"Semakin hari cara bicaramu semakin tak berpendidikan! Menyesal aku mengizinkanmu tinggal di sini!" kesal Nyonya Thomson. "Kau pergilah, tak usah dengarkan ucapannya," sambung Nyonya Thomson. "Tunggu! Kau belum menjawab pertanyaanku, siapa anak ini? Apakah benar anak ini adalah anakmu sebelum menikahi Kenny?!" tanya Julie sambil membentak. Austin mengembuskan napas kasar, ia ingin menjawab pertanyaan Julie, tapi sudah dijawab lebih dulu oleh Nyonya Thomson. "Apakah kau bodoh? Apakah kau tak mengenali siapa anak kecil ini? Sangat jelas sekali kalau dia adalah Aurel anak Lea, kenapa kau masih bertanya?" balas Nyonya Thomson. Julie memfokuskan pandangannya, menatap lekat wajah mungil Aurel yang ada di gendongan Austin. "Pantas saja aku merasa pernah melihatnya, tapi mengapa dia bersamamu dan memanggil Daddy? Apakah kau selingkuhan Lea dan ini anak kalian?" tuduh Julie. "Tak ada gunanya meneruskan pembicaraan denganmu, kau pergilah, jangan dengarkan perkataannya," balas Nyonya Thomson
"Jangan pernah kau sentuh dia!" bentak Austin. Austin mencengkeram lengan Wilson yang sedang menahan lengan Kenny. Kekuatannya keluar membuat lengan Wilson terbakar dan mengeluarkan darah, hingga Wilson memberontak lalu melepaskan lengan Kenny. Pandangan mengerikan itu disaksikan oleh Kenny, wajah takut memandang pria bermasker yang ada di sebelahnya. Kenny memundurkan langkah sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. "S-siapa kau?!" tanya Wilson. Para pengawal yang ada di belakangnya maju hendak menolong Wilson, melihat pergerakan itu membuat Austin mengencangkan cenkeramannya hingga percikan api keluar di antara cengkeraman itu. "Jangan pernah berani melawanku atau kau akan binasa seperti keluargamu yang lain! Dan juga jangan pernah berani mendekati wanita itu lagi!" ancam Austin. Kenny merasa kasihan dengan Wilson yang sudah mengeluarkan begitu banyak darah dan keringat di dahinya. Hingga Kenny memberanikan diiri menyentuh lengan pria tak dikenal itu untuk menghentikan aks
"Aku mengajaknya ketaman yang indah, taman penuh bunga," timpal Austin menghentikan ucapan Aurel."Aku pikir ke mana," balas Lea.Kenny masuk ke dalam kamar tanpa mendengarkan celotehan mereka, hingga Austin merasa heran dengan keterdiaman Kenny. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya bahkan untuk menyapa pun tidak. Aurel dan Lea pulang ke rumah setelah lama mengobrol dengan Nyonya Thomson. Ada rasa enggan dalam diri Aurel saat meninggalkan Austin, terlihat kesedihan di wajah hingga Austin tak tega melihatnya dan langsung menggendongnya."Kenapa kau sedih seperti itu?" tanya Austin."Aku tak ingin berpisah denganmu, Dad," balas Aurel.Austin tersenyum, lalu mencium pipi gembUl gadis kecil yang ada di gendongannya. "Kita masih bisa bertemu kapan pun, kau bisa ke sini kapan pun kau inginkan," ucap Austin sambil menatap wajah Aurel."Sungguhkah, Dad? Aku boleh ke sini kapan pun aku mau?" tanya Aurel tak percaya."Tentu saja, Nenek buyut juga tak akan keberatan menerimamu di
"Kenapa kau melamun seperti itu? Apakah ada hal buruk yang terjadi?" tanya Austin saat melihat Kenny hanya terdiam di tempat tidurnya. "Bukan urusanmu," balas Kenny acuh. Senyum pahit terukir di wajah Austin saat mendapat jawaban dari Kenny, ia hanya mengkhawatirkan Kenny saja tak ada niat lain. Tapi Kenny rupanya masih tenggelam dalam pikirannya, ia masih membayangkan kejadian ngeri saat di restoran Madripoor city kemarin. Bayangan tangan yang mengeluarkan api terlukis jelas di memorinya seperti kaset film yang sedang berputar. Austin melangkahkan kaki menuju balkon, meninggalkan Kenny dengan segala pemikirannya. Tapi langkahnya terhenti saat Kenny membuka suara menanyakan hal yang membuatnya terkejut. "Apakah kau percaya jika ada manusia yang bisa mengeluarkan api dari tangannya?" tanya Kenny. Austin terdiam, terpaku tak menoleh ke arah istrinya. Ia mengumpulkan keberanian untuk menoleh meski ragu menatap wajah Kenny. Perlahan ia membuka suara menjawab pertanyaan Kenny. "M-mu
"Berengsek! Rupanya mereka sudah mulai mengincar kediaman ini," kesal Austin."Siapa yang kau maksud?" tanya Nyonya Thomson dengan tubuh bergetar. Rasa takut mendominan di dalam diri, Nyonya Thomson terus merangkul lengan Austin dan menundukkan pandangannya. Para pengawal keluarga Thomson mendengar tembakan itu hingga mereka berlari menuju taman belakang. Dengan gerakan cepat Austin mengambil senapan api yang ada di tangan pengawal, dan mengarahkan tembakannya kepada dua pengawal Robert yang masih bersembunyi di balik pohon."Sialan! Pria itu tak menoleh sedikit pun, kalau begini bagaimana kit-" rutuk pengawal Robert.Dorr... Dorr...Dua tembakan tepat mengenai bagian dada pengawal itu, hingga mereka tumbang di tempat tanpa sempat membalas serangan itu. Kemampuan Austin dalam menggunakan senjata api sudah tak diragukan lagi. Ia selalu mendapatkan pelatihan dari guru terbaik yang diberikan oleh sang Kakek."Siapa mereka, Nak?" tanya Nyonya Thomson lagi tanpa melepaskan lengan Austin.
"Lea, bisakah kau datang ke rumah? Kita akan bicara pada Kakek mengenai keamanan untuk cabang RL di Madripoor.""Baiklah, aku akan segera ke sana, tapi apakah aku boleh mengajak Aurel? Ia sangat ingin bertemu dengan Austin," balas Lea di seberang telpon."Terserah kau saja asalkan anakmu tak mengganggu pekerjaan kita," balas Kenny.Kenny menelpon sambil terus berjalan menuju mobilnya, hingga Austin lebih dulu keluar agar tak ketahuan oleh Kenny jika ia mengikutinya. Kenny mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, meski pengawal Robert terus membuntutinya, tapi mereka tak melakukan hal yang dapat membahayakan Kenny."Beruntung mereka tak membahayakan Kenny, sepertinya mereka mencari pria yang sudah melukai Wilson," gumam Austin.Kenny dan Austin pulang dengan selamat, ia masuk melalui pintu belakang dan duduk dengan santai di ruang keluarga. Austin tersenyum melihat kedatangan Kenny, hingga Kenny merasakan keanehan dari senyum yang diberikan Austin."Kenapa kau tersenyum seperti itu?
"A-aku hanya memberinya saran biasa Kek. Dulu aku pernah ke negara itu, aku melihat peluang besar di bidang fashion," balas Austin. Austin tak menyangka jika Tuan Thomson akan menanyainya masalah pendirian cabang RL di Madripoor City. Ia berharap Tuan Thomson tak menanyakan hal lain lagi meyangkut usulnya itu karena ia tak ingin rahasia yang ia miliki diketahui oleh Tuan Thomson. "Ah sudahlah, Yang kau katakan itu memang benar. Selama ini belum ada perusahaan asing yang berani mendirikan perusahaan di negara itu. Kau ikutlah denganku, besok kita akan ke North City untuk menemui temanku, Clark," pinta Tuan Thomson. "Apakah Tuan Clark yang kau maksud bisa melawan kekuasaan keluarga Jacob, Kek?" tanya Austin penasaran. "Tentu saja, apakah kau tak tahu siapa Clark Arthur?" Austin menggelengkan kepala, ia memang tak tahu perkembangan negara luar. Ia hanya mengetahui perkembangan negaranya saja, juga perusahaan yang dikelola keluarga Jacob. "Clark Arthur adalah penguasa seluruh dunia,
"Bukan ... Ibuku Caroline, bukan Ava, dan aku bukan keluaga Jacob," balas Austin berbohong. Austin tak menyangka pria tua yang ada di hadapannya bisa menanyakan pertanyaan itu, jantungnya berdetak tak menentu, kedua tangan meremas menyalurkan kekhawatiran. Austin tak berbohong dengan nama ibunya, nama ibunya benar Caroline, tapi ia juga tak mengakui jika ia berasal dari keluarga Jacob. Mata menoleh, menatap Tuan Thomson yang juga sedang mengerenyitkan kening, merasa heran dengan pertanyaan sang sahabat. "Kenapa kau bisa menanyakan hal itu? Cucu menantuku bukan berasal dari keluarga Jacob," timpal Tuan Thomson. Tuan Arthur menggaruk tengkuknya merasa ada yang aneh dalam pandangan Austin. Ia terus menatap Austin dengan seksama dan ia sangat yakin karena wajah Austin mirip dengan putrinya. Terlebih lagi tanda api yang ada di balik telinga Austin, tanda yang hanya bisa dimiliki keturunan Arthur. "Mungkin aku salah orang," balas Tuan Arthur. Austin bernapas lega saat Tuan Arthur tak
"Semoga dia sudah tiada, aku ingin hidup dengan damai bersamamu dan juga putra kita," ucap Kenny penuh harap. Kenny membiarkan suaminya untuk beristirahat, sedangkan ia menunggu dengan tenang di dalam ruangan itu. Edward mulai membantu para pengawal untuk merapikan kota. Begitu juga dengan Tuan Arthur dan Peter. Meski kerusakan terlalu parah di Madripoor city, tapi mereka bisa mengendalikannya. Belum lagi kekayaan Nick yang sudah terendus oleh Tuan Arthur dan juga Peter. Keduanya mengambil alih semua perusahaan juga aset, lalu menjualnya atas persetujuan pemerintah setempat. Selama ini Nick dan juga putranya bersembunyi di perbatasan kota dengan penyamaran. Bahkan perusahaan besar atas nama Palmer bisa berdiri dengan megah tanpa terendus oleh Tuan Arthur dan pengawalnya. Keduanya menjadikan kekayaan Nick untuk memperbaiki kota, memberikan santunan pada para keluarga yang terluka juga berduka. Membangun kembali tata kota yang telah dihancurkan oleh Nick Perneco. "Pantas saja dia bi
"Tenanglah sayang, suamimu pasti akan selamat. Tuhan pasti akan membantunya," ucap Julie. Julie meraih tubuh anaknya dan menuntunnya ke bangku panjang di depan ruang tindakan. Kenny masih saja menangis dan terisak di dalam dekapan sang Ibu. Membuat Tuan Edward pun merasakan kesedihannya. Hingga tak berselang waktu lama Nyonya Aldrik keluar dengan tersenyum. Ia menghampiri Kenny dan memeluknya. "Tenanglah sayang, suamimu baik-baik saja. Dia hanya pingsan karena energinya terkuras habis. Lebih baik kita bawa suamimu ke ruang rawat sekarang," ucap Nyonya Aldrik menenangkan Kenny. "Benarkah Nyonya?" tanya Kenny sambil menghapus air matanya. "Untuk apa aku berbohong, sekarang para perawat sedang bersiap untuk membawa suamimu ke ruang rawat. Mintalah para pengawalmu untuk mengambil pakaian ganti," balas Nyonya Aldrik yang membuat hati Kenny, Julie juga Tuan Edward merasa lega. "Syukurlah, tidak ada yang harus kita cemaskan. Aku sudah panik saat melihatnya mengeluarkan banyak darah. Ak
"Sudah saatnya kau menyusul putramu," ucap Austin. "Kau membunuh putraku?! Berengsek!" maki Nick dengan tatapan penuh amarah. "Mungkin sekarang dia sudah merengang nyawa karena kekejaman pasukanku," ucap Austin sambil menyeringai. "Berengsek! Kau yang harus mati lebih dulu!" Nick langsung berdiri, memusatkan perhatiannya pada Austin lalu mengeluarkan tembakan api yang sangat luar biasa. Austin yang sudah memokuskan kekuatan juga pikirannya melompat tinggi ke udara untuk menghindari serangan Nick. Tanpa menunggu lama Austin langsung menggerakkan tongkat naga di tangannya. Serangannya tepat sasaran, kekuatan yang ia keluarkan membuat Nick tak berkutik. Belenggu darah yang ia keluarkan sama deperti Palmer saat ia menangkapnya. "Berengsek! Kekuatan apa ini?" tanya Nick terkejut dan terus berusaha melepas belenggu benang darah yang melilit tubuhnya. "Bergeraklah terus dan kau akan menyusul kematian putramu," balas Austin terkekeh. "Tapi tenang saja, aku tak akan memberimu kematian y
"Bersiaga!" perintah Austin saat melihat rombongan Perneco mulai memasuki hutan. Tuan Edwar memberikan keamanan CCTV di dekat markasnya. Semua itu untuk berjaga jika ada penyusup datang, bahkan alarm pendeteksi pun telah ia pasang untuk memberikan peringatan pada pasaukannya untuk bersiap. "Terima kasih karena kau telah mengantar nyawamu sendiri ke sini," gumam Austin sambil melihat layar yang ada di hadapannya. Pria tampan nan gagah itu turun dan menunggu Nick di gerbang markas. Ia tak akan membiarkan Nick dan pasukannya memasuki markas, apalagi menghancurkannya. Niatnya hanya menggiring Nick ke padang gersang dan membunuhnya tanpa menumbulkan kekacauan lebih. "Dad, lebih baik siagakan pasukan di depan markas. Sisakan untuk berjaga di dalam. Aku akan memastikan untuk menggiring Nick ke padang gersang," pinta Austin. "Kau tenang saja, pasukanku akan menahan mereka di sini. Kau fokus saja dengan misimu, habisi pria berengsek itu agar tak menjadi racun di kehidupan Max nanti," bala
"Apa maksudmu?" tanya Palmer takut.Ia menatap ngeri pada Austin yang kini sudah ada di hadapannya. Austin menyeringai puas melihat ketakutan Palmer, ia menjulurkan tangannya hendak meraih wajah Palmer. Tapi pria itu lebih dulu meludahi wajah Austin, hingga tanpa sadar Austin mencekik dan membuat kekuatannya keluar begitu saja."Aaa!...." erangan kesakitan terdengar di pendengaran yang lain. Hingga Austin melepaskan tangannya, karena kekesalannya itu leher Palmer terbakar. Pria itu tak kuasa menahan rasa sakitnya, bahkan tangan tak sanggup bergerak untuk menyentuh area leher."Berengsek!" maki Palmer di tengah erangannya.Austin menatap Palmer dengan penuh kebencian, ia keluar dan membasuh wajahnya yang terkena air liur pria di dalam sana. "Siksa dia semau kalian! Bersenang-senanglah dengan tubuhnya," perintah Austin pada anak buah Tuan Edward. "Baik Tuan," balas mereka."Ingat, jangan berikan kematian yang mudah padanya. Buat dia memohon kehidupannya," ucap Austin lagi memperingati
"Cepat masuk! Jangan banyak bicara!" bentak penjaga penjara. Pria bertubuh kekar itu mendorong tubuh Plamer dengan senjata laras panjang di tangannya. Austin menyeringai saat tubuh Palmer dipenjarakan di penjara khusus. "Sejak kapan Daddy memiliki penjara khusus seperti itu?" tanya Austin melihat oenjara yang hampir sama seperti penjara buatan Robert dulu. "Sudah lama, biasanya penjara itu dipakai untuk penjahat kelas tinggi. Semua itu untuk menghalaunya mencapatkan signal dan meminta bantuan dari kerabatnya," balas Tuan Edward. "Apakah penjara itu juga tahan api?" tanya Austin lagi. "Sepertinya begitu, aku membuatnya khusus menggunakan besi tebal. Agar mereka tak bisa menghancurkannya. Bahkan lantainya pun terbuat dari besi yang sama agar mereka tak bisa mengelabui kami," balas Tuan Edward. "Kau sungguh luar biasa Dad," puji Austin."Ayo kita ke lantai atas. Lebih baik kita bersantai di sana sejenak sebelum kembali ke kota," ajak Tuan Edward. Austin dan Tuan Arthur menganggukk
"Dad, kau punya markas?" tanya Kenny terkejut. Tuan Edward menganggukkan kepalanya pada Kenny. Ia tak ingin menutupi apa pun dari sang putri. "Benar, Daddy punya pasukan sendiri di sini yang dikhususkan untuk menjaga kekuarga kita. Semua itu Daddy buat untuk melindungi kalian. Tak bisa dipungkiri jika perusahaan Thomson mengundang banyak orang untuk melakukan kejahatan. Bahkan dulu ada banyak orang yang mengincarmu," balas Tuan Edward. Julie yang berada di sana pun tercengang, ia tak menyangka jika suami yang selama ini ia hinakan juga memiliki kekuatan di belakangnya. Rasa bersalah itu menyelimuti hatinya, Julie tertunduk malu dengan sikap yang ia berikan dulu pada suaminya. "Aku masih tak menyangka, kalian para pria terlalu banyak rahasia," gumam Kenny sambil menggelengkan kepalanya. "Semua itu untuk melindungi keluarga yang dikasihi. Sekarang kalian masuklah ke dalam, kami ingin ke markas daddymu," perintah Tuan Arthur pada Kenny dan Julie. Keduanya mengangagguk, Kenny membaw
"Tunggulah kehancuranmu," gumam Austin saat mengendarai mobilnya. Ia memilih untuk mengendarai mobilnya sendiri, melesat dengan para mengawalnya di belakang. Bahkan tak ada satu kendaraan pun yang bisa menghalau perjalanannya menuju kediaman Dora. Perumahan mewah dengan pengaman ketat bahkan tak mampu menghentikan rombongan Austin. Mereka tunduk saat tahu siapa yang memasuki kawasannya. "Bodoh sekali, bersembunyi di tempat seperti ini," maki Austin begitu melihat banyak penjagaan di depan rumah Dora. "Lumpuhkan mereka semua dalam diam," perintah Austin karena tak ingin membuat kegaduhan di lingukungan itu. Tapi sayang, kedatangan rombongannya sudah terendus oleh pengawal Palmer. Mereka sudah bersiaga di depan rumah dengan senjata di tangannya. Berbeda dengan Palmer yang saat ini sedang bermain gila dengan Dora. Mereka masih memacu kenikmatan sampai suara tembakan mengalihkan kegiatan mereka. "Berengsek! Apa yang terjadi?" maki Plamer tanpa menghentikan kenikmatannya. Gerakanny
"Benarkah mereka mengikuti kita sampai ke sini?" tanya Kenny cemas ambil membekap Max yang masih menatap ke arah jendela. Austin mengangguk, tak menutupi apa yang baru saja ia lihat. Pria itu langsung keluar melompati jendela dan melihat penyusup yang baru saja meregang nyawa. Austin melihat pergelangan tangan mereka, dan benar saja, inisial P ada di sana. "Perneco tidak main-main dengan dendamnya," gumam Austin. "Pengawal!" teriak Austin memanggil pengawalnya yang berjaga. Paraengawal berlarian ke arahnya, lalu tercengang melihat dua musuh yang sudah tak memiliki nyawa. Mereka menunduk, meminta maaf pada sang Tuan karena kelalaian yang mereka lakukan. "Maafkan kami Tuan, kami sangat ceroboh," ucapnya memohon ampunan. Mereka masih menundukkan wajah sebelum Austin memberikan pengampunanya. "Berjagalah, Perneco pasti akan datang lagi, bereskan mayat ini. Beruntung anakku menyadari kedatangannya," balas Austin lalu pergi dari hadapan mereka. "Baik, Tuan," balas mereka bersamaan.