. Cek-cek akun Nayla dan Mas Toni juga nggak ada status baru. Karena nggak bisa tidur, akhirnya pagi ini, tanpa di bangunin siapapun bangun sendiri. Karena ya, memang belum tidur. Akhirnya aku memutuskan keluar. Aku lihat sudah banyak yang bangun. Anak-anak panti ini lumayan banyak ternyata. Masih ada yang kecil juga. Kasihan sekali mereka, masih sekecil itu sudah tak memiliki orang tua.“Kakak, anak baru?” tanya seorang anak kecil perempuan menatapku. “Kakak ini Bidan, jadi kalau kalian ada yang sakit, kakak ini yang akan menyuntik kalian,” sahut Tante Lexa menjawab pertanyaan anak itu. Kemudian mendekat.“Perkenalkan Kak, namaku Dilla,” ucapnya seraya mengulurkan tangan.“Lika,” sahutku seraya menerima uluran tangannya. Dia tersenyum, manis sekali. Kemudian memamerkan gigi gingsulnya.“Semoga Lika bisa k
“Iya, Tante!” ucapku dengan nada lembut. Di lembut-lembutkan, aku nggak mau juga namaku jelek di mata anak-anak panti ini. Astaga! benar-benar nggak penting sekali,Aku mengambil piring-piring yang di perintahkan Tante Lexa. Pikiranku melayang-layang. Kalau aku masih di sini, bagaimana balas dendamku kepada Mbak Rasti dan Mbak Juwariyem. Aku juga nggak rela melihat Mas Toni dan Nayla hidup bahagia. Semakin buntu dan jauh saja rasanya, ingin menjalankan rencana balas dendam ini.“Lika, kamu kenapa? Kok, tante lihat dari tadi kamu diam saja?” tanya Tante Lexa. Bisa di akali ini biar aku segera keluar dari dapur ini.“Nggak apa-apa Tante. Cuma pusing saja,” jawabku selow dan lembut.“Kamu sakit?” tanya Tante Lexa lagi.“Nggak Tante, mungkin kurang tidur saja,” jawabku dengan nada lelah.“Emang tadi malam nggak tidur?” tanya Tante Lexa. Aku lihat dia sedang mengaduk-aduk sayur yang dia masak.“Nggak bisa tidur Tante,” jawabku selow. Mengambil selah hatinya.“Kenapa nggak bisa tidur? Apaka
Aku berkeliling di belakang rumah Tante Lexa. Menikmati indahnya taman kecil yang sangat rapi dan bersih. Anak-anak Panti juga pada berlarian. Bersendau gurau dengan teman-temannya. Melihat mereka merasa kasihan. Anak sekecil itu sudah harus kehilang ke dua orang tuanya. Betapa bersyukurnya aku. Aku duduk di kursi yang tak jauh dari jejeran bunga-bunga bermekaran. Sungguh asyik sekali. Di belakang rumah mewah Tante Lexa, siapa sangka akan menemukan taman kecil senyaman ini. Terlihat sekali kalau taman ini terawat. Tak ada sampah satupun yang berserak.Anak-anak panti di sini bergiliran membersih kan taman dan panti. Ada jadwal pikietnya. Mereka terlihat sangat bahagia. Tapi tak tahulah bagaimana perasaan hatinya. Aku yakin pasti ada rasa iri dan cemburu, jika melihat anak seusianya di gandeng atau di peluk-peluk Papa dan Mamanya. Aku tak bisa membayangkan.Masih menjadi tanda tanya besar buatku. Kenapa aku di suruh kesini? Di suruh ikut Tante Lexa? Entah kenapa aku nggak percaya begi
Pagi ini Lika berkemas. Menyusun baju-bajunya di koper. Di bantu oleh anak-anak panti yang sudah besar. “Mbak Lika enak ya? punya orang tua, aku juga pengen punya orang tua,” celetuk anak perempuan yang kira-kira umur 12 tahun. Bernama Putri. Membuat Lika tersentuh mendengar omongannya.“Iya,” sahut temannya lagi, yang juga ikut membantu Lika berkemas. Menyadarkan Lika, betapa beruntungnya dia. tapi, dia selama ini tidak mensyukuri itu. Selalu iri dengan kehidupan orang lain. Selalu iri dengan kehidupan Mbak Rasti dulu itu. “Kalian juga beruntung bisa tinggal di panti ini. Jangan merasa nggak punya orang tua. Bu Lexa itukan orang tua kalian,” sahut Lika menanggapi omongan anak-anak panti itu.“Owh, iya, Bu Lexa kan ibu kita,” sahut anak yang lainnya. Putri tersenyum.“Iya, Maksudnya, enak gitu jadi Mbak Lika, orang tuanya masih komplit,” jelas Putri. Membuat Lika sesak saja mendengarnya.“Udah, kalian juga sangat beruntung mempunya orang tua kayak Bu Lexa. Ini semua sudah takdir, ma
“Dari mana,Le?” tanya ibunya saat melihat Malik masuk ke dalam kamarnya. Malik tersenyum memandang ibunya.“Main sama temen, Bu. Maaf, ya, seharian ini, Ibu Malik tinggal,” jawab Malik seraya meminta maaf, karena dia merasa nggak enak dengan ibunya.“Nggak apa-apa, Le, kamu juga butuh jalan-jalan. Nggak berkutat di rumah aja, nungguin Ibu,” sahut ibunya. Malik tersenyum lagi, karena hanya ibu dan Mahira yang dia punya. Saudara banyak, tapi jarang sekali komunikasi. Jadi terputus pelan-pelan. “Malik senang di rumah sama ibu,” sahut Malik, kemudian merebahkan badannya di sebelah ibunya. Kemudian tangan ibunya mengelus rambut Malik. Karena Malik sangat senang jika ibunya melakukan itu. Ke dua tangan ibu Malik masih berfungsi, itupun dengan gerakkan lambat. Kalau kakinya sudah tidak berfungsi lagi. “Kamu kok, sedih, Le?” tanya ibunya saat melihat wajah anak sulungnya itu murung. Tanpa bisa di tahan, beningan kristal meleleh dari sudut matanya.“Lah, kok, malah nangis? Cerita sama ibu a
“Lika,” sapa Tante Lexa saat membukakan pintu untuk Lika. Lika cepat-cepat menyeka air atanya yang masih terus mengalir. “Tante,” sahut Lika masih terus menyeka air matanya, yang nggak bisa berhenti. Malik sudah pulang. Saat pintu rumah Tante Lexa di buka, Malik langsung memutar mobilnya dan keluar meninggalkan halaman rumah Tante Lexa. “Masuk dulu!” perintah Tante Lexa, seraya menarik tangan Lika menuju ke kursi. Lika nggak enak hati dengan Tante Lexa, karena menangis. ‘Pliis Lika jangan nangis, nanti membuat Tante Lexa bingung dan cemas,’ lirih Lika dalam hati. Dia pikir Tante Lexa nggak tahu sebab dia menangis.“Kenapa menangis?” tanya Tante Lexa memancing reaksi Lika. Lika memaksakan senyum dan masih terus meyeka air matanya.“Nggak apa-apa, Tante,” sahut Lika asal, dengan suara serak dan sesak. Tante Lexa mendesah, kemudian ikut membantu mengusap air mata Lika. Karena Lika sudah di anggap anak olehnya.“Cerita sama Tante! Siapa tahu Tante bisa membantumu,” ucap Tante Lexa. Mata
“Hah? Juwariah hamil anak Tirta?” sahut Mas Riko saat aku memberi kabar tentang gosip ini. Ya, sepulang dari warung Mak Rida, aku langsung mencari-cari Mas Riko. Ternyata dia lagi membakar sampah di belakang rumah.“Jangan kenceng-kenceng, Mas, nanti di dengar tetangga,” jawabku sambil celingak celinguk. Dia juga ikutan celingak celinguk.“Paling juga semua orang sudah dengar, kita ini belakangan dengarnya,” sahut Mas Riko. Ah, mungkin seperti itu.“Mungkin, Mas. Tapi kenapa Mbak Juwariah ngenalin Tirta ke Lika? Sampai nginap-nginap di penginapan lagi,” tanyaku. Dia menghentikan pembakaran sampahnya. Beranjak dan mencari tempat teduh di bawah pohon sawit, yang sudah di siapkan kursi kayu, untuk tempat bersantai.“Iya, ya? Harusnya kan cemburu ya?” tanya Mas Riko balik. Sama-sama tak tahu jawaban pastinya. Yang tahu hanyalah Mbak Juwariah. Apa maksudnya?“Kalau menurutku, memang sengaja, mau menghancurkan rumah tangga Lika dan Toni. Dengan Tirta sebagai pancingan, agar Lika nurut denga
[Owh jadi mereka kakak beradik, donatur panti Bu Lexa, orang-orang baik, ya] sahut mamanya Lika.[Alhamdulillah, Lika di sini berteman dengan orang-orang baik dan tulus, Bu. Nggak usah khawatir. Saya juga kenal betuk siapa Malik dan Mahira. Sekarang aja ini Lika lagi keluar sama Malik. Katanya untuk pertemuan yang terakhir. Mumpung Lika masih di sini. Dan ternyata benar, kalian sudah di Jogja dan besok akan menjemput Lika,] jelas Bu Lexa panjang.[Lagi keluar sama Malik?] tanya mamanya Likas seraya mengerutkan kening.[Santai, Bu. Saya percama sama Malik seratus persen. Dia anaknya baik, nggak akan neko-neko sama Lika. Lagian Lika sama Malik itu temenan dari SMP] Jelas Bu Lexa lagi, untuk menenangkan hati orang tua Lika.[Owh, saya percaya dengan Bu Lexa. Kalau Bu Lexa yakin kalau Malik itu baik, berarti dia memang baik,] jawab mamanya Lika. Bu Lexa tersenyum.[Yasudah, Bu. sampai sini dulu obrolannya. Insyaallah kami besok ke rumah Bu Lexa,] ucap mamanya Lika lagi, ingin pamit memati
“Lika nomornya, kok, aktif, ya?” tanya Pak Samsul kepada istrinya. “Paling ngedrop hapenya,” jawab istrinya santai. Pak Samsul kemudian duduk di kursi. Tak berselang lama, istrinya menghampiri seraya membawakan secangkir Kopi manis. “Ini kopinya, Pa!” ucap istrinya seraya meletakkan di atas meja.“Makasih, Ma,” jawab Pak Samsul. Istrinya tersenyum.“Sama-sama,” jawabnya kemudian duduk. “Nova kemana, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. Kemudian Nenek Rumana juga ikut mendekat dan bergabung bersama anak dan menantunya.“Ke loundrynya,” jawab Nenek Rumana seraya duduk di kursi. Pak Samsul kemudian mengambil kopi yang di buatkan istrinya. Meniupnya pelan dan menyeruputnya.“Alhamdulillah senang melihat Nova sudah bisa mandiri. Udah punya usaha juga,” sahut Pak Samsul setelah meletakkan kopinya di meja.“Iya, Ibu juga senang melihat kemajuan Nova. Cuma dari segi asmara dia kurang beruntung,” jawab Nenek Rumana.“Biarkan, Bu. Nova perempuan baik, insyaallah kalau menikah lagi, juga akan
“Bu, maafkan Ria!” ucap Ria seraya menunduk. Ya, hari ini Juwariah menemui mertua Rasti lagi. Masih di dampingi oleh Bulek Arum.Ibunya Riko terdiam. Hatinya masih sakit dengan perbuatannya di masa lalu. Masih belum mau memandang wajah Juwariah. Menurut dia, terlalu dalam Juwariah membuat luka. Hingga menyebabkan hancurnya rumah tangga anaknya, karena ide-ide konyolnya.“Bu, tolong maafkan keponakan saya!” ucap Bulek Arum juga angkat bicara. Dia kasihan dengan keponakannya. Mertua Rasti kemudian menatap pandang ke Bulek Arum.“Lidah saya mungkin bisa memaafkan! Tapi, hati saya masih sakit atas kejahatan Ria di masa lalu. Tak semudah itu memaafkan,” sahut mertua Rasti. Membuat bulek Arum mendesah. Ria yang bersangkutan masih menunduk, air matanya berjatuhan. Dia menyadari kalau dirinya memang salah.“Bu, Ria mengaku dan Ria akui kalau Ria memang salah. Ria mau memperbaiki ini semua. Ria mau memperbaiki diri, makanya Ria meminta maaf sama kalian semua,” ucap Ria. Hatinya sudah nggak ter
“Bulek, Lika emang pacar Malik, ya?” tanya Halim kepada Tante Lexa. Seketika yang di tanya langsung mengerutkan kening. Mengambil toples yang dekat dengannya.“Bulek juga nggak tahu mereka pacaran apa nggak, yang Bulek tahu mereka dekat,” jawab Tante Lexa seraya membukan dan mengambil camilan dalam toplek. Kemudian mengunyahnya.“Owh,” sahut Halim lirih. Pikirannya masih kemana-mana.“Kenapa?” tanya Tante Lexa serara memandang Halim.“Nggak, sih, Bulek. Cuma pengen kenal Lika lebih saja, itupun kelau mereka beneran nggak pacaran, ya! kalau mereka pacaran aku nggak mau merusak hubungan orang,” jawab Halim. Tante Lexa mendesah dia bisa menebak apa yang di pikirkan oleh Halim.“Mereka aja jalan pakae kaos couple gitu, ya, mungkin ada hubungan lebih,” sahut Tante Laxa. Halim terdiam, mengingat kembali mereka menggunakan baju apa. “Iya, juga, ya, Bulek,” ucap Malik. Tante Lexa tersenyum seraya menggelengkan kepala.“Bukannya kamu suka cewek berhijab?” tanya Tante Lexa. Halim tersenyum. Ya
“Alhamdulillah udah sampai Jogja lagi,” ucap Tante Nova kepada kakaknya. Orang Tua Lika. “Iya, alhamdulillah,” jawab Bu Santi. Adiknya tersenyum, kemudian membantu memasukkan tas yang mereka bawa.Pak Samsul dan Bu Santi menyalamani ibunya. Nenek Rumana. Kemudian Nenek Rumana mengusap kepala mereka dengan penuh kasih sayang.“Sehat, Bu?” tanya Pak Samsul kepada ibunya. “Alhamdulillah sehat,” jawab Nenek Rumana.“Alhamdulillah,” sahut Pak Samsul. Kemudian mereka duduk di kursi. Tante Nova menyiapkan teh untuk kakak kandung dan iparnya.“Kalian udah yakin mau menjemput Lika?” tanya Nenek Rumana. Pak Samsul mendesah.“Yakin, Bu. saya juga nggak mau lama-lama menghukum Lika. Kata Bu Lexa dia juga sudah banyak berubah,” jawab Pak Samsul. Terdengar suara dia yang lelah, karena perjalanan jauh.“Iya, Bu. Biar dia bisa segera kerja lagi. Terlalu lama dia menganggur, takutnya ilmunya pada ilang,” sahut mamanya Lika. Nenek Rumana mendesah. “Iya, kasihan ilmunya mubadzir terlalu lama di anggu