"Ya ampun, Mirah!" pekik Mama sambil menatap sedih pecahan piring di samping meja makan. Aku tak sengaja menyenggol hingga terjatuh saat membereskan tadi. "Kerja gitu saja nggak becus? Heran Mama, apa sih yang buat Arfen tergila-gila sama kamu? Cantik dan pintar dandan saja nggak cukup, Sayang. Sebagai seorang istri kamu juga harus pintar ngurus rumah, paham? Terutama jika kamu masih numpang hidup di rumah mama mertua. Oke? Arfen, Arfen! Apa sih yang sudah merasuki dia sampai harus menikah sama kamu yang ternyata wow … Nggak jelas!"
Lagi dan lagi, aku hanya bisa mendunduk dalam-dalam, menahan marah. Sakit sekali rasanya tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Jangankan membela diri, mengangkat wajah barang satu inci pun aku tak berani. Aku yakin, kalau Mama sudah marah, iblis sekalipun pasti ketakutan.
Braaak!
Mama memukul meja keras-keras, memaksaku berbicara, mungkin.
"Ma---Maaf, Mama. Mirah nggak sengaja."
"Nggak sengaja?" Mama menandak, keras sekali. "Mirah, Mirah! Di sini kan, ada Mbak Sri? Seharusnya kamu bisa belajar dong, sama dia? Jangan manja! Mama kan sudah bilang kemarin, kamu tuh harus banyak-banyak belajar gimana caranya ngurus kerjaan rumah! Masa, nggak ingat?"
Sungguh, kalau bukan Mama, pasti aku sudah meninggalkannya. Terserah, apa yang akan terjadi, terjadilah! Ya Tuhan, Mommy saja tidak pernah bersikap galak padaku.
"I---Iya, Mama. Miraha janji, setelah ini, Mirah akan banyak belajar sama Mbak Sri."
Mama tersenyum sinis, cukup membuat amarah dalam diriku memuncak.
"Mbak Sri!" panggilnya sambil menusukkan pandangan kepadaku, sakit. "Tolong bereskan meja makan!"
Mbak Sri datang hanya dalam hitungan detik. Aku yakin, dia melesat cepat dari mana pun berada tadi.
"Saya, Bu. Siap, beres-beres." Mbak Sri membungkukkan badan melewati Mama. Sejenak memandangku dengan sorot mata lembut.
"Sekalian ajari Mirah, ya? Heran Ibu, semakin parah saja dia setiap hari!"
Mbak Sri menjawab singkat. "Baik, Bu."
Sebelum meninggalkan ruang makan, Mama mencondongkan tubuh kepadaku. "Awas, kalau sampai kamu ngadu sama Arfen!"
Oh, jelas tidak, aku bukan tipe anak manusia yang suka mengadu!
"Non, ayo bantu saya beres-beres?" ajak Mbak Sri ramah seakan-akan nothing happened. "Non Mirah angkat piring sama gelas kotor ke dapur saja, ya? Biar saya yang bersihkan pecahan piringnya."
"Makanannya, Mbak?" aku mengernyitkan kening, bingung. Takut salah, terus terang. Maksudku, dimasukkan ke lemari pendingin atau bagaimana?
Mbak Sri melebarkan senyuman. "Nanti biar saya yang urus. Non Mirah kan, baru belajar. Sedikit-sedikit saja, yang penting rutin."
"Oh, oke. Makasih banyak ya, Mbak Sri?" ungkapku sambil mulai mengumpulkan piring kotor. "Mirah bersyukur ada Mbak Sri di sini."
Mbak Sri mengangguk santun. "Sama-sama, Non. Saya juga bersyukur, Mas Arfen sudah punya Non Mirah. Hehe, hehe …!"
Tuk, tuk, tuk!
Suara sepatu high heels Mama terdengar jelas, menghentikan pekerjaanku mengumpulkan gelas kotor.
"Mirah, cepat mandi!" titahnya tenang, penuh wibawa. Satu-satunya hal yang membuat aku takjub adalah, Mama bersikap seolah-olah tidak pernah mengamuk, memarahiku habis-habsian seperti tadi. "Mama mau ajak kamu ke butik batik Mama, lihat-lihat. Biar kampungan kamu tuh memudar sedikit demi sedikit!"
Ha, apa?
Ya Tuhan, dosa tidak sih, kalau aku menolak ajakan Mama?
***
Seperti biasa, aku mengurung diri di kamar malam ini. Mas Arfen belum juga pulang, padahal sudah jam sebelas. Mama juga belum pulang, tumben. Katanya sih ada acara apa begitu, dengan teman-teman Batik Tulis Community. Makan malam atau arisan, ya? Aku lupa.
Jlep, plaaasss!
Terkejut setengah mati aku, ketika melihat status WA Mas Arfen yang diupdate tiga menit yang lalu. Dia sedang makan malam bersama seorang wanita muda dan cantik di sebuah restoran. Aku tidak tahu di restoran mana---di fotonya ada dua hot plate steak---tetapi yang jelas mereka terlihat dekat dan mesra.
Wow, amazing tralala!
Dia pulang larut malam, melewatkan makan malam bersamaku dan justru memilih makan malam bersama orang lain? Wah, ini lebih dari hebat!
Dahsyat, sakitnya!
Tut, tut, tuuuttt!
Otomatis, aku menghubungi Mas Arfen. Panggilan pertama tidak diangkat, membuat aku seperti tergulung badai Tornado. Nah, panggilan ke dua diangkat tetapi lalu terputus entah mengapa. Di sini perasaanku sudah seperti ayam disembelih.
"Ya, Sayang … Ini aku lagi prepare mau pulang!" cakap Mas Arfen sedikit gugup. "Kamu mau dibawakan apa, Sayang? Martabak manis atau roti bakar? Oh, kwetiau atau cap cay sayur?"
"Nggak, Mas. Aku hanya mau kamu cepat pulang, Mas. Aku nggak enak badan."
"Oh, kamu sakit, Sayang? Ya ampun! Kok, nggak hilang dari tadi, sih?"
"Sorry, Mas. Aku benar-benar nggak enak badan ini. Kamu bisa cepat pulang, kan?"
Klik!
Sampai di sini sambungan telepon terputus. Jelas, prasangka baikku lenyap dijajah prasangka buruk, cemburu dan curiga. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar begitu saja dari benakku yang kian antah berantah.
Siapa dia?
Kenapa mereka terlihat begitu dekat, begitu mesra?
Di fotonya saja si Wanita menempelkan tubuhnya di dada Mas Arfen.
Wah, benarkah aku sudah terjebak?
Oh, benarkah aku sudah tertipu?
Sial, sial!
Padahal aku sudah percaya penuh pada Mas Arfen.
Meskipun sakit setengah mati, aku mengamati foto di status WA Mas Arfen itu lagi. Bisa-bisanya Mas Arfen bersikap seromantis itu?
Tak sabar, emosional karena terberangus cemburu, aku mengomentarinya. [Candle Light Dinner].
***
"Mom, kayaknya aku mau kerja saja, deh?" curhat colongan dong aku, waktu Mommy menelepon. "Jenuh banget di rumah."
Sepertinya Mommy juga mulai aneh deh, masa dia malah tertawa? Dih, senang sekali melihat anaknya terjerat derita!
"Mom, aku serius, nih!"
"Aduh, sejak kapan ya, anak Mommy ini bisa bersikap serius? Pintar sekali ya Arfen, merombak seorang Mirah Lestari?"
"Ih, Mommy. Orang lagi serius juga, malah dibecandain?"
"Sorry, sorry … Emh, memangnya Arfen nggak apa-apa kalau kamu kerja?"
Deng, dong!
Sebenarnya sih, Mas Arfen lebih suka kalau aku bekerja di rumah saja. Lebih suka itu berarti suka juga kalau aku bekerja, kan? Kok, aku malah semakin bingung?
"Hiks, iya juga ya, Mom? Yaaah, terus gimana, dong? Serius nih, Mom, aku hampir mati jenuh di rumah."
Mama terdengar mendesah. "Ya, kamu diskusi baik-baik dulu lah sama Arfen. Nah, kalau dia setuju, baru kamu cari kerjaan. Kalau nggak, jangan sekali-kali kamu melawan, oke? Satu lagi, kalau kamu jenuh, cari kegiatan lah. Masa sudah langsung menyerah begitu saja?"
Antara sadar dan tidak, aku tertawa lirih. Sedih. Jelas Mommy tidak tahu bencana apa yang telah menimpa anak semata wayangnya di sini. Ugh, rasanya lebih dari dikeloni vampire, karena dia terlalu sayang untuk menghisap darahku. Lebih menyakitkan dari pada kerubuhan gedung bertingkat sejuta. Jelas, Mommy tidak tahu!
"Hiks, Mom … Mirah pulang saja ya, Mom?"
"Ha, pulang? Maksud kamu, Mirah? Hati-hati lho, kalau bicara. Pernikahan itu bukan permainan, Mirah!"
"Ya, aku tahu, Mom."
"Nah, terus? Kok, bisa kamu ngomong kayak gitu tadi?"
Sampai di sini aku hanya ingin bertanya, sebenarnya Mommy tahu istilah menderita tidak, sih?
[Sayang, mau dibawain apa? Aku sudah mau pulang ini.] [Martabak manis, roti bakar, hamburger, pizza atau apa?] Pesan Mas Arfen masuk tepat di saat Mama sedang memarahiku karena salah meletakkan sepatunya di rak sandal. Kupikir sama saja karena ada juga beberapa sepatu sandal di sana. Ya ampun! Sepertinya aku harus ekstra adaptasi di rumah ini. Banyak sekali hal yang berbeda. "Bilangnya saja sarjana tapi masa, bedain sandal sama sepatu saja nggak bisa? Ck, apa perlu Mama suruh Mbak Sri buat tulisan di setiap rak? Mirah, Mirah … Belajar dong, belajar! Semua yang ada di dunia ini bisa dipelajari, kok. Asalkan kamu mau belajar!" "I---Iya, Mama." Pongah, Mama tersenyum. Senyuman paling mengerikan dari yang pernah kulihat. "Bagus. Mama suka kalau kamu rajin belajar. Ingat ya, Mirah, di rumah ini semua ada tempatnya sendiri-sendiri. Jangan buat mereka tersesat!"Wow, amazing!Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi. Bingung, takut sekaligus takjub. Ada ya, mama mertua seperti Mama? Men
Aku carper, dengan mengiris jari telunjuk? Ih, sorry!Bukan berarti menantang ya, tapi lebih baik tidak diperhatikan Mas Arfen sama sekali dari pada harus menyakiti diri sendiri. Ya ampun! Sebenarnya, Mama tuh, punya perasaan atau tidak? "Aduh, Sayang!" cekatan, Mas Argen merawat jari telunjukku. Membuka tisu yang sudah berumur darah, meletakkan di atas meja. Mencuci luka dengan alkohol? Ah, aku tak tahu apa yang paling tepat, rasanya pedih sekali. Meneteskan obat luka dan terakhir menutup dengan kain kasa, membalutnya. "Lain kali hati-hati ya, jangan sampai terluka?" "Iya, Mas. Maaf …!"Mas Arfen memegangi kedua pundakku. Memandang lekat-lekat, mesra. "Lho, kok malah minta maaf sih, Sayang? Aduh …!" suamiku yang umurnya sebelas tahun lebih tua dari aku itu, melepaskan pundakku dengan lembut. Meraih jari telunjuk kiri yang terluka, mengecupnya. "Jangan terulang lagi ya, Sayang, aku nggak mau lihat kamu sakit?"Sebagai ungkapan perasaan haru sekaligus syukur sudah diberikan suami s
Tunggu, tunggu! Sepertinya aku pernah melihat wanita ini tetapi di mana, ya? Ah, kenapa sih, amnesia itu harus datang menyerang dalam keadaan genting seperti ini? Serius, sumpah, aku pernah melihat wanita ini. Bersama Mas Arfen tetapi di mana, ya? Di gallery smartphone Mas Arfen? Oh, tidak, di status-status WA Mas Arfen. Oh, my God! Apa, apakah ini yang dimaksud dengan definisi setangkai bunga tidur? Ah, tetapi kaki ini benar-benar berpijak di bumi, kok. "Siapa dia, Mas?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku yang mendadak kering. Nyaris tak terdengar, menyerupai bisikan. "Teman kamu ya, Mas?" Mourin. Mourin. Mourin. Oh, jadi, ini yang bernama Mourin itu? Hemh, boleh juga tetapi sayang murahan!"Mourin, kenalkan ini istri saya … Mirah." gugup segugup-gugupnya Mas Arfen memperkenalkan kami. Mungkin tujuh belas hari menjadi isterinya memang belum bisa dikatakan lama tetapi percayalah, aku belum pernah melihat dia bersikap segugup ini. "Sayang, ini asisten aku di klinik,
"Dih, kamu masih ngambek, Sayang?" Mas Arfen merangkulku dari belakang. Membisikkan kalimat sakral di telingaku yang terasa dingin. "I love you, Mirah. Kamu adalah wanita, bidadari yang paling cantik sejagat raya. Dunia dan akhirat."Siapa yang tidak marah? Giliran ditanya lebih cantik siapa di antara aku dan Mourin, Mas Arfen tidak bisa menjawab. Nah, setelah aku mengambil langkah diam seribu bahasa, segala bentuk pujian keluar dengan sempurna. Mungkin Mas Arfen lupa, aku bukan perempuan yang haus akan pujian. Untuk apa memuji setinggi langit tetapi diduakan juga? "Apaan sih, Mas? Sukanya ngegombal, deh!"Mas Arfen menggelitik nakal pinggangku membuatku menggelinjang kegelian. "Lepasin, Mas, aku paling nggak tahan digelitikin. Lepasin, Mas!" "Emuah, emuah!" alih-alih menghentikan jarinya, Mas Arfen justru menyerangku dengan ciuman. "Emuah …!""Ih, sudah, Mas … Malu, ah, sama Mommy!"Di sinilah kami berada sekarang, rumah Mommy. Rumah tempat aku dilahirkan, tumbuh dan berkembang. Ru
"Lho, kok kamu malah jadi marah sih, Mas?" sampai di sini aku tak mampu lagi menahan emosi. Semuanya tumpah ruah menjadi satu dalam hati. "Kalau nggak mau ya sudah, nggak apa-apa. Nggak usah marah-marah kayak gitu. Lagian kalau hanya soal chat darurat, aku kan, bisa langsung forward? Iya kan, Mas?"Mas Arfen menggaruk-garuk kening, mengusap wajah. Mendongak ke langit-langit kamar. Membalikkan badan menghadap kepadaku. "Sorry, sorry, Sayang. Emh, tadi aku kaget banget. Hehehehe … Tiba-tiba kamu pingin tukeran smartphone sama aku. Ya, kamu tahu sendiri kan, Sayang? Dalam sehari ada ratusan chat masuk ke WA aku dan semua itu berkaitan dengan peker---""Aku tahu, Mas." kuakui, cukup emosional saat memotong perkataannya. "Ya sudah, nggak apa-apa kok, kalau kamu nggak mau.""Bukan nggak mau, Sayang tapi nggak bisa. Sorry banget."Aku mengangguk, menahan tetesan air mata. "Ya, nggak apa-apa."Mas Arfen berjalan mendekat, memegangi kedua pundakku tetapi aku dengan cepat menurunkannya. Mengamb
"Sumpah, aku nggak tahu, Sayang!" Mas Arfen semakin berkelit, tentu saja. Menutupi kesalahan dan seluruh kenyataan, aku yakin. "Ini, ini bukan aku. Eh, aku nggak pernah ngelakuin semua itu, sumpah." "Sumpah, demi Tuhan?" Mas Arfen terdiam. Menghirup udara malam yang sedingin es dalam-dalam. Mendongakkan wajah, menjambak rambut cepaknya lalu dengan mimik wajah bingung, terkejut plus takut memandangku. Bola matanya sudah tergenang air bening kemerahan. Wow, amazing tralala! "Sumpah, Say---!" "Nggak usah kebanyakan sumpah, Mas, nggak bagus! Nanti kamu bisa digerogoti sumpah-sumpah kamu sendiri sampai mati, lho!" "Ah, Sayang, jangan … Jangan gitu, lah, ngomongnya!" sampai di sini, Mas Arfen sudah terlihat seperti orang sekarat. "A---Aku, nggak … OK, fine. Haaargh …!" "Kenapa, Mas, kamu kenapa?" kutatap tajam dan dalam bola matanya. "Kamu dokter kandungan yang cerdas dan hebat, profesional kan, Mas? Gimana caranya asisten kamu itu bisa menjajah privacy kamu, Mas?" Mas Arfen tidak
Ha, katanya tidak tahu makanan kesukaan kami? Lah, itu Mama tahu makanan kesukaan Harum, steak ikan tuna.Hello, maksudnya apa?"Oh, masih dong, Tante. Tuna steak will be my favorite food forever." Harum terlihat sangat senang. Mungkin dia juga tersanjung. "Oh, oke. Tante tulis ya, Harum?" Mama tak kalah senang, sampai-sampai melebarkan senyuman sampai maksimal. "Minumnya chocolate milkshake, kan?"Harum mengangguk, menyimpulkan senyum. "Ya, Tante. Anyway, Mirah, kamu mau pesan apa?"Aku, mau pesan apa?Pesan taxi supaya saya bisa cepat pulang! "Oh, iya, sampai lupa kalau ada Mirah juga di sini." ungkap Mama tenang, santai seakan-akan itu bukan sembilu yang mengiris-iris hati. "Kamu mau pesan apa, Mirah? Tapi jangan oseng tempe atau tumis kangkung, ya? Kayaknya nggak ada deh, di sini, hehehehe. Itu adanya di warteg."Oh, Ya Tuhan!"Kalau ada, Mirah mau ifumie, Mama." jawabku sambil mengatur perasaan agar tetap tertata rapi di hati. Sabar, sabar. Ini ujian. "Kalau nggak ada ifumie,
"Sayang, jalan-jalan yuk, di Malioboro?" ajak Mas Arfen dengan gembiranya, berbeda dengan hari-hari biasa. "Kamu pingin ke Batik Hamzah, kan, mau beli kimono? Eh, di sana juga banyak tunik, daster, rok dan semuanya tuh batik. Sandal, tas sampai printilan-printilan cewek juga ba---" "Kamu lagi endorse ya, Mas?" Seketika Mas Arfen terlihat kecewa. Seluruh kulit wajah tampannya memerah. Bola mata tergenang hujan, seperti telaga tersiram cahaya matahari senja. "Kamu kok gitu sih, ngomongnya, Sayang? Aku serius nih, mau ajak kamu jalan-jalan. Mumpung libur setelah shift malam." Aku mengangkat bahu, tanpa berpura-pura terlihat senang, terharu atau semacamnya. "Ayolah, Sayang!" "Nanti Mama marah?" Gantian Mas Arfen yang mengangkat bahu. "Lho, memangnya kenapa kok, Mama marah?" "Ya, nggak tahu, Mas. Selama ini kan, Mama memang selalu marah sama aku. Begini salah, begitu salah. Serba salah, kecuali aku menuruti semua kemauan Beliau. Apa nggak menakutkan itu, Mas? Menyeramkan, serius."
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap