Aku carper, dengan mengiris jari telunjuk?
Ih, sorry!
Bukan berarti menantang ya, tapi lebih baik tidak diperhatikan Mas Arfen sama sekali dari pada harus menyakiti diri sendiri. Ya ampun! Sebenarnya, Mama tuh, punya perasaan atau tidak?
"Aduh, Sayang!" cekatan, Mas Argen merawat jari telunjukku. Membuka tisu yang sudah berumur darah, meletakkan di atas meja. Mencuci luka dengan alkohol? Ah, aku tak tahu apa yang paling tepat, rasanya pedih sekali. Meneteskan obat luka dan terakhir menutup dengan kain kasa, membalutnya. "Lain kali hati-hati ya, jangan sampai terluka?"
"Iya, Mas. Maaf …!"
Mas Arfen memegangi kedua pundakku. Memandang lekat-lekat, mesra. "Lho, kok malah minta maaf sih, Sayang? Aduh …!" suamiku yang umurnya sebelas tahun lebih tua dari aku itu, melepaskan pundakku dengan lembut. Meraih jari telunjuk kiri yang terluka, mengecupnya. "Jangan terulang lagi ya, Sayang, aku nggak mau lihat kamu sakit?"
Sebagai ungkapan perasaan haru sekaligus syukur sudah diberikan suami sebaik Mas Arfen, aku mengangguk. Berusaha memberikan senyum meskipun tipis tetapi sayang, Mama membuatnya urung. Dia, mama mertuaku itu menatap dengan mimik wajah tidak suka. Oh, mungkin Mama risih melihat Mas Arfen bersikap semesta itu di hadapannya? Mungkin.
"Arfen!" panggil Mama sambil menyilangkan pisau roti dan garpu di piring. Rotinya masih setengah. "Lain kali, kalau istrimu mau makan buah, kamu kupaskan saja. Dari pada terjadi tragedi lagi? Jadi nggak enak makan kita, kan? Ngupas buah saja nggak becus!"
Ha, apa?
Yakin, kalau Mas Arfen mengupaskan buah untukku Mama tidak akan marah? Lha, orang melihat dia memasangkan serbet ke leherku saja Mama sudah seperti orang kesurupan, kok. Kesurupan setan bisu.
"Iya, Ma." jangan sebut Mas Arfen kalau tak pandai menjaga perasaa Mama! "Oh ya, habis ini kami langsung berangkat ke rumah Mommy ya, Ma? Mama hati-hati rumah. Nggak usah ngerjain perkerjaan rumah, biar Mbak Sri saja."
Mama hanya diam, melirik sekilas kepada kami satu per satu. Lirikan pemecah jantung.
"Oke, Sayang!" Mas Arfen mengemasi kotak P3K. "Yuk, kita siap-siap?"
Aku tak menjawab, memandang sedih ke jari telunjuk yang terbalut perban. Rasanya masih nyeri, berdenyut-denyut.
Mas Arfen menepuk-nepuk pundakku. "Mbak Sri, tolong bereskan meja makan!" titahnya sambil membuang tisu yang berlumur darah tadi ke tempat sampah. "Kami sudah selesai makan."
"Mbak Sri!" seakan-akan apa yang diperintahkan Mas Arfen tadi belum cukup untuk memanggil Mbak Sri, Mama mengulangi. "Mbak Sri …!"
***
Di sepanjang perjalanan ke rumah Mommy, aku diam. Lebih banyak diam, maksudku. Entahlah, rasanya sedih sekali. Lebih tepatnya tak pernah menyangka kalau ternyata Mama seperti itu, sungguh.
"Sayang!" Mas Arfen membuka pembicaraan. Kami sudah separuh perjalanan menuju rumah Mommy. "Kamu nggak apa-apa, kan? Gimana, sudah reda belum nyerinya habis minum obat?"
Sebelum berangkat tadi, Mas Arfen memberiku obat peredaran nyeri.
"Sudah, Mas tapi hasi ngantuk." jawabku jujur dan apa adanya. "Boleh tidur, Mas?"
Mas Arfen tersenyum, memandangku sebentar. "Boleh dong, Sayang. Tidurlah, nanti kalau sudah mau sampai aku bangunkan."
"Oke, Mas. Makasih, ya?"
"Nih, pakai penutup mata biar nggak silau?"
"Ah, nggak kok, Mas. Gini saja, aku sudah biasa tidur di mobil tanpa kain penutup mata. Kalau di pantai, nah, itu baru pakai."
Mas Arfen tertawa lirih. Renyah sekali, sexy!
Ah, mungkin benar kata Mommy, aku harus bersabar dan berusaha lebih keras lagi untuk menyesuaikan diri. Aku kan, orang baru di keluarga Mas Arfen? Jadi, aku yang harus mengorbankan diri dalam tanda kutip.
Mas Arfen. Arfen Saujana, yang kukenal di media sosial sekitar dua tahun yang lalu itu mengusap-usap kepalaku dengan tangan kirinya. Tangan kanan fokus ke setir. "Tidur ya, Sayang, biar pas bangun nanti nyerinya sudah berkurang."
Diam. Memejamkan mata. Itu yang kulakukan untuk lebih menenangkan diri. Tidak mungkin membawa segala carut marut perasaan ini ke hadapan Mommy. Ya ampun! Aku tak mau membuat Mommy sedih.
Selama ini Mommy sangat menyayangi aku. Tidak terlalu memanjakan tetapi juga tidak pernah membiarkan aku sendiri. Selalu ada untuk akulah, intinya. Terutama setelah Daddy meninggal dunia. Mommy menjelma menjadi sepasang sayap yang dapat menerbangkanku hingga seperti ini sekarang. Pokoknya, perjuangan Mommy untuk aku tuh, besar sekali. Tak bisa dilukiskan oleh kata-kata.
"Sayang, kita cari oleh-oleh buat Mommy dulu, yuk?" Mas Arfen membangunkanku. "Kita singgah di sini dulu."
"Emh, tapi aku masih ngantuk banget, Mas!" malu-malu aku menggeliat. "Aku memang sensitif obat-obatan. Langsung pingin tidur terus bawaannya, kalau kena obat."
Lagi, Mas Arfen tertawa. Mencubit sayang lenganku. "Sini, aku kasih sesuatu yang bakalan buat kamu bangun dan segar seketika!"
Reflek, aku tertawa!
"Eh, nggak percaya?" Mas Arfen menjalankan mobil mengikuti aba-aba tukang parkir. "Tunggu ya, sampai aku turun dari mobil?"
***
"Cup … Emmmuah!" ternyata itu formula segar bangun tidur yang dimaksud Mas Arfen tadi. "I love you, Mirah Lestari. Forever."
Biyuh, rasanya seperti tersengat listrik!
"Thanks, I love you too, Mas Arfen!" kataku setelah debar-debar di dada sedikit menghilang. Bukan, ini bukan yang pertama tetapi di rumah, momen seperti ini bisa dikatakan sangat langka.
"Lho, forever-nya mana?" Mas Arfen mengerucutkan bibir, manja.
Terus terang aku tersanjung parah. Mas Arfen membutuhkan cintaku untuk selama-lamanya. Padahal, dibandingkan dirinya, siapalah aku? Hanya seorang sarjana PAUD dan sekarang malah sedang terferifikasi pengangguran. Ya, walaupun dia justru bangga memiliki isteri dengan profesi Ibu Rumah Tangga, sih.
"Forever." akhirnya itulah yang kubisikkan kepadanya.
Mas Arfen tertawa lepas, sampai barisan gigi putih bersihkan terlihat jelas. Belum pernah aku melihatnya tertawa selepas ini. "Nah, gitu dong, Sayang? Terima kasih, ya?"
"Sama-sama, Mas." gantian aku yang mencubit lengan kanannya. "Ternyata kamu bisa genit juga ya, Mas? Gawat!"
"Oh, ya jelas bisa dong!" Mas Arfen menepuk-nepuk dada bidangnya yang terbalut kaos oblong biru laut polos. Tersenyum lebar, mengedipkan mata. "Arfen Sau---"
"Pak Arfen?" seoarang wanita muda, kalau aku taksir umurnya sekitar tiga tahun di atasku menyapa dengan hangat. Memangkas momen romantis kami. "Eh, halo … Selamat pagi, Pak Arfen! Bapak juga mau belanja di sini, ya? Jauh sekali …?"
Mas Arfen terlihat kikuk. "Eh, ya halo, Mourin! I---Iya, kami mau belanja di sini. Emh, sekalian beli oleh-oleh buat Mommy."
Wanita yang disebut Mourin oleh Mas Arfen melemparkan senyum simpul yang manis. Menawan hati. Aku yang sama-sama perempuan saja tertarik, apalagi yang laki-laki ya?
Ehem!
Forget it!
Terus terang aku tidak suka bagian ini, bagian yang membuat Mas Arfen tertunduk kikuk seakan Mourin adalah seseorang yang sangat penting baginya. Satu lagi, seolah-olah jalan berdua denganku adalah sebuah kesalahan.
Hello, I am His wife!
"Oh, iya. Kalau begitu selamat berbelanja ya, Pak Arfen?" kata Mourin sambil mengerjap-ngerjapkan mata. "Oh ya, ini … Siapanya Bapak?"
Tunggu, tunggu! Sepertinya aku pernah melihat wanita ini tetapi di mana, ya? Ah, kenapa sih, amnesia itu harus datang menyerang dalam keadaan genting seperti ini? Serius, sumpah, aku pernah melihat wanita ini. Bersama Mas Arfen tetapi di mana, ya? Di gallery smartphone Mas Arfen? Oh, tidak, di status-status WA Mas Arfen. Oh, my God! Apa, apakah ini yang dimaksud dengan definisi setangkai bunga tidur? Ah, tetapi kaki ini benar-benar berpijak di bumi, kok. "Siapa dia, Mas?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku yang mendadak kering. Nyaris tak terdengar, menyerupai bisikan. "Teman kamu ya, Mas?" Mourin. Mourin. Mourin. Oh, jadi, ini yang bernama Mourin itu? Hemh, boleh juga tetapi sayang murahan!"Mourin, kenalkan ini istri saya … Mirah." gugup segugup-gugupnya Mas Arfen memperkenalkan kami. Mungkin tujuh belas hari menjadi isterinya memang belum bisa dikatakan lama tetapi percayalah, aku belum pernah melihat dia bersikap segugup ini. "Sayang, ini asisten aku di klinik,
"Dih, kamu masih ngambek, Sayang?" Mas Arfen merangkulku dari belakang. Membisikkan kalimat sakral di telingaku yang terasa dingin. "I love you, Mirah. Kamu adalah wanita, bidadari yang paling cantik sejagat raya. Dunia dan akhirat."Siapa yang tidak marah? Giliran ditanya lebih cantik siapa di antara aku dan Mourin, Mas Arfen tidak bisa menjawab. Nah, setelah aku mengambil langkah diam seribu bahasa, segala bentuk pujian keluar dengan sempurna. Mungkin Mas Arfen lupa, aku bukan perempuan yang haus akan pujian. Untuk apa memuji setinggi langit tetapi diduakan juga? "Apaan sih, Mas? Sukanya ngegombal, deh!"Mas Arfen menggelitik nakal pinggangku membuatku menggelinjang kegelian. "Lepasin, Mas, aku paling nggak tahan digelitikin. Lepasin, Mas!" "Emuah, emuah!" alih-alih menghentikan jarinya, Mas Arfen justru menyerangku dengan ciuman. "Emuah …!""Ih, sudah, Mas … Malu, ah, sama Mommy!"Di sinilah kami berada sekarang, rumah Mommy. Rumah tempat aku dilahirkan, tumbuh dan berkembang. Ru
"Lho, kok kamu malah jadi marah sih, Mas?" sampai di sini aku tak mampu lagi menahan emosi. Semuanya tumpah ruah menjadi satu dalam hati. "Kalau nggak mau ya sudah, nggak apa-apa. Nggak usah marah-marah kayak gitu. Lagian kalau hanya soal chat darurat, aku kan, bisa langsung forward? Iya kan, Mas?"Mas Arfen menggaruk-garuk kening, mengusap wajah. Mendongak ke langit-langit kamar. Membalikkan badan menghadap kepadaku. "Sorry, sorry, Sayang. Emh, tadi aku kaget banget. Hehehehe … Tiba-tiba kamu pingin tukeran smartphone sama aku. Ya, kamu tahu sendiri kan, Sayang? Dalam sehari ada ratusan chat masuk ke WA aku dan semua itu berkaitan dengan peker---""Aku tahu, Mas." kuakui, cukup emosional saat memotong perkataannya. "Ya sudah, nggak apa-apa kok, kalau kamu nggak mau.""Bukan nggak mau, Sayang tapi nggak bisa. Sorry banget."Aku mengangguk, menahan tetesan air mata. "Ya, nggak apa-apa."Mas Arfen berjalan mendekat, memegangi kedua pundakku tetapi aku dengan cepat menurunkannya. Mengamb
"Sumpah, aku nggak tahu, Sayang!" Mas Arfen semakin berkelit, tentu saja. Menutupi kesalahan dan seluruh kenyataan, aku yakin. "Ini, ini bukan aku. Eh, aku nggak pernah ngelakuin semua itu, sumpah." "Sumpah, demi Tuhan?" Mas Arfen terdiam. Menghirup udara malam yang sedingin es dalam-dalam. Mendongakkan wajah, menjambak rambut cepaknya lalu dengan mimik wajah bingung, terkejut plus takut memandangku. Bola matanya sudah tergenang air bening kemerahan. Wow, amazing tralala! "Sumpah, Say---!" "Nggak usah kebanyakan sumpah, Mas, nggak bagus! Nanti kamu bisa digerogoti sumpah-sumpah kamu sendiri sampai mati, lho!" "Ah, Sayang, jangan … Jangan gitu, lah, ngomongnya!" sampai di sini, Mas Arfen sudah terlihat seperti orang sekarat. "A---Aku, nggak … OK, fine. Haaargh …!" "Kenapa, Mas, kamu kenapa?" kutatap tajam dan dalam bola matanya. "Kamu dokter kandungan yang cerdas dan hebat, profesional kan, Mas? Gimana caranya asisten kamu itu bisa menjajah privacy kamu, Mas?" Mas Arfen tidak
Ha, katanya tidak tahu makanan kesukaan kami? Lah, itu Mama tahu makanan kesukaan Harum, steak ikan tuna.Hello, maksudnya apa?"Oh, masih dong, Tante. Tuna steak will be my favorite food forever." Harum terlihat sangat senang. Mungkin dia juga tersanjung. "Oh, oke. Tante tulis ya, Harum?" Mama tak kalah senang, sampai-sampai melebarkan senyuman sampai maksimal. "Minumnya chocolate milkshake, kan?"Harum mengangguk, menyimpulkan senyum. "Ya, Tante. Anyway, Mirah, kamu mau pesan apa?"Aku, mau pesan apa?Pesan taxi supaya saya bisa cepat pulang! "Oh, iya, sampai lupa kalau ada Mirah juga di sini." ungkap Mama tenang, santai seakan-akan itu bukan sembilu yang mengiris-iris hati. "Kamu mau pesan apa, Mirah? Tapi jangan oseng tempe atau tumis kangkung, ya? Kayaknya nggak ada deh, di sini, hehehehe. Itu adanya di warteg."Oh, Ya Tuhan!"Kalau ada, Mirah mau ifumie, Mama." jawabku sambil mengatur perasaan agar tetap tertata rapi di hati. Sabar, sabar. Ini ujian. "Kalau nggak ada ifumie,
"Sayang, jalan-jalan yuk, di Malioboro?" ajak Mas Arfen dengan gembiranya, berbeda dengan hari-hari biasa. "Kamu pingin ke Batik Hamzah, kan, mau beli kimono? Eh, di sana juga banyak tunik, daster, rok dan semuanya tuh batik. Sandal, tas sampai printilan-printilan cewek juga ba---" "Kamu lagi endorse ya, Mas?" Seketika Mas Arfen terlihat kecewa. Seluruh kulit wajah tampannya memerah. Bola mata tergenang hujan, seperti telaga tersiram cahaya matahari senja. "Kamu kok gitu sih, ngomongnya, Sayang? Aku serius nih, mau ajak kamu jalan-jalan. Mumpung libur setelah shift malam." Aku mengangkat bahu, tanpa berpura-pura terlihat senang, terharu atau semacamnya. "Ayolah, Sayang!" "Nanti Mama marah?" Gantian Mas Arfen yang mengangkat bahu. "Lho, memangnya kenapa kok, Mama marah?" "Ya, nggak tahu, Mas. Selama ini kan, Mama memang selalu marah sama aku. Begini salah, begitu salah. Serba salah, kecuali aku menuruti semua kemauan Beliau. Apa nggak menakutkan itu, Mas? Menyeramkan, serius."
"Sayang, tunggu!" Mas Arfen memanggil di belakang.Tanpa mengucapkan secuil kecil kata sekalipun aku berjalan cepat meninggalkan mereka. Mama juga memanggil tetapi perasaan sakit dan terluka di hatiku jauh lebih besar. Mendorong kuat-kuat untuk secepatnya pergi. Sudah terlalu banyak kesedihan yang kudapatkan di sini dan itu dari Mas Arfen dan Mama yang berarti keluarga, bukan orang lain."Sayang …!" Aku tahu Mas Arfen pasti mengejarku, begitu juga dengan Mama tetapi bagiku semua itu sudah terlambat. Sangat terlambat. Sudah jelas-jelas dia selingkuh dengan Mourin tetapi tetap tidak mau mengakui. Mana mungkin---sedekat apa pun mereka---Mourin berani menyentuh smartphone Mas Arfen. Apalagi sampai menyalahkan gunakan seperti itu. Parah!Mama juga. Kenapa begitu membenciku? Selalu menyalahkan, memojokkan. Memangnya aku bola kaki sampai harus diberi tendangan pojok segala? Halo, aku bukan boneka ataupun batu! Berani-beraninya Mama membanding-bandingkan aku dengan Harum? Memangnya siapa dia
Pulang dari rumah Mommy aku langsung ke rumah kontrakan Bella. Belum sih, keputusanku belum final tetapi ini untuk mengantisipasi hal terburuk yang mungkin terjadi. Bukankah itu jauh lebih baik dari pada---misalnya---tiba-tiba biduk rumah tangga kami kandas dan aku belum punya perahu cadangan. Maksudku, tempat untuk berteduh dari panas dan hujan. "Hai, Mirah!" sambut Bella ramah dan hangat. "Masuk, masuk. Aduh, sorry ya agak lama aku bukain pintunya. Ada panggilan alam tadi di kamar mandi." "Oke, nggak apa-apa, kok." aku mengikuti Bella, menarik koper masuk ke ruang tamu. Berhenti di samping meja kaca bundar yang dikelilingi zabutton. "Teman kamu mana? Eh, siapa namanya, Bella?""Anyelir. Dia lagi ngajar di kampus, ada kelas pagi dia hari ini.""Oh …?" "Anyway, masuk yuk, Mirah? Aku barusan buat pancake, masih anget, lho.""Wow! Mau, dong, pasti yummy!"Kami lalu berjalan ke ruang keluarga. Bella menunjukkan di mana kamarku, kalau misalnya jadi keluar dari rumah Mama. Semoga tidak
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima
Ternyata itu smartphone, bukan seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Lagi pula, mana mungkin Mourin memberiku bahan peledak? Bisa-bisa Mas Arfen menusnahkan dia dalam sekejap mata. "Sekali lagi, makasih ya, Mourin?"Mourin menganguk kecil. Merapikan poni dengan ujung jari telunjuk. "Sama-sama. Semoga kamu suka ya, Mir?"Gugup, geragapan aku menjawab. "Emh, aku suka kok, Mourin.""Mir, aku boleh minta pendapat kamu, nggak?"Senejak aku merenung atas pertanyaan itu, menimbang-nimbang. "Boleh, semampu aku, ya?""Gimana kalau pindah ke rumah ini?" Mourin meremas-remas jari tangannya. "Emh, soalnya rumahku mau aku jual, Mir."Ha, apa?"Mas Arfen butuh dana tambahan untuk mulai praktek lagi dan itu nggak sedikit, Mir." Ha, serius? Kenapa Mas Arfen tidak membicarakan masalah itu denganku? "Berapa?""Ya, nggak banyak banget juga sih, Mir. Sekitar dua ratus lima puluh juta."Woaaa, sebanyak itu? Memangnya untuk biaya apa saja, sih? Kliniknya kan, masih ada, tinggal jalan saja? Oh, mungkin
Lagi, Mas Arfen menggenggam jari-jemari tanganku. Mengecupnya berkali-kali sampai basah. "Sayang, aku minta maaf, ya?""Untuk?""Ya, aku ngasih surprisenya keterlaluan banget."Aku hanya diam, mengulas senyum tabah. Sejujur-jujurnya mengakui dalam hati, sulit untuk memaafkan. Ini sudah di luar batas kesanggupanku sebagai manusia, serius. Bagaimana bisa Mas Arfen menyusun surprise yang sekeji itu? Aku bukan robot, boneka, wayang atau sesuatu yang setara dengan itu. Tidakkah dia menyadarinya?""Thanks banget, Sayang. Emmmuaaah …!" "Tapi serius, kamu jahat banget lho, Mas!" aku memasang wajah super judes. Membunuhkan ekspresi kecewa, marah dan muak. "Masa sampai segitunya, sih?"Mas Arfen menanggapi dengan satu keciIpan super lembut---lebih lembut dari es krim tapi hangat---di keningku. "Maaf, Sayang, maaf …?""Jangan bilang, kalau ternyata selama ini kamu kerja sama dengan Dokter Nafsin ya, Mas?"Mas Arfen tersentak, dia sampai terlihat gugup. "Paham kan, maksudku? Kamu kerja sama de
"Happy Birth Day, Mirah …!" Berbondong-bondong Mama, Mbak Sri, Mas Arfen, si Dokter Mesum, Mbak Hasya menyanyikan lagi keramat itu dengan gembiranya. Mourin pun ikut bernyanyi dengan ekspresi super duper happy. Terakhir, seiring sejalan dengan aliran darah dalam tubuhku yang tersendat-sendat akibat syok yang luar biasa, muncullah 4 Little Stars versi lengkap plus Anyelir. Mereka bekerja sama membawa roti ulang tahun dengan lilin angka dua puluh tiga berwarna merah cerah di atasnya. Roti ulang tahunnya berbentuk setangkai bunga mawar merah jambu dengan hiasan kupu-kupu terbang. Itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Mommy dan Om Damar. Mereka langsung memelukku erat-erat secara bersamaan dengan air mata melinang-linang, seolah aku baru saja ditemukan setelah sekian juta tahun hilang. Oh, sungguh, aku semakin syok. Tidak mengerti dengan semua kejahatan ini! Mereka pikir, surprise semacam ini hebat, begitu? Wow! Jelas Mereka tidak tahu apa itu surprise dan hal ap