Diko memapah Ivan yang staminanya terkuras habis setelah pertarungannya dengan Lokan.“Pak Marcel ... bagaimana?” tanya Diko sembari membimbing Ivan yang berjalan terseok-seok. “Juga Bu Venya yang mengantar tabung-tabung tadi ....”“Aman,” jawab Ivan lirih. “Anggota kita yang terluka ...?”“Masih ditangani,” sahut Diko.Ivan mengangguk lega, keduanya terus berjalan menuju ruangan yang penuh sesak.“Mereka harus kita tolong,” ucap Ivan ketika matanya menatap tubuh-tubuh anggotanya yang tidak sadarkan diri. “Ke mana yang lain?”“Kita melakukannya bertahap,” kata Diko. “Mereka semua masih hidup, tenang saja ....”Ucapan Diko terhenti ketika dia dan Ivan terhuyung oleh tendangan keras pada bahu mereka.Ketika Diko menoleh, Lokan baru saja mendarat mulus di atas tanah. Dia menyeringai, tampak jelas dari maskernya yang robek separo—dia memiliki wajah yang sama persis dengan Ivan.“Dia ....”“Mustahil,” gumam Ivan dengan wajah pias. “Aku sudah kerahkan semua tenagaku tadi ....”“Kalian pengk
“Aku sudah bilang kan, kamu tidak akan bisa sukses di dunia luar!” Ucapan Shirley menjadi santapan malam Marcel yang muncul di depan pintu rumahnya beberapa minggu kemudian Melihat sang menantu dalam keadaan kacau dan tidak jelas, Reina buru-buru menariknya masuk dan menyiapkan sepiring makanan.“Kamu terbukti tidak bisa berbuat apa-apa di luaran sana kan?” kecam reina ketika Marcel duduk di dapur dan menghadap secangkir teh yang disediakan Reina. “Lihat dirimu, lusuh sekali.”Marcel menghela napas, dia memang belum sempat mengganti bajunya setelah pulang dari lokasi proyek.“Kamu habis berkelahi?” tanya Reina menyelidik karena kemeja Marcel yang robek di bagian lengan. “Kamu ini sebenarnya kerja apa?”Herman menatap Marcel tajam dan berkata, “Dari awal saya sudah tekankan sama kamu untuk mengikuti saran saya. Kamu itu tidak punya modal apa-apa, tapi sudah bergaya mau berusaha sendiri di luar ... Sekarang apa yang kamu banggakan dari diri kamu itu?”Marcel menarik napas, “Saya hanya
“Kamu lagi, kamu lagi!” cemooh Shirley sambil melirik Marcel yang duduk di sampingnya. “Mana, katanya mau urus perceraian kita? Tidak punya duit saja belagu.”Sebelah tangan Marcel mengepal, tapi dia tidak boleh terpancing emosi atas hinaan yang Shirley lontarkan kepadanya.“Nih, bawa mobilnya.” Shirley membanting kunci mobilnya di dasbor kemudian bersiap turun. “Kamu yang nyetir, aku mau tidur di belakang saja. Malas lihat wajah kamu ....”“Banyak omong, aku bukan sopir kamu!” balas Marcel dari sudut bibirnya.“Apa?” Shirley memutar kepalanya sambil melorot ke arah sang suami. “Suara kamu tidak enak didengar ya, Cel? Kamu lupa ayah kamu ngomong apa tadi sama keluarga aku?”Marcel mengembuskan napas panjang.“Kamu lupa?” ulang Shirley dengan suara melengking. “Ayah kamu bilang kalau kamu akan jadi suami yang bisa mengayomi, menafkahi, dan menghormati aku.”Marcel memalingkan wajahnya dan tidak menjawab. Shirley lantas turun dan pindah ke tempat duduk belakang.“Kita pulang ke rumah sek
“Mereka siapa?” tanya Ciko dengan kening berkerut.“Mereka yang mengambil alih perusahaan cabang ... ada lahan bekas pabrik kan?” sahut Ronnie mengingatkan. “Aku lihat lahan itu sudah dibangun lab yang lebih besar ... Ya aku curiga, aku minta mereka untuk menunjukkan surat-surat kepemilikan, tapi mereka tidak bisa menunjukkannya.”Ciko duduk termenung sambil menatap lurus ke arah layar monitor.“Lahan yang seharusnya jatuh ke tangan ayah, itu diperkirakan ada yang menggunakan nama Marcel sehingga bisa diambil alih.” Ronnie menjelaskan lambat-lambat. “Tapi kamu dan ayah kelihatannya tidak yakin kalau orang itu betul-betul Marcel.Ronnie menghela napas.“Entah Marcel atau bahkan Pak Aldi sendiri, yang jelas mereka memiliki anggota tim yang terlatih dalam jumlah yang lumayan banyak.” Dia memberi tahu Ciko. “Sangat mencurigakan mengingat pengusaha biasa tidak mungkin bisa mengumpulkan orang-orang terlatih seperti itu ... Maksud aku buat apa sih?”Ciko memegang keningnya sambil berpikir.“
Baru tinggal sebentar di kediaman keluarga Delvino saja Marcel sudah merasa stres berkepanjangan. Dia yang telah menyatu dengan kehidupan di lab milik Aldi bahkan rela melakukan apa saja demi bisa kembali ke sana lagi.Di rumah, Alvon masih mengeluarkan sumpah serapahnya kepada sang adik ipar. Dia yang biasanya kalem dan tidak pernah menghujat Marcel, kini seakan menunjukkan sikap yang jauh lebih buruk lagi daripada biasanya.“Suami kamu itu benar-benar kurang ajar,” semburnya kepada Shirley yang baru saja membawakan satu pot krim untuknya.“Lagian Kakak lemah sekali,” komentar Shirley sambil menggosokkan krim itu ke pergelangan tangan Alvon yang nyeri seakan terkilir.Padahal Marcel hanya mencengkeramnya saja, tidak lebih.“Lihat nih, apa yang sudah dia lakukan ke tangan aku!” hujat Alvon dengan wajah murka.“Kenapa Kakak tidak balas tadi?” tanya Shirley sambil mengembuskan napas. “Masa hanya dipegang Marcel saja sudah biru begini?”Tatapan mata Alvon lantas terpaku pada bekas membir
“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya,” jawab Stefi, sepupu Shirley. “Kamu bilang kita harus coba menilai masalah ini dari sudut pandang yang lain.”Ciko mengedarkan pandangannya ke sekeliling mereka.“Dari mana kita tahu kalau Marcel atau Pak Aldi akan ikut seminar kesehatan ini?” tukas Ciko tidak antusias. “Ini cuma kegiatan biasa.”Stefi menerbitkan senyumnya yang merekah.“Itu karena kamu tidak tahu saja,” ucap Stefi anggun. “Apa rencana inti yang sebenarnya.”Ciko diam saja, dia masih menunggu keajaiban dari rencana Stefi yang digadang-gadang bisa membuat gebrakan baru setelah kakaknya melakukan tindakan ceroboh.“Bagaimana soal kakak kamu Ronnie?” tanya Stefi mengalihkan pembicaraan. “Kenapa aku tidak melihat keberadaan dia akhir-akhir ini?”Ciko menghela napas sebelum menjawab, “Kak Ronnie sedang dihukum ayahku.”“Kenapa?” tanya Stefi tidak mengerti. “Apakah yang dilakukan Ronnie sangat berakibat fatal?”“Tentu saja iya,” sahut Ciko dengan nada berat. “Ayahku tidak perna
Marcel tetap muncul di rumah Delvino meskipun sang ayah mertua berwajah masam ketika melihat keberadaannya.“Kamu tidak punya kerjaan sama sekali?” tanya Herman yang tidak terlalu antusias dengan kedatangan putranya.“Justru saya datang ke sini untuk mengerjakan sesuatu di lab lama,” jawab Marcel sambil memandang ayah mertuanya. “Di keluarga istri, saya tidak mendapatkan apa-apa selain perlakuan yang tidak semestinya.”“Kenapa kamu tidak coba meminta pekerjaan di perusahaan rekan bisnis kamu? Pak Aldi itu pengusaha yang memiliki banyak perusahaan katanya,” Herman mengusulkan.Marcel menarik napas. Dia hanya asal menjawab pertanyaan Herman saja supaya tidak terkesan bahwa dirinya memiliki pekerjaan yang penting.“Saya lebih memilih untuk tetap meneruskan mimpi-mimpi orang tua saya,” ujar Marcel dengan wajah serius. “Saya tidak akan berhenti sampai mimpi mereka terwujud entah sampai kapan.”Herman terdiam, Marcel sangat berharap supaya ayah mertuanya itu mampu mengerti.“Saya tidak yaki
“Apanya yang tidak bisa?” tanya Marcel tanpa memandang Shirley yang seperti cacing kepanasan.“Ya tidak bisa!” Shirley sampai rela meletakkan tas belanjaan di sembarang tempat dan mengejar Marcel sampai ke dapur. “Enak saja kamu tidak kasih aku uang bulanan ... kamu tidak ingat sama janji yang kamu ikrarkan di depan orang tua aku?”Marcel tidak mempedulikan protes yang didengungkan Shirley dan memilih untuk menyeduh kopi.Namun, tangan Shirley terulur dan sengaja merebut kopi itu.“Kamu mau bikinkan aku kopi? Tumben,” komentar Marcel sambil tersenyum datar. “Memang seharusnya kamu lakukan dulu kewajiban kamu, baru menuntut hak sebagai istri—bukan sebaliknya.”Shirley mengentakkan kakinya dan melempar kopi itu ke tempat sampah.“Kamu sengaja mempermainkan aku?” tanya Shirley tidak terima.“Mempermainkan apa sih maksud kamu?” balas Marcel sambil melipat kedua tangannya di dada.“Ingat janji kamu!” sergah Shirley seraya menunjuk-nunjuk wajah suaminya.“Aku tidak merasa pernah janji apa-a